Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Jagat media sosial minggu-minggu ini dihiasi dengan keriuhan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang Bupati-nya mendapat respons kurang menyenangkan dari rakyatnya. Sumber utama dari keriuhan itu adalah pada 18 Mei 2025, Bupati Sudewo memutuskan menaikkan tarif PBB‑P2 hingga sekitar 250 %, dengan alasan tarif pajak sebelumnya tidak pernah disesuaikan dalam 14 tahun terakhir. Tujuannya adalah meningkatkan penerimaan daerah untuk pembangunan infrastruktur, renovasi RSUD RAA Soewondo, dan program pertanian-perikanan.
Meskipun tujuan kenaikan pajak itu mulia, namun reaksi masyarakat berbeda. Diduga, hal itu karena dialog atau musyawarah tidak pernah dilakukan terlebih dahulu.
Keputusan itu memicu gelombang protes keras. Di media sosial dan forum publik, warga mengkritik kebijakan tersebut sebagai “tidak manusiawi”. Mahasiswa PMII Cabang Pati melakukan demonstrasi di depan Kantor Bupati pada 3 Juni 2025, membakar ban, memasang spanduk kritis, dan menuntut pencabutan kebijakan.
Bupati memilih tidak menemui massa, memicu ketegangan lebih lanjut. Video pernyataan Bupati yang viral menunjukkan keengganan untuk mencabut kebijakan, bahkan menantang rakyat untuk mengerahkan 50.000 demonstran: “Silakan bawa 50 ribu orang, saya tidak akan gentar, keputusan tidak akan saya ubah.”
Walaupun pada akhirnya Bupati meminta maaf dan mencabut aturan itu, untuk menghindari benturan, ia berkeputusan untuk pergi umrah. Terlepas dari semua hal yang melatarbelakangi peristiwa ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, untuk dijadikan pembelajaran kedepan kepada siapapun yang memimpin negeri ini.
Sikap dan kebijakan Bupati yang dianggap arogan dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat mengundang kritik tajam. Dari perspektif filsafat sosial, kejadian ini bukan hanya masalah kebijakan publik semata, melainkan soal legitimasi kekuasaan, kontrak sosial, dan hak-hak warga negara yang fundamental. Tulisan ini akan membedah kasus tersebut dengan menggunakan kerangka berfikir filsafat sosial untuk memahami implikasi etis dan sosial dari tindakan seorang pemimpin yang “menantang” rakyatnya.
Filsafat sosial klasik, terutama karya-karya Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, menegaskan bahwa kekuasaan politik memperoleh legitimasi dari persetujuan rakyat yang diperintah. Kontrak sosial adalah fondasi hubungan antara penguasa dan rakyat yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam konteks ini, pemimpin berkuasa bukan untuk memaksakan kehendaknya secara sewenang-wenang, melainkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara adil dan bertanggung jawab.
Kenaikan PBB-P2 sebesar 250% tanpa konsultasi publik yang memadai dan diiringi sikap menantang rakyat untuk melakukan demo adalah tindakan yang melanggar esensi kontrak sosial. Bupati dengan pernyataannya yang menantang, seperti berkata, “Silakan bawa 50 ribu orang, saya tidak akan gentar,” menunjukkan bahwa ia lebih mengedepankan otoritasnya daripada fungsi pelayan publik yang bersandar pada legitimasi dari rakyat. Dengan demikian, kekuasaannya berisiko kehilangan landasan moral yang sangat penting dalam filsafat sosial.
Menurut teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas, legitimasi politik tidak hanya bersandar pada mekanisme formal pemilihan, tetapi juga pada komunikasi yang rasional dan dialog antara pemerintah dan rakyat. Hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, mengkritik, dan mengorganisasi protes adalah bagian dari hak politik fundamental yang tidak boleh diabaikan oleh pemimpin.
Sikap menantang rakyat dengan nada konfrontatif memperlihatkan ketidakmampuan pemimpin untuk berkomunikasi secara dialogis. Ketika rakyat protes sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan atas kebijakan yang dianggap memberatkan, respons yang tepat dari pemimpin seharusnya adalah membuka ruang diskusi, mendengar aspirasi, dan mencari solusi bersama. Sebaliknya, sikap menantang dan tidak peduli pada aspirasi rakyat justru memperlemah kewajiban moral seorang pemimpin dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
Sementara itu dalam perspektif filsafat sosial modern, kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan sebagai pelayanan (servant leadership). Robert K. Greenleaf menekankan bahwa seorang pemimpin sejati adalah yang mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pemimpin harus bertindak sebagai pelayan masyarakat, membangun kepercayaan, dan menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyat hidup sejahtera dan bermartabat.
Kasus Bupati Pati menunjukkan adanya kesenjangan antara prinsip kepemimpinan tersebut dengan realitas tindakan Bupati Sudewo. Alih-alih berupaya menjelaskan secara empatik alasan kenaikan pajak dan mendengarkan keluhan rakyat, ia memilih sikap defensif dan menantang yang memecah kepercayaan publik. Padahal, dalam filsafat sosial, kepercayaan adalah modal utama hubungan sosial yang sehat dan berkelanjutan antara pemimpin dan rakyat.
John Rawls, salah satu tokoh filsafat politik kontemporer, menekankan pentingnya prinsip keadilan sebagai fairness (kesetaraan dan kewajaran). Kebijakan publik harus memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan mengutamakan perlindungan terhadap kelompok rentan. Kenaikan pajak secara drastis yang tidak diimbangi dengan komunikasi dan kompensasi sosial yang memadai berpotensi menambah beban masyarakat miskin dan menengah.
Untuk konteks Pati, warga yang menggantungkan hidup pada usaha kecil dan sektor pertanian menjadi sangat terdampak oleh kenaikan PBB-P2. Pemerintah daerah, melalui Bupati, seharusnya bertanggung jawab melakukan kajian sosial-ekonomi yang matang dan menerapkan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat kecil.
Menantang rakyat yang protes atas beban tersebut bukanlah sikap seorang pemimpin yang adil dan bertanggung jawab, melainkan sebuah indikasi pengabaian terhadap keadilan sosial.
Sikap arogan dan menantang rakyat bukan hanya berdampak pada legitimasi kekuasaan secara normatif, tetapi juga berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial.
Filsafat sosial menegaskan pentingnya solidaritas dan kohesi sosial dalam menjaga stabilitas masyarakat. Ketegangan antara pemerintah dan rakyat yang muncul dari tindakan pemimpin yang kurang empatik dapat memicu konflik, protes massa, dan ketidakpercayaan jangka panjang terhadap institusi pemerintahan.
Fenomena demonstrasi mahasiswa dan warga di Pati bukan hanya reaksi atas kenaikan pajak, tetapi juga simbol ketegangan sosial yang lebih dalam. Ketika pemimpin gagal merangkul rakyat dan malah menantang mereka, ruang dialog dan rekonsiliasi sosial menjadi tertutup. Ini mengancam harmoni sosial yang seharusnya dijaga oleh seorang pemimpin.
Filsafat sosial menggaariskan bahwa, akuntabilitas merupakan pilar penting bagi tata kelola pemerintahan yang baik. Seorang pemimpin harus transparan dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas dampak kebijakan yang diambil.
Etika kepemimpinan menuntut kesadaran moral dan kesediaan untuk menerima kritik. Bupati Sudewo, setelah gelombang protes dan intervensi pemerintah pusat, akhirnya menyampaikan permintaan maaf. Ini menunjukkan adanya kesadaran atas kegagalan komunikasi dan implikasi sosial dari kebijakan yang diambil.
Namun, penundaan permintaan maaf dan sikap awal yang menantang rakyat menunjukkan lemahnya etika kepemimpinan dalam konteks ini.
Kasus Bupati Pati 2025 memberikan pelajaran penting dari kacamata filsafat sosial tentang bagaimana seharusnya pemimpin menjalankan kekuasaannya.
Legitimasi kekuasaan tidak bisa dibangun hanya dari posisi jabatan atau kemampuan mengambil keputusan sepihak, melainkan harus bersandar pada kontrak sosial, dialog yang rasional, pelayanan kepada rakyat, keadilan sosial, dan akuntabilitas. Pemimpin yang arogan dan tidak responsif terhadap aspirasi masyarakat berisiko merusak kohesi sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Pemimpin sejati adalah yang mampu menginspirasi, melayani, dan menjaga keadilan, bukan yang mengancam dan menantang rakyatnya. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Rumah Tempat Pulang, Bukan Tempat Perang
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore menjelang petang hampir dapat dipastikan bahwa lantai dasar gedung megah tempat bekerja ini, dipenuhi oleh para karyawan yang akan absen elektronik sebagai penanda waktu pulang. Ada seorang bapak yang sudah siap lebih awal, dan saat diajak berbincang dan diberi pertanyaan “mengapa tampak tergesa-gesa ingin cepat pulang”. Beliau dengan senyum sumringah menjawab “rumah tempat pulang, bukan tempat perang, maka membuat saya rindu pulang”. Jawaban itu sepintas tampak berisi gurauan, namun sejatinya jika kita mau merenungkan sejenak, jawaban itu sangat benar adanya. Untuk itu mari kita bahas dari kacamata filsafat kontemporer.
Eksistensialisme, yang berkembang kuat melalui pemikiran Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Martin Heidegger, memandang bahwa manusia tidak semata-mata “ada” dalam ruang fisik, melainkan menciptakan makna dari ruang tersebut melalui pengalaman. Heidegger dalam karyanya Building, Dwelling, Thinking membedakan antara “tinggal” (dwelling) dan sekadar “bertempat”. Menurutnya, manusia bukan hanya menempati rumah, tetapi hidup dan mengalami keberadaan di dalamnya. Rumah adalah tempat “menjadi manusia”, tempat kita mewujudkan diri secara autentik.
Namun, dalam kondisi modern seperti sekarang, rumah sering kehilangan makna eksistensial ini. Dalam banyak kasus, rumah menjadi tempat keterasingan (alienation) karena relasi antar anggotanya dibangun atas dasar dominasi, keharusan sosial, atau ekspektasi yang tidak manusiawi. Sartre menyebut ini sebagai “hidup dalam pandangan orang lain”; di mana kehadiran orang lain di rumah tidak membebaskan, tetapi menekan eksistensi kita. Maka ketika rumah menjadi tempat perang, itu mencerminkan krisis eksistensial: rumah tidak lagi menjadi ruang otentik untuk menjadi diri sendiri, melainkan medan pertempuran antara kehendak yang saling mendominasi.
Maurice Merleau-Ponty, melalui fenomenologi, menekankan pentingnya pengalaman langsung dan kesadaran embodied. Rumah bukan hanya tempat tinggal secara objektif, tetapi dialami secara mendalam oleh tubuh dan kesadaran manusia. Bagi anak-anak, misalnya, rumah adalah tempat pertama mereka memahami dunia: melalui rasa aman, kasih ibu, atau teguran ayah. Namun ketika rumah penuh dengan kekerasan, makna fenomenologis itu berubah. Tubuh merekam trauma, ketegangan, dan rasa takut sebagai bagian dari rumah. Maka, rumah tak lagi menjadi tempat kembali, melainkan tempat yang ingin dihindari. Oleh karena itu fenomenologi menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana makna rumah dibentuk dalam keseharian: apakah sebagai pelukan yang menenangkan, atau sebagai bentakan yang mematahkan. Ketika rumah kehilangan kualitas kehadiran yang menenangkan, maka manusia kehilangan tempat untuk “menjadi” secara utuh.
Sementara itu, feminisme kontemporer, terutama melalui pemikir seperti Simone de Beauvoir, Bell Hooks, dan Judith Butler, melihat rumah bukan hanya sebagai ruang privat, tetapi sebagai arena politik. Di dalam rumah, struktur patriarki sering direproduksi secara sistematis. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex menyatakan bahwa perempuan sering dijadikan “the Other” dalam hubungan rumah tangga. Mereka ditentukan oleh peran domestik yang mengikat: istri yang patuh, ibu yang mengabdi, pelayan yang tak terlihat. Oleh sebab itu dalam banyak rumah modern, “perang” yang terjadi adalah manifestasi dari ketimpangan gender: dominasi suami atas istri, eksploitasi kerja rumah tangga tanpa pengakuan, kekerasan dalam rumah tangga yang dibungkam atas nama budaya. Feminisme menolak anggapan bahwa rumah adalah ruang netral; ia adalah tempat kekuasaan bekerja dalam sunyi. Bell Hooks dalam Feminist Theory: From Margin to Center menekankan bahwa transformasi rumah hanya bisa terjadi jika struktur kekuasaan di dalamnya direkonstruksi; dari yang hierarkis menjadi egaliter. Rumah yang damai adalah rumah yang membebaskan semua penghuninya, tanpa paksaan peran yang kaku.
Dalam masyarakat modern, rumah sering kali dibebani dengan ekspektasi material: memiliki rumah besar, interior mewah, perabot mahal. Ini menjadikan rumah sebagai komoditas, bukan tempat kebermaknaan. Pertikaian dalam rumah tangga sering kali berakar dari tekanan ekonomi, tuntutan gaya hidup, atau kegagalan memenuhi standar sosial.
Marcuse berbicara tentang “one-dimensional man”, yaitu manusia yang kehilangan kapasitas kritis karena tenggelam dalam sistem. Dalam konteks rumah, anggota keluarga menjadi satu dimensi: ayah sebagai pencari nafkah, ibu sebagai pengurus rumah, anak sebagai produk pendidikan. Peran-peran ini, jika tidak dikritisi, akan melanggengkan ketegangan karena menekan keragaman potensi manusia.
Dalam dunia postmodern, identitas menjadi cair. Rumah tidak lagi menjadi pusat kehidupan yang tetap, karena mobilitas tinggi, digitalisasi, dan disintegrasi keluarga tradisional. Dalam pandangan postmodernisme (melalui pemikir seperti Jean Baudrillard dan Zygmunt Bauman), rumah bukan lagi tempat menetap, tetapi menjadi simbol simulasi; dipoles untuk media sosial, bukan untuk kenyamanan. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai “simulacra”; di mana rumah terlihat bahagia di permukaan (foto keluarga, dekorasi mewah), tetapi kosong secara emosional. Dalam realitas ini, rumah bisa menjadi tempat perang dingin: komunikasi digital menggantikan dialog, performa menggantikan keintiman.
Zygmunt Bauman malah menyebut masyarakat saat ini sebagai “liquid modernity”; di mana semua relasi menjadi rapuh dan fleksibel. Rumah bukan lagi tempat stabil, karena keluarga bisa bubar kapan saja, berpindah kota, atau terpisah ruang oleh teknologi. Dalam dunia cair ini, kita perlu lebih sadar bahwa menjaga rumah sebagai tempat pulang adalah proyek sadar, bukan sesuatu yang terjadi otomatis.
Banyak filsuf kontemporer sepakat bahwa rumah adalah proyek etis; yaitu ruang yang perlu dibangun dengan kesadaran, niat, dan nilai-nilai yang membebaskan. Emmanuel Levinas, misalnya, menekankan etika wajah: melihat yang lain (anggota keluarga) bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang harus dihormati. Kehidupan rumah tangga yang damai lahir dari interaksi etis: saling mendengarkan, tidak memaksakan kehendak, dan bersedia menerima perbedaan. Dalam rumah yang seperti ini, pulang menjadi pengalaman eksistensial yang utuh, bukan kewajiban yang melelahkan.
Pandangan kontemporer, rumah tidak dilihat secara romantis, melainkan sebagai ruang dinamis yang mencerminkan kondisi eksistensial, struktur kekuasaan, dan ideologi zaman. Ketika rumah menjadi tempat perang, itu adalah cerminan bahwa kita belum berhasil menciptakan ruang manusiawi di titik terdekat dalam hidup kita. Oleh karena itu, membangun rumah sebagai tempat pulang berarti melakukan revolusi diam-diam: mengubah pola pikir, membongkar struktur lama, dan menciptakan etika baru dalam hidup bersama. Rumah yang damai bukanlah rumah yang bebas konflik, tapi rumah di mana setiap konflik ditangani dengan cinta, kesadaran, kesabaran, dan penghargaan terhadap sesama. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat di SMA Yadika, Bekali Pemilih Pemula dengan Edukasi Hukum dan Kesadaran Demokrasi
Kegiatan yang dipimpin langsung oleh dosen FH Unmal, Erlina S.P., M.H, ini melibatkan sejumlah mahasiswa lintas angkatan. Dengan suasana interaktif dan penuh antusiasme, para siswa diajak memahami peran strategis pemilih pemula dalam menentukan arah masa depan bangsa.
“Pengabdian masyarakat ini bukan sekadar rutinitas akademik, tetapi wujud nyata kontribusi kami kepada masyarakat. Kami ingin menanamkan kesadaran hukum sejak dini kepada generasi muda,” ujar Dekan FH Unmal, Aditia Arief Firmanto, SH., MH.
Dalam sesi utama, para siswa mendapatkan pemaparan mendalam tentang proses pemilu, hak dan kewajiban pemilih, serta betapa berharganya satu suara. Erlina menegaskan, memilih calon legislatif—baik di tingkat nasional maupun daerah—adalah langkah menentukan arah pembangunan.
Tak hanya memberi penyuluhan hukum, FH Unmal juga memperkenalkan keunggulan Program Studi Ilmu Hukum serta peluang Beasiswa KIP Kuliah 2026. Bahkan, pihak fakultas merekomendasikan lima siswa SMA Yadika untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
“Ini bentuk dukungan kami terhadap pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Kami ingin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan tinggi,” ungkap Erlina.
Kegiatan ini juga menjadi ajang pengembangan diri bagi mahasiswa FH Unmal. Mereka mendapat kesempatan melatih public speaking, komunikasi efektif, negosiasi, hingga pemecahan masalah hukum secara langsung di tengah masyarakat.
“Belajar hukum tidak cukup hanya di kelas. Mahasiswa harus terjun langsung, menghadapi audiens yang beragam, dan mampu menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami,” tambah Erlina.
Pengmas di SMA Yadika merupakan bagian dari roadshow tahunan FH Unmal ke enam sekolah tingkat SMA/sederajat di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Misi utamanya adalah menanamkan nilai-nilai hukum dan kesadaran demokrasi di kalangan pemilih pemula.
“Kami percaya, jika generasi muda memahami hukum, mereka akan lebih bijak dalam bertindak. Hukum bukan hanya untuk dipelajari, tapi juga dijalani dalam kehidupan sehari-hari,” tutup Erlina. (gil)
Editor: Gilang Agusman
57 Lulusan Sarjana Kedokteran Universitas Malahayati Resmi Dikukuhkan
Turut hadir dan memberikan sambutan, Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes. Dalam pidatonya, beliau menyampaikan rasa bangga atas capaian para lulusan yang telah menyelesaikan pendidikan sarjananya dengan baik.
“Menjadi dokter bukanlah sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hidup. Teruslah belajar, beradaptasi dengan perkembangan ilmu, dan selalu berempati kepada pasien,” pesannya kepada para lulusan.
“Perjalanan kalian penuh tantangan, tetapi hari ini membuktikan bahwa kegigihan dan komitmen akan membuahkan hasil. Saya percaya kalian semua mampu menjadi dokter yang profesional, berilmu, dan berakhlak mulia,” tuturnya.
Magister Akuntansi Universitas Malahayati, Program Khusus UMKM Naik Kelas, Strategi Cerdas untuk Tumbuh Pesat
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Bayangkan beberapa tahun dari sekarang, bisnis Anda bukan hanya bertahan, tapi tumbuh pesat. Laporan keuangan rapi, arus kas stabil, biaya operasional efisien, strategi ekspansi jelas, investor melirik, pelanggan setia bertambah, dan pesaing mulai bertanya-tanya: “Bagaimana caranya mereka berkembang begitu cepat?”
Semua itu bisa berawal dari satu keputusan tepat yang Anda ambil hari ini—bergabung dengan Program S2 Magister Akuntansi for UMKM Naik Kelas di Universitas Malahayati.
Program ini dirancang khusus bagi pemilik usaha, pelaku UMKM, dan profesional yang ingin menjadikan manajemen keuangan sebagai senjata utama dalam memenangkan persaingan. Dengan kurikulum praktis dan pembimbing berpengalaman, Anda akan mendapatkan keterampilan yang langsung bisa diterapkan dalam bisnis.
Di program ini, Anda akan belajar untuk: Mengelola keuangan usaha secara profesional dan transparan, Menyusun perencanaan keuangan yang matang dan terukur, Melakukan efisiensi tanpa mengorbankan kualitas, Merancang strategi scale-up berbasis analisis keuangan yang solid.
Biaya terjangkau dengan subsidi 50%: Pendaftaran: Rp 1.000.000, Sumbangan Wajib: Rp 1.500.000, SPP: Rp 625.000/bulan (bisa diangsur).
Manfaat yang akan Anda bawa pulang: Bukan hanya gelar magister, tapi keterampilan praktis yang langsung meningkatkan performa bisnis Anda.
Kuota sangat terbatas! Setiap detik yang Anda tunda adalah peluang yang bisa diambil orang lain. Saat pesaing melangkah maju, jangan biarkan Anda tertinggal di tempat yang sama. Inilah kesempatan Anda untuk melompat jauh ke depan.
Kontak Resmi: 0811-7970-0505
Website: malahayati.ac.id
Universitas Malahayati – Dari ilmu menuju aksi, dari usaha menuju kesuksesan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
“Luka Sosial” (Ancaman Keberlangsungan Negeri)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari belakangan ini kondisi badan sedang tidak baik-baik saja. Demam sedang menghampiri, dan seolah diutus oleh-Nya untuk memerintahkan penulis agar istirahat. Namun melihat, membaca, meresapi peristiwa sosial Kabupaten Pati yang berseliweran di media sosial, ujung jari tidak mau berhenti untuk menulis luberan ide yang ada di kepala. Hal itu terjadi karena dalam disiplin ilmu yang penulis geluti, peristiwa semacam itu terjadi karena masyarakat Pati mengalami “luka sosial”.
Luka sosial adalah trauma kolektif yang timbul dari ketidakadilan struktural, pengabaian aspirasi masyarakat, dan tindakan kekuasaan yang arogan. Belajar dari Kabupaten Pati di mana konflik antara pemerintah dan warga menciptakan ketegangan sosial yang mendalam.
Luka ini bukan hanya masalah lokal, tetapi mengancam integritas nasional bila tidak segera ditangani secara adil dan beradab. Arogansi Bupati Pati yang menantang rakyatnya, dan keterlalujumawaan sekretaris daerah, membuat terluka hati dan perasaan rakyatnya; terutama yang sudah ikut berjuang memenangkan sang bupati saat pemilukada. Mereka semula berharap pemimpin yang diusung akan membawa kemaslahatan bersama; ternyata di perjalanan, sang pemimpin berbalik arah, dengan menantang rakyatnya untuk berdemo, 50 ribu orangpun akan dilayani, sekalipun pada akhirnya meminta maaf. Namun, jejak digital tidak akan bisa hapus begitu saja.
Tulisan ini tidak ingin memperkeruh situasi, tetapi ingin mendapatkan hikmah dari peristiwa yang sedang berjalan. Menurut filsafat sosial, luka sosial adalah kondisi terganggunya kohesi sosial akibat praktik kekuasaan yang melukai rasa keadilan, martabat, dan partisipasi warga. Luka ini bersifat laten, sulit dideteksi secara kuantitatif, tetapi sangat berbahaya. Ia dapat mengendap dalam memori kolektif masyarakat dan menjadi bahan bakar bagi kemarahan, radikalisme, separatisme, atau apatisme politik.
Axel Honneth, seorang filsuf kontemporer dari mazhab Frankfurt, menjelaskan bahwa luka sosial terjadi ketika pengakuan (recognition) terhadap martabat individu dan kelompok diabaikan. Manusia sebagai makhluk moral, membutuhkan pengakuan atas eksistensinya, baik dalam bentuk hukum, sosial, maupun cinta kasih. Ketika pengakuan ini gagal diberikan oleh negara atau masyarakat dominan (dlam hal ini pejabat), maka timbul penghinaan moral, yang menyebabkan luka kolektif mendalam. Ini ditunjukkan dengan bagaimana rakyat melawan SatPol PP Kabupaten Pati yang semena-mena melakukan penindasan pada mereka.
Dalam konteks Kabupaten Pati dan daerah-daerah serupa, tampak jelas bahwa luka sosial dipicu oleh monopoli kekuasaan dan komunikasi. Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bekerja tidak hanya secara koersif, tetapi juga melalui wacana. Ketika para pemimpin menyebarkan narasi tunggal, seperti dalih “pembangunan demi rakyat”; sembari menutup ruang dialog, mereka memaksa masyarakat menelan realitas yang tidak mereka pilih. Ketika masyarakat bersuara, mereka dilabeli “pengganggu ketertiban”, “provokator”, atau “tidak tahu diri”, dan lain sebagainya; inilah bibit dari luka sosial itu.
Sementara itu, Max Weber mengingatkan tentang krisis legitimasi kekuasaan. Ketika otoritas (baik legal-rasional maupun karismatik) disalahgunakan, kekuasaan kehilangan dasar moralnya. Warga masyarakat tidak lagi taat karena menganggap penguasa tidak lagi mewakili mereka. Jika ini terus berlanjut, maka yang muncul bukan kepatuhan, tetapi perlawanan diam-diam atau terbuka.
Émile Durkheim mengajarkan bahwa masyarakat bertahan karena ada solidaritas sosial; baik karena kesamaan (solidaritas mekanik), maupun keterkaitan fungsional (solidaritas organik). Namun, luka sosial menghancurkan kedua jenis solidaritas ini. Masyarakat menjadi saling curiga, antarkelompok saling menyalahkan, dan antara rakyat dan negara terbentuk jurang emosional yang dalam. Akibatnya terbangun tembok “apa yang dikatakan pejabat sekalipun benar, akan rakyat anggap salah” dan sebaliknya “apa yang rakyat sampaikan sekalipun itu benar, pejabat menganggap itu bentuk penolakkan”.
Luka sosial yang dibiarkan berlarut-larut bisa bermetamorfosis menjadi dua hal yang sama berbahayanya: Pertama, apatisme politik: masyarakat tidak lagi percaya bahwa sistem dapat mewakili mereka. Partisipasi dalam pemilu menurun, dialog politik melemah, dan pengawasan terhadap pemerintah lumpuh. Negara berjalan tanpa koreksi dari rakyat.
Kedua, radikalisme dan populisme: sebagian lain memilih jalur ekstrim. Mereka masuk ke kelompok-kelompok yang menjanjikan “keadilan alternatif”, kadang dalam bentuk radikal. Mereka bisa tertarik pada ideologi keagamaan, etnisitas, atau bahkan gerakan separatis. Ini bukan karena ideologi itu sendiri, tetapi karena ketidakpercayaan total pada negara.
Oleh sebab itu dalam konteks globalisasi dan kompetisi geopolitik, negara yang mengalami konflik internal, luka sosial, dan keterpecahan identitas menjadi sangat rentan. Negara-negara asing, perusahaan multinasional, dan aktor non-negara dapat memanfaatkan ketegangan ini untuk meraih keuntungan; baik secara ekonomi, politik, maupun strategis.
Luka sosial membuka celah infiltrasi wacana asing, radikalisasi lewat media sosial, atau dominasi ekonomi lewat proyek-proyek besar yang justru memperdalam ketimpangan. Ini adalah lingkaran setan yang sulit dihentikan bila luka sosial tidak segera ditangani.
Oleh karena itu Axel Honneth menekankan pentingnya pengakuan tiga dimensi: cinta dan perhatian (personal), hak hukum (legal), dan solidaritas sosial (komunitas). Negara harus kembali mengakui rakyat sebagai subjek bermartabat, bukan objek kebijakan.
Martha Nussbaum menekankan bahwa kebijakan publik harus dilandasi empati dan etika emosi. Rasa marah dan sakit hati warga adalah sinyal bahwa ada ketimpangan moral. Negara harus menjawabnya bukan dengan represi, tetapi dengan empati: mendengar, meminta maaf, dan memperbaiki.
Negara harus membangun ruang diskusi yang setara bagi semua elemen bangsa. Masyarakat tidak hanya dilibatkan, tetapi diberdayakan.
Deliberasi yang sehat akan melahirkan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Kasus Pati dan daerah-daerah lain bisa menjadi titik balik jika para pemimpin berhenti bersikap arogan, dan mulai mengakui bahwa rakyat adalah subjek moral, bukan statistik pembangunan. Negara harus kembali pada akar: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, bukan hanya mengurus investasi dan pertumbuhan angka.
Luka sosial bukan sesuatu yang harus disembunyikan. Ia adalah alarm etis bahwa negara telah menjauh dari rakyat. Jika alarm ini terus diabaikan, maka kehancuran bukan lagi kemungkinan, dia menjadi keniscayaan. Filsafat sosial memberi kita alat untuk membaca, memahami, dan menyembuhkan luka itu: melalui empati, pengakuan, dialog, dan keadilan. Negara tidak bisa berdiri hanya di atas hukum dan ekonomi. Ia harus berdiri di atas kepercayaan, solidaritas, dan legitimasi moral yang dibangun dari relasi manusiawi antara rakyat dan pemimpinnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Uji Nyali dari Kabupaten Pati
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Jagat media sosial minggu-minggu ini dihiasi dengan keriuhan Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang Bupati-nya mendapat respons kurang menyenangkan dari rakyatnya. Sumber utama dari keriuhan itu adalah pada 18 Mei 2025, Bupati Sudewo memutuskan menaikkan tarif PBB‑P2 hingga sekitar 250 %, dengan alasan tarif pajak sebelumnya tidak pernah disesuaikan dalam 14 tahun terakhir. Tujuannya adalah meningkatkan penerimaan daerah untuk pembangunan infrastruktur, renovasi RSUD RAA Soewondo, dan program pertanian-perikanan.
Meskipun tujuan kenaikan pajak itu mulia, namun reaksi masyarakat berbeda. Diduga, hal itu karena dialog atau musyawarah tidak pernah dilakukan terlebih dahulu.
Keputusan itu memicu gelombang protes keras. Di media sosial dan forum publik, warga mengkritik kebijakan tersebut sebagai “tidak manusiawi”. Mahasiswa PMII Cabang Pati melakukan demonstrasi di depan Kantor Bupati pada 3 Juni 2025, membakar ban, memasang spanduk kritis, dan menuntut pencabutan kebijakan.
Bupati memilih tidak menemui massa, memicu ketegangan lebih lanjut. Video pernyataan Bupati yang viral menunjukkan keengganan untuk mencabut kebijakan, bahkan menantang rakyat untuk mengerahkan 50.000 demonstran: “Silakan bawa 50 ribu orang, saya tidak akan gentar, keputusan tidak akan saya ubah.”
Walaupun pada akhirnya Bupati meminta maaf dan mencabut aturan itu, untuk menghindari benturan, ia berkeputusan untuk pergi umrah. Terlepas dari semua hal yang melatarbelakangi peristiwa ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, untuk dijadikan pembelajaran kedepan kepada siapapun yang memimpin negeri ini.
Sikap dan kebijakan Bupati yang dianggap arogan dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat mengundang kritik tajam. Dari perspektif filsafat sosial, kejadian ini bukan hanya masalah kebijakan publik semata, melainkan soal legitimasi kekuasaan, kontrak sosial, dan hak-hak warga negara yang fundamental. Tulisan ini akan membedah kasus tersebut dengan menggunakan kerangka berfikir filsafat sosial untuk memahami implikasi etis dan sosial dari tindakan seorang pemimpin yang “menantang” rakyatnya.
Filsafat sosial klasik, terutama karya-karya Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, menegaskan bahwa kekuasaan politik memperoleh legitimasi dari persetujuan rakyat yang diperintah. Kontrak sosial adalah fondasi hubungan antara penguasa dan rakyat yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam konteks ini, pemimpin berkuasa bukan untuk memaksakan kehendaknya secara sewenang-wenang, melainkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara adil dan bertanggung jawab.
Kenaikan PBB-P2 sebesar 250% tanpa konsultasi publik yang memadai dan diiringi sikap menantang rakyat untuk melakukan demo adalah tindakan yang melanggar esensi kontrak sosial. Bupati dengan pernyataannya yang menantang, seperti berkata, “Silakan bawa 50 ribu orang, saya tidak akan gentar,” menunjukkan bahwa ia lebih mengedepankan otoritasnya daripada fungsi pelayan publik yang bersandar pada legitimasi dari rakyat. Dengan demikian, kekuasaannya berisiko kehilangan landasan moral yang sangat penting dalam filsafat sosial.
Menurut teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas, legitimasi politik tidak hanya bersandar pada mekanisme formal pemilihan, tetapi juga pada komunikasi yang rasional dan dialog antara pemerintah dan rakyat. Hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, mengkritik, dan mengorganisasi protes adalah bagian dari hak politik fundamental yang tidak boleh diabaikan oleh pemimpin.
Sikap menantang rakyat dengan nada konfrontatif memperlihatkan ketidakmampuan pemimpin untuk berkomunikasi secara dialogis. Ketika rakyat protes sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan atas kebijakan yang dianggap memberatkan, respons yang tepat dari pemimpin seharusnya adalah membuka ruang diskusi, mendengar aspirasi, dan mencari solusi bersama. Sebaliknya, sikap menantang dan tidak peduli pada aspirasi rakyat justru memperlemah kewajiban moral seorang pemimpin dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban.
Sementara itu dalam perspektif filsafat sosial modern, kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan sebagai pelayanan (servant leadership). Robert K. Greenleaf menekankan bahwa seorang pemimpin sejati adalah yang mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pemimpin harus bertindak sebagai pelayan masyarakat, membangun kepercayaan, dan menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyat hidup sejahtera dan bermartabat.
Kasus Bupati Pati menunjukkan adanya kesenjangan antara prinsip kepemimpinan tersebut dengan realitas tindakan Bupati Sudewo. Alih-alih berupaya menjelaskan secara empatik alasan kenaikan pajak dan mendengarkan keluhan rakyat, ia memilih sikap defensif dan menantang yang memecah kepercayaan publik. Padahal, dalam filsafat sosial, kepercayaan adalah modal utama hubungan sosial yang sehat dan berkelanjutan antara pemimpin dan rakyat.
John Rawls, salah satu tokoh filsafat politik kontemporer, menekankan pentingnya prinsip keadilan sebagai fairness (kesetaraan dan kewajaran). Kebijakan publik harus memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan mengutamakan perlindungan terhadap kelompok rentan. Kenaikan pajak secara drastis yang tidak diimbangi dengan komunikasi dan kompensasi sosial yang memadai berpotensi menambah beban masyarakat miskin dan menengah.
Untuk konteks Pati, warga yang menggantungkan hidup pada usaha kecil dan sektor pertanian menjadi sangat terdampak oleh kenaikan PBB-P2. Pemerintah daerah, melalui Bupati, seharusnya bertanggung jawab melakukan kajian sosial-ekonomi yang matang dan menerapkan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat kecil.
Menantang rakyat yang protes atas beban tersebut bukanlah sikap seorang pemimpin yang adil dan bertanggung jawab, melainkan sebuah indikasi pengabaian terhadap keadilan sosial.
Sikap arogan dan menantang rakyat bukan hanya berdampak pada legitimasi kekuasaan secara normatif, tetapi juga berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial.
Filsafat sosial menegaskan pentingnya solidaritas dan kohesi sosial dalam menjaga stabilitas masyarakat. Ketegangan antara pemerintah dan rakyat yang muncul dari tindakan pemimpin yang kurang empatik dapat memicu konflik, protes massa, dan ketidakpercayaan jangka panjang terhadap institusi pemerintahan.
Fenomena demonstrasi mahasiswa dan warga di Pati bukan hanya reaksi atas kenaikan pajak, tetapi juga simbol ketegangan sosial yang lebih dalam. Ketika pemimpin gagal merangkul rakyat dan malah menantang mereka, ruang dialog dan rekonsiliasi sosial menjadi tertutup. Ini mengancam harmoni sosial yang seharusnya dijaga oleh seorang pemimpin.
Filsafat sosial menggaariskan bahwa, akuntabilitas merupakan pilar penting bagi tata kelola pemerintahan yang baik. Seorang pemimpin harus transparan dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas dampak kebijakan yang diambil.
Etika kepemimpinan menuntut kesadaran moral dan kesediaan untuk menerima kritik. Bupati Sudewo, setelah gelombang protes dan intervensi pemerintah pusat, akhirnya menyampaikan permintaan maaf. Ini menunjukkan adanya kesadaran atas kegagalan komunikasi dan implikasi sosial dari kebijakan yang diambil.
Namun, penundaan permintaan maaf dan sikap awal yang menantang rakyat menunjukkan lemahnya etika kepemimpinan dalam konteks ini.
Kasus Bupati Pati 2025 memberikan pelajaran penting dari kacamata filsafat sosial tentang bagaimana seharusnya pemimpin menjalankan kekuasaannya.
Legitimasi kekuasaan tidak bisa dibangun hanya dari posisi jabatan atau kemampuan mengambil keputusan sepihak, melainkan harus bersandar pada kontrak sosial, dialog yang rasional, pelayanan kepada rakyat, keadilan sosial, dan akuntabilitas. Pemimpin yang arogan dan tidak responsif terhadap aspirasi masyarakat berisiko merusak kohesi sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Pemimpin sejati adalah yang mampu menginspirasi, melayani, dan menjaga keadilan, bukan yang mengancam dan menantang rakyatnya. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 1 Kick Boxing di Ajang Lampung Kickboxing Championship 2025
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Kali ini datang dari Devi Wulandari (23410074), mahasiswi Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, yang sukses meraih Juara 1 pada Kejuaraan LAMPUNG KICKBOXING CHAMPIONSHIP 2025 kategori Full Contact -56kg Senior Putri.
Kejuaraan ini berlangsung di GOR PKOR Way Halim, Bandar Lampung, pada Jumat, 25 Juli 2025 dan diikuti oleh atlet-atlet terbaik dari berbagai daerah di Lampung. Devi tampil gemilang sejak babak penyisihan, menunjukkan teknik yang matang, mental juara, serta stamina yang prima hingga akhirnya berhasil menaklukkan lawan-lawannya di partai final.
Prestasi ini bukan hanya menjadi kebanggaan pribadi bagi Devi, namun juga mengharumkan nama Universitas Malahayati di kancah olahraga daerah. Dengan dedikasi dan latihan yang konsisten, Devi membuktikan bahwa mahasiswa juga bisa berprestasi di luar bidang akademik.
Dalam wawancara, Devi menyampaikan rasa syukur dan terima kasihnya.
“Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa meraih juara di ajang ini. Terima kasih kepada pelatih, keluarga, teman-teman, dan tentunya Universitas Malahayati yang selalu memberikan dukungan. Semoga prestasi ini bisa menjadi motivasi bagi teman-teman mahasiswa lain untuk terus berusaha meraih mimpi, baik di bidang akademik maupun non-akademik.” – Devi Wulandari
Universitas Malahayati mengapresiasi pencapaian Devi dan berharap semakin banyak mahasiswa yang mengukir prestasi di berbagai bidang, membawa semangat “Bersama Membangun Prestasi dan Mengharumkan Nama Bangsa”. (gil)
Editor: Gilang Agusman
53 Mahasiswa Akuntansi Universitas Malahayati Lolos Program Inbound di Universitas Brawijaya
Program Inbound ini merupakan bagian dari kolaborasi antarperguruan tinggi yang bertujuan memberikan pengalaman belajar lintas kampus. Melalui program ini, mahasiswa akan mengikuti perkuliahan, diskusi, serta berbagai kegiatan akademik bersama dosen dan mahasiswa Universitas Brawijaya. Kesempatan ini diharapkan dapat memperluas wawasan, meningkatkan keterampilan akademik, serta memperkaya jejaring profesional para peserta.
“Kami berharap para mahasiswa dapat memanfaatkan pengalaman berharga ini sebaik-baiknya. Tuntutlah ilmu sebanyak mungkin, berinteraksi aktif, dan jadikan momen ini sebagai langkah awal untuk meraih kesuksesan di masa depan,” ujar Luthfi.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan ini menjadi bukti nyata kualitas dan daya saing mahasiswa Universitas Malahayati di tingkat nasional. Partisipasi dalam program ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berprestasi dan mengembangkan diri.
“Kami sangat bersemangat untuk belajar di Universitas Brawijaya. Ini kesempatan langka untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan teman-teman dari kampus lain,” ungkapnya.
Editor: Gilang Agusman
Proses, Takdir dan Fitrah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang, hari itu kedatangan tiga mahasiswa pascasarjana yang masih semangat-semangatnya ingin menjadi magister. Mereka bertiga menggarap penelitian dengan satu tema tetapi tiga masalah. Dipenghujung diskusi persoalan mengerucut pada proses, takdir dan fitrah. Setelah diberi pemahaman panjang lebar, mereka baru memahami. Satu penggalan diskusi pada wilayah filsafat jika dipaparkan secara ringkas adalah sebagai berikut:
Dalam kehidupan manusia, kita sering dihadapkan pada dinamika yang tak terhindarkan: awal dan akhir, memiliki dan kehilangan, datang dan pergi, sedih dan senang. Ungkapan bijak “Awal dan akhir adalah proses, memiliki dan kehilangan adalah takdir, datang dan pergi adalah fitrah, sedih dan senang tidak selamanya” mencerminkan refleksi mendalam atas perjalanan eksistensi manusia. Kehidupan bukanlah suatu garis lurus yang statis, melainkan arus yang dinamis dan terus-menerus berubah.
Ungkapan “awal dan akhir adalah proses” menggambarkan bagaimana kehidupan manusia berjalan dalam alur waktu. Kelahiran bukan sekadar permulaan biologis, dan kematian bukan sekadar akhir fisik. Keduanya adalah momen dalam alur keberadaan yang lebih luas. Dalam pemikiran Heidegger, kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan harus disadari sebagai kemungkinan eksistensial yang paling pribadi. Kesadaran akan kematian justru membuat hidup lebih otentik.
Dengan menyadari bahwa awal dan akhir adalah bagian dari proses, manusia tidak hanya melihat hidup sebagai tujuan-tujuan eksternal, tetapi juga sebagai pengalaman batin yang mendalam. Kita tidak pernah “selesai” sebagai manusia, oleh sebab itu kita selalu dalam proses menjadi. Inilah yang membuat eksistensi kita begitu unik dan bermakna.
“Memiliki dan kehilangan adalah takdir” merupakan pernyataan yang mencerminkan keterbatasan manusia dalam mengendalikan dunia. Kita seringkali mengira bahwa kita dapat memiliki sesuatu secara mutlak, termasuk orang yang kita cintai, harta, status, atau bahkan waktu. Namun dalam kenyataannya, segala sesuatu yang kita miliki bersifat sementara. Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre mengungkapkan bahwa keterikatan terhadap hal-hal duniawi sering kali menimbulkan kecemasan, karena di lubuk hati terdalam kita sadar bahwa semua itu bisa hilang.
Dari sisi ini, kehilangan adalah pengalaman universal. Tidak ada satu manusia pun yang hidup tanpa kehilangan. Namun, dalam filsafat, kehilangan bukan sekadar kesedihan; ia juga menjadi pintu pembuka menuju refleksi dan kedewasaan. Dalam kehilangan, manusia dihadapkan pada fakta bahwa dirinya bukan pusat semesta. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari realitas yang jauh lebih besar.
“Datang dan pergi adalah fitrah” menunjukkan bahwa hubungan antar manusia tidak pernah bersifat permanen. Fitrah, dalam konteks ini, bisa dipahami sebagai kecenderungan alami. Kita bertemu orang, membangun hubungan, lalu berpisah disebabkan karena waktu, jarak, pilihan, atau kematian. Inilah ritme kehidupan sosial manusia.
Dari perspektif filsafat Islam, fitrah manusia mencakup potensi spiritual dan sosial yang telah Allah tanamkan sejak lahir. Menurut Al-Ghazali, manusia memiliki kecenderungan untuk mencari kebaikan, kebenaran, dan cinta. Maka, membangun relasi adalah bagian dari fitrah itu. Tetapi, karena dunia ini fana, maka relasi pun tidak kekal. Datang dan pergi bukanlah tragedi, melainkan bagian dari hukum alam.
Dalam filsafat eksistensial, kehadiran orang lain sering kali menjadi cermin bagi diri sendiri. Sartre menyebut bahwa “neraka adalah orang lain” karena kehadiran mereka membuat kita sadar akan siapa kita. Namun, Emmanuel Levinas justru melihat kehadiran orang lain sebagai panggilan etis. Maka, setiap pertemuan dan perpisahan membawa peluang untuk pertumbuhan moral dan spiritual. Jika datang dan pergi adalah fitrah, maka sikap manusia seharusnya adalah menerima dan belajar dari setiap interaksi. Kehilangan bukan berarti kegagalan, dan pertemuan bukan berarti pemilikan. Semuanya bagian dari perjalanan eksistensial yang harus dijalani.
“Sedih dan senang tidak selamanya” menyentuh aspek emosional dari eksistensi manusia. Emosi adalah bagian integral dari keberadaan manusia. Kita tidak bisa menghindari rasa senang ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, dan tidak bisa menolak kesedihan ketika kehilangan. Namun, baik senang maupun sedih, keduanya bersifat sementara.
Ungkapan bijak yang menjadi dasar esai ini bukan hanya rangkaian kata-kata puitis, tetapi juga pintu masuk menuju refleksi filosofis yang dalam tentang makna hidup manusia. Dalam hidup, kita selalu berada dalam proses menjadi: dari awal ke akhir, dari memiliki ke kehilangan, dari datang ke pergi, dari senang ke sedih, dan sebaliknya. Kesadaran bahwa semua ini adalah bagian dari struktur keberadaan, bukan sekadar kejadian acak, memberikan kita kekuatan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna.
Oleh karena itu bahwa hidup tidak harus dimenangkan, melainkan dimengerti. Dengan memahami bahwa proses, takdir, dan fitrah adalah bagian dari keberadaan kita, kita bisa menjalani hidup dengan lebih lapang, penuh kasih, dan penuh makna. Akhirnya, tugas kita bukan untuk melawan arus waktu, tetapi untuk menari di dalamnya, tentu dengan kesadaran, kesabran, cinta, dan keikhlasan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Bahagia Tak Harus Tertawa, Sedih Tak Harus Menangis
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menjelang senja rumah kedatangan seorang satuan pengamanan komplek perumahan. Beliau orangnya pendiam, dan jika berbicara seperlunya saja, bahkan tidak jarang tanpa ekspresi. Entah ada apa senja itu dia mampir ke rumah, dan itu sangat jarang dia lakukan kecuali jika ada panggilan; setelah didesak dengan segala macam jurus, ternyata dia menjawab baru tertimpa musibah, uang yang di dalam account-nya dibobol oleh peretas. Setelah beliau berlalu kembali ke pos penjagaan, ada pembelajaran yang dipetik dari seorang satuan pengamanan ini, yaitu seperti yang dijadikan judul tulisan. Bahasan kali ini juga dari sudut pandang filsafat manusia.
Pada kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengasosiasikan bahagia dengan tawa, dan sedih dengan tangis. Kita juga menganggap bahwa ekspresi lahiriah merupakan cerminan mutlak dari keadaan batin seseorang. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua kebahagiaan harus ditunjukkan dengan senyuman lebar dan sumringah, dan tidak semua kesedihan perlu ditumpahkan dalam bentuk air mata. Bahkan, dalam banyak situasi, diam menjadi satu-satunya bentuk komunikasi yang paling jujur dan penuh makna. Di sinilah letak kekayaan dari pengalaman manusia; yang tak selalu bisa direduksi ke dalam simbol-simbol lahiriah.
Dari sudut pandang filsafat manusia kontemporer, pernyataan “Bahagia tak harus tertawa, sedih tak harus menangis”, bisa jadi diam adalah pilihan terbaik; mencerminkan kompleksitas eksistensi manusia sebagai makhluk yang memiliki kedalaman batin, kebebasan eksistensial, dan kapasitas reflektif yang melampaui permukaan ekspresi fisiknya.
Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, menyatakan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan makna atau tujuan tertentu yang sudah ditentukan. Justru, manusialah yang harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Dalam kerangka ini, emosi seperti bahagia dan sedih tidak bisa direduksi hanya ke dalam tanda-tanda eksternal. Ketika seseorang bahagia tapi memilih tidak tertawa, atau sedih tanpa menangis, ia sedang menggunakan kebebasannya untuk menafsirkan dan mengelola emosinya sendiri. Beliau juga menekankan konsep “pilihan.” Dalam kebebasannya, manusia bertanggung jawab atas makna yang ia berikan pada hidupnya. Diam, dalam hal ini, bisa menjadi ekspresi kebebasan. Seseorang yang memilih diam ketika bisa saja berteriak atau menangis, sedang menunjukkan kontrol atas dirinya. Ia tidak tunduk pada reaksi spontan semata, tapi sedang membentuk makna emosinya dalam kerangka kebebasan personal.
Martin Heidegger memperkenalkan konsep “Dasein” sebagai istilah untuk menyebut manusia sebagai makhluk yang ‘ada-di-dunia’. Bagi Heidegger, manusia otentik adalah manusia yang menyadari kefanaannya dan mampu hidup dengan kesadaran akan kematian. Dalam konteks ini, perasaan bahagia dan sedih tidak selalu harus diekspresikan secara eksplisit. Manusia yang sadar akan kedalaman eksistensinya bisa saja merasa bahagia dalam kesendirian, dalam keheningan, dalam momen-momen reflektif yang tak tampak dari luar. Oleh sebab itu pula Heidegger menekankan pentingnya “keheningan” dalam pengalaman eksistensial. Dalam Being and Time, ia menulis bahwa keheningan bukanlah ketiadaan komunikasi, melainkan bentuk komunikasi yang lebih mendalam. Ketika seseorang diam, ia sedang ‘menarik diri’ dari kebisingan dunia dan masuk ke dalam ruang refleksi. Diam menjadi momen otentik, di mana seseorang benar-benar berhadapan dengan dirinya sendiri, tanpa distraksi sosial.
Emmanuel Levinas, berbicara banyak tentang etika dan hubungan antar-manusia. Dalam pemikirannya, “wajah” orang lain adalah panggilan etis yang tidak bisa dihindari. Namun menariknya, wajah yang dimaksud Levinas bukan sekadar wajah fisik yang tersenyum atau menangis, melainkan kehadiran yang mengajukan tanggung jawab. Dalam konteks ini, seseorang yang tidak tertawa bukan berarti tidak bahagia, dan seseorang yang tidak menangis bukan berarti tidak merasakan duka. Wajah yang diam bisa saja menyampaikan rasa pedih yang lebih mendalam daripada air mata. Keheningan, dalam relasi antar-manusia, justru bisa menjadi bentuk empati yang paling kuat. Ketika seseorang memilih diam di hadapan penderitaan orang lain, bukan berarti ia tak peduli, tapi bisa jadi ia sedang membuka ruang bagi penderitaan itu untuk berbicara dengan caranya sendiri.
Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas Holocaust, menulis buku terkenal Man’s Search for Meaning, yang membahas bagaimana manusia dapat menemukan makna bahkan dalam penderitaan terdalam. Ia menyatakan bahwa penderitaan tidak secara otomatis menghancurkan manusia; yang menghancurkan adalah penderitaan yang dianggap tak bermakna. Dalam pengalamannya di kamp konsentrasi Nazi, Frankl menyaksikan banyak orang yang tetap bertahan hidup bukan karena kekuatan fisik, tetapi karena mereka memiliki “mengapa” yang membuat mereka mampu menghadapi “bagaimana.” Ia juga menekankan pentingnya keheningan dalam proses pemaknaan tersebut. Diam, bagi Frankl, bisa menjadi momen di mana seseorang menyelami dirinya untuk menemukan makna yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dalam konteks ini, tuntutan untuk selalu tersenyum saat bahagia atau menangis saat sedih bukanlah keharusan eksistensial, melainkan konstruksi sosial. De Beauvoir akan berpendapat bahwa memilih diam dalam menghadapi tekanan emosional adalah bentuk pemberontakan terhadap norma sosial yang membatasi ekspresi manusia. Keheningan bisa menjadi bentuk resistensi sekaligus penyelamatan identitas pribadi dari invasi masyarakat.
Filsafat kontemporer juga mengajarkan bahwa emosi manusia tidak bersifat biner. Seseorang bisa merasa bahagia dan sedih pada saat yang sama. Ada kebahagiaan yang muncul dari kehilangan, dan kesedihan yang terasa manis karena mengandung kenangan indah. Emosi manusia adalah dialektika yang kompleks.
Dalam dialektika ini, diam bisa menjadi ruang tempat emosi itu “bercampur” tanpa harus dipisahkan atau diklasifikasikan. Keheningan memungkinkan ambiguitas. Dan justru dalam ambiguitas itulah, pengalaman manusia menjadi utuh. Kita tidak harus tertawa untuk mengakui kebahagiaan, tidak harus menangis untuk merasakan duka, dan tidak harus berbicara untuk memahami.
Dari perspektif filsafat manusia kontemporer, ungkapan “Bahagia tak harus tertawa, sedih tak harus menangis”, terkadang diam menjadi pilihan terbaik. Ini adalah representasi dari kematangan eksistensial. Ia mencerminkan kedalaman pemahaman bahwa manusia bukan sekadar makhluk yang bereaksi, tetapi juga yang merefleksikan. Keheningan bukanlah kekosongan, melainkan ruang batin yang penuh makna. Diam bisa menjadi bahasa yang paling jujur dalam situasi ketika kata-kata gagal, dan ketika ekspresi lahiriah justru menyederhanakan realitas batin yang kompleks. Itulah manusia dengan segala dimensinya, sulit dipahami tetapi mudah dimengerti. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman