“Ndablek”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu saat memberi kuliah di salah satu program pascasarjana pada perguruan tinggi papan atas di daerah ini, ada mahasiswa yang sibuk menggunakan gadgetnya saat perkuliahan berlangsung. Diberi pandangan mata tidak suka dengan caranya, yang bersangkutan tidak tanggap. Diberi sindiran juga tidak mempan, seolah yang diucapkan dosen sebagai angin lalu. Karena tidak mau mengorbankan waktu dan mahasiswa lain, perkuliahan dibuat tanya jawab, agar bisa berkeliling area mengamati mahasiswa; ternyata yang bersangkutan tetap saja melakukan aktivitasnya. Sampai-sampai temannya yang ada di seberang meja merasa tidak nyaman dengan perilaku tadi. Model mahasiswa/I seperti ini termasuk kategori “ndablek”.

Berdasarkan penelusuran digital “ndablek” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang keras kepala, bandel, atau tidak mau menurut pada aturan atau nasihat. Orang yang “ndablek” cenderung sulit diatur, tidak peduli dengan konsekuensi, dan tetap melakukan sesuatu meskipun sudah diperingatkan atau dilarang. Dalam konteks tertentu, “ndablek” bisa memiliki nuansa negatif, misalnya untuk menyebut anak yang susah dinasihati atau orang yang tidak memiliki rasa malu ketika melanggar norma, atau tidak paham sindiran bahkan teguran sekalipun.

Ternyata perilaku ndablek ini tidak hanya ada di ruang kelas atau ruang kuliah saja, akan tetapi hampir disemua lini kehidupan ditemukan “mahluk ndablek”. Bisa dibayangkan jika pimpinan daerah sudah melarang untuk melakukan sesuatu, karena ada sesuatu alasan lain yang memberatkan, ternyata yang bersangkutan tetap nekad melakukan larangan tadi dengan harapan dalam hati agar dirinya menjadi terkenal, atau dikenal. Ada lagi kelakuan untuk menutupi “kendablekan”-nya dengan cara mengutak-atik istilah dari studi banding menjadi studi tiru; begitu ditanya wartawan asli yang bersangkutan tutup muka dan lari terbirit-birit berlindung di ketiak para pengawal bayaran.

Banyak lagi sederatan contoh yang dapat kita tampilkan, tetapi sebaiknya kita mencari makna dan hakikat dari perilaku ndablek. Ternyata bila ditelusuri secara teori diperoleh informasi dari berbagai literatur bahwa perilaku ndablek itu memiliki akar persoalan, penjelasannya sebagai berikut:

1. Teori Belajar (Behaviorisme)
Menurut teori behaviorisme, perilaku ndablek bisa terjadi karena penguatan negatif atau kurangnya konsekuensi yang tegas. Jika seseorang terbiasa melanggar aturan tanpa hukuman yang jelas, ia akan belajar bahwa perilaku tersebut bisa terus dilakukan tanpa konsekuensi serius.

2. Teori Kepribadian (Psikoanalisis – Freud)
Sigmund Freud membagi kepribadian menjadi Id, Ego, dan Superego. Orang yang ndablek cenderung lebih dikendalikan oleh Id (dorongan kesenangan) dibanding Superego (moral dan aturan sosial).

3. Teori Perkembangan Moral (Kohlberg)
Menurut Lawrence Kohlberg, seseorang bisa bertindak ndablek jika masih berada pada tahap perkembangan moral yang rendah, yaitu:
Tahap Prakonvensional → Hanya patuh jika ada hukuman atau imbalan. Jika tidak ada hukuman, maka aturan dilanggar.
Tahap Konvensional → Patuh hanya untuk menyenangkan orang lain, bukan karena memahami nilai moralnya.
Orang ndablek mungkin belum mencapai tahap Postkonvensional, di mana seseorang menaati aturan berdasarkan prinsip moral yang lebih tinggi.

4. Teori Kognitif-Sosial (Bandura)
Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku ndablek bisa muncul karena modeling atau observasi. Jika seseorang sering melihat orang lain melanggar aturan tanpa konsekuensi, maka ia cenderung meniru perilaku tersebut.

5. Teori Attachment (Bowlby & Ainsworth)
Jika seseorang memiliki hubungan emosional yang buruk dengan orang tua atau pengasuhnya di masa kecil, ia bisa mengembangkan attachment insecure, yang membuatnya sulit menerima aturan atau otoritas di kemudian hari.

Ternyata perilaku ndablek itu tidak sesederhana wujudnya atau tampilannya, sebab dibawah sadar pelakunya ada persoalan-persoalan serius yang mendorongnya sehingga menjadi ndablek. Tidak peduli dia pejabat atau rakyat jika sudah terserang penyakit ndablek, maka akan menyusahkan orang lain atau paling tidak merusak sistem sosial yang telah dibangun bertahun-tahun.

Berdasarkan studi terakhir ternyata ndablek ini bisa berkembang menjadi muka tembok; oleh karena itu bangun kerangka silogismenya: orang ndablek bisa saja berlanjut menjadi muka tembok, tetapi orang muka tembok pasti didahului perilaku ndablek. Seseorang yang ndablek mungkin masih merasa malu atau takut akan adanya konsekuensi, sedangkan muka tembok sudah sampai pada tahap tidak peduli sama sekali terhadap omongan atau peringatan orang lain. Bahkan nyolong uang rakyat dengan cara licik yang kedapatan sudah bisa dipastikan mukanya menjadi muka tembok.
Berbeda lagi dengan yang ada di sana; ternyata ndablek dengan muka tembok berkelindan sempurna. Bisa dibayangkan korupsi karena minyak dengan total mencapai hampir satu kuadriliun, begitu ditayangkan wajah-wajah mereka seperti tidak menanggung beban, atau paling tidak malu; justru yang ditampilkan cengar-cengir seperti muka kuda liar Sumbawa. Bisa jadi muka tembok yang bertulang ndablek ini sudah menghitung, jika hukumannya paling 15 tahun penjara dipotong masa tahanan dan “kelakuan baik”, maka tinggal sekitar tujuh tahun, kemudian mendapat remisi dan seterusnya akhirnya mereka hanya kena lima tahun penjara, itupun penjaranya bisa disulap sesuai selera. Belum lagi kalau ada bantuan meringankan dari mereka yang selama ini menjadi pemilik negeri; maka selesailah semua bisa hilang dimakan waktu.

Semoga ndablek tidak berkembang menjadi “penyakit sosial”, karena jika ini yang terjadi maka kita akan mengalami kesultan mengobatinya, karena pasiennya ndablek, yang mengobati juga ndablek, yang melayani ya ndablek; maka sempurnalah menjadi “pawai ndablek”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ramadhan Momentum Sempurnakan Amal Kebaikan

Muslih, S.H.I., M.H
Dosen Agama dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Malahayati

Bismillah Alhamdulillah la haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim.
Allahuma soli ala sayyidina muhammadin waala alihi sayyidina muhammadin.
Assalamualaikum Warohmatullahi wabarakatuh

Ramadhan sebagai pintu awal bulan kalender hijriah dalam islam yang penuh keberkahan menandakan momentum penting untuk mengisi bulan ramadahan dengan penuh semangat antusias senang gembira melalui amal kebaikan yang sempurna. Wujud cinta dan kasih sayang pada bulan Ramadhan bukan hanya sekedar ucapan belaka melainkan perlu diwujudkan dalam bentuk amal-amal yang di kerjakan dengan sempurna.

Semangat Masyarakat yang begitu besar dalam mengisi bulan suci Ramadhan yang penuh hikmah terlihat dari bagaimana antusias menyambut penetapan 1 ramadhan 1446 hijriah. Kegembiraan masyarakat terlihat dengan memunuhi masjid masjid Allah dengan Aktivitas ibadah. Paginya dengan suasana riuh suara ramai mempersiapkan saur, sore sore mempersiapkan untuk buka hingga jalan jalan sampai macet, dll. Supaya aktivitas ibdah dapat diraih dengan sempurna seyogyanya menerapkan pilar penting kesempurnaan (Amal) aktivitas/ kegiatan ibadah
Tiga (3) pilar penting kesempurnaan amal dengan menerapkan pilar pertama (1) Cinta (hub) dalam bentuk ibadah rasa cinta atau al-mahabbah yang menjadi dasar penting dalam beribadah kepada Allah SWT. Cinta ini dapat membuat ibadah dilakukan dengan tulus, ikhlas, dan penuh kesadaran. Amal ibadah melalui rasa cinta lahir lahir sikap rela mengorbankan waktunya tenaga pikiran untuk keberkahan bulan Ramadhan, dengan rasa cinta ia peduli berbagi kepada tetangganya, menjaga ucapannya dan prilakunya yang menyakiti orang lain.

Momentum Ramadhan ia sempurnakan untuk meraih manfaat yang ada didalamnya, untuk mendapatkan ampunan (Magfirah) Allah dengan cara perpuasa hanya atas keimanan dan keikhlasan semata, mendirikan shalat hanya karena iman dan Ikhlas, begitupun amal yang lainnya. “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Āli ‘Imrān [3]: 31).

Untuk mendapatkan manfaat atas (Rahmat)Allah dan pembebasan dari api neraka (Itqun Minan Nar) sebagaimana Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Awal bulan Ramadhan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah dan akhirnya Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka)”.
Untuk mewujudkan atau membuktikan rasa cinta kepada Allah manusia dituntut untuk patuh atas segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya serta mengikuti ajaran nabinya (Nabi Muhammad SAW) selain itu atas kesempatan waktu ia manfaatkan untuk berdzikir dan berdoa pagi hari, sore hari, malam hari, bahkan setiap hembusan nafas untuk disalurkan ingat kepada Allah sang maha pencipta.

Pilar kedua (2) Takut (Al-Khauf) maksudnya dalam menjalankan (Amal) aktivitas lahir rasa takut dihadapan Allah. Kegiatan yang dilakukan hawatir mendatangkan murka, hawatir tidak sesuai dengan kehendak Allah, mempunyai kekhawatiran atau ketakutan sekiranya lisannya mengucapkan perkataan yang mendatangkan murka Allah. Hawatir tidak sempurna apa yang dijalankannya sebagaimana dalam hadits“Tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu (perkataan) yang tidak berguna”. (HR. At Tirmidzi).

Takut adalah suatu sikap seseorang untuk tidak berbuat sesuatu jika tidak ada manfaat dan faidah serta petunjuk yang jelas. Seseorang yang takut kepada Allah mestinya ia mengenal dirinya apakah mengetahui segala fungsi hati akal dan fisik dengan baik ataukah sebaliknya sebagaimana satu ungkapan kaidah (man arofa nafsah waman arofa robbah) siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal tuhannya. Takut kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak terlalu diperhatikan oleh sebagian orang-orang mukmin, padahal itu menjadi dasar beribadah dengan benar. Firman Allah Ta’ala: “Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(Ali ‘Imran 175).

Momentum Ramadhan mengajarkan kesempurnaan amal dapat diraih dengan rasa takut jika perut menahan rasa lapar dan haus tapi tidak dapat pahalanya. Orang mukmin yang baik tidak akan memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali dari yang halal, dan memakannya hanya terbatas pada kebutuhannya saja.Sebagaimana Firman Allah Ta’ala: Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain diantara kamu dengan jalan yang batil”.(Al Baqarah: 188).

Pilar ke tiga (3) harapan (Roja). Maksudnya segala bentuk amal yang dilakukan Roja’ adalah sikap mental dalam Islam yang berarti mengharapkan ridha, rahmat, dan pertolongan Allah SWT. Roja’ merupakan salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang Muslim. Mengharap sesuatu meyakini sesuatu, meminta sesuatu, berdoa untuk sesuatu hanya karena atas kehendaknya Allah semata dan atas ridhanya. Tetapi pengharapan ini dalam bentuk kesempurnaan kebaikan Ketika mampu menyeimbangkan rasa takut dan harap disertai dengan ikhtiar doa, dan tawakal dilatih dengan cara melaksanakan ibadah harian (yaumiah) seperti shalat, membaca Al-Quran, dan berdzikir puasa, selalu berupaya memperbaiki diri, meningkatkan akhlak, dan menghindari dosa belajar tentang ajaran agama dan memahami makna dalam Al-Quran.

Dengan berkah Ramadhan dan keistimewaan serta kesempurnaannya Berbagai manfaat yang akan didapatkan dari sikap roja adalah seseoarang memiliki sikap optimis yang pantang menyerah, memiliki keyakinan kuat, tekadnya kokoh, jauh dari rasa sedih dan putus asa, memiliki perasangka yang baik, senantiasa merasa tenang, terhindar dari penyakit hati. Maka segala urusan dengan bekal yang demikian akan memegang kendali sesuai pedoman sebagaimana firman Allah Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Al-Insyirah: 7) Orang yang memiliki sikap rodja akan jauh dari sifat malas, berpangku tangan. Ia akan selalu berusaha dan bertindak sehingga tampak inovatif dan kreatif. untuk tumbuh dan berkembang. (Msl)

Editor: Gilang Agusman

Dosen dan Mahasiswa Psikologi Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat untuk Anak Berhadapan dengan Hukum

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dosen dan mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat yang penuh makna di UPTD PKS Insan Berguna. Kegiatan ini menyasar anak berhadapan dengan hukum (ABH) dengan tujuan membangun kesejahteraan psikologis melalui pendekatan terapi psikologis, asesmen kecerdasan, dan sesi pendampingan. Kamis (27/2/2025).

Acara ini melibatkan dosen psikologi, serta mahasiswa Psikologi angkatan 2022 dan 2023, yang secara aktif berinteraksi dengan anak-anak ABH dalam serangkaian kegiatan edukatif dan terapeutik.

Kegiatan diawali dengan sambutan dari pihak UPTD PKS Insan Berguna, yang menyambut baik inisiatif dari Universitas Malahayati dalam mendampingi anak-anak yang menghadapi tantangan hukum.

Selanjutnya, dosen Prodi Psikologi, Octa Reni Setiawati, S.Psi., M.Psi, memberikan prolog mengenai kesejahteraan mental, dengan fokus pada isu pornografi, seks bebas, dan penyalahgunaan narkoba. Materi ini disampaikan untuk meningkatkan pemahaman ABH tentang dampak psikologis dari perilaku berisiko serta memberikan wawasan tentang bagaimana mereka dapat mengelola diri dengan lebih baik.

Untuk mengukur kondisi psikologis anak-anak, tim psikologi Universitas Malahayati melakukan pretest kesejahteraan psikologis, yang bertujuan untuk memahami kondisi awal mereka sebelum diberikan intervensi melalui aktivitas menyenangkan dan edukatif.

Setelah pretest, mahasiswa psikologi mengajak ABH bermain games tebak karakter, yang dirancang untuk meningkatkan kerja sama tim, kepercayaan diri, dan interaksi sosial. Anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok dan secara bergantian memperagakan karakter yang diberikan oleh mahasiswa psikologi.

“Gamesnya seru bang, bikin kita seneng, kerja sama tim juga sama kepercayaan satu sama lain bang,” ujar salah satu peserta ABH dengan antusias.

Setelah permainan, peserta dan mahasiswa melakukan diskusi reflektif mengenai pembelajaran yang diperoleh dari game tersebut. Diskusi ini bertujuan untuk menggali pemahaman anak-anak terhadap konsep kebersamaan, kepercayaan, dan tanggung jawab, yang penting dalam membangun pola pikir positif dan sehat.

Kegiatan berlanjut dengan post-test untuk melihat apakah ada perubahan dalam kesejahteraan psikologis anak-anak setelah mengikuti aktivitas sebelumnya.

Selanjutnya, dilakukan asesmen kecerdasan menggunakan beberapa alat tes psikologi yang telah disiapkan. Anak-anak kemudian menjalani sesi wawancara dengan dosen psikologi secara bergantian. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami lebih dalam kondisi emosional, kognitif, serta aspek sosial mereka, yang nantinya dapat menjadi dasar untuk intervensi lebih lanjut.

Sebagai penutup, tim pengabdian masyarakat dari Universitas Malahayati memberikan makanan dan bingkisan kepada anak-anak ABH sebagai bentuk kepedulian menjelang bulan suci Ramadan 2025. Momen ini menjadi saat penuh kehangatan, di mana para peserta dapat merasakan kebersamaan dan kepedulian dari lingkungan sekitar.

Kegiatan ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi anak-anak ABH, tetapi juga menjadi pembelajaran berharga bagi mahasiswa dan dosen psikologi. Melalui interaksi langsung dengan ABH, mereka dapat memahami lebih dalam tantangan psikologis yang dihadapi oleh anak-anak yang berkonflik dengan hukum, serta bagaimana memberikan dukungan yang tepat untuk membantu pemulihan mereka.

Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi program berkelanjutan, yang terus memberikan manfaat bagi ABH dalam aspek mental, emosional, dan sosial, serta membantu mereka untuk dapat beradaptasi dan kembali ke masyarakat dengan lebih sehat dan produktif.

Dengan adanya inisiatif seperti ini, Universitas Malahayati terus menunjukkan komitmennya dalam memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang membutuhkan pendampingan psikologis untuk masa depan yang lebih baik. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Tempe Gembus Makanan Rakyat

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada bulan ramadhan seperti ini mengingatkan suasana pedesaan pada akhir tahun 50 an; saat itu negeri ini kondisinya masih sangat memprihatinkan. Pemberontakan ada di mana-mana, rakyat mengalami kekurangan sandang dan pangan, ekonomi begitu sulit; bahkan untuk makanpun rasanya sulit menemukan makanan yang layak. Apalagi jika ukuraan saat ini dipakai, maka bagai bumi dengan langit. Namun kondisi itu tidak membuat menyerah jika harus melakukan ibadah puasa, karena memang puasa itu disamping perintah agama; ternyata juga pada saat itu sudah dilakukan hampir setiap hari karena ketiadaan.

Namun ditengah kesulitan itu ada makanan khas pedesaan bernama “Tempe Gembus”, yaitu tempe yang terbuat dari ampas tahu, dalam bahasa Jawa disebut Gembus, yang difermentasi dengan ragi tempe. Biasanya dijadikan lauk atau camilan goreng di berbagai daerah masyarakat Jawa. Makanan ini menjadi sangat favorit karena disamping murah meriah juga mudah. Walaupun pada waktu itu ada juga masyarakat yang bereksperimen dengan menggantikan kacang kedelai dengan biji karet. Tentu proses pengolahannya sulit, rumit dan bertele-tele. Mengapa kacang kedelai tidak jadi pilihan, karena jika memiliki kacang kedelai lebih baik dijual dengan harga yang cukup lumayan saat itu, dan uangnya dibelikan beras, dan keperluan lain.

Kita tinggalkan soal makan lezat bernama gembus itu, karena kata “gembus” pada sebagaian masyarakat Jawa juga digunakan untuk sebagai kata kiasan. Makna gembus kadang digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menyebut seseorang yang banyak omong tapi kurang substansi, seperti dalam ungkapan “mulutnya kayak tempe gembus” (omong besar tapi kosong). Kalau menggunakan dialek ngapak biasanya akan dikatakan “omongane kaya gembus” terjemahan bebasnya omongannya seperti gembus, maksudnya besar omong.

Ternyata kalau dahulu gembus itu adalah makanan, sekarang berubah bukan hanya makanan tetapi juga pembicaraan, dan pembicaraan yang kosong seperti halnya gembus seperti dialek ngapak, itu sudah merajalela disegala sendi kehidupan. Bisa dibayangkan pembuka mega korupsi ternyata juga punya borok tukang korupsi; sehingga saat mau bicara tentang korupsi yang ditangkap langsung bilang “apa mau saya buka juga korupsimu”. Akhirnya yang keluar pembicaraannya seperti gembus.

Sebelum maju menjadi pemimpin diminta melakukan kampanye, dan semua kita terperangah bahkan ada yang sangat berharap yang bersangkutan langsung saja menjadi pemimpin karena akan membuka ribuan lowongan kerja bagi semua. Namun baru beberapa bulan menjabat ternyata sudah ratusan pabrik tutup dengan ribuan karyawan menjadi pengangguran, akibat dari kebijakkan orang pilihannnya yang tidak mampu. Dan, sekali lagi kata gembus paling cocok untuk kondisi ini.

Belum bekerja sudah mengatur siasat agar bagaimana tetap menjadi pemimpin untuk limatahun kedepan, karena merasakan empuknya singgasana. Akhirnya dibuat kesepakatan mengikat kepada pendukungnya agar tidak lari. Sementara pekerjaan yang seharusnya dikerjakan belum juga dikerjakan; begitu mendengar gerakan anak muda untuk mencari pekerjaan di luar, semua kebakaran jenggot akkhirnya komentar “gembus” yang keluar dari pembelanya.

Memang tidak ada yang sempurna didunia ini, dan tidak bisa segala sesuatu instan, harus berproses. Namun proses akan berjalan manakala perencanaan dibuat dan dikerjakan, dengan melibatkan semua elemen terkait. Bukan lagi masanya mengumbar janji seperti saat “menjual diri”, karena itu akan memperbesar “gembus” saja. Sekarang sudah waktunya membuktikan apa yang diucapkan dengan jelas, tegas, kapan, dan apa yang akan dilakukan untuk mencapainya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Hullumu!

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu karena ada acara di daerah pesisir utara wilayah yang kita tempati ini, harus berjumpa dengan paman dari pihak keluarga istri. Kami berbincang dari hal-hal yang ringan sampai yang serius; bahkan sampai masalah negara tidak terlewatkan. Saat asyik berbicara ada kerabat yang menghampiri sang paman dan meminta sedikit uang. Sang paman tidak berkenan dengan kelakuan kerabat tadi dan menghardiknya dengan kata “…duwit…. hullumu…!”.

Mendengar ujaran singkat dalam Bahasa Lampung itu saya jadi ingat kerabat asal Medan, Sumatera Utara. Sekalipun beliau memiliki status sosial yang tinggi, tetapi saat beliau bertemu masalah yang cukup serius, beliau selalu berucap khas Medan “…palak kali aku liatnya….ha….”. Beda lagi dengan teman yang dari Palembang saat kecewa karena harapan tidak sesuai dengan kenyataannya saat berurusan dengan orang lain, dia akan mengeluarkan kata-kata “……palak Bapak nyo….”.

Tak beda makna, ujaran sejenis pada masyarakat Jawa, pada umumnya anak-anak penggembala ternak atau bahasa setempat disebut “tukang angon”, sangat biasa menggunakan kata “…ndas mu…..” Biasanya ujaran ini disampaikan kepada sesama tukang angon jika mereka berselisih paham.

Karena katagori penggunaan diksi ini sangat situasional. Dalam arti, hanya bisa digunakan kepada teman akrab dan sebaya, tidak bisa dengan sembarangan diucapkan karena akan membuat perasaan orang lain tersinggung. Apalagi jika itu diucapkan dari atas panggung kehormatan, maka yang mengucapkan akan dicap tidak punya tatakrama, atau besar kepala, bahkan bisa jadi tidak punya etika.

Oleh sebab itu diksi seperti di atas pada umumnya untuk semua sub-etnik yang menggunakan padanannya; diucapkan pada situasi informal, atau paling tinggi nonformal. Sementara pada situasi formal, diksi itu tidak lazim diucapkan, dan bahkan dianggap melanggar etika sopan santun ketimuran.

Tampaknya pendidikan kita sudah kehilangan “ruh sejatinya” yaitu pendidikan ahlak dan etika; yang antara lain bersumber dari suri teladan para pemimpinnya atau yang dijadikan panutan, lebih spesifik lagi sebagai “local wisdom”. Ahlakulkharimah sebagai inti pokok pendidikan sudah berganti menjadi “yang kharam sajalah” ; karena semua tergantung kepada “siapa yang sedang berkuasa” bukan bagaimana ahlak dan etika ditegakkan.
“Unggah-ungguh” atau terjemahan bebasnya tatakrama; tampaknya sudah mulai memudar sebagai tata pergaulan. Hal ini dapat kita simak bagaimana budi pekerti yang dahulu merupakan ruhnya pendidikan, terutama pada pendidikan dasar; tampaknya hari ini sudah tidak dipatuhi lagi bahkan ditinggalkan.

Bagaimana keseharian kita disuguhi adu otot bahkan bacot pada lembaga-lembaga terhormat yang kita miliki.
Semula kita berharap dari lembaga-lembaga ini tampil orang-orang yang menjujung tinggi etika dan ahlak mulia. Ternyata yang kita jumpai bagaimana perilaku seenak sendiri, bahkan cenderung mengabaikan norma-norma ketimuran yang ada.

Hampir semua lini kita jumpai “porak-porandanya” etika; coba kita bayangkan pemimpin tertinggi negeri ini dengan ringan berucap yang dijadikan judul tulisan ini dalam bahasa Jawa. Bagaimana pula namanya pengacara naik ke meja pengadilan, bagaimana pula kepala sekolah menantang gubernur yang jadi atasannya secara birokrasi, bagaimana pula kepala dinas pendidikan mengubah diksi dari studi tur menjadi “studi tiru”, bagaimana orang dengan kalem menilap uang megatriliyun, dan masih cengar-cengir di depan kamera wartawan; bagaimana lembaga pengayom rakyat mengadakan razia kendaraan tanpa malu-malu untuk mencari uang pungli, bahkan ada yang salah petik ternyata yang dijemput pasukan elite; dasar mental pengemis peristiwa itupun viral dimedia massa, tetapi tidak membuat yang bersangkutan jera.

Ternyata adagium setiap orang adalah pemimpin, paling tidak pemimpin atas dirinya sendiri; namun tidak semua pemimpin mampu berperilaku sebagai pemimpin, dan dia hanya berperilaku sebatas ketua; semua itu benar adanya. Ternyata adagium itu sekarang juga bertriwikrama menjadi “tidak semua manusia berperilaku berkemanusiaan, yang ada hanya casing yang bernyawa”.

Sebelum mendapatkan “kursi” berkampanye bagai singa lapar, semua mau dilakukan untuk rakyat. Setelah pelantikan berubah menjadi “kucing Anggora” yang selalu minta elus dari tuannya. Jati diri sebagai pemimpin telah digadaikan dengan jasa orang lain, karena dirasa telah mengantarkannya menjadi “raja” yang tidak berhak menyandang “yang mulia”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Bermain Cantik di Area Kocok Bekap

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Istilah ini sangat popular pada wilayah yang berbudaya Palembang, dalam pengertian mereka sehari-hari menggunakan tutur “baso plembang”. Namun istilah ini tidak akan ditemukan dalam kamus resmi; karena bahasa ini sering disebut dalam bahasa tempatan dengan istilah “bahasa pasar”.

Akan tetapi penuturnya ternyata bukan hanya orang di pasar; akan tetapi lebih banyak ditempat-tempat resmi, bahkan gedung megah. Adapun makna bebasnya adalah “hasilnya sudah diatur lebih dahulu”, jadi apapun yang akan dilakukan sebenarnya hanya untuk memenuhi prosedure saja.

Penggunaan istilah kocok bekap (ada juga yang menyebut kocok bekem), adalah perilaku nepotisme dalam arti yang sesungguhnya. Dan, ini anehnya menjadi semacam kebiasaan untuk mendistribusikan “keberuntungan” kepada yang sudah ikut berjuang.

Jadi tidak aneh jika ada pemimpin baru akan membagikan kue keberuntungan tadi kepada para pendukungnya yang selama ini sudah berdarah-darah membantu. Adapun bentuknya bisa bermacam-macam; ada dalam bentuk jabatan strategis, ada juga dalam bentuk mengerjakan proyek yang bernilai besar, dan masih banyak lagi.

Hukum sosial berimbal jasa ini sudah lama terjadi di muka bumi ini. Hanya persoalannya, ada yang sangat mencolok cara melakukannya, ada yang dengan cara “bermain cantik”; sehingga tidak terditeksi sebagai nepotism.

Hal ini tergantung kepada kecerdasan emosional dari pelaku sosialnya.
Pertanyaannya: Apakah hal itu tidak termasuk pelanggaran? Tentu jawabannya, tidak sesederhana itu, dan tidak semudah itu. Sebab pelanggaran itu terjadi jika ada peraturan yang mengatur atau undang-undang yang telah ditetapkan.

Jika tidak ada unsur keduanya, semua akan kembali kepada etika kepatutan. Dan, tentu jika sudah bicara pada wilayah ini menjadi sangat subyektif sekali.

Bisa disimbolkan seperti ini; semula pintu dibuka lebar-lebar agar semua tampak terbuka, transparan, dan lebih “cerdas lagi” agar tampak demokratis. Namun setelah masuk “bubu” (semacam alat penangkap ikan); ternyata sebenarnya sudah ada ikan yang memang dipilih dari jauh sebelum pencalonan.

Hanya mereka-mereka yang memiliki indra ke tujuh, bahkan delapan; yang mampu membaca semua itu. Setelah penetapan finalisasi, baru muncul yang bersangkutan sebagai “calon tunggal dalam kebersamaan”. Sehingga semua tampak baik-baik saja, semua sesuai aturan, semua sesuai peraturan, semua sesuai tahapan; sedangkan kata akhir ada pada tangan yang akan menggunakan.

Model-model bermain cerdas seperti ini tampaknya sudah menggejala di tengah masyarakat kita, baik di pemerintahan, perguruan tinggi, atau dunia kerja lainnya. Permainan bulus berakal bulus memang tidak ada yang dilanggar, tetapi yang sudah masuk tidak bisa keluar.

Oleh karena itu bagi mereka yang memiliki kecerdasan emosional baik, maka dengan sangat hati-hati membaca peta sebelum melangkah. Ranjau-ranjau sosial siap mengamputasi karier seseorang dengan tampak cantik walau sebenarnya itu adalah pil pahit.

Untuk yang satu ini memang tidak cukup syarat formal, seperti pendidikan, pangkat dan golongan, pengalaman jabatan saja. Akan tetapi jauh dari itu ialah harus memiliki indra ketujuh seperti disebut di atas.

Latihan-latihan, bimbingan teknis dan sejenisnya; itu hanya memperpanjang pengalaman kerja; justru yang penting ialah “pernah berjasa apa” kepada “siapa”, dan “dalam bentuk apa”.

Semua itu adalah referensi seseorang untuk meraih kedudukan dalam struktur formal termasuk pemerintahan.
Apakah semua itu bukan nepotisme?Jawabannya tidak semudah pertanyaannya, karena sudah menjadi hukum sosial “kita akan menyukai yang memang mereka juga menyukai kita”.

Hukum sebab-akibat sebagai kausalistas filsafat adalah hukum imanen yang berlaku umum untuk semua peristiwa yang menyertainya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

LPMI Universitas Malahayati Gelar Focus Group Discussion (FGD) Terkait Instrumen Akreditasi Program Studi Kualitatif

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Lembaga Penjamin Mutu Internal (LPMI) Universitas Malahayati mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas terbitnya Instrumen Akreditasi Program Studi (APS) Kualitatif dari Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia (LAM-PTKes). Kegiatan ini dilaksanakan pada Kamis, 27 Februari 2025, bertujuan untuk memperdalam pemahaman terkait instrumen terbaru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Universitas Malahayati.

Kegiatan FGD ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dari berbagai fakultas dan program studi di lingkungan Universitas Malahayati. Para peserta yang hadir antara lain Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, serta Ketua Program Studi (Kaprodi) dan Sekretaris Program Studi (Sekprodi) dari berbagai program studi, termasuk Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Profesi Dokter, Profesi Bidan, Profesi Ners, S1 Kedokteran, S1 Farmasi, S1 Kebidanan, S1 Keperawatan, S1 Kesehatan Masyarakat, D3 Anafarma, dan D3 Kebidanan.

FGD kali ini juga menghadirkan pemateri yang sangat kompeten di bidangnya, yakni Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., seorang pakar dalam bidang pendidikan kesehatan, yang akan memaparkan secara mendalam mengenai instrumen akreditasi kualitatif terbaru dan implikasinya bagi kualitas pendidikan di program studi kesehatan.

Ketua LPMI Universitas Malahayati, Dr. M. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kep., mengungkapkan, “Kegiatan ini sangat penting bagi kita semua, karena dengan adanya instrumen akreditasi baru, kita dapat lebih memahami standar dan indikator yang harus dipenuhi untuk mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik. Kami berharap kegiatan ini dapat memperkuat komitmen bersama dalam meningkatkan mutu pendidikan di Universitas Malahayati.”

FGD ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada seluruh peserta terkait persyaratan dan prosedur dalam pengajuan akreditasi, serta memfasilitasi diskusi antar pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Universitas Malahayati.

Lembaga Penjamin Mutu Internal (LPMI) Universitas Malahayati merupakan lembaga yang bertugas untuk memastikan kualitas pendidikan di Universitas Malahayati melalui pengawasan dan penjaminan mutu secara berkelanjutan. LPMI memiliki peran yang sangat penting dalam proses akreditasi program studi dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi di lingkungan Universitas Malahayati. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1446 H

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Marhaban Ya Ramadhan.. Minal Aidin Walfaidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Selamat menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1446 H. Dibulan yang penuh berkah ini, Semoga segala amalan-amalan dalam menjalankan ibadah puasa akan meningkatkan ketaqwaan kita terhadap Allah SWT. (gil)

Editor: Gilang Agusman

LPMI Universitas Malahayati Bersama Dekan dan Ka.Prodi Fakultas Teknik Bahas Persiapan Akreditasi

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Lembaga Penjamin Mutu Internal Universitas Malahayati (LPMI Unmal) bersama Dekan dan para Ketua Program Studi (Kaprodi) di lingkungan Fakultas Teknik menggelar rapat koordinasi dalam rangka persiapan akreditasi program studi. Kegiatan yang berlangsung di ruang rapat LPMI Unmal ini bertujuan untuk memastikan prodi Teknik Industri, Teknik Lingkungan dan Teknik Mesin siap menghadapi proses asesmen dan memenuhi standar yang ditetapkan oleh LAM Teknik.

Dekan Fakultas Teknik, Dr. Weka Indra Dharmawan, ST., MT menekankan pentingnya sinergi antara pimpinan fakultas, kaprodi, serta LPMI Unmal dalam menyiapkan dokumen akreditasi. “Akreditasi bukan hanya tentang pemenuhan dokumen, tetapi juga cerminan komitmen kita dalam menjaga mutu pendidikan. Oleh karena itu, kita harus bekerja sama agar semua persyaratan dapat dipenuhi dengan baik,” ujarnya.

Ketua LPMI Unmal, Dr. M. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kep, didampingi Waka LPMI Prima Dian Furqoni, S.Kep., Ns., M.Kes. menjelaskan bahwa LPMI Unmal akan melakukan pendampingan intensif bagi setiap prodi yang akan menghadapi akreditasi. “LPMI Unmal akan bersinergi bersama Pimpinan Universitas,UPPS dan PS, serta seluruh civitas akademika Unmal dalam penyusunan Laporan Evaluasi Diri (LED) dan Laporan Kinerja Program Studi (LKPS), serta memastikan semua indikator yang dipersyaratkan dapat terpenuhi, LPMI Unmal bersama Pimpinan Universitas,UPPS dan PS, serta seluruh civitas akademika Unmal dalam rentang tahun 2024 telah melakukan SPME (Akreditasi ) dengan hasil didapatkannya predikat akreditasi UNGGUL untuk Prodi S1 Keperawatan dan Prodi Profesi Ners serta akreditasi Baik Sekali untuk Prodi Teknik Sipil, serta saat ini sedang berjalan dan sudah dalam proses upload borang prodi Akuntansi dan menunggu hasil Angka Kecukupan Akreditasi untuk dilakukan Asesmen Lapangan oleh Lamemba. Semoga mendapatkan hasil yang ditargetkan” katanya.

Dalam pertemuan ini, masing-masing kaprodi memaparkan rencana penyusunan dokumen akreditasi, kendala yang dihadapi, serta strategi yang telah disiapkan untuk meningkatkan nilai akreditasi. Diskusi berlangsung interaktif, dengan berbagai masukan dari tim LPMI Unmal guna menyempurnakan persiapan.

Dengan adanya koordinasi ini, diharapkan Fakultas Teknik semakin siap menghadapi proses akreditasi dan meraih hasil yang optimal demi peningkatan kualitas pendidikan. Fakultas Teknik berkomitmen untuk terus meningkatkan mutu akademik dan pelayanan bagi mahasiswa serta stakeholder lainnya. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Dosen Universitas Malahayati, Ir. Iing Lukman, M.Sc., Ph.D., Jadi Penguji Eksternal Sidang Terbuka Promosi Doktor di Universitas Lampung

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dosen Program Studi Magister Akuntansi Universitas Malahayati Bandarlampung, Ir. Iing Lukman, M.Sc., Ph.D., dipercaya menjadi penguji eksternal dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Program Studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Lampung (Unila) yang berlangsung pada Selasa (26/2/2025).

Keikutsertaan Ir. Iing Lukman, M.Sc., Ph.D., sebagai penguji eksternal dalam ujian sidang doktoral ini menunjukkan pengakuan terhadap keahlian dan pengalaman akademiknya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai akademisi yang telah lama berkecimpung dalam penelitian dan pengajaran, beliau turut memberikan masukan kritis, perspektif ilmiah yang luas, serta evaluasi mendalam terhadap disertasi yang dipertahankan oleh kandidat doktor.

Sidang terbuka ini merupakan tahapan akhir bagi mahasiswa program doktor dalam menyelesaikan studi mereka. Pada kesempatan tersebut, kandidat doktor mempresentasikan hasil penelitian disertasinya di hadapan dewan penguji, yang terdiri dari dosen internal Unila serta penguji eksternal dari universitas lain.

Ir. Iing Lukman, M.Sc., Ph.D., menyampaikan bahwa keterlibatannya sebagai penguji eksternal adalah bagian dari kontribusi akademisi dalam menjaga standar kualitas penelitian di tingkat doktoral. “Saya merasa terhormat bisa berkontribusi dalam proses akademik ini. Ujian promosi doktor adalah momen penting yang menandai lahirnya ilmuwan-ilmuwan baru yang akan berkontribusi bagi dunia akademik dan industri,” ujarnya.

Selain memperkaya wawasan akademik, kolaborasi antaruniversitas melalui pengujian eksternal ini juga menjadi bagian dari sinergi antara perguruan tinggi dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi.

Dengan peran aktif para akademisi seperti Ir. Iing Lukman, diharapkan semakin banyak lulusan doktor yang memiliki kompetensi tinggi dan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. (gil)

Editor: Gilang Agusman