Dari Lantai Lima

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari kedua berada di gedung yang megah lantai lima, tempat baru buat mengabdi pada negeri ini, ada perasaan membuncah. Tugas baru yang diamanatkan oleh lembaga ini untuk membuka program bergengsi , serasa menantang adrenalin, walau usia sudah tidak muda lagi. Dengan modal Bismillah semua dimulai. Tampak di kejauhan bendera kebanggaan negeri berkibar seolah menantang: mana semangatmu, mana tekadmu untuk selalu memberikan yang terbaik buat negeri.

Hari-hari begini mengingatkan peristiwa beberapa puluh tahun lalu. Setiap menjelang perayaan hari kemerdekaan selalu disibukkan dengan mengumpulkan dana, tetapi tidak dengan memaksa, apalagi sampai merusak pintu pagar orang lain. Semua dilakukan atas kesadaran bahwa negeri ini memerlukan kita. Oleh sebab itu, pendanaan kegiatan dilakukan dengan sukarela dan seadanya, tidak harus meminta-minta pada orang yang lalu-lalang di jalan.

Perlombaan-perlombaan sederhana dilakukan untuk anak-anak yang bertujuan menanamkan rasa cinta tanah air. Itu pun hadiahnya hanya sekadar buku tulis tipis dan alat tulis seadanya. Namun, ternyata tetap meriah.

Momen seperti itu berulang setiap tahun. Yang berbeda hanya bentuk dan isinya. Pergeseran itu sejalan dengan tuntutan zamannya. Sayangnya, para elite negeri ini sudah banyak tidak peduli dengan hal-hal kecil seperti itu. Mungkin karena tidak ada rupiah yang dapat dibawa pulang.

Tampaknya penanaman rasa keindonesiaan perlu dirumuskan kembali guna menyongsong generasi Z. Sebab, tuntutan dan tuntunan mereka sudah sangat berbeda dengan apa yang ada selama ini. Saat ini kita semakin abai dengan hal yang berbau ideologi kebangsaan, dan ini tentu membahayakan negeri di masa depan.

Penanda sudah mulai tampak. Yang terbaru adalah berbondong-bondongnya orang muda potensial Indonesia, beralih kewarganegaraan di negeri tetangga, hanya karena satu alasan: mudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan penghasilan yang sepadan. Kita tidak bisa serta merta menyalahkan mereka dengan memberi label “rendahnya rasa nasionalisme”. Sebab, pertanyaan balik yang harus kita jawab dari mereka: “apa yang sudah kita siapkan agar dapat memaksimalkan pengabdian mereka?”

Sekalipun jawaban ini menjadi ladang perdebatan, namun tetap menjadi tugas bersama kita mencari solusi, bukan saling membenci apalagi mencaci.

Tidak aneh juga manakala ada generasi mereka yang tidak pindah, dan saat ini ada di tanah air, beranggapan pekerjaan yang paling mudah adalah menjadi anggota partai, kemudian mencalonkan diri jadi anggota legislatif. Jika menang bisa berkuasa serta mendapatkan uang. Jika kalah mereka menjadi petugas partai sebagai mediator atau penghubung antara rakyat. Sebagai penghubung konstituen dengan mereka anggota legislatif yang menang, jika perlu menggunakan teknik tertentu untuk mendapatkan proyek dari yang ada.

Tampaknya menjadi anggota partai itu adalah pekerjaan dan berharap mendapat penghasilan.
Fenomena lain yang juga miris, kalau kita mau sedikit memperhatikan; mereka yang melakukan kejahatan atau tindak kriminal, kebanyakan usia mereka ada pada usia produktif. Hampir semua yang tertangkap saat dimintai keterangan, hasil kejahatannya hanya untuk bersenang-senang. Tentu menjadikan evaluasi kita bersama. Ada apa dengan negeri ini? Generasi produktifnya melakukan tindakan kontraproduktif. Memang kejahatan itu ada semenjak manusia ini ada. Akan tetapi, itu bukanlah pembenaran silogisme berpikir.

Perayaan kemerdekaan harus tetap berjalan, namun evaluasi diri jangan dilupakan. Pemimpin negeri boleh berganti, tetapi ideologi tetap harus terpateri di sanubari untuk semua anak negeri. Pengalaman pahit masa lalu dari sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi negeri ini, seharusnya tetap dijadikan pembelajaran. Janganlah kita teriak kebakaran setelah rumah kita habis dilalap api. Sebaiknya, jangan sampai terjadi kebakaran. Dengan segala macam cara kita harus menjaganya.

Teriakan “Merdeka atau Mati” bukan menjadi merdeka saya, matilah kamu. Namun, mari sama-sama merdeka untuk menjaga negeri ini agar tidak mati. Tentu saja itu bukan lagi slogan, tetapi kerja nyata bagi semua anak negeri.

Saat ini kita tidak hanya butuh teriakan, tetapi bekerja sambil teriak. Maksudnya, jangan sampai kesibukan kerja kita dimanfaatkan pihak lain untuk kepentingan golongannya atau pribadinya. Oleh sebab itu, harus juga teriak manakala ada sesuatu yang memang tidak pada tempatnya sesuai dengan saluran dan tata karma yang ada. Waspada itu harus. Sebab dengan kewaspadaan kita akan mempersiapkan segala sesuatunya menjadi lebih baik. (SJ)

Selamat ulang tahun negeriku! Semoga tetap jaya sepanjang masa.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply