Kerukunan yang Membedakan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada masyarakat jawa dikenal adagium “rukun agawe santoso” adalah salah satu pepatah atau ajaran yang secara harfiah berarti: “agawe santoso” sama dengan membuat kuat. Sedangkan “Rukun” memiliki arti kesatuan atau persatuan yang damai. Jadi, “Rukun Agawe Santoso” dapat diartikan sebagai kesatuan atau persatuan untuk mencapai kedamaian atau kebahagiaan. Ini mencerminkan nilai-nilai harmoni, persatuan, dan kerukunan yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa. Pepatah ini mengajarkan pentingnya hidup dalam keselarasan dan kerukunan dengan sesama untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan bersama.
Oleh sebab itu dalam konteks filsafat manusia ada aliran yang berpendapat bahwa jodoh itu adalah “ketidaksamaan”. Contohnya kaki kiri itu jodohnya kaki kanan. Kalau kiri semua atau kanan semua, maka kaki itu tidak jodoh. Dengan kata lain aliran ini berpendapat “jodoh adalah ketidaksamaan”. Siang jodohnya malam, senang jodohnya susah; maka jika kita ingin memahami bagaimana hakekat dari hadirnya ketidaksamaan yang membuat harmoni, disanalah letak kuasa keilahian. Kesimpulan sementara yang dapat kita tarik ialah, jika “jodoh itu adalah ketidaksamaan”, maka pada ketidaksamaan itulah ada hamoni.
Bagaimana kenyataan itu terjadi dalam masyarakat, yang ada ternyata tidak seindah dalam teori di atas. Kita paling sulit memahami bahwa ketidaksamaan itu adalah sunatullah. Ini terbukti ada pemuka kaum yang dengan mudah mengeluarkan ucapan yang tidak sama dengan keyakinannya adalah kafir. Menjadi lebih miris lagi mengatakan bahwa yang benar itu hanya miliknya. Beliau lupa jika angka Sembilan dilihat dari lawan arah yang berbeda menjadi angka Enam. Jika kita simpulkan angkanya yang salah, tentu itu salah karena angkanya sama; jika kita katakan mata kita yang salah juga salah karena dengan mata yang samapun perbedaan angka tadi nyata jika kita melihatnya dari sisi yang berbeda.
Perbedaan perspektif seperti inilah yang sekarang sedang tumbuh subur; namun sayangnya tidak disertai tumbuhnya kesadaran akan adanya perbedaan, justru yang ada pemaksaan pendapat. Sebabnya tentu bermacam-macam, salah satu diantaranya adalah tingkat pendidikan yang tidak equivalent dengan kematangan berfikir, serta kesiapan untuk menerima karunia keilahian dalam memahami hakekat dari suatu sebab.
Manakala kita mampu memahami hakekat dari suatu peristiwa yang tergelar di muka bumi ini dengan jernih; maka kita tidak akan dengan mudah serta merta menyimpulkan bahwa perbedaan itu adalah dosa. Karena perbedaan itu memang diciptakan untuk memberi garis batas diantara sesuatu dengan sesuatu lainnya. Dengan garis batas tadi akan tampak secara tegas garis pisah sekaligus garis pilah dan pilih. Tinggal penetapan keputusan akan jatuhnya pilihan, itu tergantung kepada individu pemilihnya. Tidak salah jika pilihan itu bersifat personal; sebab di sana ada kebebasan untuk setiap individu menetapkan pilihan dan atau posisinya. Bahkan memilih untuk tidak memilih juga merupakan suatu pilihan, dan itu tidak salah.
Oleh sebab itu dalam ajaran jawa dikenal kata sareh, yang maknanya adalah berkaitan dengan sifat atau keadaan seseorang yang tenang, sabar, atau tidak terburu-buru. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mampu mengendalikan emosinya, tidak mudah marah, dan menghadapi situasi dengan kepala dingin.
Sayangnya sekarang orang yang masuk kategori sareh itu sudah menjadi barang langka, yang ada sekarang adalah orang yang “grusa-grusu” atau makna bebasnya berarti tergesa-gesa atau terburu-buru. Istilah ini menggambarkan perilaku atau tindakan yang dilakukan dengan cepat dan tanpa perencanaan yang matang, sering kali karena terburu-buru atau panik. Kata ini bisa digunakan dalam berbagai konteks untuk menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan terburu-buru dan kurang hati-hati, sehingga berpotensi menghasilkan hasil yang kurang baik atau bahkan menimbulkan masalah.
Semoga dengan datangnya hari jumat penuh barokah ini dapat mengingatkan kita semua bahwa hidup itu akan indah jika ada perbedaan, karena dengan perbedaan kita akan mencapai kesepakatan, dan kebulatan akan kesepakatan itulah yang disebut harmoni. Suatu areal jika tumbuh satu jenis tumbuhan bunga saja, maka itu layak disebut kebun bunga; namun jika ditumbuhi oleh beragam bunga warna-warni yang menjadikan indah, maka itu layak disebut taman bunga. Tinggal bagaimana kita akan menghiasi hidup ini, apakah cukup sebagai kebun, atau kita menginginkan taman. Kedua pilihan itu tentu saja memiliki konsekwensi-konsekwensi yang satu dengan lainnya berbeda dalam menyikapi.
Salam Waras (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!