Fakultas Hukum Universitas Malahayati Jalin Kerja Sama Strategis dengan PKBI Lampung

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam memperluas jejaring kolaborasi strategis dengan berbagai pihak. Kali ini, langkah tersebut diwujudkan melalui penandatanganan Nota Perjanjian Kerja Sama (MoA) dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Lampung. Kegiatan berlangsung di Hotel Kyria M2 Lampung, pada Kamis (21/8/2025).

Rombongan Fakultas Hukum yang dipimpin langsung oleh Dekan, Aditia Arief Firmanto, SH., MH., didampingi jajaran dosen, disambut hangat oleh Direktur PKBI Lampung, Muhammad Fajar Santoso, SH., MH., beserta timnya. Suasana penuh keakraban sekaligus semangat kolaborasi mewarnai jalannya acara.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati menegaskan bahwa kerja sama ini menjadi langkah konkret dalam mewujudkan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada aspek pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.

“Melalui MoA ini, kami berharap dapat membuka ruang sinergi yang lebih luas, baik dalam bentuk penelitian bersama, praktik lapangan bagi mahasiswa, maupun program-program pengabdian masyarakat yang bersentuhan langsung dengan isu hukum, kesehatan reproduksi, serta perlindungan hak-hak masyarakat,” ujar Aditia.

Sementara itu, Direktur PKBI Lampung, Muhammad Fajar Santoso, SH., MH., menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Universitas Malahayati, khususnya Fakultas Hukum, yang telah menjalin kolaborasi dengan PKBI. Menurutnya, kerja sama ini bukan hanya sekadar formalitas, tetapi akan berfokus pada program nyata yang memberi dampak positif bagi masyarakat.

“PKBI dan Fakultas Hukum memiliki visi yang sama, yakni memperkuat kesadaran hukum, kesehatan, dan hak-hak masyarakat. Kami yakin sinergi ini akan menghadirkan program yang bermanfaat, terutama dalam mengedukasi generasi muda dan masyarakat luas terkait pentingnya perlindungan hak reproduksi, kesetaraan gender, dan isu-isu sosial yang relevan,” ungkapnya.

Melalui kerja sama ini, kedua pihak berkomitmen untuk mengembangkan berbagai program kolaboratif, mulai dari kuliah umum, pelatihan, riset bersama, hingga program advokasi berbasis masyarakat. Diharapkan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati juga dapat terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan PKBI, sehingga memperoleh pengalaman praktis yang memperkuat kompetensi akademik maupun profesional mereka.

Penandatanganan MoA ini sekaligus menjadi momentum penting bagi Fakultas Hukum Universitas Malahayati dalam memperluas jejaring dengan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi, kependudukan, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan sinergi ini, Universitas Malahayati menegaskan posisinya sebagai perguruan tinggi yang tidak hanya berorientasi pada pendidikan, tetapi juga aktif membangun kebermanfaatan bagi masyarakat luas.

Dalam kesempatan ini, Aditia Arief Firmanto, SH., MH., menjadi narasumber dalam talkshow yang bertajuk “Diversi yang Memulihkan Sinergi Hukum, Psikologi, dan Kemanusiaan untuk Anak”(gil)

Editor: Gilang Agusman

Lika-Liku Menghadap Pejabat

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu bersama ketua program studi mendapat tugas dari lembaga, dalam rangka bedah kurikulum, salah satu syaratnya mendapatkan masukan dari “pengguna lulusan”. Maka dilakukanlah “Temu Cawo” (dari bahasa Lampung yang terjemahan bebasnya, berjumpa untuk bicara atau diskusi) dengan para pejabat lembaga terkait di daerah, dari tingkat provinsi sampai kabupaten. Dari pengalaman menghadap para petinggi daerah ini dapat dikatakan “sulit-sulit mudah”. Sulit jika tidak ada relasi sosial, sehingga harus berhadapan dengan birokrasi yang membelit. Sebaliknya jika ada relasi sosial, maka kita bagai menggunakan jalan bebas hambatan untuk langsung menuju sasaran. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana relasi tadi jika dilihat dari perspektif Filsafat Sosial.

Filsafat sosial adalah cabang filsafat yang mengkaji realitas sosial dan struktur masyarakat, khususnya bagaimana relasi antarindividu dan kelompok diatur oleh norma, institusi, dan kekuasaan. Dalam konteks “menghadap pejabat,” filsafat sosial membantu kita memahami bahwa tindakan ini bukan sekadar interaksi personal, melainkan bagian dari sistem sosial yang lebih luas.

Karl Marx mengajarkan bahwa struktur sosial sangat ditentukan oleh relasi produksi dan kepemilikan alat produksi. Dalam konteks birokrasi dan kekuasaan, pejabat negara sering kali menjadi representasi atau pelayan kepentingan kelas penguasa. Oleh karena itu, menghadap pejabat adalah refleksi ketergantungan masyarakat kelas bawah pada elite penguasa yang mengendalikan sumber daya ekonomi dan sosial. Praktik ini menjadi simbol bagaimana kelas bawah harus menyesuaikan diri dengan aturan main yang dibuat oleh kelas dominan agar bisa memenuhi kebutuhannya.

Max Weber memberikan analisis penting mengenai birokrasi modern yang idealnya beroperasi atas dasar otoritas legal-rasional. Menurut Weber, birokrasi harus memberikan pelayanan berdasarkan aturan yang jelas dan transparan. Namun, Weber juga mengakui bahwa birokrasi kerap menjadi mekanisme yang sangat impersonal dan sulit diakses, sehingga individu sering terpaksa mencari jalur informal atau personal untuk mengatasi hambatan administrasi. Dengan demikian, “menghadap pejabat” bisa menjadi jalan pintas atau bentuk negosiasi kuasa yang dibutuhkan untuk mengatasi kerumitan birokrasi.

Michel Foucault melengkapi pemahaman ini dengan gagasan bahwa kekuasaan bukan hanya berpusat pada pejabat atau institusi, melainkan tersebar dalam berbagai praktik sosial dan wacana yang mengatur perilaku masyarakat. Proses menghadap pejabat merupakan arena di mana kekuasaan dipraktikkan dan dipertahankan melalui interaksi sosial yang penuh pengawasan dan disiplin. Warga yang “menghadap” secara tidak langsung menerima dan mereproduksi norma serta aturan kekuasaan tersebut, sehingga membentuk jaringan kontrol sosial yang kompleks.

Sedangkan Pierre Bourdieu menekankan aspek simbolik dan budaya dalam kekuasaan. Dalam pandangannya, menghadap pejabat adalah bagian dari praktik sosial yang mereproduksi dominasi melalui habitus dan modal simbolik. Habitus adalah struktur mental dan kebiasaan yang terbentuk dalam pengalaman sosial individu sejak dini, yang membuat mereka menyesuaikan diri dengan norma dan struktur sosial yang ada. Modal simbolik pejabat, yakni otoritas, pengakuan, dan prestise yang dipertahankan dan diperkuat melalui interaksi ini, sementara masyarakat belajar untuk tunduk dan menghormati sebagai bagian dari habitus mereka.

Pada praktiknya, menghadap pejabat bukanlah proses yang mudah dan lurus. Lika-liku yang dialami masyarakat sangat beragam dan seringkali menunjukkan sisi gelap dari birokrasi dan relasi kekuasaan. Pertama, masyarakat kerap menghadapi ketidakjelasan prosedur. Informasi mengenai siapa yang harus ditemui, kapan, dan bagaimana tata caranya sering kali tidak transparan. Hal ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian yang menambah beban psikologis bagi masyarakat yang ingin mengakses pelayanan. Mereka sering kali harus “bertanya ke sana kemari” atau mengandalkan jaringan informal untuk mendapatkan informasi tersebut.

Kedua, ada ketimpangan akses terhadap pejabat. Tidak semua warga memiliki kesempatan yang sama untuk “menghadap”. Mereka yang memiliki modal sosial, seperti koneksi keluarga, pertemanan, jaringan politik, atau kemampuan finansial, cenderung lebih mudah mendapatkan akses dibandingkan kelompok marginal yang lemah secara sosial dan ekonomi. Hal ini memperkuat ketidaksetaraan sosial yang sudah ada dan membentuk sistem patronase yang tidak jarang merugikan prinsip keadilan.

Ketiga, proses ini seringkali dikaitkan dengan budaya patron-klien, di mana pejabat bertindak sebagai pemberi jasa atau pelindung yang mengharapkan balasan berupa loyalitas atau penghormatan. Dalam konteks ini, menghadap pejabat menjadi arena negosiasi yang tidak hanya melibatkan urusan administratif, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi yang kompleks. Terkadang, sulit dipahami, karena tidak ada standard yang jelas.

Keempat, ada dimensi simbolik yang kuat dalam proses ini. Masyarakat mempersiapkan diri dengan penuh ritual: berpakaian rapi, dan menggunakan bahasa serta sikap yang menunjukkan penghormatan. Semua ini merupakan bagian dari pertunjukan sosial yang memperlihatkan posisi dan hierarki antara masyarakat biasa dan pejabat. Bagi pejabat, ini memperkuat prestise dan otoritasnya. Bagi masyarakat, ini adalah tanda tunduk yang kadang dianggap sebagai kewajiban budaya.

Karl Marx melihat praktik ini sebagai manifestasi dominasi kelas atas atas kelas bawah. Dalam pandangan Marx, ketimpangan dan eksploitasi ekonomi membuat kelas pekerja dan masyarakat miskin harus bergantung pada elite yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar. Oleh karena itu, menghadap pejabat bukan semata-mata urusan administratif, melainkan ekspresi hubungan kelas yang timpang dan reproduksi ketidakadilan sosial.

Max Weber menunjukkan ironi birokrasi modern. Di satu sisi, birokrasi harus bekerja secara sistematis dan legal untuk menjamin keadilan dan efisiensi. Namun kenyataannya, birokrasi sering kali sangat kaku dan sulit ditembus, sehingga masyarakat beralih pada relasi personal dan informal untuk memecahkan masalah. Ini mengindikasikan kegagalan sistem rasional birokrasi dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Michel Foucault, lika-liku menghadap pejabat merupakan bagian dari mekanisme kekuasaan yang tersebar dalam masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya datang dari pejabat secara vertikal, tetapi juga dari internalisasi norma dan disiplin sosial yang membentuk perilaku warga. Proses ini menjadi arena di mana kekuasaan diinternalisasi, dipertahankan, dan direproduksi oleh semua pihak yang terlibat. Dengan kata lain, masyarakat sendiri turut serta dalam mempertahankan struktur dominasi ini melalui praktik sosial sehari-hari.

Pierre Bourdieu menekankan bahwa masyarakat tidak semata-mata terpaksa tunduk karena tekanan eksternal, melainkan juga karena terbentuknya habitus yang membuat mereka “alami” menjalani praktik-praktik tersebut. Melalui proses sosialisasi dan pengalaman hidup, individu belajar bahwa menghadap pejabat adalah bagian dari tata cara sosial yang harus diikuti untuk bertahan dan mendapatkan pengakuan. Ini memperkuat modal simbolik pejabat dan mengukuhkan posisi dominan mereka dalam medan sosial.

Lika-liku menghadap pejabat bukan sekadar cerita tentang interaksi antara individu dan birokrasi, melainkan gambaran kompleks mengenai relasi kekuasaan, simbolisme sosial, dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Juga perlu dipahami bahwa pejabatpun dipaksa untuk membangun tembok sosial, akibat dari perilaku sebagian masyarakat dengan baju organisasi, melakukan intimidasi yang berujung meminta imbalan sesuatu. Akibatnya ada semacam seleksi untuk dapat berhadapan dengan pejabat. Dengan kata lain masyarakat sendiri yang membuat eliminasi pejabat dari masyarakat. Untuk itu harus ada edukasi dan standard procedure secara berjenjang, apa dan sampai level mana satu persoalan dapat diselesaikan. Dengan kata lain tidak semua persoalan harus sampai pada meja pimpinan tertinggi. Melalui lensa filsafat sosial, kita dapat memahami bahwa praktik ini merupakan refleksi dari struktur sosial yang tidak sempurna dan budaya politik yang perlu dikritisi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Laksanakan Monitoring dan Evaluasi KKLPPM 2025 di Kecamatan Kota Agung Barat

KOTA AGUNG BARAT (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung program pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kuliah Kerja Lapangan Pengabdian pada Masyarakat (KKLPPM) Tahun 2025 di Kecamatan Kota Agung Barat, Kabupaten Tanggamus, pada Sabtu (16/8/2025).

Kegiatan Monev kali ini berfokus pada dua pekon, yaitu Pekon Way Gelang dan Pekon Teba Bunuk. Tim Monev Universitas Malahayati hadir langsung untuk memastikan program KKLPPM berjalan sesuai tujuan dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Adapun jajaran Tim Monev terdiri dari: Drs. Nirwanto, M.Kes – Wakil Rektor II Universitas Malahayati, Eka Yudha Chrisanto, S.Kep., M.Kep – Ketua KKLPPM, Lolita Sari, SKM., M.Kes – Koordinator Program KKLPPM, Aditya Arief Firmanto, SH., MH – Humas KKLPPM dan didampingi oleh Emil Tanhar, S.Kom – Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati.

Dalam kunjungan tersebut, tim melakukan dialog langsung dengan perangkat pekon dan masyarakat untuk melihat sejauh mana program-program kerja mahasiswa telah diimplementasikan. Evaluasi dilakukan tidak hanya pada capaian kegiatan, tetapi juga pada aspek sinergi, partisipasi, dan keberlanjutan program.

Drs. Nirwanto, M.Kes, selaku Wakil Rektor II, menyampaikan bahwa Monev ini merupakan bagian penting untuk memastikan seluruh aktivitas mahasiswa di lapangan berjalan baik dan memberi dampak positif. “Kami ingin memastikan bahwa keberadaan mahasiswa Universitas Malahayati di tengah masyarakat bukan hanya menjalankan program, tetapi juga menghadirkan manfaat nyata, membangun harmoni, serta memperkuat kolaborasi dengan pemerintah pekon,” ujarnya.

Dengan terlaksananya kegiatan ini, Universitas Malahayati berharap KKLPPM dapat benar-benar menjadi wujud implementasi konsep “kampus siap berdampak” sebuah langkah nyata agar ilmu pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat luas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Monitoring dan Evaluasi KKLPPM 2025, Universitas Malahayati Pastikan Sinergi Mahasiswa dan Masyarakat

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati kembali menegaskan komitmennya dalam melahirkan generasi mahasiswa yang tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Hal ini diwujudkan melalui kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kuliah Kerja Lapangan Pengabdian Pada Masyarakat (KKLPPM) Tahun 2025 yang dilaksanakan di Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, pada Sabtu (16/8/2025).

Monev kali ini mencakup enam pekon yang menjadi lokasi pengabdian mahasiswa, yakni Pekon Pariaman, Pekon Ampai, Pekon Banjar Agung, Pekon Kuripan, Pekon Tegineneng, dan Pekon Ketapang.

Turut hadir dalam tim monitoring dan evaluasi, yakni:
1. Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes. – Wakil Rektor IV Universitas Malahayati
2. Ahmad Sidiq, ST., MT. – Wakil Ketua KKL-PPM
3. Marcelly Widya Wardana, ST., MT. – Koordinator Humas dan Perizinan KKL-PPM

Dalam kesempatan ini, tim Monev melakukan koordinasi dan berdiskusi langsung dengan perangkat pekon serta masyarakat setempat untuk memastikan seluruh program kerja mahasiswa berjalan sesuai rencana.

“Monitoring dan evaluasi ini menjadi bagian penting agar program-program unggulan KKLPPM dapat direalisasikan dengan baik. Kami ingin memastikan sinergi antara mahasiswa dan masyarakat terjalin harmonis, sehingga keberadaan mahasiswa benar-benar memberikan dampak positif,” ujar Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes.

Melalui kegiatan KKLPPM, mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya melaksanakan kewajiban akademik, tetapi juga berperan sebagai agen perubahan yang menghadirkan solusi kreatif bagi masyarakat. Implementasi konsep “Kampus Siap Berdampak” terlihat dari berbagai program mahasiswa yang diarahkan pada pemberdayaan masyarakat, peningkatan kualitas hidup, dan pembangunan berbasis potensi lokal.

“Harapannya, seluruh program yang diusung mahasiswa tidak berhenti sebatas kegiatan formal, tetapi benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat luas,” tambah Ahmad Sidiq, ST., MT.

Kehadiran tim Monev mendapat sambutan baik dari perangkat pekon dan warga. Mereka berharap kegiatan serupa terus dilakukan, sehingga hubungan antara kampus dan masyarakat semakin erat, serta membawa manfaat berkelanjutan.

Dengan terlaksananya kegiatan monitoring dan evaluasi ini, Universitas Malahayati semakin mengukuhkan perannya sebagai perguruan tinggi yang tidak hanya fokus pada pengajaran, tetapi juga mengabdikan diri untuk kemajuan masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Menggugat Ontologi Era Digitalisasi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Perkembangan teknologi digital telah membawa lompatan besar dalam sejarah umat manusia. Internet, kecerdasan buatan (AI), realitas virtual (RV), dan media sosial bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan ruang hidup baru yang membentuk ulang cara kita berpikir, berinteraksi, dan bahkan memahami eksistensi diri. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan yang bersifat mendasar: bagaimana kita memahami hakikat keberadaan di era digital. Apakah yang disebut “realitas” masih memiliki makna yang sama ketika dunia maya menjadi tempat kita menghabiskan sebagian besar waktu dan energi.

Inilah alasan utama mengapa penting untuk menggugat ontologi era digitalisasi. Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan, kini dihadapkan pada tantangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jika dahulu filsafat ontologi menyoal benda, manusia, dan dunia fisik, kini ia harus bergumul dengan entitas digital: avatar, algoritma, big data, dan kecerdasan buatan.

Sebelum membahas perubahan yang dibawa oleh digitalisasi, penting untuk memahami terlebih dahulu bagaimana ontologi dipahami dalam filsafat klasik. Dalam pemikiran Plato, keberadaan yang sejati adalah dunia ide, bukan dunia inderawi. Sedangkan Aristoteles melihat keberadaan sebagai sesuatu yang memiliki substansi dan esensi yang melekat. Manusia, dalam filsafat eksistensialisme seperti pada Martin Heidegger, dipahami sebagai Dasein, yaitu makhluk yang memiliki kesadaran akan eksistensinya dan hidup dalam dunia yang bermakna.

Ontologi klasik berakar pada pengandaian bahwa realitas bersifat stabil, dapat diidentifikasi, dan hadir secara fisik. Dunia dipahami sebagai kumpulan entitas yang memiliki bentuk, substansi, dan tempat dalam ruang dan waktu. Namun, pandangan ini mulai terguncang ketika teknologi digital mengaburkan batas antara nyata dan maya, fisik dan virtual, substansi dan simulasi.

Era digital saat ini, membawa perubahan radikal dalam cara kita berinteraksi dengan dunia. Kita tidak lagi hanya hidup di dunia fisik, tetapi juga di ruang maya. Identitas kita tidak hanya melekat pada tubuh, tetapi juga pada akun media sosial, avatar, dan jejak digital yang kita tinggalkan. Fenomena ini menimbulkan apa yang bisa disebut sebagai “krisis ontologis”, yaitu sebuah kondisi di mana batas antara yang nyata dan tidak nyata menjadi kabur.

Jean Baudrillard, seorang filsuf postmodern, menyebut kondisi ini sebagai “hiperrealitas”. Dalam dunia hiperrealitas, representasi tidak lagi mencerminkan realitas, melainkan menggantikannya. Dunia digital menciptakan simulacra, yaitu gambar atau simbol yang tidak memiliki referensi terhadap dunia nyata. Contohnya adalah media sosial, di mana identitas seseorang dibangun dari kumpulan foto, status, dan interaksi digital yang sering kali tidak mencerminkan realitas hidupnya.

Dalam ontologi tradisional, tubuh merupakan pusat dari eksistensi manusia. Tubuh bukan hanya wadah, melainkan medium utama untuk mengalami dunia. Namun, di era digital, tubuh mengalami dislokasi. Kehadiran fisik menjadi kurang penting dibandingkan kehadiran virtual. Zoom meeting menggantikan ruang rapat fisik, konser virtual menggantikan panggung, dan komunikasi antar manusia lebih sering terjadi melalui teks atau emoji.
Kondisi ini membawa kita pada persoalan ontologis: apakah tubuh digital dapat dianggap “ada” dalam pengertian filosofis? Jika avatar di metaverse atau identitas media sosial kita lebih dikenal dan lebih aktif dibandingkan tubuh fisik kita, apakah berarti tubuh digital lebih “real” daripada tubuh biologis?. Persoalan ini menjadi nyata manakala kita berinteraksi hanya menggunakan tatap layar.

Lebih jauh lagi, digitalisasi membuka jalan bagi rekayasa tubuh, termasuk penggunaan filter, AI-generated images, dan bahkan tubuh sintetik dalam bentuk robot atau avatar. Hal ini mengguncang pemahaman kita tentang keotentikan. Di dunia digital, otentisitas menjadi sesuatu yang dapat dipalsukan, dimanipulasi, atau bahkan diciptakan sepenuhnya oleh algoritma.

Digitalisasi juga membawa perubahan dalam pemahaman tentang identitas. Dalam dunia fisik, identitas seseorang umumnya bersifat tetap, ditentukan oleh nama, jenis kelamin, asal-usul, dan pengalaman hidup. Namun di dunia maya, identitas menjadi cair dan ganda. Seseorang bisa memiliki beberapa akun dengan identitas berbeda, atau bahkan menyamar menjadi orang lain. Identitas digital bisa dibentuk, dihapus, dimodifikasi, dan diperbanyak atau digandakan, bahkan disulihmanakan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah identitas digital merupakan bentuk kebebasan baru, atau justru krisis ontologis? Apakah kita masih “ada” ketika kita bisa dengan mudah menciptakan persona yang berbeda dari diri kita yang sebenarnya?

Filsuf kontemporer seperti Zygmunt Bauman menyebut kondisi ini sebagai “modernitas cair”, yaitu segala sesuatu bersifat fleksibel, berubah, dan tidak lagi memiliki kepastian. Dalam konteks ini, identitas digital mencerminkan kondisi ontologis yang rapuh, di mana keberadaan tidak lagi memiliki fondasi yang kokoh.

Salah satu perkembangan paling signifikan dalam era digital adalah munculnya algoritma dan kecerdasan buatan (AI) sebagai aktor dalam kehidupan manusia. Algoritma bukan hanya menghitung atau memproses data; mereka membuat keputusan, merekomendasikan pilihan, bahkan memprediksi perilaku manusia. Dalam banyak hal, algoritma telah menjadi “subjek” yang memiliki pengaruh nyata terhadap kehidupan manusia.

Pertanyaannya: apakah algoritma dapat dianggap sebagai entitas ontologis? Apakah mereka hanya alat, atau sudah menjadi bagian dari lanskap keberadaan itu sendiri?

Beberapa filsuf berpendapat bahwa algoritma dan AI merupakan bentuk keberadaan baru yang tidak bisa diabaikan. Mereka tidak memiliki kesadaran, tetapi memiliki daya kuasa. Mereka bukan makhluk hidup, tetapi dapat memengaruhi dunia seperti halnya manusia. Dengan kata lain, digitalisasi telah melahirkan bentuk keberadaan non-manusia yang memiliki dampak ontologis nyata.

Realitas virtual (VR) dan augmented reality (AR) memperkuat kaburnya batas antara nyata dan maya. Dalam VR, seseorang dapat “berada” di tempat lain tanpa benar-benar berpindah. Mereka dapat mengalami dunia yang sepenuhnya buatan, tetapi terasa nyata. Dalam AR, dunia nyata ditambahkan dengan elemen digital, menciptakan pengalaman hibrida yang memperluas persepsi kita terhadap realitas. Pertanyaannya: apakah pengalaman dalam dunia virtual memiliki nilai ontologis yang sama dengan pengalaman di dunia fisik? Apakah realitas virtual adalah realitas sejati atau hanya simulasi?

Dalam konteks ini, kita perlu mempertimbangkan pemikiran Gilles Deleuze yang membedakan antara “virtual” dan “aktual”. Bagi Deleuze, virtual bukan berarti tidak nyata, melainkan bentuk potensi yang dapat diwujudkan. Maka, dunia digital bukan sekadar imitasi, melainkan bentuk realitas potensial yang memiliki nilai ontologis tersendiri.

Semua perubahan di atas menuntut kita untuk menggugat pemahaman lama tentang ontologi. Era digital telah memperluas ruang eksistensi manusia, menciptakan bentuk-bentuk keberadaan baru yang tidak bisa dijelaskan dengan kategori lama. Kita hidup dalam dunia di mana avatar bisa lebih “hadir” daripada manusia fisik, di mana algoritma bisa menentukan keputusan kita, dan di mana tubuh tidak lagi menjadi satu-satunya locus eksistensi. Maka, apa yang dimaksud dengan “ada” di era digital? Apakah eksistensi masih membutuhkan tubuh? Apakah kesadaran masih menjadi syarat keberadaan? Apakah algoritma dan data bisa dianggap sebagai bentuk keberadaan baru?

Gugatan ini menuntut kita untuk membangun ontologi baru, yaitu sebuah cara memahami keberadaan yang mampu mengakomodasi entitas digital, identitas cair, dan realitas virtual. Ontologi baru ini tidak bisa hanya mengandalkan substansi fisik, tetapi juga harus mempertimbangkan hubungan, proses, dan jaringan sebagai unsur keberadaan.

Menggugat ontologi era digitalisasi bukan berarti menolak kemajuan teknologi, melainkan mengajak kita untuk lebih sadar dan kritis terhadap perubahan mendasar dalam cara kita memahami keberadaan. Dunia digital telah menggeser paradigma ontologis dari yang bersifat substansial menuju yang bersifat relasional dan dinamis. Identitas, tubuh, dan realitas tidak lagi bersifat tetap, melainkan terus berubah dan dibentuk ulang oleh interaksi dengan teknologi.

Dalam dunia yang semakin terhubung dan tervirtualisasi, kita membutuhkan pemahaman baru tentang “ada”, bukan hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari jaringan entitas digital yang saling mepengaruhi. Ontologi tidak lagi bisa bersifat tunggal dan statis, tetapi harus inklusif terhadap pluralitas bentuk keberadaan, baik yang fisik maupun yang digital. Dengan demikian, menggugat ontologi era digitalisasi adalah langkah awal untuk membangun kesadaran filosofis baru, di mana manusia bukan lagi satu-satunya pusat keberadaan, melainkan bagian dari ekosistem keberadaan yang lebih luas, yang mencakup mesin, data, simulasi, dan jaringan virtual. Salam Digital (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Evaluasi KIP Prodi Manajemen Universitas Malahayati: Bangkit, Berjuang, Berprestasi!

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen Universitas Malahayati kembali menggelar Evaluasi Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah semester genap 2024/2025 dengan mengangkat tema “Jangan Biarkan Kesempatan Kedua Terlewat: Bangkit, Berjuang, Berprestasi”. Kegiatan ini berlangsung pada Jumat (15/8/2025) di ruang 6.13 Universitas Malahayati, Bandar Lampung.

Acara dibuka secara resmi oleh Kaprodi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa evaluasi KIP merupakan bentuk pertanggungjawaban program studi kepada universitas untuk memastikan bahwa mahasiswa penerima KIP benar-benar layak menerima bantuan tersebut.

“Evaluasi ini sudah kita laksanakan tiga periode: genap 2023/2024 diikuti 150 mahasiswa, ganjil 2023/2024 sebanyak 91 mahasiswa, dan genap 2024/2025 sebanyak 26 mahasiswa. Penurunan jumlah peserta ini merupakan hasil dari proses evaluasi sebelumnya,” jelas Dr. Febrianty.

Ketua pelaksana kegiatan, Ayu Nursari, S.E., M.E., menjelaskan bahwa evaluasi KIP bukan hanya sekadar forum administrasi, melainkan wadah menyatukan persepsi dan tujuan antara mahasiswa, orang tua, dan dosen. “Di sini kita bisa mengidentifikasi kendala yang dihadapi mahasiswa sekaligus mencari solusi bersama,” ujarnya.

Turut hadir dalam kegiatan ini mahasiswa penerima KIP beserta orang tua mereka, sehingga terjalin komunikasi yang lebih terbuka dan konstruktif.

Sebagai narasumber pertama, Euis Mufahamah, S.E., M.Akt., menegaskan bahwa KIP Kuliah merupakan bentuk nyata dukungan pemerintah untuk memberikan akses pendidikan tinggi yang lebih adil dan merata, khususnya bagi masyarakat pra-sejahtera.

“Mahasiswa penerima KIP mendapatkan fasilitas berupa pembebasan biaya SPP dan bantuan biaya kuliah. Namun, di balik hak tersebut, terdapat kewajiban yang harus dipatuhi, yakni mematuhi fakta integritas yang ditandatangani bersama orang tua,” ungkapnya.

Sementara itu, Lestari Wuryanti, S.E., M.M., selaku narasumber kedua, menekankan pentingnya etika mahasiswa sebagai rambu-rambu dalam bersikap. Ia menyebutkan bahwa pelanggaran terbanyak yang ditemukan selama evaluasi adalah masalah kehadiran mahasiswa di kelas, yang mencapai angka 80%.

“Peran orang tua dan dosen menjadi sangat penting untuk melakukan kolaborasi dalam memantau dan mendampingi mahasiswa agar lebih disiplin dan bertanggung jawab dalam proses belajar,” tegasnya.

Evaluasi KIP telah menjadi agenda resmi yang diselenggarakan setiap semester oleh Prodi Manajemen Universitas Malahayati. Harapannya, kegiatan ini mampu meningkatkan prestasi akademik maupun nonakademik mahasiswa serta melahirkan generasi emas penerus bangsa yang unggul, berkarakter, dan berdaya saing. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kemerdekaan Milik Siapa?

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

“Perayaan kemerdekaan telah usai, lomba-lomba sudah selesai, pasar kembali ramai, namun si miskin tetap sepi.”

Kalimat ini adalah kritik puitis sekaligus refleksi mendalam terhadap kondisi sosial yang tak kunjung berubah meski setiap tahun kita merayakan kemerdekaan. Dan, kalimat serupa tapi tak sama seperti ini banyak berseliweran di layar medsos dengan berbagai latar. Memang harus diakui bahwa “Merdeka”, sebuah kata penuh gairah, membahana, heroik, dan dielu-elukan setiap 17 Agustus, namun dalam kenyataannya tidak dirasakan secara merata oleh seluruh warga negara.

Kemerdekaan ini milik siapa?

Itu adalah pertanyaan eksistensial yang membuka ruang diskusi filosofis, terutama bila kita melihatnya melalui kacamata filsafat kontemporer, yang tidak hanya bicara soal ontologi atau epistemologi klasik, tetapi juga menaruh perhatian pada isu-isu ketidakadilan, ketimpangan sosial, eksklusi struktural, dan narasi yang dibentuk oleh kekuasaan.

Tulisan ini mencoba menelaah pertanyaan tersebut dengan menelusuri pandangan sejumlah filsuf kontemporer, guna mengurai makna kemerdekaan yang sesungguhnya dan mengapa “si miskin tetap sepi”. Tulisan ini bukan menantang penguasa, tetapi mari sama-sama merefleksi kerja-kerja apa yang sudah kita lakukan untuk negeri ini. Apakah hanya sekedar melepaskan kuwajiban dan tanggungjawab, atau mencari sesuap nasi segenggam intan permata, atau melanggengkan kekuasaan, atau apa.

Michel Foucault, seorang filsuf poststrukturalis, memperkenalkan gagasan bahwa realitas sosial bukan hanya terbentuk oleh struktur ekonomi atau politik, tetapi juga oleh diskursus dari narasi-narasi yang diulang terus menerus hingga dianggap sebagai “kebenaran.” Dalam konteks ini, kemerdekaan bukan hanya sebuah kondisi objektif (misalnya lepas dari penjajahan), melainkan juga sebuah konstruksi wacana.

Perayaan kemerdekaan dengan lomba makan kerupuk, lari karung, konvoi bendera, dan pidato-pidato nasionalis adalah bagian dari ritual diskursif yang membentuk persepsi publik bahwa kita adalah bangsa merdeka. Namun, seperti dikritik oleh Foucault, diskursus semacam ini seringkali menutupi realitas relasi kuasa yang masih timpang. “Si miskin tetap sepi” karena dalam diskursus dominan, mereka tidak memiliki posisi untuk berbicara (subjektivitas politik).

Mereka hadir dalam statistik, tetapi absen dalam narasi kemerdekaan. Mereka menjadi “tubuh yang dikendalikan” oleh sistem, tetapi tidak memiliki kuasa atas hidupnya. Mereka adalah sekadar objek bantuan sosial pemuas kekuasaan.

Jacques Rancière, filsuf Perancis kontemporer, mengkritik ide demokrasi yang hanya menjadi “bagi-bagi kekuasaan di antara yang sudah berkuasa.” Dalam bukunya “Disagreement”, Rancière membedakan antara politik (sebagai aksi radikal yang mengganggu tatanan) dan polisi (aturan yang menjaga status quo).
Kemerdekaan dalam versi negara, dengan pidato dan upacara, bisa jadi adalah bentuk “polisi”, yakni pemeliharaan keteraturan sosial. Namun, di situlah kemerdekaan menjadi ilusi. Bagi Rancière, politik sejati terjadi saat kelompok yang “tidak dihitung” (the part of no part), yakni si miskin, yang terpinggirkan, mengklaim ruang untuk berbicara, membuat dirinya terlihat dan terdengar, dan menggugat narasi resmi. Maka, pertanyaan “kemerdekaan ini milik siapa?” bukan hanya keluhan, tetapi bentuk awal dari tindakan politik yang sejati: menginterupsi sistem, menunjukkan bahwa ada yang tertinggal dari narasi besar bangsa. Di sinilah kemerdekaan seharusnya diuji: apakah ia membuka ruang partisipasi bagi semua, atau hanya memperkuat dominasi sekelompok elite.

Slavoj Žižek, filsuf Slovenia, banyak mengkritik bagaimana ideologi bekerja di masyarakat modern. Bagi Žižek, ideologi tidak lagi memaksa kita untuk percaya, tapi justru membuat kita “berpura-pura percaya.” Kita tahu bahwa kemerdekaan tidak sepenuhnya nyata, bahwa ketimpangan terjadi, namun kita tetap ikut upacara dan menyanyikan lagu kemerdekaan. Perayaan kemerdekaan menjadi simulacrum atau tampilan kosong dari makna yang sudah kehilangan substansi.

Orang miskin tetap sepi karena sistem sudah didesain untuk membuat mereka menerima penderitaan sebagai “normal.” Mereka dianggap gagal bukan karena sistem yang timpang, tetapi karena kurang usaha atau pendidikan; narasi neoliberal yang seperti ini semakin kuat dalam masyarakat kontemporer.

Žižek menyebut hal ini sebagai perversi ideologis; kita tahu bahwa sistem itu tidak adil, namun kita tetap menjalankannya karena merasa tidak ada alternatif. Dalam konteks ini, mempertanyakan “kemerdekaan ini milik siapa?” adalah bentuk pembongkaran terhadap ilusi kolektif yang diproduksi oleh sistem negara.

Amartya Sen, ekonom dan filsuf India, menawarkan konsep capability approach yang sangat relevan dengan tema ini. Menurut Sen, kemerdekaan sejati bukan hanya soal hak politik, tetapi tentang kemampuan nyata seseorang untuk menjalani hidup yang ia nilai berharga. Artinya, meskipun semua warga negara secara formal “bebas” dan memiliki hak yang sama, dalam praktiknya tidak semua orang mampu menggunakan hak itu karena keterbatasan ekonomi, pendidikan, dan akses sosial.

Kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari kelaparan, dari kebodohan, dari ketakutan akan masa depan. Maka, jika si miskin tidak memiliki akses terhadap layanan dasar, tidak punya suara dalam kebijakan publik, dan tidak bisa menentukan jalan hidupnya, maka dalam konsep ini dia belum merdeka. Dalam kerangka ini, pertanyaan “kemerdekaan ini milik siapa?” menemukan jawabannya dalam distribusi kapabilitas yang timpang.

Negara boleh mengklaim bahwa semua sudah merdeka, tapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa kemerdekaan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang memiliki akses terhadap sumber daya.

Selain oleh kolonialisme lama, kini masyarakat juga menghadapi bentuk baru dari penjajahan: kapitalisme global, digitalisasi yang timpang, dan sistem pendidikan yang tidak merata. Filsuf postkolonial seperti Frantz Fanon dan Gayatri Spivak menekankan bahwa setelah penjajahan fisik berakhir, penjajahan mental dan kultural tetap berlanjut.

Fanon dalam “The Wretched of the Earth” menggambarkan bagaimana elite nasional menggantikan kolonialis lama tanpa benar-benar mengubah struktur sosial. Mereka menjadi “penjaga” sistem yang dulu menindas bangsanya sendiri. Dalam konteks ini, kemerdekaan menjadi milik segelintir elite yang memonopoli akses terhadap ekonomi dan politik, sementara rakyat kecil hanya jadi latar belakang atau layar belakang dalam drama kenegaraan.

Spivak menambahkan kritik penting: bisakah yang terpinggirkan (the subaltern) berbicara? Atau suara mereka akan selalu direpresentasikan oleh kelas dominan? Pertanyaan ini menantang kita untuk membuka ruang bagi suara-suara dari bawah, bukan sekadar menjadi objek pembangunan, subyek yang selalu disalahkan; tetapi sebagai subjek aktif kemerdekaan.

Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai “imagined community”, komunitas yang dibayangkan karena anggotanya tidak saling kenal secara personal, tetapi merasa terhubung oleh narasi yang sama. Namun, narasi ini tidak netral. Ia dibentuk oleh elit politik, media, dan institusi pendidikan. Dalam narasi nasionalisme yang dominan, seringkali kelompok marginal tidak mendapat tempat. Apakah si miskin bagian dari “bangsa” jika suara mereka tidak didengar? Jika eksistensi mereka hanya muncul saat kampanye atau program bantuan sosial?. Kemerdekaan ini milik siapa jika imajinasi tentang bangsa hanya mencakup mereka yang bisa merayakannya dengan pesta, lomba, dan diskon di mal? Sementara si miskin tetap berjuang di lorong-lorong gelap yang tak pernah benar-benar pulih?

Dari berbagai perspektif filsafat kontemporer ini, kita sampai pada pemahaman bahwa kemerdekaan sejati tidak mungkin hadir tanpa transformasi struktural. Tidak cukup hanya mengenang para pahlawan atau mengibarkan bendera. Kita perlu membuka ruang politik baru, di mana mereka yang “tidak dianggap” dapat berbicara. Kemerdekaan bukan hadiah dari negara, tetapi hak yang harus diperjuangkan terus menerus. Ia menuntut etika solidaritas, politik keadilan, dan tindakan kolektif yang melampaui seremoni.

Filsafat kontemporer membantu kita melihat bahwa kemerdekaan bukanlah kondisi statis, melainkan medan perjuangan yang terus berubah. Ia bisa direbut, dipelintir, bahkan dipalsukan oleh mereka yang berkuasa. Maka tugas kita adalah menjaga agar kemerdekaan tetap menjadi milik semua, bukan milik mereka yang sedang berkuasa, dan bukan hanya mereka yang mampu merayakannya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Elienasi Dalam Ketidakadilan Sosial

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Bendera sudah diturunkan, upacara peringatan hari kemerdekaan sudah usai, tinggal sampah berserak dimana-mana. Petugas kebersihan, tidak jarang bersama pemulung, dengan sabar membersihkan semua itu demi sedikit rupiah. Mereka tidak ikut rapi berbaris, tetapi menjadi rombongan pamungkas yang mengembalikan keadaan seperti sediakala agar semuanya, rapi, bersih, apik, dan nyaman. Mereka seolah terelienasi oleh gegap-gempitanya perayaan; lalu kemerdekaan ini sebenarnya milik siapa.

Sebelum lebih jauh kita mengurai persoalan, terlebih dahulu kita pahamkan makna dari alienasi, yaitu kondisi psikologis dan sosial di mana individu merasa terpisah, tidak terhubung, atau tidak memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, hasil kerjanya, identitasnya, maupun makna hidupnya, yang ditandai dengan perasaan keterasingan, ketidakberdayaan, dan kehilangan makna.

Kebebasan dan kemerdekaan adalah dua konsep fundamental yang selalu dikaitkan erat dengan identitas manusia. Namun, dalam realitas sosial yang terkadang masih dijumpai ketidakadilan dan ketimpangan, kemerdekaan seringkali tidak dirasakan secara merata oleh seluruh individu. Tulisan ini menganalisis alienasi sebagai kondisi yang tidak hanya bersifat materi tetapi juga eksistensial dan sosial, serta bagaimana hal ini menghambat realisasi kemerdekaan sejati dari kacamata filsafat kontemporer.

Istilah alienasi berasal dari kata Latin alienare, yang berarti “mengasingkan” atau “menjauhkan.” Hegel pertama kali membahas alienasi (Entfremdung) dalam konteks kesadaran manusia yang merasa terpisah dari dunia dan dirinya sendiri. Selanjutnya, Marx mengembangkan konsep ini dalam kerangka hubungan produksi kapitalis, yang membuat pekerja terasing dari produk kerja, proses produksi, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Dalam konteks kontemporer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse dari Frankfurt School menganggap alienasi bukan hanya dalam ranah ekonomi, tetapi juga budaya dan psikologis. Marcuse dalam “One-Dimensional Man” menyebutkan bagaimana masyarakat konsumsi dan teknologi menciptakan “manusia satu dimensi” yang kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan merasa terasing secara eksistensial.

Lebih jauh, filsafat eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa meski manusia “dihukum bebas” (condamné à être libre), kebebasan tersebut harus diaktualisasikan secara sadar agar tidak menjadi beban dan keterasingan. Hans-Georg Gadamer dan Charles Taylor menambahkan dimensi hermeneutika dan pengakuan, menekankan bahwa identitas manusia dibentuk dalam dialog sosial yang melibatkan pengakuan timbal balik (recognition).

Charles Taylor dalam “The Politics of Recognition” menegaskan bahwa pengakuan sosial bukan sekadar penghormatan formal, melainkan kebutuhan eksistensial untuk membangun identitas yang bermakna. Ketika seseorang atau kelompok tidak diakui secara sosial, misalnya akibat diskriminasi, marginalisasi, atau ketidakadilan ekonomi, mereka mengalami “krisis pengakuan” yang berujung pada alienasi identitas.

Dalam konteks ketidakadilan sosial, kelompok terpinggirkan seringkali melihat narasi kemerdekaan dan kebebasan sebagai milik “orang lain” atau elit penguasa, bukan milik mereka. Hal ini menimbulkan krisis identitas dimana kemerdekaan menjadi sesuatu yang formal dan jauh dari kehidupan sehari-hari mereka.

Indonesia sebagai negara yang merdeka sejak 1945 memiliki catatan panjang ketimpangan sosial-ekonomi. Salah satu fenomena menarik adalah bagaimana masyarakat di berbagai daerah, terutama kelas bawah dan menengah ke bawah, harus mengeluarkan uang sendiri untuk menyelenggarakan lomba-lomba 17-an, upacara, dan perayaan kemerdekaan. Sebagaimana dilaporkan oleh banyak media lokal dan beberapa penelitian sosial, banyak warga yang harus patungan untuk membeli bendera, hadiah lomba, dan fasilitas pendukung acara. Bahkan dalam masa sulit secara ekonomi, dan tekanan finansial; hal seperti ini tetap mereka lakukan, sekalipun itu menjadi beban sosial tersendiri bagi mereka. Mereka merasa bersalah jika tidak ikut serta merayakan hari kemerdekaan, namun disisi lain mereka mengalami keterasingan antara narasi besar nasional dan realitas sosial-ekonomi yang mereka hadapi.

Jean-Paul Sartre menulis dalam “Existentialism is a Humanism” bahwa kebebasan adalah hakikat manusia, tetapi juga sumber kecemasan dan keterasingan jika tidak ada kondisi yang memungkinkan aktualisasi bebas. Ketika realitas sosial menindas dan meminggirkan, kebebasan tersebut menjadi “beban,” dan manusia terjerumus dalam alienasi eksistensial. Dalam konteks ini, manusia yang hidup dalam ketidakadilan sosial harus terus menerus berjuang mempertahankan identitas merdeka mereka, meskipun struktur sosial menghambatnya. Krisis identitas muncul karena manusia tidak hanya kehilangan ruang aktualisasi, tetapi juga kehilangan pengakuan dan hubungan sosial yang membangun identitas.

Hans-Georg Gadamer dalam “Truth and Method” menggarisbawahi pentingnya dialog dan interpretasi bersama untuk memahami makna dan membangun identitas. Dialog yang terbuka dan inklusif memungkinkan orang untuk memahami perspektif satu sama lain dan menciptakan makna bersama. Charles Taylor juga menyatakan bahwa pengakuan dapat dipulihkan melalui dialog yang menghargai keberagaman identitas, sehingga memungkinkan rekonstruksi narasi bersama tentang kemerdekaan dan kebebasan. Dalam praktik sosial, ini berarti negara dan masyarakat harus membuka ruang dialog dan partisipasi yang nyata, khususnya bagi kelompok marginal, agar mereka dapat merasa diakui dan memiliki bagian dalam makna kemerdekaan.

John Rawls dalam “A Theory of Justice” menegaskan prinsip keadilan sebagai fairness, yang memberikan hak dan kesempatan yang setara kepada semua warga negara. Keadilan distributif adalah landasan bagi kebebasan dan kemerdekaan sejati. Tanpa keadilan sosial yang nyata, kemerdekaan hanyalah formalitas yang tidak dihayati secara eksistensial oleh banyak orang. Maka, transformasi sosial-ekonomi yang mengurangi ketimpangan menjadi sangat penting agar alienasi dapat diatasi dan identitas merdeka dapat direkonstruksi secara inklusif.

Alienasi dalam ketidakadilan sosial merupakan krisis mendalam yang melibatkan keterasingan eksistensial dan sosial dari identitas manusia merdeka. Dari sudut pandang filsafat kontemporer, alienasi tidak sekadar persoalan ekonomi, tetapi masalah pengakuan, dialog, dan makna. Untuk mengatasi krisis ini, masyarakat harus membangun struktur sosial yang adil, dialog sosial yang inklusif, dan etika solidaritas yang menempatkan kemerdekaan sebagai hak bersama yang dihidupi oleh semua warga negara. Hanya dengan demikian kemerdekaan dapat dirasakan secara otentik, bukan sekadar seremoni formal yang membebani sebagian rakyat. Jadi, perayakan kemerdekaan bukan hanya selesai menaikkan bendera dalam satu upacara yang meriah dan wah; akan harus diiringi dengan evaluasi diri menyeluruh tentang apa yang sudah kita perbuat pada negeri ini. Salam Merdeka (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Robohnya Tembok Pagar Pembatas

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Peristiwa Pati baru saja mereda, walaupun belum selesai, bibit-bibit ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah daerah mulai menjalar. Diberitakan beberapa kota yang mengalami nasib sama, naiknya pajak, rakyatnya mulai terinspirasi oleh Pati. Rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi, dan pemerintah yang kehabisan pundi-pundi; dua kepentingan itu bertabrakan ditengah medan sosial. Belum lagi kelompok-kelompok avonturir yang ingin memancing diair keruh mulai bermunculan. Tampaknya bangsa ini sedang berada di tengah pusaran perubahan sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang begitu cepat dan kompleks.

Di tengah arus globalisasi, digitalisasi, dan derasnya informasi, kita menyaksikan satu per satu batas yang dahulu menjadi landasan hidup bersama mulai runtuh. Tembok pagar yang dulunya membatasi, menjaga, dan melindungi; baik secara nilai, hukum, maupun identitas, kini mengalami keretakan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah robohnya tembok pagar ini menandakan kebebasan baru, atau justru awal dari kekacauan. Tulisan ini mencoba mengajak kita untuk tidak hanya menyalahkan kondisi, tetapi juga merenungi ulang fondasi-fondasi yang telah kita bangun selama ini dari perspektif Filsafat Kontemporer.

Pada ranah narasi kebudayaan dan filsafat, memaknai pagar bukan sekadar benda fisik, melainkan representasi dari batasan nilai, hukum, dan norma sosial. Secara filosofis, pagar adalah simbol dari keteraturan dan perlindungan. Dalam pandangan Michel Foucault, pagar, baik hukum, lembaga, maupun tata kelola sosial: adalah alat kekuasaan yang membentuk perilaku masyarakat. Ia tidak netral; ia dibentuk oleh siapa yang berkuasa, dan untuk kepentingan apa. Namun saat pagar itu roboh, kita tidak hanya menyaksikan hancurnya sistem, tapi juga bangkitnya anarki atau kekosongan makna. Kita hidup dalam era “post-struktural,” di mana struktur-struktur lama (seperti negara-bangsa, institusi agama, bahkan keluarga) mulai kehilangan otoritas moralnya.

Contoh nyata dari keruntuhan ini adalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan politik. Lembaga yang seharusnya menjaga keadilan dan kebenaran justru kerap menjadi sumber ketidakadilan itu sendiri. Skandal di institusi hukum, aparat, hingga pemilu yang dipertanyakan integritasnya menunjukkan bahwa tembok hukum kita tidak hanya retak, tapi mungkin telah runtuh di banyak sisi. Bagaimana bisa seorang sudah memiliki kekuatan hukum tetap untuk masuk penjara, bisa selama bertahun-tahun tidak tersentuh hukum, bahkan bebas berkeliaran ke mana-mana.

Bagaimana dialogsiar terlaksana karena beda pandang dengan penguasa, langsung dipanggil untuk dijadikan tersangka.
Runtuhnya pagar moral menjadi salah satu kekhawatiran utama saat ini. Fenomena normalisasi korupsi, budaya permisif terhadap kekerasan, eksploitasi sumber daya alam tanpa empati ekologis, serta menguatnya hoaks dan ujaran kebencian, menandakan bahwa nilai-nilai moral bersama telah kehilangan daya ikatnya.

Zygmunt Bauman menyebut masyarakat hari ini sebagai “masyarakat cair”; di mana tidak ada nilai tetap, semuanya relatif, cepat berubah, dan mudah menguap. Dalam masyarakat cair, komitmen etis digantikan oleh pragmatisme dan kalkulasi keuntungan.

Apa yang dulu tabu, kini dianggap biasa. Ini menciptakan masyarakat yang cenderung apatis dan individualistis. Kita bisa melihat ini dalam kehidupan sehari-hari: saat politisi menggunakan agama untuk meraih suara tapi tidak konsisten dalam kebijakan, atau saat masyarakat lebih sibuk memperdebatkan gaya hidup influencer ketimbang kebijakan publik yang merugikan mereka. Di titik ini, kita tidak hanya menyaksikan robohnya pagar moral, tapi juga mandulnya kesadaran etis.

Salah satu bentuk paling mengkhawatirkan dari robohnya pagar sosial adalah meningkatnya polarisasi dan fragmentasi identitas. Media sosial telah menjadi ladang subur bagi penyebaran narasi kebencian, identitas sektarian, dan fanatisme. Algoritma memperkuat bias, menciptakan “ruang gema” (echo chamber) yang mempersempit pandangan dan menutup ruang dialog. Seolah-olah yang keras itu yang menang dan benar, sementara yang sayup sekalipun itu benar, menjadi pudar.

Jean Baudrillard, dalam teori simulakra, menjelaskan bagaimana realitas saat ini dipenuhi dengan tiruan yang menggantikan kenyataan. Dalam dunia yang lebih percaya pada representasi (seperti meme, unggahan, narasi buatan), identitas pun dikonstruksi secara artifisial. Kita tidak lagi mengenal sesama manusia melalui interaksi sejati, melainkan lewat citra digital yang sudah dikurasi. Akibatnya, masyarakat kita mudah dipecah belah oleh perbedaan yang seharusnya bisa dikelola secara dewasa. Politik identitas yang menguat dalam berbagai peristiwa pemilu menciptakan luka sosial yang dalam.

Tembok sosial yang dulu dibangun atas dasar keberagaman dan gotong royong, kini justru digantikan oleh pagar-pagar eksklusif berbasis ideologi sempit.
Demokrasi Indonesia secara prosedural memang berjalan: pemilu diadakan, wakil rakyat dipilih, dan lembaga negara bekerja. Namun secara substansial, demokrasi kita tengah sakit. Rakyat tidak merasa menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan. Politik uang, dinasti, dan kooptasi elite membuat demokrasi kehilangan jiwa. Chantal Mouffe mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa hidup tanpa konflik yang produktif, bukan konflik destruktif, tetapi perbedaan yang diakomodasi secara adil. Ketika kritik dianggap ancaman, oposisi dibungkam, dan media dibeli, maka pagar demokrasi telah runtuh. Kita masuk ke zona otoritarianisme terselubung.

Kondisi ini terlihat dalam berbagai kebijakan publik yang tidak partisipatif, seperti revisi UU ITE, pengesahan UU Cipta Kerja secara kilat, dan pembungkaman aktivis atau jurnalis yang kritis. Foucault menyebut hal ini sebagai “bio-politik,” di mana negara bukan hanya mengatur hidup manusia, tapi juga mendefinisikan siapa yang pantas hidup dan siapa yang bisa disingkirkan dari wacana.

Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari pemikiran Slavoj Žižek yang mengkritik kapitalisme global sebagai sistem yang tampak netral tapi sebenarnya menindas secara struktural. Ia menyebut bahwa solusi tidak bisa dicapai hanya dengan reformasi kecil, tapi dengan perubahan cara berpikir dan sistem nilai secara mendalam.

Di tengah robohnya pagar-pagar dunia sekuler, agama sering menjadi sandaran terakhir masyarakat untuk mencari makna. Namun ironisnya, agama juga mengalami proses komodifikasi. Ia tidak lagi menjadi kekuatan pembebas, tapi sering kali menjadi alat pembenaran politik dan kekuasaan. Di banyak kasus, kita melihat bagaimana tafsir agama digunakan untuk membentuk narasi eksklusif, memecah masyarakat, dan memperkuat dominasi kelompok tertentu.

Filsuf kontemporer seperti Jürgen Habermas mengajukan konsep “ruang publik post-sekuler” yang seharusnya membuka dialog antara iman dan nalar. Namun di Indonesia, ruang itu masih lemah, karena perdebatan agama kerap digiring ke arah konflik, bukan dialog. Runtuhnya pagar spiritualitas ini bukan tentang berkurangnya jumlah pemeluk agama, tapi tentang kehilangan kepekaan, empati, dan keadilan dalam keberagamaan.

Filsafat kontemporer tidak menawarkan solusi instan, tapi memberi kita perangkat berpikir untuk merumuskan kembali fondasi etika bersama. Kita perlu membangun etika kolektif yang berpijak pada kesetaraan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Robohnya tembok pagar bukanlah akhir dari segalanya, melainkan tanda bahwa kita sedang memasuki fase sejarah yang baru. Fase yang menuntut refleksi lebih dalam, keberanian untuk berubah, dan solidaritas untuk membangun ulang.

Dalam dunia yang terus berubah, kita tidak bisa hanya terpaku pada pagar lama. Kita perlu membangun ruang bersama yaitu ruang yang lebih terbuka, adil, dan manusiawi. Maka, saat tembok pagar roboh, jangan kita buru-buru membangunnya kembali dengan batu yang sama. Barangkali, yang kita butuhkan bukan pagar, akan tetapi jembatan. Salam Merdeka. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Kembali Ukir Prestasi, Ir. R. Agung Efriyo Hadi, M.Sc., Ph.D. Raih SK PAK Lektor Kepala

PALEMBANG (malahayati.ac.id): Sebuah pencapaian gemilang kembali diraih oleh Universitas Malahayati. Ir. R. Agung Efriyo Hadi, M.Sc., Ph.D., dosen Fakultas Teknik Universitas Malahayati sekaligus Dewan Pengawas Rumah Sakit Bintang Amin, resmi menerima Surat Keputusan (SK) Penetapan Angka Kredit (PAK) Lektor Kepala yang diserahkan langsung oleh Kepala LLDIKTI Wilayah II, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc., di Kantor LLDIKTI Wilayah II Palembang, Selasa (19/8/2025).

Acara penuh kebanggaan ini turut dihadiri oleh jajaran pimpinan Universitas Malahayati, di antaranya Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., yang menyampaikan apresiasi atas capaian luar biasa tersebut. Turut hadir pula Kepala Bagian Humas dan Protokol, Emil Tanhar, S.Kom., yang mendampingi dalam momen bersejarah ini.

Prof. Dr. Dessy Hermawan menyampaikan rasa bangga dan haru atas pencapaian Ir. R. Agung Efriyo Hadi, Ph.D. ““Saya mengucapkan selamat atas capaian Lektor Kepala yang diraih. Semoga pencapaian ini membawa keberkahan bagi beliau dan juga Universitas Malahayati. Semoga pula menjadi inspirasi bagi rekan-rekan dosen lainnya untuk terus bersemangat meningkatkan jabatan akademik, tidak hanya berhenti di Lektor Kepala, tetapi hingga mencapai Guru Besar/Profesor.”

Lebih lanjut, Prof. Dessy berharap capaian ini menjadi inspirasi bagi dosen-dosen lain di Universitas Malahayati untuk terus meningkatkan kompetensi, mengembangkan penelitian, dan mengejar jenjang akademik yang lebih tinggi hingga meraih jabatan Guru Besar.

Dengan penuh rasa syukur, Ir. R. Agung Efriyo Hadi, Ph.D mengungkapkan apresiasinya kepada semua pihak yang telah mendukung perjalanan akademiknya.

“Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Yayasan Universitas Malahayati, Rektorat, Dekanat, serta seluruh rekan-rekan di Universitas Malahayati yang selalu memberikan dukungan. Begitu juga kepada LLDIKTI Wilayah II yang telah memberikan kepercayaan dan pengakuan atas kerja keras saya,” ujarnya.

Ir. R. Agung Efriyo Hadi, Ph.D  juga berharap pencapaiannya ini dapat menjadi pemicu semangat bagi sivitas akademika Universitas Malahayati untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian, serta bersama-sama berkontribusi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Capaian Ir. R. Agung Efriyo Hadi, Ph.D dalam meraih SK PAK Lektor Kepala ini menjadi salah satu tonggak penting bagi Universitas Malahayati dalam memperkuat komitmennya terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Universitas Malahayati optimistis langkah ini akan semakin memantapkan perannya dalam mencetak generasi unggul yang berkompetensi tinggi serta mampu memberikan kontribusi nyata di berbagai bidang. (gil)

Editor: Gilang Agusman