Merdeka
/0 Comments/in Opini/by m asyihinOleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Perayaan hari ulang tahun kemerdekaan negeri tercinta ini baru saja usai. Sorak sorai kegembiraan dan riuhnya acara baru juga selesai. Sementara itu ada seorang calon anggota legislatif mengirimkan pesan ke melalui gawai : “Merdeka iku apa, to” (merdeka itu apa sih).
Sekilas kalimat itu biasa-biasa saja, bahkan cenderung kalimat lawakan atau guyon. Namun, bagi mereka yang sudah mendalami olah rasa, kalimat itu bermakna sangat dalam, mendasar, serta memiliki perspektif psikologis yang berspektrum luas.
Kalimat itu bukan pertanyaan maupun pernyataan, tetapi wujud kegelisahan berpikir dari seseorang yang sangat paham dengan kehidupan. Kalimat itu untuk menggambarkan tidak sinkronnya antara harapan dan kenyataan. Respons kontemplatif seperti ini mengingatkan kita pada nasihat-nasihat atau pitutur luhur dari para pendahulu kepada kita semua sebagai generasi penerus. Salah satu bunyi nasihat itu adalah “Yen seneng kuwi kudu bisa nyenengake” (Kalau kita sedang senang harus juga bisa menyenangkan). Tentu bahasan kalimat ini memerlukan kajian tersendiri, dan waktu khusus untuk membahasnya.
Kata “merdeka” jika dimaknai sebagai terbebasnya seseorang atau kelompok dari keterpaksaan melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena intimidasi, itu adalah makna normatif, tetapi tidak substantif. Bisa jadi antara substantif dan normatif tidak klop. Ada sesuatu yang normatif tidak substantif, ada yang tidak normatif tetapi substantif. Kemerdekaan yang hakiki adalah kemerdekaan yang normatif- substabtif. Maksudnya, kemerdekaan yang memerdekakan tindakan dan pikiran.
Jika kerangka ini yang dipakai, maka penjajahan oleh penjajah pada masa lalu itu dapat kita golongan semasa penjajahan Belanda adalah penjajahan normatif. Sebab semua norma Belanda ditransformasikan secara paksa ke warga jajahannya yang oleh mereka diberi nama Hindia Belanda. Mereka yang menamakan diri warga Belanda membangun narasi dan pemikiran (bahkan cuci otak) bahwa mereka adalah kelas satu, sementara yang bukan Belanda adalah kelas dua. Untuk meneguhkannya diberi label inlander.
Penjajahan “otak” inilah yang sampai beberapa generasi masih terbangun stigma bahwa orang asing (baca: kulit putih) itu superior, kulit berwarna itu inferior. Oleh karena itu, ucapan “ndoro tuan” adalah lambang supremasi penjajah kepada yang dijajah saat itu.
Sementara model penjajahan Jepang normatif dan substantif berjalan bersamaan. Maksudnya, baik norma maupun kebendaan apapun, semua di bawah otoritas penjajah. Sampai anak dan istri kita pun jika mereka menghendaki, harus diserahkan tanpa syarat apapun. Penjungkirbalikan normatif dan substantif pada masa itu adalah sesuatu yang lumrah untuk diperbuat dari penjajah kepada yang terjajah. Karena prinsip yang dianut adalah mereka yang menang dapat berbuat apa saja kepada yang kalah.
Namun secara hakiki sebenarnya penjajah baik Belanda maupun Jepang adalah penjajah normatif-substantif kepada bangsa ini. Mereka merusak bukan hanya fisik negeri ini tetapi merusak sistem nilai yang dianut, diyakini, dan dijalankan oleh seluruh anak negeri. Oleh sebab itu semangat untuk mengusir penjajah yang dimiliki oleh para pendahulu; adalah karena mereka diikat oleh nilai-nilai normatif-substantif tadi.
Bagaimana dengan saat ini ? Saat ini kita “terjajah” oleh kita sendiri. Dengan kata lain, semua yang kita miliki baik secara personal, maupun kolegial, dapat berubah menjadi penjajah bagi diri dan bangsa kita sendiri. Penjajahan pemikiran yang dilakukan oleh para penjajah masa lalu itu menjadikan peta kognitif yang kita miliki sampai saat ini. Masih mengandung unsur berupa kesan ingin “menjajah” pihak di luar diri kita. Cara yang dilakukan bisa bermacam-macam, dari yang paling santun sampai yang paling vulgar.
Sifat keterjajahan pun masih belum seluruhnya hilang. Di antaranya anggapan bahwa orang asing (baca: Barat) itu lebih dari kita. Padahal, tidak kurang banyaknya jumlah orang pandai yang melampaui capaiannya di tingkat dunia yang dilakukan oleh bangsa kita.
Kesan inferior ini terkadang muncul dari akibat salah sistemnya dalam penyelenggaraan pendidikan kita, yaitu kurang mengenalkan keberhasilan bangsa sendiri kepada peserta didik. Rasa patriotisme diterjemahkan hanya dengan satu kata “melawan” bangsa asing secara fisik. Padahal sejatinya patriotism jauh lebih luas dari itu. Satu di antaranya adalah menyejajarkan bangsa ini dengan bangsa-bangsa lain di dunia melalui prestasi dan keberhasilan. (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!