Mahasiswa Teknik Industri Universitas Malahayati Raih 2nd Runner Up di Rimau Robotic Contest 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Arjun M Syawal (23130024), mahasiswa Program Studi S1 Teknik Industri, berhasil meraih gelar 2nd Runner Up pada ajang bergengsi Rimau Robotic Contest and Exhibition 2025 kategori Line Follower Mahasiswa. Kompetisi ini digelar di Universitas Sriwijaya pada 31 Juli 2025 dan diikuti oleh berbagai perguruan tinggi ternama dari dalam maupun luar daerah.

Kejuaraan ini menjadi wadah adu inovasi, kreativitas, serta keterampilan mahasiswa dalam bidang teknologi dan robotika. Pada kategori Line Follower Mahasiswa, peserta dituntut menciptakan robot yang mampu berjalan mengikuti lintasan dengan kecepatan, akurasi, serta stabilitas yang tinggi.

Arjun tampil percaya diri dan berhasil membawa harum nama Universitas Malahayati melalui performa robot ciptaannya yang stabil, presisi, serta mampu bersaing dengan tim-tim unggulan lainnya. Prestasi ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati mampu bersaing di bidang teknologi dan robotika di level nasional.

Dalam kesempatan wawancara, Arjun menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas pencapaian tersebut. “Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa meraih 2nd Runner Up di ajang Rimau Robotic Contest 2025 ini. Prestasi ini tidak lepas dari dukungan dosen, teman-teman, dan keluarga yang selalu memberi semangat”.

“Kompetisi ini juga membuka wawasan saya tentang pentingnya inovasi dan kerja keras dalam bidang teknologi. Semoga ke depan saya bisa terus berprestasi dan membawa nama baik Universitas Malahayati di kancah nasional maupun internasional,” ujar Arjun.

Prestasi ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi mahasiswa lain di Universitas Malahayati untuk terus berkarya, mengembangkan potensi diri, dan berani berkompetisi di berbagai bidang, khususnya teknologi dan inovasi yang kini semakin berkembang pesat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Katalog Buku Regulasi, Kebijakan, Dan Pelaporan Keuangan Akuntansi Sektor Publik

Judul : Buku Regulasi, Kebijakan, Dan Pelaporan Keuangan Akuntansi Sektor Publik

Pengarang : Apip Alansori, Muhammad Luthfi, Reyndi Fadillah

Penerbit : Universitas Malahayati

Sinopsis: Perkembangan Akuntansi Sektor Publik dari masa ke
masa selalu mengalami perubahan dengan sisi
multidimensionalnya terjelas dengan baik di buku ini. Buku ini
memiliki bab-bab yang disusun secara sistematis dengan
harapan agar buku ini dapat menjadi rujukan serta dapat
membantu para mahasiswa dalam pengambilan keputusan di
bidang Sektor Publik.
Penjelasan dalam buku ini bersifat sangat mudah
dipahami, tentunya semua ini bertujuan agar para pembaca
dapat memahami setiap kondisi persoalan Akuntansi Sektor
Publik secara lebih realistis. Tidak ada suatu kerugian jika buku
ini memiliki nilai tambah sebagai penguat referensi bagi
pengambil keputusan, khususnya para pembuat kebijakan
ekonomi.

Ketika Diam Itu Bersuara

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu membaca komentar seorang teman lama, yang kebetulan satu kampung halaman, dan beliau juga sudah purna bakti, dengan satu komentar yang sangat menohok, siang panglima perang untuk keluarganya, malam dihabiskan waktu untuk Tuhannya. Ternyata beliau penganut aliran “diam itu adalah bersuara”. Istilah ini menjadi sangat menarik jika kita pahami melalui filsafat manusia.

Diam sering dipahami sebagai tidak adanya suara. Ia dianggap sebagai kekosongan, sebagai ruang hampa dari aktivitas, komunikasi, dan ekspresi. Namun bagi manusia yang mau melihat lebih dalam, diam bukanlah kehampaan. Justru di dalam diam, ada kegaduhan yang tak terlihat; ada keramaian yang tak terdengar oleh telinga, tetapi menggema di relung jiwa. Diam bukan ketiadaan, melainkan bentuk keberadaan lain yang lebih dalam, lebih jujur, dan lebih padat makna. Inilah paradoks eksistensial manusia: bahwa yang terlihat hening di luar, bisa sangat riuh di dalam. Ramai dalam diam, bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan realitas eksistensial yang dialami oleh siapa saja yang menyentuh kedalaman dirinya.

Dalam diam, manusia dihadapkan pada dirinya sendiri. Tidak ada pelarian. Tidak ada distraksi. Ketika tubuh tak bergerak dan mulut tak berkata, tak ada lagi tempat untuk menyembunyikan kegelisahan, ketakutan, kerinduan, dan kekosongan batin. Diam menjadi cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya; tanpa topeng sosial, tanpa rekayasa pencitraan. Maka, diam bukan sekadar keadaan fisik, melainkan kondisi batin yang memaksa manusia untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dan dalam dialog itulah, ramai yang sesungguhnya muncul. Sebuah keramaian yang bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam kesadaran yang terbangun.

Manusia adalah makhluk paradoksal. Ia merindukan keheningan, tetapi takut pada kesepian. Ia mencari ketenangan, tetapi terganggu oleh suara hatinya sendiri. Dalam diam, manusia justru menemukan bahwa dirinya tidak pernah benar-benar sendirian. Ada ingatan yang datang silih berganti, ada bayangan masa lalu yang muncul tanpa diundang, ada kecemasan masa depan yang belum terjadi tapi sudah mengganggu. Pikiran manusia bekerja tanpa henti, dan dalam diam, kerja itu menjadi lebih kentara. Inilah yang membuat diam terasa “ramai”. Ia memaksa manusia untuk mendengarkan suara yang selama ini tertutup oleh hiruk-pikuk luar.

Namun keramaian dalam diam tidak selalu negatif. Ia bisa menjadi ladang refleksi, tempat lahirnya kesadaran baru. Dalam keheningan itulah manusia bisa melihat realitas dengan lebih jernih, tanpa gangguan, tanpa kebisingan distraksi. Ketika dunia luar diam, dunia dalam bisa berbicara lebih jelas. Manusia mulai melihat makna dari setiap pengalaman, memahami alasan di balik luka, menangkap pesan dari setiap kehilangan. Diam menjadi medium untuk menyusun kembali kepingan-kepingan hidup yang berserakan. Ia bukan ruang hampa, tetapi ruang pemulihan. Bukan tempat melarikan diri, tetapi tempat untuk kembali pulang kepada diri yang otentik.

Keramaian dalam diam juga terlihat dalam relasi manusia dengan yang ilahi. Doa yang paling tulus seringkali bukan yang panjang dan lantang, melainkan yang lirih, bahkan hanya berupa desahan batin. Dalam diam, manusia menemukan Tuhan bukan sebagai konsep, tetapi sebagai kehadiran. Sebuah kehadiran yang tidak perlu dijelaskan, hanya perlu dialami. Ketika semua kata habis, ketika logika tidak lagi mampu menjawab, ketika perasaan tak terungkapkan, manusia masuk ke dalam ruang diam. Dan justru di situ, ia merasakan pelukan spiritual yang tidak bisa dirumuskan dalam bahasa apa pun. Diam menjadi tempat perjumpaan yang suci.

Keramaian dalam diam juga mencerminkan kompleksitas eksistensi manusia. Kita bisa terlihat tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam. Kita bisa tersenyum, tetapi hancur di dalam hati. Kita bisa diam seribu bahasa, tetapi sebenarnya sedang berteriak dalam batin. Realitas manusia tidak pernah sesederhana apa yang tampak. Ada banyak ruang tak terlihat dalam diri manusia ada ruang luka, ruang harapan, ruang rindu, ruang doa. Semua ruang ini hidup dan aktif, bahkan ketika manusia tampak diam. Dan justru dalam keheningan itulah, semua ruang ini bersuara, bercerita, menari dalam irama yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang terbuka.

Dalam kehidupan sosial, ramai dalam diam juga hadir dalam bentuk solidaritas sunyi. Sebuah genggaman tangan dalam duka, sebuah kehadiran di sisi ranjang rumah sakit tanpa kata-kata, sebuah pelukan dalam keheningan: semua itu lebih keras dari ribuan ucapan. Manusia memahami bahwa tidak semua komunikasi harus melalui kata. Diam juga bisa menjadi bahasa cinta, bahasa kepedulian, bahasa penerimaan. Bahkan dalam konflik, diam bisa menjadi bentuk kebijaksanaan; memilih tidak menjawab, bukan karena kalah, tetapi karena sadar bahwa tidak semua pertarungan layak dilanjutkan.

Pada akhirnya, ramai dalam diam adalah bentuk keberadaan manusia yang paling dalam. Ia menunjukkan bahwa manusia bukan sekadar tubuh, bukan sekadar makhluk sosial, tetapi juga makhluk batin. Ada dunia dalam diri manusia yang tidak bisa dijamah oleh suara luar. Dunia itu bisa sangat gaduh, bisa juga sangat damai. Namun dalam kedua keadaan itu, diam adalah pintu masuknya. Hanya dalam diam, manusia bisa mengenal dirinya sendiri. Dan hanya dengan mengenal dirinya, ia bisa mengenal yang lain, dan juga mengenal Tuhannya.

Ramai dalam diam bukanlah kontradiksi. Ia adalah kenyataan dari jiwa manusia yang kompleks. Ia menunjukkan bahwa makna tidak selalu muncul dalam suara, bahwa kebenaran tidak selalu hadir dalam debat, bahwa kehadiran tidak selalu memerlukan kata. Ia mengajarkan bahwa dalam keheningan ada kehidupan. Dalam sunyi ada suara. Dan dalam diam, ada keramaian yang tidak bisa diukur, tetapi bisa dirasakan oleh hati yang mendengar, oleh jiwa yang terjaga. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Dibalik Siswi Mogok Kena Bully, Ada Manajemen Macet di Kesatuan Pendidikan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menyimak berita siswi SMA yang tak kuat lagi sekolah karena perundungan lewat media yang sedang kita tatap saat ini, sungguh menyayat hati. Ia berasal dari keluarga yang hidup serba kekurangan, namun tetap berjuang menuntut ilmu di sekolah negeri yang seharusnya menjadi kebanggaan.

Bagaimana tidak, secara ekonomi sangat kekurangan, entah apakah keluarga ini mendapat bantuan dari pemerintah atau tidak tidak ada informasi, kemudian sekolah di negeri yang kita banggakan, malah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan dari rekan sekolah.

Aneh dan ajaibnya, guru bimbingan penyuluhan (BK) siswa tidak kelihatan “bekas kerjanya”. Demikian pula sekolahnya, alih-alih mengakui kealpaannya, malah membuat klarifikasi yang seolah-olah cuci tangan. Setelah viral, baru sekolah mulai mencari celah pembelaan.

Kasus seperti ini tentunya tidak harus terjadi pada sekolah selevel sekolah dimaksud; sebab instrumen pendidikan sekolah tersebut sudah lengkap; baik sarana, prasarana, dan tenaga pengajar.

Tinggal komandan tertinggi sekolah itu mampukah mengorganisir sumber daya yang ada. Peristiwa ini mentengarai bahwa pimpinan tertinggi lembaga ini tidak melakukan fungsinya secara maksimal. Prinsip-prinsip manajemen sekolah dan atau pendidikan tidak dijalankan dengan baik.

Atas dasar itu, pihak dinas pendidikan yang membawahi lembaga ini harus berani melakukan tindakan tegas kepada pimpinan lembaganya. Jangan terkesan menunggu laporan, yang pada akhirnya peristiwa ini “masuk angin” di jalan.

Upaya pembinaan biasa tidak cukup untuk melakukan penanganan kasus ini; dan lembaga yang bertanggungjawab akan keberlangsungan pendidikan di provinsi ini sudah harus “malu” jika sampai menjadi konsumsi publik beritanya.

Permohonan maaf; dan atau ucapan tidak akan mengulangi lagi; itu bukan solusi yang diharapkan. Tindakan administratif luar biasa harus dilakukan kepada pimpinan tertinggi sekolah ini jika marwah pendidikan di daerah ini ingin dijaga.

Perlu disadari bahwa banyak guru-guru yang lebih cakap memimpin di daerah ini dan tinggal adakah kesempatan diberikan kepada mereka untuk mengimplementasikannya.

Serta yang tidak kalah pentingnya adakah sistem yang dibangun untuk memunculkan kepala sekolah yang cakap secara manajerial dan leadership yang baik, itu perlu diadakan.

Hal yang tidak kalah pentingnya kejadian seperti ini bisa jadi ada di sekolah-sekolah yang nunjauh di sana; hanya karena jarak dan rentang kendali, berita itu tidak sampai naik kepermukaan.

Oleh karena harus diciptakan sistem yang dapat menditeksi guna pencegahan, agar hal serupa tidak terjadi. Di tingkat provinsi harus ada satuan tugas yang memonitor hal ini; dan setiap sekolah Koordinator Guru BK adalah merupakan anggota satgas secara otomatis.

Sementara di sekolah koordinator ini menjadi ketua satgas yang setiap minggu harus melaporkan kepada pimpinan sekolah tentang kejadian yang ada di sekolah. Anggota satgas di sekolah harus ada unsur siswa yang dilibatkan agar ada keakuratan informasi.

Sementara dinas pendidikan provinsi harus memasang alat pantau untuk setiap sekolah dengan kamera tersembunyi untuk daerah rawan, terutama sekolah tipe A dan B yang jumlah peserta didiknya besar. Alat pantau ini ada di runag Koordinator Guru BK dan dapat dimonitor secara menyeluruh dari kantor dinas provinsi sebagai pengendali.

Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran bagai semua mereka yang terlibat pada dunia pendidikan. Dan, tidak kalah pentingnya bahwa memang menjadi guru itu bukan mudah, apalagi dengan begitu cepatnya kemajuan teknologi dewasa ini.

Serta, menjadi kepala sekolah itu bukan jabatan yang bebas dari tanggungjawab pendidikan, justru siapapun yang duduk pada posisi ini harus menunjukkan kelebihannya dalam bidang pendidikan termasuk manajerial sekolah.

Demikian juga kepada pimpinan tertinggi dunia pendidikan di daerah ini, jangan setengah hati untuk menindak kepala sekolah yang memang tidak mampu menunjukan kinerjanya dengan baik.

Namun juga jangan pelit memberikan penghargaan kepada mereka-mereka yang berhasil menunjukkan kinerjanya di bidang pendidikan, termasuk kepada kepala sekolah yang memang layak mendapatkan apresiasi untuk itu. Salam Waras (gil)

Editor: Gilang Agusman

Ubah Limbah Jadi Berkah, Dosen Universitas Malahayati Transformasikan Cangkang Kerang Hijau Jadi Pupuk dan Pakan di Pulau Pasaran

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Potensi pesisir Lampung tak hanya terletak pada hasil lautnya yang melimpah, tetapi juga pada limbah yang selama ini kurang dimanfaatkan. Di Pulau Pasaran, Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Timur, masyarakat kini mendapat harapan baru melalui inovasi pengolahan limbah cangkang kerang hijau menjadi pupuk dan pakan ternak, yang mampu membangkitkan nilai tambah ekonomi warga setempat.

Program ini hadir berkat inisiatif tim dosen Universitas Malahayati yang memberikan sosialisasi, pelatihan, pendampingan, hingga penerapan teknologi tepat guna melalui Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) DPPM Kemdikbudristek Tahun 2025 dengan Nomor Kontrak 205/C3/DT.05.00/PM II/2025 tertanggal 23 Juli 2025.

Kerang hijau (Perna viridis) banyak ditemukan di perairan dangkal seperti batu karang, pelabuhan, dan struktur pantai. Di berbagai daerah, termasuk Teluk Jakarta, Pantai Utara Pulau Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan, hingga Sulawesi pesisir, keberadaan kerang hijau melimpah.

Namun, di Pulau Pasaran, limbah cangkang kerang hijau yang menumpuk sering kali hanya dijadikan timbunan tanah di sekitar rumah warga. Selain merusak estetika lingkungan, limbah ini belum memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat.

Melihat kondisi tersebut, tim dosen Universitas Malahayati yang dipimpin Euis Mufahamah, S.E., M.Ak bersama Anita, S.E., M.E dan Adi Prastyo, S.T., M.T menggagas pelatihan teknis pengolahan limbah cangkang kerang hijau menjadi produk bernilai guna.

Tak hanya sebatas produksi, program ini juga mengajarkan digitalisasi pemasaran melalui e-katalog Likerau, serta menghadirkan alat produksi modern yang dapat membantu masyarakat mengolah limbah secara lebih efektif. Mitra PKM dalam kegiatan ini adalah kelompok Pengrajin Kerambah Kerang Hijau Pulau Pasaran.

“Dengan adanya program ini, kami berharap masyarakat bisa memanfaatkan limbah cangkang kerang hijau yang sebelumnya hanya menumpuk menjadi produk bermanfaat, baik untuk pupuk maupun pakan. Selain ramah lingkungan, tentu ini juga bisa menjadi peluang usaha baru,” jelas Euis Mufahamah.

Ia pun menyampaikan apresiasi kepada DPPM Kemdikbudristek yang telah memberikan dukungan pendanaan penuh untuk program PKM tahun anggaran 2025.

Program ini menjadi langkah nyata dalam mewujudkan asta cita pembangunan desa pesisir, dengan mengedepankan kemandirian ekonomi masyarakat. Nelayan Pulau Pasaran yang selama ini menggantungkan hidup pada hasil laut kini didorong agar mampu menangkap peluang baru dari pengolahan limbah yang ada di sekitar mereka.

Dengan dukungan teknologi produksi modern dan strategi pemasaran yang terintegrasi, inovasi ini diharapkan dapat menjadi model pemberdayaan masyarakat pesisir yang tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Raih Medali Emas di Kejuaraan Kickboxing Lampung 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan mahasiswa Universitas Malahayati. Adika Hedi Pratama (23410294), mahasiswa Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, berhasil meraih Medali Emas pada ajang bergengsi Lampung Kickboxing Championship 2025, Piala Gubernur Lampung. Kejuaraan ini berlangsung di GOR PKOR Way Halim, Bandar Lampung, pada 25–27 Juli 2025.

Dalam pertandingan yang diikuti atlet-atlet terbaik dari berbagai daerah di Provinsi Lampung, Adika menunjukkan ketangguhan, disiplin, dan teknik bertarung yang memukau. Dukungan penuh dari tim pelatih serta semangat juang tinggi menjadi kunci keberhasilannya merebut gelar juara.

Keberhasilan Adika menjadi bukti nyata bahwa semangat sportivitas, disiplin, dan kerja keras mampu mengantarkan mahasiswa mencapai puncak prestasi, sekaligus mengharumkan nama almamater Universitas Malahayati di tingkat daerah maupun nasional.

Adika Hedi Pratama bersyukur bisa meraih medali emas pada kejuaraan ini. Rasanya luar biasa bisa membawa pulang kemenangan untuk Universitas Malahayati. “Pertandingan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga mental, strategi, dan dukungan dari orang-orang terdekat. Semua proses latihan, rasa lelah, dan perjuangan akhirnya terbayar lunas.” ujarnya.

Keberhasilan Adika menjadi bukti nyata bahwa semangat sportivitas, disiplin, dan kerja keras mampu mengantarkan mahasiswa mencapai puncak prestasi, sekaligus mengharumkan nama almamater Universitas Malahayati di tingkat daerah maupun nasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Serah Terima, Ucap Janji, dan Orientasi Dokter Muda Universitas Malahayati di RSUD Jend. A. Yani Metro

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati resmi menggelar serah terima, pengucapan janji, sekaligus pembukaan Orientasi Dokter Muda (Co-ass) di RSUD Jend. A. Yani Metro. Acara berlangsung khidmat di Aula Diklat rumah sakit pada Rabu (17/9/2025), diikuti sebanyak 57 mahasiswa yang akan menjalani masa praktik klinik di rumah sakit tersebut.

Hadir langsung dalam acara ini, Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, bersama jajaran Wakil Rektor I, II, III, IV, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Ketua Program Studi Profesi dan Pendidikan, Sekretaris, Ketua PMB, serta Kepala Humas dan Protokoler Universitas Malahayati.

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH dalam sambutannya, menekankan bahwa profesi dokter bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa yang mulia.

“Masa Co-ass adalah fase penting yang akan menguji ketangguhan, integritas, dan empati kalian terhadap pasien dan masyarakat. Ikuti orientasi ini dengan sungguh-sungguh, jalin komunikasi yang baik dengan para pembimbing, dan jagalah etika profesi. Ingatlah, kalian bukan hanya mewakili diri sendiri, tetapi juga almamater dan bangsa,” ujar Kadafi.

Beliau juga menambahkan bahwa keberadaan mahasiswa Universitas Malahayati di Metro diharapkan bisa berkontribusi pada visi dan misi Kota Metro sebagai kota pendidikan dan kota sehat. “Bulan Oktober nanti, kita juga akan menyambut mahasiswa dari Universitas Putra Malaysia. Ini menjadi momentum kolaborasi internasional di bidang kesehatan,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur RSUD Jend. A. Yani Metro, dr. Fitri Agustina, M.K.M, menyambut hangat kehadiran para dokter muda.

“Setelah menempuh teori di bangku kuliah, kini saatnya adik-adik terjun langsung dalam pengabdian. Anggaplah rumah sakit ini sebagai rumah kedua. Jangan ragu untuk bertanya dan berdiskusi. Setiap pasien yang kalian temui adalah guru terbaik,” tuturnya.

Orientasi ini akan berlangsung selama dua hari, 17–18 September 2025. Para peserta akan dibekali berbagai materi penting, mulai dari pengenalan visi-misi rumah sakit, etika profesi, PMKP (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien), pelayanan prima, pencegahan dan pengendalian infeksi, komunikasi efektif, hingga praktik penggunaan APAR (Alat Pemadam Api Ringan).

Wali Kota Metro, Hi. Bambang Iman Santoso, S.Sos., M.Pd.I, juga hadir memberikan dukungan penuh. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama strategis antara Pemerintah Kota Metro dan Universitas Malahayati.

“Orientasi ini bukan sekadar agenda rutin, tetapi bentuk nyata sinergi kita dalam membangun kesehatan masyarakat. Kehadiran dokter muda di RSUD Metro akan memperkuat layanan medis sekaligus menghidupkan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” ungkapnya.

Ia berharap, mahasiswa dokter muda Universitas Malahayati mampu memanfaatkan kesempatan ini untuk tidak hanya mengasah keterampilan medis, tetapi juga memahami dinamika sosial kesehatan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat Kota Metro.

Rangkaian acara ditutup dengan pengucapan janji dokter muda sebagai simbol kesiapan mereka mengabdi. Suasana penuh khidmat dan semangat terlihat dari para peserta yang kini resmi memasuki fase penting perjalanan menuju profesi dokter.

Dengan orientasi ini, 57 dokter muda Universitas Malahayati siap mengawali perjalanan klinisnya di RSUD Jend. A. Yani Metro. Harapannya, mereka tidak hanya menjadi tenaga medis yang kompeten, tetapi juga hadir sebagai insan kesehatan yang humanis, berintegritas, dan berdedikasi tinggi bagi bangsa dan masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Uang Masih Perlu, (walau) Kerja Sudah Tak Mampu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir pekan ini matahari memancarkan sinarnya sangat terik sekali. Saat membersihkan halaman rumah pusaka bagian depan, bertemu dengan seorang bapak yang bekerja sebagai pengumpul bahan bekas. Saat beliau istirahat sejenak ditepi jalan, kesempatan itu digunakan oleh penulis untuk berbincang- bincang; ternyata usia beliau sudah tidak muda lagi. Namun, karena tuntutan perut keluarga, maka tidak ada jalan lain kecuali bekerja dan bekerja sepanjang hari. pedoman beliau sekalipun kerja sudah tak mampu, namun uang masih perlu; maka tidak ada jalan untuk menyerah; yang ada hanya terus maju. Jadi ingat, beberapa waktu lalu ada teman yang pensiunan ASN, tentu saja beliau ini sudah tidak muda lagi, berprinsip sama dengan bapak di atas. Beliau masih harus aktif bekerja karena membiayai si bungsu yang masih kuliah tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri papan atas negeri ini. Bedanya bapak pensiunan ini melanjutkan bertani di desa istrinya dengan bertanam kelapa sawit; tentu model tani berdasi, namun tetap saja namanya bertani harus banting tulang menyingsingkan lengan. Sebab, jika tidak itu yang beliau lakukan maka hasil kebon akan dicuri orang. Alasan inilah menjadi pembenaran dirinya yang ada pada posisi “uang masih perlu, walau kerja sudah tak mampu”. Dari hal inilah terinspirasi untuk menulis ulang kembali tema itu dari kacamata filsafat.

Dunia modern adalah arena tuntutan yang tak kunjung habis. Di tengah dentingan mesin industri dan bisik-bisik algoritma digital, manusia menjadi roda yang terus berputar tanpa sempat bertanya ke mana arah perjalanannya. Hidup di tengah arus kapitalisme global dan tuntutan produktivitas tak ubahnya seperti berlomba di lintasan yang tak memiliki garis akhir. Namun, suatu ketika, tubuh mulai memberi sinyal. Tulang yang dulu tegak mulai rapuh, mata yang tajam mulai kabur, dan tangan yang cekatan mulai gemetar. Kerja sudah tak mampu; namun, uang masih perlu.

Persoalan ini bukan semata soal ekonomi atau kesehatan, tetapi soal makna eksistensi manusia di tengah lanskap nilai yang berubah. Dalam perspektif filsafat kontemporer, tema ini membuka ruang untuk menyoal kembali relasi antara tubuh, kerja, dan nilai manusia. Pertanyaan yang muncul tak lagi sekadar “apa yang harus dikerjakan”, melainkan “apakah makna kerja ketika tubuh sudah tak mampu, tetapi kebutuhan hidup tetap ada” Di sinilah letak ketegangan antara eksistensi dan sistem: bagaimana manusia tetap dianggap bernilai dalam masyarakat ketika ia sudah tidak mampu memenuhi standar produktivitas.

Dunia modern mengukur nilai berdasarkan kemampuan untuk menghasilkan. Siapa yang bekerja keras dianggap mulia. Siapa yang menghasilkan banyak dianggap berhasil. Tapi ketika seseorang tidak lagi bisa bekerja karena usia atau sakit, masyarakat perlahan menjauhkannya dari pusat kehidupan. Ia tak lagi dilihat sebagai kontributor, melainkan beban. Namun, kebutuhan dasar manusia tidak mengenal kata pensiun. Makan, tempat tinggal, kesehatan, dan harga diri; semuanya tetap dibutuhkan. Uang tetap perlu, bahkan ketika bekerja tak lagi mungkin dilakukan.

Dalam perspektif filsafat kontemporer, hal ini bisa dibaca sebagai krisis subjektivitas. Manusia dikonstruksi sebagai subjek produktif. Ketika ia tidak bisa lagi produktif, ia merasa kehilangan jati dirinya. Padahal, eksistensi manusia tidak seharusnya direduksi hanya pada perannya sebagai pekerja. Ada kehidupan di luar kerja. Ada nilai dalam keberadaan itu sendiri. Tetapi sistem sosial-ekonomi yang dominan terus menekan individu untuk menyamakan hidup dengan kerja. Akibatnya, banyak orang tua yang merasa tidak berguna, hanya karena tubuh mereka tak sanggup lagi menyumbang dalam bentuk kerja fisik atau mental yang dapat diuangkan.

Lantas, apakah manusia yang tak mampu lagi bekerja harus menyerah pada kemiskinan dan keterasingan? Filsafat kontemporer tidak menawarkan jawaban moralistik, tetapi membuka ruang refleksi. Barangkali yang perlu digugat bukanlah ketidakmampuan bekerja, melainkan sistem yang menyamakan nilai hidup dengan produktivitas. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apakah sistem itu adil bagi mereka yang sudah memberikan sebagian besar hidupnya untuk bekerja, lalu pada masa senja justru diabaikan.

Kebutuhan terhadap uang adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Tetapi filsafat mengajarkan bahwa manusia bukan hanya makhluk ekonomi. Ia juga makhluk moral, sosial, dan eksistensial. Jika sistem hanya menyediakan ruang bagi mereka yang bekerja, lalu menutup mata bagi mereka yang tak mampu, maka sistem itu gagal memahami hakikat manusia secara utuh. Dunia bukan hanya milik mereka yang kuat dan sehat. Dunia adalah tempat bersama, di mana yang lemah dan sakit juga berhak untuk hidup dengan martabat.

Masalah ini semakin rumit ketika kita menyadari bahwa tak semua orang memiliki akses yang adil terhadap sumber daya. Ketika tubuh masih kuat, banyak yang hanya bisa bekerja dalam sektor informal tanpa jaminan masa tua. Maka ketika tua datang, mereka tidak punya simpanan, tidak punya jaminan, dan tidak punya ruang untuk bersandar. Di sinilah kekejaman sistem menjadi nyata. Mereka yang sudah bekerja keras sepanjang hidup, tetap harus mencari uang di masa tua, bukan karena ambisi, tetapi karena kebutuhan. Uang masih perlu, kerja sudah tak mampu.

Ada pula dimensi relasional dalam isu ini. Dalam masyarakat yang semakin individualistik, mereka yang tak mampu bekerja sering kali ditinggalkan sendiri. Rasa malu, takut menjadi beban, dan kehilangan harga diri menjadi luka-luka batin yang tak terlihat. Padahal, dalam relasi yang sehat, manusia saling menopang. Yang muda merawat yang tua, dan yang tua membimbing yang muda. Tapi ketika relasi ini dikorbankan demi efisiensi dan kemandirian palsu, manusia menjadi makhluk terasing. Ia tidak hanya kekurangan uang, tetapi juga kekurangan makna dan pengakuan.

Kita perlu mengganti paradigma. Bukan lagi “siapa yang bekerja, dia yang berhak hidup”, tetapi “siapa yang hidup, dia berhak hidup layak”. Ini bukan utopia, tapi keharusan moral. Sebab jika tidak, kita sedang membangun dunia yang menolak keberadaan kita sendiri ketika usia senja datang. Barangkali pada akhirnya, pertanyaan terdalam dari tema ini adalah: apakah kita siap hidup dalam dunia yang hanya menerima kita ketika kita kuat, dan membuang kita ketika kita lemah? Atau apakah kita bisa membayangkan dunia yang mengerti bahwa lemah pun adalah bagian dari menjadi manusia?. Kita hanya bisa menyerahkannya kepada waktu. Namun ingat pesan bijak para leluhur dulu “jangan memberi supaya dipuji, dan jangan memuji supaya diberi”. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Prodi Profesi Ners Universitas Malahayati Awali Tahun Ajaran Baru dengan Stase Pra Kepaniteraan Klinik

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Mengawali tahun ajaran baru 2025/2026, Program Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati menyelenggarakan Stase Pra Kepaniteraan Klinik selama 16 – 19 September 2025. Kegiatan ini berlangsung di laboratorium OSCE Universitas Malahayati dan diikuti oleh 53 mahasiswa baru Profesi Ners.

Dalam stase ini, mahasiswa diuji pada 21 keterampilan keperawatan dasar hingga lanjutan yang menjadi bekal penting sebelum memasuki wahana praktik di rumah sakit. Keterampilan tersebut mencakup tindakan invasif dan non-invasif, seperti memandikan pasien, pemasangan infus, pemasangan kateter, hingga komunikasi terapeutik.

Koordinator Stase Pra Kepaniteraan Klinik, Riska Wandini, Ns., M.Kes, menjelaskan bahwa kegiatan ini dirancang sebagai tahapan penting untuk mengasah kembali kemampuan mahasiswa sebelum menghadapi dunia praktik sesungguhnya.

“Stase ini sangat penting untuk me-recall kemampuan mahasiswa, agar lebih siap dan percaya diri ketika masuk ke wahana praktik klinik di rumah sakit,” ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Program Studi Profesi Ners, Rika Yulendasari, Ns., M.Kep, menekankan pentingnya kedisiplinan mahasiswa dalam mengikuti seluruh tahapan praktik profesi.

“Mahasiswa harus hadir 100% selama praktik profesi Ners. Kehadiran dan keseriusan mereka menjadi kunci agar benar-benar menguasai keterampilan yang dibutuhkan,” tegasnya.

Antusiasme juga datang dari mahasiswa baru. Evi Astuti, salah satu peserta, mengaku merasakan tantangan sekaligus motivasi dalam menjalani ujian keterampilan di laboratorium OSCE.

“Saya sangat antusias dan terstimulus untuk belajar mandiri. Metode ujian di lab OSCE menuntut kami untuk bertanggung jawab penuh pada diri sendiri dalam menghadapi setiap keterampilan. Hal ini membuat kami semakin siap untuk menjadi lulusan Ners yang kompeten nantinya,” ungkapnya.

Melalui kegiatan ini, Program Studi Profesi Ners Universitas Malahayati menegaskan komitmennya dalam mencetak lulusan perawat profesional yang tidak hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga memiliki tanggung jawab, empati, dan kompetensi yang tinggi dalam memberikan pelayanan kesehatan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

“Sumeleh” (Jurus Pamungkas Melawan Kegelisahan Batin)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu kedatangan tamu, teman lama pensiunan guru. Di samping seorang yang menekuni dunia pendidikan, beliau juga peminat menekuni agama dan dunia filsafat sekaligus budaya. Perbincangan dimulai dari hal-hal yang ringan, tetapi dengan langkah pasti pembicaraan mengarah ke hal-hal yang bersifat transendental. Satu kata kunci yang beliau kemukakan adalah untuk menghadapi situasi seperti saat ini yang cenderung tidak baik-baik saja adalah; sikap sumeleh. Diskusi menjadi panjang kali lebar, diskurs yang dibahas adalah konsep sumeleh.

Makna sumeleh secara ringkas dapat dikatakan adalah sikap batin yang tercermin dalam perilaku menerima kenyataan hidup dengan ikhlas, tanpa mengabaikan usaha, dan ditandai oleh ketenangan emosional, pelepasan atas hal-hal di luar kendali pribadi, serta kepercayaan pada proses atau kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri, yaitu kekuatan keilahian.

Dalam dinamika kehidupan modern yang penuh tekanan, kebisingan digital, dan kegelisahan eksistensial, masyarakat kontemporer sering kali terjebak dalam pusaran overthinking, yaitu sebuah kondisi mental yang membuat manusia tenggelam dalam ketidakpastian, kecemasan, dan obsesi terhadap kendali. Namun, dalam khazanah budaya Jawa, terdapat sebuah konsep yang justru menawarkan jalan keluar dari kekacauan mental ini: itulah “sumeleh”. Meski lahir dari ranah budaya tradisional, konsep sumeleh mengandung nilai-nilai universal yang dapat dibaca ulang melalui kacamata filsafat kontemporer, khususnya yang berkutat pada eksistensialisme, fenomenologi, dan pemikiran post-struktural.

Sumeleh bukanlah kepasrahan buta, bukan bentuk menyerah dalam arti negatif. Ia lebih menyerupai sebuah sikap batin yang reflektif dan sadar akan keterbatasan manusia dalam menghadapi kompleksitas hidup. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, sumeleh adalah pengakuan dalam diam bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa dipahami atau dikendalikan. Sumeleh merupakan titik temu antara usaha manusia dan ketidaktahuan akan hasil. Di tengah budaya modern yang menuntut segala hal diprediksi, dikontrol, dan diraih, sumeleh hadir sebagai kritik terhadap dominasi nalar instrumental yang menempatkan manusia sebagai pengatur segalanya.

Dalam konteks ini, sumeleh tidak bisa dilepaskan dari pemahaman eksistensial tentang keterlemparan manusia ke dalam dunia. Manusia tidak memilih untuk lahir, tidak memilih lingkungan sosialnya, dan tidak dapat mengontrol seluruh jalan hidupnya. Ia dilemparkan ke dalam situasi-situasi yang sering kali absurd dan tidak masuk akal. Namun dalam absurditas itulah, manusia justru menemukan ruang untuk merumuskan makna. Sumeleh adalah bentuk penerimaan atas kenyataan ini, dan bukan penerimaan yang pasif, tetapi penerimaan yang aktif, sadar, dan ikhlas. Ini adalah bentuk kehadiran yang penuh, yang tidak menghindari penderitaan, tetapi juga tidak terobsesi untuk mengatasinya.

Ketika dibaca dalam kerangka fenomenologi, sumeleh juga dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk membuka diri terhadap pengalaman apa adanya. Tanpa prasangka, tanpa niat untuk menundukkan. Sumeleh mengajarkan manusia untuk hadir sepenuhnya dalam pengalaman yang dialaminya, seberapapun tidak nyamannya. Dalam dunia yang serba instan dan cepat, di mana manusia cenderung menghindar dari ketidaknyamanan dan bersembunyi di balik pelarian digital, sumeleh justru menantang kita untuk tinggal di dalam rasa sakit, dalam ketidakpastian, dalam tidak tahunya kita terhadap masa depan.
Sumeleh juga mengandung dimensi dekonstruktif yang khas dari pemikiran kontemporer. Ia mendekonstruksi gagasan bahwa manusia harus selalu kuat, tahu segalanya, dan berhasil. Dalam kerangka ini, sumeleh adalah kritik terhadap mitos kemajuan yang tak henti-hentinya ditanamkan sejak dini: bahwa hidup harus selalu naik, harus terus lebih baik, harus punya arah jelas. Padahal, kenyataan hidup sering kali bergerak zigzag, tidak linier, dan penuh kekacauan.

Sumeleh mengajarkan bahwa tidak mengerti adalah hal yang wajar. Tidak tahu arah adalah bagian dari proses. Gagal adalah bagian dari menjadi manusia. Maka, dalam melepaskan kontrol, manusia justru mendapatkan kontrol yang lebih dalam: kontrol terhadap reaksinya sendiri terhadap dunia.

Sumeleh adalah ekspresi kebijaksanaan emosional yang tidak banyak dibicarakan dalam pendidikan formal. Dunia pendidikan modern menekankan pada kognisi, pada berpikir kritis, pada logika dan rasionalitas. Sumeleh datang dari wilayah yang tidak terjangkau oleh logika: wilayah kepercayaan, pengendalian emosi, dan penerimaan. Dalam sumeleh, seseorang belajar bahwa “knowing when to stop” adalah bentuk kecerdasan yang tak kalah penting dari knowing how to keep going. Ini bukan antitesis dari kerja keras, melainkan pelengkapnya. Karena tanpa sumeleh, kerja keras bisa berubah menjadi penderitaan; ambisi bisa menjadi beban; dan harapan bisa menjelma menjadi sumber frustrasi.

Dalam praktik sehari-hari, sumeleh dapat diterjemahkan sebagai kemampuan untuk meletakkan sesuatu di luar kendali kita ke tempat yang lebih besar. Tempat itu bisa dipahami sebagai kekuatan spiritual, alam semesta, atau bahkan hanya sebagai kesadaran akan hukum sebab-akibat yang tidak selalu bisa dikalkulasi. Saat seseorang bersumeleh, ia tidak berhenti bekerja, tetapi ia berhenti mencemaskan hasil yang belum terjadi. Ia fokus pada proses, bukan pada ekspektasi. Dalam psikologi modern, hal ini sepadan dengan mindfulness atau kehadiran penuh dalam saat ini, namun sumeleh tidak membutuhkan teknik atau pelatihan. Ia adalah hasil dari proses batin yang mendalam dan terus-menerus diasah oleh pengalaman hidup.

Sumeleh juga mengandung spiritualitas yang membumi. Ia tidak dogmatis, tidak butuh ritual megah. Ia hadir dalam kesadaran sehari-hari: saat seseorang menerima kenyataan pahit tanpa mengutuk, saat seseorang melepaskan sesuatu yang dicintai tanpa kebencian, saat seseorang tetap tenang dalam ketidakpastian. Dalam momen-momen sederhana itulah sumeleh bekerja, mengendap-endap memperkuat jiwa dari dalam. Ini adalah bentuk spiritualitas yang tidak butuh nama, tidak butuh panggung. Ia tumbuh dalam kesahajaan dan kekosongan yang penuh makna.

Maka, sumeleh bukan sekadar konsep kultural yang usang. Ia adalah jawaban yang sangat relevan terhadap krisis spiritual dan emosional zaman ini. Ia adalah bentuk soft resistance terhadap dominasi rasionalisme yang dingin, terhadap sistem ekonomi yang eksploitatif, terhadap budaya sosial yang superfisial. Dalam dunia yang bergerak cepat, sumeleh mengajarkan kita untuk berjalan pelan. Dalam dunia yang bising, ia mengajarkan kita untuk mendengarkan. Dalam dunia yang penuh ego, ia mengajarkan kita untuk melepaskan. Oleh sebab itu sumeleh bukan akhir dari perjuangan, tetapi cara untuk tidak binasa di tengah perjuangan. Ia bukan tanda kekalahan, tetapi cara untuk bertahan dengan cara yang manusiawi. Dan mungkin, dalam zaman yang penuh luka ini, kita tidak perlu menjadi luar biasa. Cukup menjadi manusia yang utuh, sadar, dan bersumeleh. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman