Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Senjamenjelang malam, lewat gaget, masuk kiriman berita khusus dari HBM mengenai perdebatan calon wali Kota Bandarlampung antara nomor urut satu Reihana versus nomor urut dua Eva Dwiana. Kebetulan, keduanya emak-emak.
Reihana didampingi calon wakilnya Aryodhia Febriansyah (Yodhi) dan Eva Dwiana didampingi Deddy Amarullah. Sebagai pendamping, Yodhi dan Deddy banyak menyimak dan menjaga sikapsikap santun sambil senyum-senyum tipis.
Wajar, bagi tim sukses dan tim hura-hura, visi dan misi calonnya bak motto produk kecap, selalu yang nomor satu. Jika dalam menyampaikan gagasan pakai intonasi keras dan narasi mengkritisi lawan, tim hore akan sehore-horenya.
Bagi masyarakat, dari debat adu gagasan, kita bisa mengintip isi kepala dan sedikit meraba hati calon pemimpin Kota ini. Masyarakat antusias membicarakannya. Berita debat calon yang dikirim HBM ke whatsapp grup Helo Indonesia agak sedikit “nyeleneh”.
Kepiawaian HBM dalam membungkus berita perlu diacungi jempol: kemasan menjadi menarik, menggelitik, dan kadang-kadang sedikit “nakal”.
Namun demikian ada yang sedikit terlewatkan dalam narasi beliau, yaitu keberanian salah satu pasangan yang ingin membangun tanpa hutang.
Tampaknya fenomena ini menarik dikupas, sebab hampir semua kepala daerah dalam membangun daerahnya bersumber dari “utangan”. Sehingga kepala daerah berikutnya harus menanggung paling tidak bunga yang harus dibayar; bahkan bisa jadi “induk” nya juga harus bayar.
Tidak aneh jika para kepala daerah tingkat dua paling kencang teriaknya saat menagih Dana Bagi Hasil (DBH) ke provinsi sebab mereka dikejar-kejar lembaga keuangan untuk segera membayar hutang atau paling tidak bunga.
Hal lain juga yang menarik, untuk Kota Bandarlampung, ternyata dua kandidat adalah emak-emak semua, bisa dibayangkan perhitungan mereka akan sen per sen sangat mereka cermati. Naluri emak-emak yang piawai mengelola keuangan, tentu saja menjadi heboh jika bicara perdebatan anggaran.
Keduanya “jago” dalam mengkalkulasi, terutama bidang “tambah dan kali”; sementara wilayah “bagi, dan kurang”; biasanya agak sedikit seret.
Persoalan lain adalah berapa banyak warga kota yang peduli akan perdebatan itu, apalagi bicara mutu; untuk saat ini warga hanya ingin cepat pemilihan dan cepat selesai.
Soal apakah mereka mau datang ke TPS atau tidak, ini menjadi persoalan tersendiri. Justru persoalan utama sebenarnya bukan pada calon, akan tetapi pada tingkat partisipasi masyarakat akan acara puncak, yaitu saat berlangsungnya pemilihan.
Terlepas dari semua hal di atas, ternyata jika emak-emak yang sedang mencalonkan diri sebagai kepala daerah mereka akan mengeluarkan sifat aslinya, yaitu selalu irit kalau untuk mengeluarkan cuan.
Jika anggaran yang diajukan oleh tim pemenangan tidak menyentuh langsung pada tingkat elabilitas mereka, maka pengajuan dana itu akan langsung ditangguhkan, kata lain dari di tolak.
Hal ini bisa dilihat dari salah satu indikatornya jumlah baleho atau banner. Pemasangan alat peraga tersebut selalu diperhitungkan dengan cermat, tidak sembarang semua tempat.
Kemudian kendali akan semua pengadaan dan pendistribusian, selalu ada alur dan pertanggungjawaban yang jelas.
Menginat semua yang di atas, justru itu sebenarnya juga sekaligus kendala bagi para calon dari emak-emak; sebab hitung-hitungan pilkada itu tidak sama dan sebangun dengan hitung-hitungan dapur.
Keberuntungan dalam pilkada, selain faktor takdir, jejak perjalanan hidupnya kerap jadi perbincangan di bawah permukaan. Sering kali, saya mencuri dengar percakapan yang justru bikin semangat membahas sisi lain dari sang calon.
Istilah kaum milenial, yang bikin kepo malah bukan visi dan misinya, rumor, isu, malah yang bikin sedap ketika membicarakan sosok calon pemimpin. Sementara, sang calon terus melaju seolah jejak masa lalu itu telah terhapus waktu.
Meminjam “hukum tahu” Imam Al Ghozali: “diri kita tidak tahu, sementara orang lain tahu”. Masyarakat mengetahui adanya rumor rekam jejak dirinya pada masa lalu, sementara diri yang bersangkutan merasa orang lain tidak akan tahu masa lalunya itu.
Kecacatan personal bisa menjadi blunder manakala ketersebarannya secara senyap person by person, sebab terbentuknya opini akibat persepsi dapat membahayakan siapapun kita pada posisi apapun kita.
Memang tidak ada manusia tanpa kekeliruan di muka bumi ini, namun menjadi berbeda persepsi manakala si pelaku dosa itu tukang timbang di pasar, dengan tukang omong di podium.
Oleh sebab itu upaya memperbaiki diri pada setiap kesempatan adalah sesuatu hal yang dianjurkan oleh ajaran agama kepada kita sebagai pemeluknya.
Semoga para calon nanti yang keluar sebagai pemenang bisa menjaga amanah dan marwahnya. Selamat berjuang demi perjuangan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Si Mata Satu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu agak kesiangan menuju kampus karena ada urusan domestik yang harus diselesaikan, setelah menghadap atasan untuk lapor prihal keterlambatan, sebagai tatakrama yang harus dijunjung tinggi, baru lah masuk keruangan dan sedikit menghentakkan diri untuk duduk melepas lelah.
Sejurus kemudian kedatangan tamu salah seorang staf di lembaga ini dengan tampilan muka agak kurang ceria, bahkan lebih cenderung murung. Tampilan seperti ini tidak biasanya beliau tampilkan yang terkenal riang; apa gerangan yang terjadi pada beliau. Ternyata setelah sedikit cair suasana karena diisi guyon-guyon segar, beliau memajukan kursi seraya berkata ..”Prof..saya ingin mengutarakan sesuatu untuk minta pencerahan dan bagaimana saya harus bersikap”… Tentu saja dengan senang hati mau mendengarkan ungkapan kata dari sang tamu.
Ternyata beliau tadi pagi ada selisih pendapat dengan yang di rumah, dan saat beliau mau menuju kantor mendengar umpatan yang keluar dari mulut orang yang dicintainya itu dengan satu kata ..”dasar Dagjjal”.. Kalimat itu membuat beliau berjalan terhuyung, dan sampai di tempat ini meminta pendapat dan pencerahan. Ringkas cerita beliau mau menerima nasehat yang intinya sejauh kita masih bermata dua, maka kita masih manusia. Andai mendapat julukan si mata satu-pun tidak apa-apa kalau mata yang dimaksud adalah menuju pada satu keharibaan illahi. Kata kucinya adalah sabar, walaupun terkadang sabar dimaknai sama dan sebangun dengan takut. Dan, satu kata itu mudah dan enak mengucapkannya, tetapi sangat sulit, dan perlu upaya untuk melaksanakannya. Hanya orang-orang pilihan yang mampu melakukannya.
Selepas beliau pamit undur diri, maka terbayanglah makna hakiki dari diksi tadi; akhirnya tergerak untuk menelusurinya secara digital apa sejatinya makna itu dari sudut lain. Dajjal biasanya digambarkan dalam teks agama sebagai sosok yang membawa ujian besar bagi umat manusia, di mana ia memperdaya banyak orang dengan kekuatan dan kedigjayaannya. Dalam konteks teori sosial atau filosofis, istilah ini dapat merujuk pada entitas atau konsep yang merepresentasikan keburukan dalam bentuk yang sangat mempengaruhi masyarakat luas.
Ternyata jika kita cermati dengan jeli para dajjal itu sudah ada sekarang. Dan tidak perlu menunggu nanti, hanya saja dalam bentuk wujud yang berbeda. Bisa dibayangkan jika penimbunan BBM terbakar marak dimana-mana, tetapi tak satupun dapat diusut dari mana bahan itu, siapa penimbunnya, untuk apa dan sebagainya. Karena penyidik dan yang disidik mata-nya sama-sama satu, maka sangat sulit untuk diungkap, bahkan tidak akan mungkin terungkap. Karena satu mata yang mereka miliki mampu mengalahkan banyak mata yang melihatnya.
Contoh lain bisa dibayangkan jika ingin mencalonkan diri menjadi pemimpin nomor satu, ternyata berijazah palsu, lalu apakah negeri yang mau dipimpinnya juga palsu. Anehnya lagi jika tidak dikejar oleh netizen, peristiwa ini juga akan selesai dengan bermata satu, sebab kenapa baru pencalonan sekarang itu dipersoalkan, lalu selama ini waktu periode lalu apa pemeriksanya bermata satu.
Belum lagi sekala yang lebih luas, bagaimana calon pemimpin yang minta dipilih, tetapi saat dipanggung menggunakan satu mata, sehingga yang terjadi “Panggung Srimulat Tanpa Pelawak”. Semua pertanyaan yang diajukan dan dipertajam oleh moderator selalu dicurigai; akibatnya sifat aslinya tampak dan tentu sangat merugikan diiirinya karena yang selalu emosian jadi begitu kentara.
Nun jauh di sana beda lagi, calon tersangka keburu ditangkap; ternyata bukti belum kuat. Terpaksa menggunakan mata satu untuk membenarkan kelakuannya, sampai-sampai ada yang mempertanyakan “sekolahnya dimana”. Sementara yang ditersangka-kan senyum-senyum tipis karena dirinya memegang kartu truf jika nanti dipersidangan akan dibuka seterang-terannya. Tentu saja itu belum seru, yang hebat lagi departemen yang mengurusi informasi malah jadi sarang penjudi. Lebih gila lagi uangnya bagai Lagu Bengawan Solo…”uangnya mengalir sampai jauhhh”….
Di tengah sana beda cerita, guru honor dibidik dengan pasal penganiayaan bocah kecil anak didiknya, dan bu guru diperas sejumlah uang, jadi bulan-bulanan penegak keadilan. Anehnya semua bermata satu yaitu hanya melihat uang dan uang; begitu terbuka secara nasional, buru-buru mau cuci tangan, sayang sabunnya sabun cair sehingga keburu meleleh kemana-mana.
Lalu, apakah “si mata satu” itu mahluk atau sifat. Jika mahluk memang belum tampak batang hidungnya, tetapi ika itu ditengarai sebagai sifat, rasanya sifat-sifat itu sudah mulai muncul dimana-mana. Tinggal parameter apa yang akan kita pakai untuk mengukur dan menimbangnya, sebab bisa jadi terukur tapi tak tak berat; atau berat tapi tak terukur. Apakah negeri ini menjadi negeri para badut…semoga itu tidak terjadi, karena Tuhan pasti memiliki skenario akan semua ciptaan-Nya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Omon-Omon Debat Cagub Lampung dan Kepemimpinannya Kelak
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menonton debat pilkada, apapun persoalannya menjadi sangat menarik manakala peserta menunjukkan perilaku aneh-aneh. Sama halnya dengan perdebatan calon pimpinan kepala daerah level provinsi di daerah ini dua hari lalu.
Terus terang, saya semula tidak tertarik dengan “adu gagasan” dengan pola debat; namun karena diberi tahu oleh HBM tentang keseruan acara, maka mulialah menyimak apa yang diminta simak oleh “Kolpah” saya ini.
Benar saja, saat petahana diminta tanggap balik dari persoalan yang terlempar pada acara itu, justru yang bersangkutan menampilkan perilaku yang tidak seharusnya beliau tampilkan.
Ingat pesan emak dulu bahwa kalau kau benci terhadap sesuatu jangan pula kau bawa sampai mimpi, karena itu akan merusak dirimu. Lalu apa itu “benci” dan apapula itu “mimpi”.
Berdasarkan penelusuran digital diperoleh informasi; Teori benci atau hate theory menjelaskan mengapa dan bagaimana perasaan benci muncul dan berkembang dalam diri individu atau kelompok.
Kebencian bisa dipahami sebagai emosi yang kuat, seringkali negatif, terhadap seseorang, kelompok, atau ide tertentu. Berikut beberapa perspektif dan teori yang relevan:
PERTAMA
Teori Sosial-Psikologis: Frustrasi-Agresi: Kebencian sering kali timbul akibat frustrasi. Teori ini menjelaskan bahwa ketika individu atau kelompok merasa terhalang dalam mencapai tujuannya, mereka bisa mengalihkan agresi tersebut ke target yang dianggap lebih lemah atau yang dianggap sebagai penyebab frustrasi.
Teori Pengelompokan Sosial (SocialIdentityTheory). Seseorang cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu (ingroup) dan melihat kelompok lain (outgroup) sebagai ancaman. Hal ini bisa menimbulkan bias dan permusuhan yang berkembang menjadi kebencian.
KEDUA
Teori Kognitif: pembingkaian dan persepsi. Cara seseorang memandang dunia memengaruhi kecenderungan mereka untuk merasa benci. Misalnya, jika seseorang dibiasakan dengan narasi atau retorika yang menjelekkan kelompok tertentu, mereka mungkin akan mengembangkan perasaan benci terhadap kelompok tersebut.
Teori ini menganggap bahwa kebencian bisa dipicu atau diperparah oleh eksposur terhadap media yang mempromosikan stereotip atau ideologi tertentu.
MIMPI
Sementara “mimpi” memiliki banyak teori yang mengupasnya, paling tidak ada tujuh teori yang membahasnya. Namun pada kesempatan ini ada teori yang relevan untuk dijadikan bahan pijak analisis, yaitu:
Pertama, Teori Kognitif (Calvin Hall dan David Foulkes). Pendapat teori ini mimpi sebagai pemikiran yang berkelanjutan. Teori ini menyatakan bahwa mimpi adalah kelanjutan dari proses berpikir yang terjadi selama siang hari.
Dengan kata lain, otak melanjutkan aktivitas berpikir saat tidur, dan mimpi merefleksikan minat, kekhawatiran, dan kegiatan harian seseorang.
Kedua Teori Jungian (Carl Jung). Mimpi Sebagai Komunikasi dengan Alam Bawah Sadar: Jung berpendapat bahwa mimpi tidak hanya mencerminkan keinginan pribadi tetapi juga terhubung dengan alam bawah sadar kolektif, yang berisi arketipe dan simbol universal.
Mimpi membantu individu memahami diri sendiri dan terhubung dengan aspek-aspek universal dari pengalaman manusia.
Oleh sebab itu jika yang dominan pada diri seseorang adalah aspek ketidaksukaan, atau kecurigaan yang berlebih; maka sangat bisa jadi yang bersangkutan akan menjadi pemimpi yang pembenci, dan lebih parah lagi kalau pembenci yang pemimpi.
Manakala model begini diberi amanah untuk memimpin negeri, maka nasib negeri itu “Hanya Tuhan Yang Maha Tahu”.
Kita diminta mencermati sebelum menentukan pilihan, apapun yang kita pilih; apalagi jika itu adalah “calon pemimpin” kita semua. Menjadi sangat aneh manakala kita tidak bisa jeli dalam melihatnya kalau itu sudah terbentang dihadapan kita.
Oleh sebab itu orang bijak pernah berkata “Terlalu mencintai jangan pula sampai menutupi, terlalu membenci jangan pula sampai menjauhi”.
Akan tetapi berada pada posisi tengah bukan pula kita berada pada wilayah “omon-omon”. Selamat memilih yang layak di pilih. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
UKMBS Universitas Malahayati Sukses Gelar Tabu 11, Pentaskan Keindahan Budaya Aceh
Mulai dari area luar gedung pertunjukan, pengunjung disuguhkan instalasi miniatur monumen PLTD APUNG dan diberikan camilan khas Aceh yaitu sale pisang. Pertunjukan dibuka dengan oleh “Divisi Musik Unknown” yang membawakan lagu “Bungong Jeumpa” yang telah diaransemen. Selain itu, penonton disambut oleh para penari “Divisi Tari Badra” dengan tarian Tari Ratoh Jaroe dan penampilan terakhir oleh “Divisi Teater Kita” dengan naskah “Nenek Tercinta” karya Arifin C. Noer, dan ditutup dengan musikalisasi puisi.
Penonton yang hadir pada TABU 11 memang terlihat lebih banyak dibandingkan denga TABU sebelum-sebelumnya. “Wahh keren banget pertunjukkan yang ditampilkan temen-temen dari UKMBS Malahayati, gak ekspek sampai serame itu malam ini” Ujar salah satu penonton dari UKM STKIP PGRI Bandar Lampung yang enggan di sebut namanya.
“Semoga kegiatan ini bisa jadi pemantik semangat buat adik-adik” Ujar Bang Ibe.
“Mudah-mudahan dari kegiatan ini, adik-adik UKMBS Malahayati bisa lebih semangat untuk mendapat prestasi-prestasi yang lebih dari ini” ucap Riko Gunawan S.Kep., M. Kes sebelum membuka acara secara resmi.
Diakhir kegiatan, Ridho Dwi Putra mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh penonton dan seluruh elemen yang sudah membantu kegiatan TABU 11. “Saya banyak mengucapkan terimakasih kepada seluruh orang tua/wali, penonton, dan juga seluruh elemen yang telah membantu pementasan ini, semoga kami dapat terus menghibur temen-temen semua kedepannya” Tutupnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Menulis yang Tidak Tertulis
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat senja dan matahari menuju peraduannya, bersamaan dengan itu sedikit demi sedikit binatang malam bermunculan. Pertama yang sudah mendengung di telinga yaitu nyamuk, diikuti kelelawar menyerbu pohon ceri dekat musala. Sesekali ditingkahi kicauan burung kutilang yang mencari dahan tempat tidurnya. Tidak ketinggalan burung gereja mencari celah-celah teras rumah atau kanopi yang terlindung. Semua kembali keperaduannya masing-masing. Tinggal manusia menungu panggilan untuk hadir menghadap menunaikan perintah-Nya.
Rutinitas seperti itu jarang kita cermati karena seolah sudah menjadi bagian dari siklus keharusan dalam pergantian waktu kehidupan, walaupun sebenarnya banyak hal yang dapat kita ambil sebagai iktibar. Salah satu di antaranya adalah makhluk-makhluk itu memiliki waktu jeda dalam menjalani siklus hidup. sementara manusia sering tidak menemukan waktu jedanya; yang ada hanya mengejar waktu yang tidak mungkin dapat tergapai. Sama halnya banyak di antara kita mampu menulis. Bahkan pelajaran menulis sudah diajarkan semenjak kita mengenal sekolah formal. Namun kenyataannya banyak di antara kita sebenarnya tidak pandai menulis, termasuk menulis tentang dirinya sendiri.
“Filsafat menulis yang tidak tertulis” merujuk pada gagasan bahwa ada makna, ide, atau pemikiran mendalam yang diungkapkan melalui tulisan, tetapi tidak selalu secara eksplisit disampaikan dalam bentuk kata. Istilah ini jika dinukil dari leteratur digital bisa merujuk pada konsep-konsep berikut:
Pertama, Makna Tersirat: Penulis sering menyampaikan pesan atau ide yang lebih dalam melalui simbolisme, metafora, atau implikasi, yang tidak langsung dijelaskan. Pembaca diharapkan untuk “membaca di antara baris” dan menemukan makna yang lebih dalam di balik apa yang terlihat.
Kedua, Pengalaman dan Emosi yang Tidak Terucap: Dalam tulisan, sering kali ada lapisan emosi, pengalaman, atau intuisi yang hanya bisa dipahami jika pembaca merasakan dan menafsirkan di luar teks yang tertulis secara literal. Filsafat ini mengakui bahwa tidak semua hal bisa atau harus diekspresikan secara langsung, tetapi lebih kepada cara pembaca menangkap esensi dari apa yang ditulis. Berpikir esensial seperti ini memang tidak mudah, namun para pujangga terkenal pada jamannya justru selalu bekerja dengan cara ini.
Ketiga, Keterbatasan Bahasa: Ada konsep dalam filsafat dan linguistik yang menyatakan bahwa bahasa memiliki batas dalam menyampaikan makna. Beberapa gagasan atau pengalaman terlalu kompleks untuk sepenuhnya diungkapkan dalam kata-kata, dan tulisan hanya bisa menggambarkan sebagian dari keseluruhan makna.
Dengan demikian hakikat dari “menulis yang tidak tertulis” adalah memahami bahwa proses menulis tidak selalu terbatas pada apa yang secara eksplisit dituangkan dalam kata-kata di atas kertas, melainkan juga mencakup makna-makna mendalam, perasaan, dan pemikiran yang tidak langsung diucapkan.
Secara keseluruhan, hakikat dari “menulis yang tidak tertulis” menekankan bahwa di balik teks yang terlihat ada lapisan-lapisan makna dan pesan yang hanya dapat dipahami melalui perenungan, interpretasi, dan pengalaman mendalam. Persoalannya sekarang apa yang dibalik teks itu sering ditangkap berbeda dari masing-masing pembacanya, dan ini sekaligus menunjukkan kelemahan bahasa. Berlembar tulisan disajikan untuk dibaca, namun saat membacanya tidak menghadirkan rasa bahasa, maka apa yang dibaca tidak lebih hanya komat-kamitnya bibir dalam mengartikulasi deretan huruf.
Secara filosofis, “menulis yang tidak tertulis” bisa juga merujuk pada komunikasi non-verbal, bahasa batin, atau pengalaman intuitif yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya melalui bahasa. Ini berkaitan dengan hal-hal yang sering kali lebih berhubungan dengan pemahaman personal, perasaan mendalam, atau penghayatan yang tidak dapat dinarasikan dengan kata-kata.
Dalam konteks ini, hakikat menulis adalah usaha manusia untuk menangkap dan mekomunikasikan sesuatu yang mungkin tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan atau dipahami melalui pengalaman atau interpretasi. Jadi, maknanya adalah pengungkapan hal-hal yang lebih mendalam, implisit, atau spiritual yang tidak bisa dijelaskan dengan cara menulis yang biasa.
Oleh sebab itu, sangat sulit menjelaskan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, jika ada pertanyaan bagaimana tulisan itu bahasanya bagus, penyampaiannya baik. Sebab, apa pun jawaban yang diberikan tidak dapat mewadahi atau mewakili hakekat dari jawabannya. Banyak hal yang tidak dapat diwakili oleh deretan tulisan untuk menjelaskan makna; sebab makna itu sendiri adalah bahasa yang tidak tertulis.
Dalam menulis yang tidak tertulis, seorang penulis dituntut untuk memiliki sensitivitas terhadap detail-detail yang tidak disadari banyak orang dan keberanian untuk menggali lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan. Ini bukan hanya soal menemukan fakta baru, tetapi juga soal memberikan konteks yang lebih kaya dan narasi yang lebih lengkap terhadap suatu peristiwa. Tidak heran jika ada media cetak yang menjadi terkenal dan akurasinya terpercaya karena para jurnalisnya dapat menemukan makna yang tidak tertulis dari suatu rekaman peristiwa. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari bahwa “melawan lupa” adalah salah satu bentuk dari mengingatkan memori taktertulis untuk tetap permanen sebagai penggalan pengalaman yang tinggal dalam ingatan. Oleh sebab itu, manakala ada janji yang diucapkan menjadi “kenangan kolektif” yang pada saatnya tiba tidak bisa dipenuhi maka bisa berdampak negative kepada si pembuat janji. Demikian juga janji kebahagiaan akan menjadi kekecewaan manakala itu hanya digantung pada harapan. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Sukses Kelola IKU, Ditjen Diktiristek Berikan Program Riset Inovasi Pembelajaran Sebagai Insentif Capaian 8 IKU PTS
Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi Swasta merupakan salah satu program bantuan pemerintah yang dikelola oleh Ditjen Diktiristek.
Ditjen Diktiristek berupaya meningkatkan tranformasi pembelajaran di Perguruan Tinggi Swasta berdasarkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi Nomor 210/M/2023 tentang Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi dengan penggunaan lebih banyak teknologi digital dalam proses pembelajaran.
Program Riset Inovasi Pembelajaran sebagai Insentif Capaian 8 IKU PTS memiliki anggaran yang dialokasi sejumlah Rp111.100.000.000,- (Seratus sebelas miliar seratus juta rupiah) yang dibebankan pada APBN dalam DIPA Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.Dengan memfasilitasi penggunaan teknologi digital sebagai insentif capaian 8 Indikator Kinerja Utama di perguruan tinggi swasta diharapkan dapat meningkatkan mutu Pendidikan Tinggi.
Universitas Malahayati masuk kedalam 275 Perguruan Tinggi Swasta Perguruan tinggi yang lolos seleksi dan mendapatkan hibah tersebut. Dengan Program Riset Inovasi Pembelajaran di harapakan Unmal dapat mengakselerasi transformasi pembelajaran di Perguruan Tinggi dengan penggunaan teknologi, melakukan inovasi pembelajaran dan bahan ajar, meningkatnya Capaian 8 Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi Swasta, dan meningkatnya Mutu Pendidikan di Unmal. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Kirimkan Delegasi, Hadiri Pendatanganan Kontrak Hibah Insentif Capaian IKU 8 PTS Kemendikbudristek
Penandatanganan kontrak ini dilakukan di hotel sultan Jakarta dan dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi kementerian serta perwakilan dari berbagai PTS yang terlibat. Dalam sambutannya, Plt Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D menyampaikan bahwa program ini merupakan langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, terutama di PTS, dengan memberikan dorongan melalui riset dan inovasi pembelajaran yang relevan dan berdampak nyata.
“Kami berharap program ini dapat memberikan motivasi kepada PTS untuk lebih berinovasi dalam pembelajaran sehingga mampu mencapai standar IKU yang ditetapkan,” ujar Plt Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi.
Insentif ini akan diberikan dalam bentuk insentif berupa pendanaan langsung yang dialokasikan sesuai dengan capaian IKU masing-masing PTS yang telah terverifikasi oleh Kemendikbudristek. Diharapkan, dengan adanya insentif ini, PTS akan termotivasi untuk mencapai target 8 IKU yang meliputi kualitas lulusan, tingkat kemahiran dosen, serta relevansi riset yang dihasilkan.
Sejumlah PTS yang hadir dalam acara penandatanganan ini menyambut baik inisiatif ini. Mereka menganggap program ini sebagai peluang bagi PTS untuk mengembangkan kapasitas riset dan inovasi dalam proses pembelajaran. Perwakilan dari Universitas Malahayati Plt Kepala Lembaga Penjamin Mutu Dr. M. Arifki Zainaro, Ns., M.Kep menyampaikan “insentif ini akan digunakan untuk memperkuat kolaborasi riset antar-dosen dan mahasiswa sehingga berdampak positif terhadap proses pembelajaran secara keseluruhan” ujar Arifki sapaannya.
Dengan adanya program ini, Kemendikbudristek berharap capaian 8 IKU di PTS dapat meningkat secara signifikan, sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia yang terus berkembang. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kupengan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Setiap daerah punya cara, setiap wilayah punya budaya; demikian halnya pada daerah tempat bertugas. Ada kebiasaan “baru” diwilayah kerja yaitu setiap ada teman yang ulang tahun, maka warga akan merayakan dengan makan bersama membentang “tikar” di ruang kantor untuk makan bersama. Tentu saja sudah bisa dipastikan setiap bulan ada saja yang berulang tahun, oleh sebab itu sudah bisa dipastikan setiap bulan acara seperti ini akan berlangsung. Makan bersama model ini dalam bahasa Jawa disebut “kupengan”. Berdasarkan penelusuran digital istilah kupengan merujuk pada salah satu bentuk bancaan sederhana yang dilakukan secara pribadi atau dalam lingkup kecil dan biasanya tanpa mengundang banyak orang.
Kupengan umumnya dilakukan untuk merayakan ulang tahun seseorang, terutama anak-anak. Tradisinya adalah seorang anak yang berulang tahun duduk di tengah dan dikelilingi makanan sederhana, seperti nasi, telur rebus, dan lauk-pauk lainnya. Biasanya juga ada doa singkat yang dipanjatkan sebagai ungkapan syukur dan harapan baik. Kupengan sedikit berbeda dengan Bancaan; adapaun perbedaannya ialah: terletak pada skala, suasana, dan cara pelaksanaannya:
Kupengan: Dilakukan secara sederhana dan biasanya hanya melibatkan keluarga inti atau beberapa orang saja. Juga biasanya diadakan tanpa tamu undangan, atau hanya mengundang sedikit orang terdekat. Tradisi ini biasanya dilakukan untuk memperingati ulang tahun anak atau momen pribadi. Makanan yang disajikan juga sederhana, seperti nasi dan telur rebus, tanpa tumpeng atau hidangan besar.
Sedangkan Bancaan: Merupakan acara yang lebih besar, sering kali melibatkan keluarga besar, tetangga, atau teman-teman dekat. Diadakan untuk berbagai keperluan, seperti syukuran, ulang tahun, khitanan, pernikahan, dan acara lainnya. Bancaan umumnya melibatkan lebih banyak hidangan, dan sering kali menampilkan tumpeng, jajanan pasar, atau makanan khas lainnya. Acara bancaan biasanya diawali dengan doa bersama, diikuti dengan makan bersama sebagai ungkapan syukur. Jadi, kupengan lebih kecil dan sederhana, sedangkan bancaan lebih besar dan meriah.
Berdasarkan penelusuran digital Filosofi yang terkandung dalam kupengan memiliki makna mendalam dan sederhana. Berikut beberapa nilai filosofis di balik tradisi ini: Pertama, Kesederhanaan dalam Bersyukur: Kupengan mengajarkan pentingnya rasa syukur meskipun dalam bentuk sederhana. Dengan hanya mengundang keluarga inti atau kerabat dekat, kupengan menunjukkan bahwa kebahagiaan dan rasa syukur tidak selalu memerlukan perayaan besar.
Kedua, Keintiman dan Kehangatan Keluarga: Kupengan mempererat hubungan antaranggota keluarga. Tradisi ini mendorong adanya kebersamaan dalam lingkungan kecil, mengutamakan kedekatan dan ikatan batin keluarga yang lebih erat.
Ketiga, Doa dan Harapan yang Mendalam: Acara ini biasanya dimulai dengan doa atau harapan baik. Dalam kupengan, doa menjadi inti acara, menunjukkan bahwa setiap perjalanan hidup, meski sederhana, patut disyukuri dan diberkahi.
Keempat, Pengajaran Nilai Hidup bagi sesama: Kupengan juga mengajarkan kepada kita bahwa makna ulang tahun atau momen tertentu bukan hanya sekadar pesta, tetapi juga momen refleksi dan syukur. Hal ini membantu anak-anak untuk memahami bahwa perayaan tidak selalu membutuhkan kemewahan.
Secara keseluruhan, kupengan mengandung filosofi untuk hidup sederhana, bersyukur atas nikmat yang ada, dan mengedepankan kedekatan kekeluargaan serta doa yang tulus. Karena tanpa itu semua tempat kerja menjadi neraka para anggotanya; oleh sebab itu suasana guyup rukun adalah oase bagi anggotanya; sekalipun mungkin jika diukur dari pendapatan finansial tidak seberapa.
Sayangnya budaya kupengan yang luhur itu akhir-akhir ini berubah makna, karena yang di kupeng bukan makanan yang dijadikan bancaan tetapi berubah menjadi hasil kejahatan bersama, seperti korupsi, uang pelican dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan jika atas nama hukum bisa guru sekolah dasar honorer dijadikan bancakan untuk kupengan bersama. Atau, seharusnya uang untuk kepentingan lembaga tetapi dijadikan kupengan oleh sekelompok orang untuk memperkaya diri sendiri. Lebih sadis lagi yang yang dijadikan ingkung (ayam bakar) dalam kupengan itu adalah musuh politik yang dicari-cari kesalahannya untuk dipermalukan bersama.
Tampaknya negeri ini sedang tidak baik-baik saja; oleh karenanya diperlukan ketegasan pemimpin, dan jangan pula justru pemimpin hanya “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Untuk menyenangkan atasan berbuat apa saja; bahkan politik belah bambu dipertontonkan, mengangkat yang atas, memijak yang bawah. Tentu saja mengorbankan orang kecil tampaknya lebih mudah, namun tolong dipahamkan doa orang teraniaya itu magbul adanya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Debat Cawakot, Emak-Emak Adu Kecap, Kita Adu Kepo
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Senjamenjelang malam, lewat gaget, masuk kiriman berita khusus dari HBM mengenai perdebatan calon wali Kota Bandarlampung antara nomor urut satu Reihana versus nomor urut dua Eva Dwiana. Kebetulan, keduanya emak-emak.
Reihana didampingi calon wakilnya Aryodhia Febriansyah (Yodhi) dan Eva Dwiana didampingi Deddy Amarullah. Sebagai pendamping, Yodhi dan Deddy banyak menyimak dan menjaga sikapsikap santun sambil senyum-senyum tipis.
Wajar, bagi tim sukses dan tim hura-hura, visi dan misi calonnya bak motto produk kecap, selalu yang nomor satu. Jika dalam menyampaikan gagasan pakai intonasi keras dan narasi mengkritisi lawan, tim hore akan sehore-horenya.
Bagi masyarakat, dari debat adu gagasan, kita bisa mengintip isi kepala dan sedikit meraba hati calon pemimpin Kota ini. Masyarakat antusias membicarakannya. Berita debat calon yang dikirim HBM ke whatsapp grup Helo Indonesia agak sedikit “nyeleneh”.
Kepiawaian HBM dalam membungkus berita perlu diacungi jempol: kemasan menjadi menarik, menggelitik, dan kadang-kadang sedikit “nakal”.
Namun demikian ada yang sedikit terlewatkan dalam narasi beliau, yaitu keberanian salah satu pasangan yang ingin membangun tanpa hutang.
Tampaknya fenomena ini menarik dikupas, sebab hampir semua kepala daerah dalam membangun daerahnya bersumber dari “utangan”. Sehingga kepala daerah berikutnya harus menanggung paling tidak bunga yang harus dibayar; bahkan bisa jadi “induk” nya juga harus bayar.
Tidak aneh jika para kepala daerah tingkat dua paling kencang teriaknya saat menagih Dana Bagi Hasil (DBH) ke provinsi sebab mereka dikejar-kejar lembaga keuangan untuk segera membayar hutang atau paling tidak bunga.
Hal lain juga yang menarik, untuk Kota Bandarlampung, ternyata dua kandidat adalah emak-emak semua, bisa dibayangkan perhitungan mereka akan sen per sen sangat mereka cermati. Naluri emak-emak yang piawai mengelola keuangan, tentu saja menjadi heboh jika bicara perdebatan anggaran.
Keduanya “jago” dalam mengkalkulasi, terutama bidang “tambah dan kali”; sementara wilayah “bagi, dan kurang”; biasanya agak sedikit seret.
Persoalan lain adalah berapa banyak warga kota yang peduli akan perdebatan itu, apalagi bicara mutu; untuk saat ini warga hanya ingin cepat pemilihan dan cepat selesai.
Soal apakah mereka mau datang ke TPS atau tidak, ini menjadi persoalan tersendiri. Justru persoalan utama sebenarnya bukan pada calon, akan tetapi pada tingkat partisipasi masyarakat akan acara puncak, yaitu saat berlangsungnya pemilihan.
Terlepas dari semua hal di atas, ternyata jika emak-emak yang sedang mencalonkan diri sebagai kepala daerah mereka akan mengeluarkan sifat aslinya, yaitu selalu irit kalau untuk mengeluarkan cuan.
Jika anggaran yang diajukan oleh tim pemenangan tidak menyentuh langsung pada tingkat elabilitas mereka, maka pengajuan dana itu akan langsung ditangguhkan, kata lain dari di tolak.
Hal ini bisa dilihat dari salah satu indikatornya jumlah baleho atau banner. Pemasangan alat peraga tersebut selalu diperhitungkan dengan cermat, tidak sembarang semua tempat.
Kemudian kendali akan semua pengadaan dan pendistribusian, selalu ada alur dan pertanggungjawaban yang jelas.
Menginat semua yang di atas, justru itu sebenarnya juga sekaligus kendala bagi para calon dari emak-emak; sebab hitung-hitungan pilkada itu tidak sama dan sebangun dengan hitung-hitungan dapur.
Keberuntungan dalam pilkada, selain faktor takdir, jejak perjalanan hidupnya kerap jadi perbincangan di bawah permukaan. Sering kali, saya mencuri dengar percakapan yang justru bikin semangat membahas sisi lain dari sang calon.
Istilah kaum milenial, yang bikin kepo malah bukan visi dan misinya, rumor, isu, malah yang bikin sedap ketika membicarakan sosok calon pemimpin. Sementara, sang calon terus melaju seolah jejak masa lalu itu telah terhapus waktu.
Meminjam “hukum tahu” Imam Al Ghozali: “diri kita tidak tahu, sementara orang lain tahu”. Masyarakat mengetahui adanya rumor rekam jejak dirinya pada masa lalu, sementara diri yang bersangkutan merasa orang lain tidak akan tahu masa lalunya itu.
Kecacatan personal bisa menjadi blunder manakala ketersebarannya secara senyap person by person, sebab terbentuknya opini akibat persepsi dapat membahayakan siapapun kita pada posisi apapun kita.
Memang tidak ada manusia tanpa kekeliruan di muka bumi ini, namun menjadi berbeda persepsi manakala si pelaku dosa itu tukang timbang di pasar, dengan tukang omong di podium.
Oleh sebab itu upaya memperbaiki diri pada setiap kesempatan adalah sesuatu hal yang dianjurkan oleh ajaran agama kepada kita sebagai pemeluknya.
Semoga para calon nanti yang keluar sebagai pemenang bisa menjaga amanah dan marwahnya. Selamat berjuang demi perjuangan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Manajemen Universitas Malahayati Hadirkan OJK Gelar seminar Technology Driven
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Bandar Lampung, menggelar seminar bertema “Technology Driven – Menghadapi Tantangan Keuangan di Era Gen Z”, Kamis (31/10/2024) di Graha Bintang.
Acara yang mengedepankan pembekalan finansial bagi generasi muda, diikuti 572 mahasiswa Program Studi Manajemen.
Ketua Pelaksana, Ayu Nursari, S.E., M.E., dalam laporannya menyampaikan bahwa seminar ini terselenggara atas kerja sama antara Universitas Malahayati, Program Studi Manajemen, Himpunan Mahasiswa Manajemen, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Lampung.
“Pada kesempatan ini, kami juga memperkenalkan Duta Sekelik (Sarana Efektif Komunikasi Edukasi Literasi) OJK Provinsi Lampung. Proses seleksi untuk menjadi Duta Sekelik sangat kompetitif, dan kami bangga bahwa 2 mahasiswa Program Studi Manajemen berhasil masuk dalam 10 besar Duta Sekelik OJK Lampung,” ujar Ayu.
Dari 34 mahasiswa yang mengikuti tahap awal seleksi administrasi, 12 berhasil lolos ke 50 besar, dan akhirnya 2 mahasiswa terpilih sebagai Duta Sekelik OJK Lampung.
Kaprodi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si., membuka acara dengan menyampaikan pentingnya tema seminar yang sesuai dengan tantangan generasi Z dalam menghadapi perubahan teknologi yang pesat, terutama dalam mengelola keuangan dan membentuk kemampuan kepemimpinan.
“Harapan kami, kegiatan ini bukan hanya sekadar menambah wawasan, tetapi juga sebagai bentuk penerapan Outcome-Based Education (OBE). Melalui seminar ini, para peserta diharapkan bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat untuk pengelolaan keuangan yang bijaksana serta kepemimpinan yang responsif terhadap perubahan teknologi,” kata Dr. Febrianty. (*)
Editor: Asyihin
Tips Menjaga Tubuh Tetap Sehat di Tengah Panas Matahari
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Cuaca di Bandar Lampung semakin panas meskipun beberapa minggu lalu diguyur hujan lebat. Menurut Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Radin Inten II, Rudi Harianto, posisi matahari saat memasuki Oktober berada di sekitar ekuator dan bergerak menuju selatan.
“Provinsi Lampung yang terletak dekat belahan bumi selatan kini mengalami intensitas sinar matahari yang lebih kuat, membuat suhu siang hari terasa lebih panas,” terangnya pada 19 Oktober 2024.
Panas matahari yang tinggi ini bisa berdampak buruk bagi kesehatan, terutama jika tubuh tidak dilindungi dengan baik.
Berikut beberapa tips untuk menjaga tubuh tetap sehat di tengah teriknya cuaca:
Minum Air yang Cukup
Saat suhu meningkat, tubuh lebih cepat kehilangan cairan. Pastikan Anda minum minimal 8 gelas air sehari untuk menghindari dehidrasi. Hindari minuman berkafein atau bersoda yang justru dapat memperburuk dehidrasi.
Pakai Pakaian yang Longgar dan Ringan
Kenakan pakaian yang berbahan ringan seperti katun dan berwarna terang untuk membantu tubuh tetap sejuk dan meminimalkan penyerapan panas.
Gunakan Tabir Surya
Sinar UV yang meningkat dapat merusak kulit dan meningkatkan risiko kanker kulit. Gunakan tabir surya dengan SPF minimal 30 setiap kali keluar rumah dan ulangi pemakaiannya setiap dua jam, terutama setelah berkeringat atau berenang.
Konsumsi Makanan yang Menghidrasi
Makanan seperti buah-buahan segar, sayuran berdaun hijau, dan makanan dengan kandungan air tinggi seperti semangka, timun, dan jeruk dapat membantu menjaga cairan tubuh dan memberi nutrisi tambahan.
Batasi Aktivitas di Luar Ruangan pada Puncak Panas
Usahakan untuk melakukan aktivitas fisik di pagi atau sore hari ketika suhu lebih sejuk. Jika harus berada di luar pada siang hari, pastikan untuk sering beristirahat di tempat teduh dan menggunakan topi atau payung.
Perhatikan Tanda-tanda Dehidrasi dan Heatstroke
Gejala dehidrasi seperti pusing, lelah berlebihan, mulut kering, dan jarang buang air kecil harus diwaspadai. Jika Anda mengalami mual, sakit kepala hebat, atau kulit memerah tanpa keringat, ini bisa menjadi tanda heatstroke yang memerlukan perhatian medis segera. (*)