Pilkada

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Berbagai media di Lampung saat ini sering menulis berita tentang pemilihan kepala daerah (pilkada). Selain Pilkada, pemilihan kepala daerah sering juga disingkat Pilkadal (dengan akhir huuf “l”). Penulisan Pilkadal kerap mengganggum karena maknanya sering tidak klop dengan maksudnya. Bahkan menjadi “diplesetkan” (sulih arti) dengan hal-hal yang bersifat kurang baik.

Kata “kadal” memang kerap multitafsir. Ada yang mengatakan bahwa dalam konteks yang lebih umum, kadal sering dianggap sebagai hewan yang dapat bertahan dalam berbagai kondisi, sehingga sering dijadikan simbol ketangguhan dan keuletan. Kadal sering dianggap sebagai simbol keberuntungan, kekuatan, dan perlindungan dalam budaya banyak masyarakat di dunia. Di beberapa budaya, kadal juga melambangkan kebijaksanaan, kecerdikan, dan kesabaran karena sifat-sifatnya yang diam dan hati-hati.

Dalam mitologi banyak suku, kadal sering kali dianggap memiliki kekuatan magis atau spiritual.
Namun, pada sisi lain, kata “ngadadali” merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang berarti licik, cerdik, atau pandai dalam makna negatif. Jadi, jika ada yang dikatakan “ngadali”, mungkin itu merujuk pada kelicikan atau kecerdikan mencontoh kadal dalam mitologi atau cerita tertentu. Atau dalam pemaknaan metafora bermakna berlaku licik untuk hal-hal tertentu. Tidak ada referensi yang valid sejak kapan kata di-kadal-in dipakai orang, kenapa juga tidak dibilang “dicicakin” misalnya atau ” dibunglonin”.

Pemilihan umum secara nasional baru saja berlalu, tentu semua kita mempunyai kesan masing-masing secara personal maupun komunal. Demikian juga seluruh warga provinsi ini memiliki peta kognisi yang berbeda dari hasil pengalaman menghadapi peritiwa besar tersebut. Tentu dari hal-hal yang positif, sampai dengan hal-hal yang kurang baik; semua menjadi semacam hasil rekam yang ada dalam ingatan sebagai kesan dan membentuk persepsi. Termasuk rekaman berupa ingatan, persepsi atau apapun namanya yang merujuk pada “merasa dikadali”.

Sebagai contoh, banyak di antara mereka terbangun persepsi bahwa pemilihan itu berhubungan erat dengan bagi-bagi sembako atau angpau. Malah saat itu ada yang nyeletuk kalau bisa tiap bulan ada pemilihan, sehingga mereka tidak harus repot-repot bekerja cari makan, cukup menunggu pembagian jatah dari para calon. Kemudian ada yang berharap ada pemilihan terusmenerus karena mereka berprofesi sebagai tim sukses, maksudnya sukses “ngadali” para calon, untuk mendapatkan keuntungan material dari mereka.

Karena soal kadalmengadali ini tidak kenal saudara atau family; ada satu contoh saat pemilihan umum yang baru lalu, ada calon legeslatif yang cukup banyak mengeluarkan biaya dengan asumsi semua tim sukses adalah saudara dekatnya, dari paman, kemenakan, dan sepupu. Ternyata perhitungan teman tadi salah, sebab cuan tidak mengenal saudara, yang ada adalah mana yang lebih banyak atau besar memberi. Semua itu menembus batas ruang dan darah daging , yang selama ini diandalkan. Luka hati teman tadi sampai bersumpah untuk tidak akan mau lagi membantu saudara sekalipun itu paman atau kemenakan sendiri.

Ternyata Pemilu dapat membuat pilu, akibat kena kadal dari yang seharusnya sahabat kental.
Bentukan-bentukan persepsi di atas adalah merupakan residu sosial yang harus diwaspadai oleh mereka yang berkeinginan maju mencalonkan diri untuk jabatan apapun saat ini, yang prosesnya melibatkan pemilihan yang berbasis suara masa.

Pilkada ternyata akan meneruslestarikan perilaku ”sing penting entuk piro, sing dadi terserah sopo” (yang tpenting dapat berapa, yang jadi terserah siapa). Perilaku ini melanda pada lapisan akar rumput, walaupun di kelas menengah ditengarai ada juga walaupun sedikit malu-malu.

Mereka berpendapat bahwa para calon apapun dia, hanya datang kepada mereka saat memerlukan suara, setelah pemilihan usia, maka selesailah pula urusan dengan mereka. Anggapan yang ada di benak mereka, ”sebelum pemilihan meratappun jadi, setelah jadi tinggal pergi”. Tentu anggapan ini tidak seutuhnya benar, namun mereka menemukan contoh sudah terlalu banyak untuk menuju pada kesimpulan. Akibatnya terjadi baku tikam antara yang dipilih dan yang memilih. Mereka saling intai untuk menemukan kesempatan demi keuntungan.

Beberapa waktu lalu bahkan ada seorang penggiat demokrasi mengingatkan manakala masyarakat kita masih miskin dalam pengertian materi dan pendidikan; maka perilaku seperti ini akan terus ada. Namun asumsi itu tidak selamanya benar. Sebab, bisa jadi secara ukuran pendidikan formal cukup baik, namun perilaku “miskin” masih melekat sebagai budaya. Atau sebaliknya secara pendidikan ada pada level rendah, namun secara materi ada di atas rata-rata; ternyata perilakunya mengikuti hartanya.

Dengan kata lain, dengan berakhirnya pemilihan umum yang baru lalu ternyata menyisakan perilaku anomaly sosial pada masyarakat. Dan, ini menjadi modal kondisi yang harus diperhitungkan kepada mereka yang ada niat untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin di daerah ini. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini penulis mengingatkan kepada mereka yang berhasrat untuk maju kegelanggang pemilihan kepala daerah level manapun untuk selalu hati-hati dan waspada, serta berhitung cermat, karena di sana banyak orang baik tetapi tidak kurang banyak juga kadal.

Lebih berbahaya lagi sepertinya baik tetapi sebenarnya kadal yang siap mengadali anda. Selamat berjuang kawan hanya doa yang dapat kami bekalkan kepada kalian. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply