SIMBAH

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Dalam konsep Jawa, “Simbah” merupakan panggilan untuk nenek atau kakek yang sangat dihormati. Kata “Simbah” digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua atau leluhur yang sudah lanjut usia. Penggunaan kata “Simbah” mencerminkan rasa hormat, penghargaan, dan kelembutan kepada orang yang lebih tua, terutama dalam budaya Jawa yang kaya akan nilai-nilai tradisional dan adat istiadat.

Pada tataran konsep nilai-nilai tradisional Jawa, Simbah memiliki makna yang sangat dalam dan dihormati. Berikut adalah beberapa konsep Simbah dalam nilai-nilai tradisional Jawa yang bersumber dari literatur kuno:

Pertama, Kehormatan dan Penghormatan: Simbah merupakan simbol kebijaksanaan, pengalaman, dan kedalaman spiritual. Oleh karena itu, Simbah dihormati dan dipandang sebagai sumber pengetahuan, nasihat, dan kearifan.

Kedua, Keluarga dan Kebijaksanaan: Simbah sering dianggap sebagai pusat keluarga dan sumber kebijaksanaan dalam menghadapi berbagai masalah. Mereka memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga hubungan harmonis dalam keluarga.

Ketiga, Warisan Budaya: Simbah juga merupakan penjaga warisan budaya. Mereka sering menjadi pembawa tradisi, cerita-cerita nenek moyang, serta kearifan lokal yang turun-temurun.

Keempat, Pendidikan dan Pembelajaran: Simbah tidak hanya dihormati karena usianya yang lanjut, tetapi juga karena pengetahuan dan pengalaman hidup yang mereka miliki. Mereka menjadi guru bagi generasi muda, memberikan pelajaran tentang kehidupan, moral, dan nilai-nilai kehidupan.

Kelima, Kedekatan dengan Alam: Simbah juga sering dihubungkan dengan alam dan spiritualitas. Mereka dipandang memiliki koneksi yang dalam dengan alam dan dunia spiritual, serta mampu memberikan perlindungan dan berkah kepada keluarga dan masyarakat.

Meskipun ada perubahan dalam masyarakat jawa modern, konsep Simbah masih tetap relevan dan dihormati dalam budaya Jawa. Mereka tetap dianggap sebagai tokoh yang bijaksana, berpengalaman, dan dihormati oleh masyarakat. Oleh sebab itu tokoh simbah masih sering diminta nasehat, arahan, dan restu bagi para generasi penerus. Beberapa pesan simbah yang masih relevan sampai hari ini diantaranya adalah:

…. “Ingatlah selalu untuk berbuat baik kepada semua orang, jaga sikap, dan lakukanlah yang terbaik dalam segala hal.”…..

Pesan etika dan moral ini tampaknya sekarang sudah mulai memudar; kita sudah sangat jarang melihat dimasyarakat, terutama pada tataran sikap. Banyak mereka yang sudah merasa sukses, merasa tidak perlu sowan kepada simbah dalam hal ini sebagai figure orang yang dituakan, bahkan mungkin berjasa; untuk sekedar datang menyampaikan undangan dari suatu perhelatan. Mereka merasa cukup diwakilkan dengan selembar kertas undangan, atau bahkan pesan melalui piranti sosial; itu sudah cukup. Tampaknya tataran etika sudah mulai tergerus, dan ini melanda semua lapisan masyarakat, bahkan yang bergelar maha guru-pun tidak terkecuali.

…….”Jangan lupakan akar budaya dan tradisi nenek moyang kita. Itulah yang membuat kita tetap kuat dan bersatu sebagai satu keluarga.”….

Pesan inipun sudah tidak diingat lagi karena sikap individualitas yang melanda kehidupan saat ini begitu deras. Bahkan rasa kekeluargaan sudah luntur hanya karena jabatan dan cuan. Betapa banyak diantara kita yang sudah tidak bisa lagi sungkem dengan orang tua. Adat ketimuran sungkem dan atau cium tangan, tidak banyak lagi generasi penerus yang melakukan apalagi paham akan filosofinya.

……”Hidup ini penuh dengan cobaan dan ujian. Tetaplah bersyukur atas segala yang ada dan selalu bersabar dalam menghadapi setiap masalah.”….

Nasehat inipun sudah banyak diabaikan, banyak diantara kita inginnya serba cepat, instant. Prinsip yang ada kalau bisa segera kenapa nanti, kalau bisa beli kenapa harus repot. Prinsip ini juga melanda mereka yang berpendidikan tinggi; banyak indikasi mahasiswa membeli karya tulis ilmiah hanya karena alasan yang sangat sepele. Padahal secara kalkulatif mereka rugi dua kali, pertama rugi materi, kedua mereka membeli kebodohan sendiri.

Contoh lainnya yang tidak kalah tajamnya dalam bernasehat diantaranya ialah:

…”Kebaikan hati dan kasih sayang kepada sesama adalah hal yang paling utama. Jadilah orang yang selalu siap membantu dan peduli terhadap orang lain.”…..

……”Jangan pernah lupa berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Kekuatan doa akan membawa kita melewati segala cobaan dan kesulitan dalam hidup.”…

Sayangnya simbah sekarang banyak yang bergeser dari makna hakiki di atas. Tidak jarang status simbah mengalami gradasi yang luar biasa; sehingga sikap yang ditampilkan berbanding terbalik dengan yang seharusnya. Semula berperan sebagai penasehat, berubah menjadi penjahat. Ada nasehat dari bahasa Jawa Kuno yang mengatakan perubahan itu menjadikan jika berubah menjadi …. “sepa sepi lir sepah samun “… ditemukan dalam buku Wedhatama, karya dari Arya Adhipati Mangkunegara ke-IV dari Surakarta Hadiningrat, yang makna terjemahan aslinya yaitu: sepa = ora ana rasane (tidak ada rasanya = hambar). sepi = sepi ora ana apa-apane (tidak ada apa-apa nya). llir = kaya (seperti).  sepah = ampas (ampas sisa). samun = sepi banget (sunyi sekali). Arti bebasnya bahwa simbah sudah tidak memberi makna apa-apa pada orang lain dan lingkungan, ibarat sudah menjadi ampas yang layaknya hanya untuk dibuang.

Kehidupan sosial memang kejam, dan tidak bisa dihindari kita akan menjadi tua, dan pada waktunya akan dipanggil “simbah” dan atau sebutan lainnya. Mari kita siapkan diri untuk menjadi “simbah sejati” yang bermanfaat bagi negeri walau disisa umur yang tidak pasti. Ingat pesan orang terdahulu….”setiap perjalanan hidup adalah sebuah cerita…tetapi….tidak semua jalan kehidupan bisa diceritakan”……

Salam Waras. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply