Ketenangan Dalam Ketidakpastian (Jangan Memaksa Tuhan)

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat selesai melaksanakan Sholat Subuh, seorang Santri menghampiri Kiainya, seraya berkata:

Santri: ..”Kiai, mengapa doa saya tak kunjung dikabulkan? Saya sudah berdoa setiap malam, dengan air mata dan keyakinan penuh. Apakah Alloh tidak mendengar saya?..”

Kiai sambil tersenyum khas, seraya menjawab: ..”Nak, Alloh maha mendengar, bahkan sebelum lidahmu bergetar. Tapi ingat, berdoa bukanlah cara untuk memaksa langit menuruti bumi”…

Santri tadi penasaran dan berkata: ..”Jadi saya tak perlu berharap, Kiai?”…

Kiai menjawab dengan bijak: …”Harapan itu perlu, tetapi jangan dijadikan tuntutan. Dalam doa, kita bukan sedang menawar takdir, melainkan menata hati agar ridha terhadap kehendak yang lebih bijak dari keinginan kita sendiri”…

Tampaknya dialog di atas jika diringkas dalam satu diksi menjadi; “Jangan memaksa Tuhan.” Ungkapan ini menyentuh sisi paling dalam dari relasi manusia dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Ia bukan hanya peringatan moral atau nasihat religius, melainkan sebuah refleksi filosofis tentang batas-batas eksistensi manusia. Di dalamnya tersimpan pengakuan bahwa manusia hidup dalam keterbatasan, sementara ada kekuatan yang tak dapat dikendalikan oleh kehendak atau logikanya. Kalimat itu bukan sekadar larangan untuk menentang sesuatu yang sakral, tetapi seruan agar manusia menyadari posisinya di hadapan misteri kehidupan yang tidak tunduk pada keinginannya.

Dalam pandangan filsafat manusia, relasi antara manusia dan yang transenden selalu dipenuhi ketegangan. Di satu sisi, manusia memiliki akal dan kehendak yang membuatnya ingin memahami dan menguasai dunia. Ia mencari makna, berdoa, merancang masa depan, dan berusaha agar hidupnya sesuai dengan yang ia anggap benar atau adil. Namun di sisi lain, selalu ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan: penderitaan yang datang tanpa alasan, keajaiban yang tak masuk akal, atau peristiwa yang menentang rencana terbaik sekalipun. Ketika manusia berhadapan dengan yang tak bisa dikontrol ini, ia sering kali tergoda untuk menuntut penjelasan, bahkan untuk memaksa makna agar sesuai dengan keinginannya. Di sinilah letak masalahnya: manusia lupa bahwa ia bukan pusat dari keseluruhan realitas.

Kesadaran untuk tidak memaksa Tuhan adalah bentuk tertinggi dari kerendahan hati intelektual dan eksistensial. Ia menuntut pengakuan bahwa ada batas pada kemampuan rasio dan kehendak manusia. Hidup tidak selalu dapat direncanakan, dan makna tidak selalu bisa ditemukan dengan segera. Dalam kesadaran ini, manusia tidak menyerah, tetapi berdamai dengan ketidakpastian. Ia tetap berusaha, tetap berdoa, tetap berpikir, namun tanpa mengklaim bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya. Ia memahami bahwa kebebasan manusia selalu berjalan berdampingan dengan misteri yang tidak dapat ia kuasai.

Jika manusia terus-menerus memaksa Tuhan, memaksa kehidupan untuk tunduk pada rencananya; maka dia akan hidup dalam frustrasi abadi. Segala yang tidak berjalan sesuai keinginannya akan dianggap ketidakadilan, padahal bisa jadi justru di sanalah ruang bagi pertumbuhan batin. Dengan berhenti memaksa, manusia membuka diri terhadap pengalaman hidup yang lebih luas. Ia mulai melihat bahwa tidak semua peristiwa harus segera dimengerti, bahwa sebagian besar makna justru muncul setelah dilewati, bukan sebelum.

Ungkapan ini juga menyentuh dimensi etis dalam diri manusia. Ketika seseorang berhenti memaksa Tuhan, ia belajar untuk tidak memaksakan kehendaknya kepada sesama. Ia menyadari bahwa setiap individu memiliki jalan hidup yang unik, dan bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dikontrol oleh siapa pun. Ia menjadi lebih sabar terhadap perbedaan, lebih tenang dalam menghadapi kegagalan, dan lebih tulus dalam menerima keberhasilan. Kesadaran ini melahirkan kebijaksanaan: kemampuan untuk hidup dengan lapang di tengah ketidakpastian.

Pada dunia modern, sikap memaksa Tuhan dapat dilihat dalam bentuk yang lebih halus: obsesi untuk mengendalikan segala hal melalui teknologi, logika, dan sistem. Manusia ingin menghapus penderitaan, memperpanjang hidup, menaklukkan alam, bahkan menciptakan kesadaran buatan yang menyerupai dirinya sendiri. Semua ini menunjukkan dorongan eksistensial yang sama, yaitu keinginan untuk menjadi pusat dari ciptaan. Namun pada titik tertentu, manusia akan selalu dihadapkan pada batas: penyakit yang tak bisa disembuhkan, kehilangan yang tak bisa dijelaskan, misteri yang tak bisa direkayasa. Di sanalah kalimat “jangan memaksa Tuhan” kembali bergema, mengingatkan bahwa tidak semua yang ada harus berada dalam genggaman manusia.

Ketenangan sejati lahir bukan ketika manusia berhasil menguasai segalanya, melainkan ketika ia berdamai dengan ketidaktahuannya. Dengan menerima bahwa ada hal yang melampaui dirinya, manusia tidak menjadi lemah, tetapi justru menjadi utuh. Ia belajar untuk berharap tanpa menuntut, berjuang tanpa harus selalu menang, dan mencintai tanpa harus memiliki. Dalam ketidaktahuan itu, manusia menemukan ruang spiritual yang paling murni: ruang di mana ia bisa berbicara dengan yang transenden tanpa perlu memahami-Nya sepenuhnya.

Maka, “jangan memaksa Tuhan” bukanlah ajakan untuk pasrah secara pasif, melainkan undangan untuk hidup dengan kesadaran yang lebih dalam. Ia mengingatkan bahwa hidup adalah dialog antara kebebasan dan misteri, antara usaha dan penyerahan. Manusia bebas untuk memilih, berpikir, dan mencipta, tetapi ia juga harus tahu kapan harus berhenti dan membiarkan sesuatu berjalan apa adanya. Dalam batas itu, manusia menemukan kebijaksanaan, yaitu sebuah bentuk pengetahuan yang tidak lagi mencari kepastian, tetapi menerima ketidakpastian sebagai bagian dari keberadaan itu sendiri.

Akhirnya, yang dimaksud dengan tidak memaksa Tuhan adalah menerima bahwa hidup bukan proyek yang harus selesai, melainkan perjalanan yang terus berlangsung. Manusia tidak perlu memahami segalanya untuk dapat hidup dengan penuh. Ia hanya perlu menyadari bahwa sebagian dari makna kehidupan justru tersembunyi di balik apa yang tidak dapat dipaksa, di balik rahasia yang hanya bisa diterima dengan hening. Di situlah, manusia berhenti menjadi penguasa dan mulai menjadi penjelajah dari misteri yang tak bertepi. Salam Waras (SJ)

Editor: Fadly