Dewi Pilkadawati
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Cerita pewayangan tentang Baratayudha memang menarik dan tidak habis-habisnya digandrungi bagi mereka yang mengerti dan paham akan cerita karya Walmiki itu. Namun kreativitas penikmat cerita ini juga tinggi. Salah satu di antaranya adalah mempertanyakan setelah Lakon Pandawa Moksa, cerita berikutnya apa. Di sana mulai kreatifitas muncul, terutama para Dalang Wayang Kulit untuk membuat lakon gubahan sendiri atau dikenal dengan “Carangan”. Tulisan ini juga ingin menyajikan satu carangan cerita lanjutan dengan judul di atas, soal autentifikasi , orsinilitas, atau mungkin juga pengawuran; kita abaikan dulu, karena jika ditelaah hubungan antara Mahabarata dengan judul di atas tidak ada hubungan sama sekali, bahkan mungkin ngawur.
Syahdan pada suatu perdikan negeri sempalan bekas kerajaan besar Hastinapura masyarakatnya sedang dihadapkan pada tatacara pemilihan Kepala Perdikan. Kalau masa kerajaan besar dulu Kepala Perdikan selalu ditunjuk “Pusat” dengan berbagai teknik; ada yang ditunjuk langsung, ada yang melalui kolusi dengan para penggawa kerajaan, dan masih banyak lagi cara yang ditempuh. Sementara sekarang tidak ada orang pusat kerajaan yang peduli, karena merekapun sibuk korupsi masing-masing. Bahkan saking rakusnya “Celana Dalam Wanita” oleh-oleh dari pekerja migran yang pahlawan devisa-pun mereka korupsi. Konon makanan ringan Coklat yang harganya serepes juga mereka embat dengan cara menaikkan harga menjadi lima kepeng. Dan, ujung-ujungnya mereka badog sendiri.
Jika masa “kuno” orang akan menjadi kepala, termasuk kepala perdikan harus mencari “Wahyu” sebagai mandat langit guna pengesahan dan membangun kekuatan spiritual. Dengan cara bertapa di gua atau hutan untuk dapat wangsit, lakunya puasa menutup semua hawa nafsu. Kemudian wahyu berubah menjadi restu pusat sebagai pemegang kendali wilayah perdikan. Sementara sekarang semua berubah menjadi kuasa rakyat, sementara rakyatnya memerlukan “kayu bakar” agar dapur mereka ngebul. Berarti siapapun calon kepala perdikan harus punya kepeng untuk membeli bahan bakar dan dibagikan kepada kawulo alit. Terus pertanyaannya dari mana kepeng yang sebanyak itu didapat, karena itu diperlukan sumber kepeng atau paling tidak adalah dermawan yang mau mengucurkan sedikit kepengnya, walau tentu tidak ada Dermawan Syurga kalau urusan beginian.
Untung di Perdikan itu ada seorang wanita dermawanwati bernama Ibu Dewi Pilkadawati yang menjadi saudagar, sekaligus memiliki kebon gula yang sangat luas. Beliau dikenal seorang dermawanwati, dan sangat open (jawa: perhatian) dengan pendidikan katanya, dan juga pada orang terlantar. Tidak kalah pentingnya open dengan calon kepala perdikan; tentu dengan konsesi-konsesi tertentu, yang semua itu dibicarakan di bawah meja; tidak seorangpun yang mengetahui kecuali Tuhan.
Sekarang para calon kepala perdikan sedang pusing tujuh keliling karena banyak calon yang berminat, tentu persaingan makin ketat, entah apa penyebabnya. Para calon harus mempu meyakinkan para kawulo alit sebagai orang yang akan memilih, dan konon jumlahnya sekarang cukup besar. Para calon juga harus selalu pasang mata-mata untuk mematamatai calon lain berkaitan dengan strategi pemenangan. Berarti harus menyiapkan team sukses yang tangguh, dan itu semua tidak ada yang gratis. Terakhir harus mampu meyakinkan Ibu Dewi Pilkadawati bahwa dirinya banyak memiliki pendukung dan mampu memberikan konsesi kepada ibu agar pabriknya tetap ngebul asapnya, pajaknya bisa terjaga dan masih banyak lagi tentunya.
Menariknya, para kawula alit sekarang sudah pada cerdas; mereka adalah para pemain sandiwara yang gamben alias lihai. Semua bisa dilakonkan dengan nyaris sempurna; bila ada calon kepala perdikan mendatangi, mereka pasang aksi seolah pendukung beratnya, setelah dikasih kepeng mereka tidak segan berjanji siap membantu. Demikian seterusnya manakala ada calon lain yang datang, dengan sikap sempurna yang sama mereka lakukan, dan, bantuan kepeng datang lagi. Bahkan diantara mereka ada yang teriak “enak jaman sak iki to……ngapusi wae entuk duwit”…. Terjemahan bebasnya enak jaman sekarang…berbohong saja dapat uang.
Lalu bagaimana cara Ibu Dewi Pilkadawati mencari kepeng guna menyediakan maunya para calon kepala perdikan. Beliau cukup menaikkan setengah margin harga produknya yang merupakan kebutuhan utama sebagian besar para kawulo alit; maka selesailah urusan semuanya. Dengan kata lain beliau menterjemahkan hukum sosial “dari kita untuk kita” dengan sempurna. Beliau beramal tidak harus dengan bersusah payah menghitung nisabnya harta; tetapi dengan kecerdasan model emak-emak saat anak-anaknya meminta uang jajan saat mau berangkat sekolah; semua selesai nyaris sempurna.
Semoga Perdikan yang akan melakukan pemilihan kepala ini mendapatkan pimpinan sesuai tuntutan jamannya. Semoga Tuhan menunjukkan jalan terang dan menuntun mereka yang dikodratkan untuk menjadi pemimpin terbaik dengan tidak harus emosian apalagi temperamental. Tancep Kayon Gunungan Keluar tanda wayang sudah berakhir.
Salam Waras (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!