
Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Masa kanak-kanak disekitar tahun 1960-an, kami memiliki kegemaran bersama untuk berucap dengan membalikkan kata; sebagai contoh, Saya diucapkan ayas, makan diucapkan nakam, dan seterusnya. Model beginian segenerasi penulis tentu masih ingat bagaimana dalam berucap harus berfikir baru berucap, karena jika tidak, maka ucapannya menjadi tidak bermakna dan tidak dipahami lawan bicara. Konon menurut informasi yang tidak tertulis, model bicara begini bermula dari masyarakat satu kota di Jawa Timur, dan sampai hari ini bahasa itu dipakai jika untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia.
Kita tinggalkan dahulu membalik baca, persoalannya ialah ada pada “Berfikir dahulu sebelum berucap”. Tampaknya hal seperti ini sudah menjadi barang langka, yang berkembang justru bicara dulu, mikirnya belakangan. Hal serupa ini melanda siapapun, tidak peduli status sosial, tingkat pendidikan, kaya-miskin, pimpinan atau bawahan; bisa terjadi kapanpun dimanapun. Bahkan sekelas ilmuwan bergelar Guru Besar-pun masih ada yang berperilaku begini, akibatnya dalam mengambil keputusan didasari atas keemosionalan, tentu saja akibatnya fatal; bahkan berdampak kemana-mana.
Kondisi ini semakin menjadi-jadi saat tahun-tahun politik seperti saat ini, karena seolah-olah mendapatkan lahan subur untuk mikir belakangan, berucap duluan. Anehnya jika yang diucapkan itu tidak benar, dengan sangat ringan memanggil teman-teman jurnalis untuk klarifikasi, paling jauh meminta maaf; semua persoalan dianggap selesai. Jika cara itu tidak mempan, bisa juga menggunakan cara tradisional yaitu menciderai lawan atau menghilangkan dengan caranya.
Kondisi asal bicara tampaknya saat ini mendapat angin segar, apalagi peran seseorang atau golongan menjadi semakin tidak jelas. Lawan bicara bisa merangkap sekaligus teman dan musuh pada waktu yang bersamaan. Bisa dibayangkan pada saat berjabat tangan mulut tersenyum, tetapi hati berbicara kapan orang ini layak untuk dibinasakan.
Maka tidak aneh jika saat pagi bicara A, tetapi saat sore bicaranya B; orang Jawa punya pepatah “Esuk dele sore tempe” terjemahannya pagi masih kedelai, sore sudah jadi tempe; maksudnya orang dengan mudah plin-plan tanpa pendirian.
Bayangkan jika perilaku seperti itu ada pada tataran elite negeri ini, tentu saja yang terjadi rakyat menjadi bingung.
Belum sempurna melaksanakan apa yang diperintahkan, dengan cepat sesaat sudah berubah, dan itu dilakukan dengan seolah tanpa beban. Apalagi pembenarannya berlindung pada atas nama demokrasi, maka seolah semua semakin sempurna, karena hak bicara atau mengeluarkan pendapat dilindungi undang-undang.
Hakekat perbedaan pendapat bukan pada bebas bicara tanpa dipikir, akan tetapi perbedaan pikiran yang dikemukakan dengan pendapat. Keduanya sangat berbeda secara esensial, sebab perbedaan pendapat yang muncul disebabkan dari perbedaan pikir; adalah proses dialogis pikir yang terus menerus bersifat dinamis, sebelum mulut bicara. Sangat berbeda dengan bicara dulu kemudian baru dipikir.
Kita tidak perlu menyalahkan jaman, atau dengan cepat tanpa mikir berucap menggunakan kalimat kunci “Dunia mendekati akhir”. Sebelum ke sana sebaiknya kita berfikir ulang adakah yang salah di negeri ini. Jika ada pada bagian mana, kemudian upaya apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya. Jika upaya semua sudah kita lakukan, langkah terakhir beralas doa baru kita serahkan kepada Sang Maha Pemilik.
Proses berfikir adalah anugerah dari Sang Pencipta yang hanya diberikan kepada mahluk-Nya bernama manusia, tidak kepada mahluk lain. Upaya manusia untuk membuat intelegensi buatan, mungkin saja berhasil, tetapi ada satu hal yang tidak tersentuh adalah “rasa” dalam pengertian supranatural. Tali penghubung kepada Sang Maha Pencipta ini tidak mungkin untuk dibuat manusia, karena hal ini berkaitan dengan “hidayah”
“Among Roso” adalah laku kontempletif yang hanya dimiliki oleh manusia, untuk sampai pada tingkat itu tentu melalui proses panjang guna mencapai kesempurnaan yang tidak sempurna, karena kesempurnaan itu miliki Yang Maha Sempurna. (SJ)
Zamzam Abdul Haq, Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara 1 di Kejurnas Karate Inkado Open 2023
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Zamzam Abdul Haq, mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Malahayati Bandar Lampung meraih juara pertama pada ajang Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Karate Inkado Open tahun 2023 pada 19 Agustus di Gelanggang Remaja Jakarta Utara.
Atas kemampuan dan ketekunan, Zamzam mampu mengungguli para pesaingnya dan tampil sebagai yang terbaik di kategori yang dilombakan. Ini merupakan kebanggaan bagi Universitas Malahayati dapat melahirkan atlet berbakat seperti Zamzam Abdul Haq.
Wakil Rektor 1 Bidang Akademik, Muhammad, S. Kom., MM, memberikan ucapan selamat atas pencapaian yang diraih Zamzam Abdul Haq. “Keberhasilan Zamzam Abdul Haq tidak hanya menjadi kebanggaannya sendiri, tetapi juga menjadi kebanggaan Universitas Malahayati. Ini adalah cermin dari dedikasi dan komitmen kami dalam mendukung mahasiswa untuk mencapai prestasi yang gemilang,” ucap Warek 1 Muhammad.
Warek 1 Muhammad menuturkan, dengan raihan prestasi ini, Zamzam Abdul Haq telah membuktikan bahwa kerja keras, tekad, dan dedikasi yang tinggi mampu membawa dirinya meraih puncak kesuksesan. Prestasi ini diharapkan akan memotivasi dan menginspirasi mahasiswa lainnya di Universitas Malahayati untuk berusaha meraih prestasi serupa di berbagai bidang.
“Saya ucapkan selamat juga kepada Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan, Dekan Ekonomi dan Manajemen, dan Kaprodi Manajemen yang telah berhasil memberikan pembinaan kepada mahasiswanya sehingga banyak melahirkan mahasiswa berprestasi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen,” ucap Warek 1 Muhammad. (451/**)
Merdeka
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Perayaan hari ulang tahun kemerdekaan negeri tercinta ini baru saja usai. Sorak sorai kegembiraan dan riuhnya acara baru juga selesai. Sementara itu ada seorang calon anggota legislatif mengirimkan pesan ke melalui gawai : “Merdeka iku apa, to” (merdeka itu apa sih).
Sekilas kalimat itu biasa-biasa saja, bahkan cenderung kalimat lawakan atau guyon. Namun, bagi mereka yang sudah mendalami olah rasa, kalimat itu bermakna sangat dalam, mendasar, serta memiliki perspektif psikologis yang berspektrum luas.
Kalimat itu bukan pertanyaan maupun pernyataan, tetapi wujud kegelisahan berpikir dari seseorang yang sangat paham dengan kehidupan. Kalimat itu untuk menggambarkan tidak sinkronnya antara harapan dan kenyataan. Respons kontemplatif seperti ini mengingatkan kita pada nasihat-nasihat atau pitutur luhur dari para pendahulu kepada kita semua sebagai generasi penerus. Salah satu bunyi nasihat itu adalah “Yen seneng kuwi kudu bisa nyenengake” (Kalau kita sedang senang harus juga bisa menyenangkan). Tentu bahasan kalimat ini memerlukan kajian tersendiri, dan waktu khusus untuk membahasnya.
Kata “merdeka” jika dimaknai sebagai terbebasnya seseorang atau kelompok dari keterpaksaan melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena intimidasi, itu adalah makna normatif, tetapi tidak substantif. Bisa jadi antara substantif dan normatif tidak klop. Ada sesuatu yang normatif tidak substantif, ada yang tidak normatif tetapi substantif. Kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan yang normatif- substabtif. Maksudnya, kemerdekaan yang memerdekakan tindakan dan pikiran.
Jika kerangka ini yang dipakai, maka penjajahan oleh penjajah pada masa lalu itu dapat kita golongan semasa penjajahan Belanda adalah penjajahan normatif. Sebab semua norma Belanda ditransformasikan secara paksa ke warga jajahannya yang oleh mereka diberi nama Hindia Belanda. Mereka yang menamakan diri warga Belanda membangun narasi dan pemikiran (bahkan cuci otak) bahwa mereka adalah kelas satu, sementara yang bukan Belanda adalah kelas dua. Untuk meneguhkannya diberi label inlander.
Penjajahan “otak” inilah yang sampai beberapa generasi masih terbangun stigma bahwa orang asing (baca: kulit putih) itu superior, kulit berwarna itu inferior. Oleh karena itu, ucapan “ndoro tuan” adalah lambang supremasi penjajah kepada yang dijajah saat itu.
Sementara model penjajahan Jepang normatif dan substantif berjalan bersamaan. Maksudnya, baik norma maupun kebendaan apapun, semua di bawah otoritas penjajah. Sampai anak dan istri kita pun jika mereka menghendaki, harus diserahkan tanpa syarat apapun. Penjungkirbalikan normatif dan substantif pada masa itu adalah sesuatu yang lumrah untuk diperbuat dari penjajah kepada yang terjajah. Karena prinsip yang dianut adalah mereka yang menang dapat berbuat apa saja kepada yang kalah.
Namun secara hakiki sebenarnya penjajah baik Belanda maupun Jepang adalah penjajah normatif-substantif kepada bangsa ini. Mereka merusak bukan hanya fisik negeri ini tetapi merusak sistem nilai yang dianut, diyakini, dan dijalankan oleh seluruh anak negeri. Oleh sebab itu semangat untuk mengusir penjajah yang dimiliki oleh para pendahulu; adalah karena mereka diikat oleh nilai-nilai normatif-substantif tadi.
Bagaimana dengan saat ini ? Saat ini kita “terjajah” oleh kita sendiri. Dengan kata lain, semua yang kita miliki baik secara personal, maupun kolegial, dapat berubah menjadi penjajah bagi diri dan bangsa kita sendiri. Penjajahan pemikiran yang dilakukan oleh para penjajah masa lalu itu menjadikan peta kognitif yang kita miliki sampai saat ini. Masih mengandung unsur berupa kesan ingin “menjajah” pihak di luar diri kita. Cara yang dilakukan bisa bermacam-macam, dari yang paling santun sampai yang paling vulgar.
Sifat keterjajahan pun masih belum seluruhnya hilang. Di antaranya anggapan bahwa orang asing (baca: Barat) itu lebih dari kita. Padahal, tidak kurang banyaknya jumlah orang pandai yang melampaui capaiannya di tingkat dunia yang dilakukan oleh bangsa kita.
Kesan inferior ini terkadang muncul dari akibat salah sistemnya dalam penyelenggaraan pendidikan kita, yaitu kurang mengenalkan keberhasilan bangsa sendiri kepada peserta didik. Rasa patriotisme diterjemahkan hanya dengan satu kata “melawan” bangsa asing secara fisik. Padahal sejatinya patriotism jauh lebih luas dari itu. Satu di antaranya adalah menyejajarkan bangsa ini dengan bangsa-bangsa lain di dunia melalui prestasi dan keberhasilan. (SJ)
Mahasiswa Universitas Malahayati, Nathania Raih Prestasi di Ajang International Contest Miss Ultra Universe 2023
Dalam ajang ini juga Nathania sukses menyabet gelar : The Best Face, Miss Favorite, dan Miss Social Media
“Tentunya merasa sangat bangga dan bersyukur dapat mengharumkan nama Indonesia serta Universitas Malahayati di kancah internasional,” ungkap Natahania.
“Dan saya berharap melalui jejak prestasi saya ini, dapat menjadi motivasi & semangat bagi Mahasiswa/i lainnya untuk dapat terus mengembangkan potensi diri baik dari segi akademik maupun non akademik,” tandasnya. (gil/humasmalahayatinews)
UPT Balai Bahasa Universitas Malahayati Undang Ahli Bahasa Diaspora Diskusi Komparasi Kurikulum
Didalam kegiatan ini yang menjadi focus pembahasan yaitu bagaimana kurikulum pengajaran Bahasa Inggris pada level perguruan tinggi di tiga Negara yaitu Indonesia, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Hal ini disampaikan karena Kristian berpengalaman mengajar di tiga Negara tersebut. Di Amerika Serikat, Kristian pernah menjadi pengajar di Montana University dan ia pernah belajar di Arizona University. Di Arab Saudi saat ini ia aktif di kampus Prince Satam bin Abdulaziz University tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga coordinator Teacher Development dan sebagai Testing Manager. Kemudian Kristian juga berpengalaman mengajar di beberapa kampus negeri maupun swasta di Indonesia. Dengan pengalaman tersebut sudah tidak perlu diragukan lagi kompetensi dan pengetahuan yang dimiliki.
Kepala UPT Balai Bahasa Universitas Malahayati, Muhammad Rudy M.Pd. mengungkapkan kurikulum yang sedang berlaku di instansi yang ia pimpin saat ini merupakan kurikulum tahun2007 yang disempurnakan di tahun 2018. Namun perkembangan pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat menuntut pembaruan dan penyesuaian agar proses pembelajaran dan output bisa menjawab kebutuhan mahasiswa di masa yang akan datang. Para pengajar UPT Balai Bahasa Universitas Malahayati diwajibkan mengikuti kegiatan ini agar informasi yang diperoleh dari seminar ini bisa lebih mudah cepat dan mudah diterapkan.
Rekomendasi yang dihasilkan dari seminar ini yaitu perhatian lebih mesti diberikan kepada buku teks bahan ajar yang sudah tersedia belum tentu bisa semuanya diambil. Buku ajar meskipun berasal dari penerbit ternama sering ada bagian yang memang perlu disesuaikan dengan kebutuhan profesi mahasiswa dimasa mendatang dan kemampuan mahasiswa yang diajar. Ia menceritakan beberapa materi ajar di Arab Saudi yang diimpor dari penerbit terkenal tidak semuanya bisa digunakan. Para pengajar sering membuat bahan ajar tambahan atau mengganti dari sumber lain. Hal ini dilakukan agar mahasiswa belajar sesuai fase dan kebutuhan.
Ekpektasi kampus yaitu Universitas Malahayati juga harus disingkronkan dengan tujuan pembelajaran, proses, dan pengujian. Jangan sampai terjadi pembelajaran yang dijalankan tidak sesuai dengan pengajaran. Kristian mencontohkan saat tujuan dan proses pembelajaran agar mahasiswa bisa menulis paragraph maka ujianpun harus berupa ujian menulis paragraph, bukan menguji pemahaman membaca paragraph atau teori menulis. Oleh karenanya komunikasi yang intens harus dijalankan dengan baik.
Rija Dwiono, M.Pd. salah satu pengajar program matrikulasi menyampaikan, ia akan terus memperhatikan materi yang ia ajar dan mempersiapkan bahan ajar semaksimal mungkin agar tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan maksimal. Ia menambahkan ia akan semaksimal mungkin mempraktikan penggunaan Bahasa Inggris dengan cara pengulangan dengan frekuensi praktik yang lebih banyak. Hal ini diharapkan bisa membuat mahasiswa terbiasa menggunakan Bahasa Inggris, seperti yang disarankan Kristian dimana pembelajaran sebaiknya tiga sampai empat kali dalam sepekan. (gil/humasmalahayatinews)
Percepat Prodi Dokter Gigi, Rektor Universitas Malahayati Tinjau Lab Preklinik Poltekes Tanjung Karang
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati Bandarlampung Dr. Achmad Farich, dr., MM meninjau laboratorium preklinik pada jurusan teknik gigi Poltekes Tanjung Karang, Jumat (18/8/2023).
Kegiatan ini dalam rangka percepatan pembukaan program studi kedokteran gigi di Universitas Malahayati Bandarlampung. Kunjungan rektor didampingi oleh Dr. Eng. Rina Febrina, ST., MT (Wakil Rektor III), Andoko M.Kes (Ka.Lab. Universitas Malahayati), Dr. drg. Torry Duet Irianto, M.M., M.Kes, dan Emil Tanhar, S.Kom (Ka. Humas)
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung Pimpin Upacara HUT RI ke-78
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Dalam rangka dirgahayu Republik Indonesia yang ke-78, Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr., MM, menjadi Inspektur Upacara di Halaman Rektorat kampus, Kamis (17/8/223).
Rektor Achmad Farich menegaskan pentingnya semangat persatuan dan gotong royong yang telah mewarnai perjalanan Indonesia selama 78 tahun. Ia juga menekankan peran penting generasi muda dalam meneruskan tongkat estafet pembangunan, ilmu pengetahuan, dan inovasi demi keberlangsungan bangsa dan negara.
“Universitas Malahayati selama ini mengisi kemerdekaan dengan turut berperan aktif dalam membentuk karakter generasi muda yang cinta tanah air, berpendidikan, berwawasan kebangsaan, religius, dan siap berkontribusi dalam berbagai bidang akademik dan keilmuan,” ucap rektor.
Dalam kesempatan ini, Rektor Achmad Farich menyampaikan ucapan selamat dirgahayu Republik Indonesia ke-78. Semoga semangat kemerdekaan terus membara dan menginspirasi setiap langkah perjalanan bangsa ke arah kemajuan dan kejayaan.
Upacara peringatan HUT RI ke-78 di Universitas Malahayati turut dihadiri oleh para pimpinan fakultas, dosen, karyawan, serta mahasiswa.(451/**)
Yudisium Fakultas Teknik, Rektor Universitas Malahayati: Manfaatkan Teknologi Informasi untuk Akses Peluang Kerja
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dekan Fakultas Teknik Universitas Malahayati Bandar Lampung Ir. Yan Juansyah, DEA mengukuhkan 21 Mahasiswa dalam acara yudisium periode 34 di Gedung MCC, Rabu (16/7/2023).
21 Mahasiswa yang dikukuhkan resmi menyandang gelar Sarjana Teknik (ST).
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Teknik Universitas Malahayati Bandar Lampung Ir. Yan Juansyah, DEA mengatakan yudisium adalah agenda paling penting bagi mahasiswa sebagai momen pengukuhan pada mahasiswa setelah menempuh studi selama ini yang akhirnya menyandang gelar sarjana.
“Saya mewakili para dosen fakultas teknik mengucapkan selamat dan sukses kepada seluruh mahasiswa yudisium yang telah dikukuhkan pada hari ini, saya berharap hari ini menjadi bekal untuk memperluas manfaat di luar baik yang ingin terjun ke dunia kerja atau melanjutkan pendidikan ke jenjang S2,” ucap dekan.
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung Dr. Achmad Farich, dr., MM yang turut hadir mengatakan, tuntutan di luar lebih besar karena menghadapi tuntutan dunia kerja dan lingkungan sosial masyarakat, sehingga banyak hal yang lulusan harus persiapkan, tapi jangan takut lulusan akan bisa menghadapi tantangan tersebut apabila lulusan terus menjalin kerja sama yang baik sesama alumni, dengan program studi, dan dengan pihak universitas untuk terus mendapatkan informasi.
“Manfaatkan semua fasilitas informasi baik sosial media, jaringan, website untuk memudahkan pilihan anda setelah ini akan memilih kerja di mana.
Anda tidak boleh puas hanya belajar cukup di sini (kampus), tapi terus belajar sepanjang hayat untuk meningkatkan kemampuan diri,” pesan rektor.
Hadir juga dalam acara, Ketua Malahayati Career Center, Kaprodi Teknik Sipil, Kaprodi Teknik Lingkungan, Kaprodi Teknik Mesin, Kaprodi Teknik Industri, serta seluruh civitas pengajar Fakultas Teknik Universitas Malahayati Bandar Lampung. (451/**)
Universitas Malahayati Bandar Lampung Gelar Pertemuan Bersama Stakeholder Guna Tingkatkan Mutu Prodi S1 Kesehatan Masyarakat
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandar Lampung telah mengadakan kegiatan yang bertujuan meningkatkan mutu program studi sarjana Kesehatan Masyarakat (S1 Kesmas) melalui kolaborasi dengan AIPTKMI (Asosiasi Institusi Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia), IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia), stakeholder di lingkungan Provinsi Lampung, alumni dan civitas akademika Universitas Malahayati pada 14-15 Agustus 2023.
Pada hari pertama, narasumber dari AIPTKMI dan IAKMI telah diundang untuk membahas cara menyusun visi, misi, serta tujuan strategis program studi yang baik. Diskusi juga terfokus pada bagaimana meramu kurikulum Kesmas yang terintegrasi dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan turunan dari visi misi yang telah disusun.
Hari kedua, kegiatan melibatkan para stakeholder, termasuk Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, BKKBN Provinsi Lampung, kepala puskesmas di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Pesawaran, dan Kabupaten Lampung Selatan. Selain itu, turut hadir organisasi profesi kesmas seperti IAKMI Provinsi Lampung, PAKKI, PPPKMI, dan PAEI, serta mitra kegiatan tridarma lainnya, seperti RS Pertamina Bintang Amin, RS Abdul Muluk, RS A. Yani, Lapas Perempuan Bandar Lampung, PKBI serta para alumni, mahasiswa, dan dosen.
Kegiatan ini juga menjadi momentum penting bagi Prodi S1 Kesehatan Masyarakat untuk meluncurkan kurikulum Kesmas MBKM tahun 2023, sekaligus penandatanganan atau perpanjangan perjanjian kerja sama dengan mitra-mitra terkait.
Nurhalina Sari, M.K.M., Kaprodi Sarjana Kesehatan Masyarakat, mengharapkan bahwa kegiatan ini akan menjadi langkah konkret bagi program studi S1 Kesmas untuk meningkatkan mutu lulusannya, terutama di Provinsi Lampung. “Kehadiran para narasumber dan stakeholder diharapkan dapat memberikan wawasan yang berharga bagi pengembangan program studi S1 Kesmas di masa mendatang,” ucapnya. (451/**)
Program Studi Teknik Sipil Raih Juara di Ajang Civil Engineering Fair (CIEF) 2023
Devi Oktarina, S.T., M.T selaku Ka. Prodi Teknik Sipil Universitas Malahayati, mengungkapkan kebanggannya dengan prestasi yang diraih atas mahasiswanya ini.
“Selamat kepada para mahasiswa, semoga prestasi ini dapat mengharumkan nama Program Studi Teknik Sipil dan Universitas Malahayati,” ucapnya.
“Jadikan ini sebagai pemacu semangat untuk para mahasiswa lebih berperan aktif dalam mengikuti lomba-lomba tingkat nasional,” tutup Devi.
Selamat kepada Mahasiswa/i Teknik Sipil Universitas Malahayati yang berhasil raih juara.
Membaca Balik
Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Masa kanak-kanak disekitar tahun 1960-an, kami memiliki kegemaran bersama untuk berucap dengan membalikkan kata; sebagai contoh, Saya diucapkan ayas, makan diucapkan nakam, dan seterusnya. Model beginian segenerasi penulis tentu masih ingat bagaimana dalam berucap harus berfikir baru berucap, karena jika tidak, maka ucapannya menjadi tidak bermakna dan tidak dipahami lawan bicara. Konon menurut informasi yang tidak tertulis, model bicara begini bermula dari masyarakat satu kota di Jawa Timur, dan sampai hari ini bahasa itu dipakai jika untuk membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia.
Kita tinggalkan dahulu membalik baca, persoalannya ialah ada pada “Berfikir dahulu sebelum berucap”. Tampaknya hal seperti ini sudah menjadi barang langka, yang berkembang justru bicara dulu, mikirnya belakangan. Hal serupa ini melanda siapapun, tidak peduli status sosial, tingkat pendidikan, kaya-miskin, pimpinan atau bawahan; bisa terjadi kapanpun dimanapun. Bahkan sekelas ilmuwan bergelar Guru Besar-pun masih ada yang berperilaku begini, akibatnya dalam mengambil keputusan didasari atas keemosionalan, tentu saja akibatnya fatal; bahkan berdampak kemana-mana.
Kondisi ini semakin menjadi-jadi saat tahun-tahun politik seperti saat ini, karena seolah-olah mendapatkan lahan subur untuk mikir belakangan, berucap duluan. Anehnya jika yang diucapkan itu tidak benar, dengan sangat ringan memanggil teman-teman jurnalis untuk klarifikasi, paling jauh meminta maaf; semua persoalan dianggap selesai. Jika cara itu tidak mempan, bisa juga menggunakan cara tradisional yaitu menciderai lawan atau menghilangkan dengan caranya.
Kondisi asal bicara tampaknya saat ini mendapat angin segar, apalagi peran seseorang atau golongan menjadi semakin tidak jelas. Lawan bicara bisa merangkap sekaligus teman dan musuh pada waktu yang bersamaan. Bisa dibayangkan pada saat berjabat tangan mulut tersenyum, tetapi hati berbicara kapan orang ini layak untuk dibinasakan.
Maka tidak aneh jika saat pagi bicara A, tetapi saat sore bicaranya B; orang Jawa punya pepatah “Esuk dele sore tempe” terjemahannya pagi masih kedelai, sore sudah jadi tempe; maksudnya orang dengan mudah plin-plan tanpa pendirian.
Bayangkan jika perilaku seperti itu ada pada tataran elite negeri ini, tentu saja yang terjadi rakyat menjadi bingung.
Belum sempurna melaksanakan apa yang diperintahkan, dengan cepat sesaat sudah berubah, dan itu dilakukan dengan seolah tanpa beban. Apalagi pembenarannya berlindung pada atas nama demokrasi, maka seolah semua semakin sempurna, karena hak bicara atau mengeluarkan pendapat dilindungi undang-undang.
Hakekat perbedaan pendapat bukan pada bebas bicara tanpa dipikir, akan tetapi perbedaan pikiran yang dikemukakan dengan pendapat. Keduanya sangat berbeda secara esensial, sebab perbedaan pendapat yang muncul disebabkan dari perbedaan pikir; adalah proses dialogis pikir yang terus menerus bersifat dinamis, sebelum mulut bicara. Sangat berbeda dengan bicara dulu kemudian baru dipikir.
Kita tidak perlu menyalahkan jaman, atau dengan cepat tanpa mikir berucap menggunakan kalimat kunci “Dunia mendekati akhir”. Sebelum ke sana sebaiknya kita berfikir ulang adakah yang salah di negeri ini. Jika ada pada bagian mana, kemudian upaya apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya. Jika upaya semua sudah kita lakukan, langkah terakhir beralas doa baru kita serahkan kepada Sang Maha Pemilik.
Proses berfikir adalah anugerah dari Sang Pencipta yang hanya diberikan kepada mahluk-Nya bernama manusia, tidak kepada mahluk lain. Upaya manusia untuk membuat intelegensi buatan, mungkin saja berhasil, tetapi ada satu hal yang tidak tersentuh adalah “rasa” dalam pengertian supranatural. Tali penghubung kepada Sang Maha Pencipta ini tidak mungkin untuk dibuat manusia, karena hal ini berkaitan dengan “hidayah”
“Among Roso” adalah laku kontempletif yang hanya dimiliki oleh manusia, untuk sampai pada tingkat itu tentu melalui proses panjang guna mencapai kesempurnaan yang tidak sempurna, karena kesempurnaan itu miliki Yang Maha Sempurna. (SJ)