Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seperti biasa, Jum’at itu mendatangi masjid untuk melaksanakan sholat Jum’at. Kebetulan komplek perumahan tidak jauh ada masjid yang cukup asri. Namun Jum’at itu ada yang tidak biasa karena saat khotib memberikan khotbah beliau menyinggung tetang “Kesholehan Digital”, dan yang menarik lagi khotibnya generasi milenial yang sehari-hari memang bergelut pada dunia digital. Tentu tidak mungkin meng-copy paste isi khotbah tersebut, disamping tidak etis, juga halaman yang tersedia tidak cukup. Satu hal menarik topik itu jika kita bahas dari sudut pandang filsafat manusia.
Di era digital yang berkembang pesat, peradaban manusia mengalami pergeseran mendasar dalam cara berkomunikasi, bekerja, berpikir, bahkan dalam menjalani kehidupan spiritual. Kehadiran media sosial, kecerdasan buatan, dan algoritma telah membentuk lanskap budaya baru yaitu “budaya digital”. Konsep ini menjadi menantang sebab kesholehan digital tidak hanya berbicara tentang bagaimana kita bertindak secara etis di dunia maya, melainkan lebih dalam dari itu, karena kita mulai mempertanyakan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dalam interaksi digital yang serba cepat, tidak berwajah, dan terkadang tanpa tanggung jawab.
Berdasarkan referensi digital dan referensi konvensional ditemukan informasi bahwa; dari sudut pandang filsafat manusia, kesholehan digital dapat dimaknai sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai manusiawi dalam konteks kehidupan digital. Tulisan ini mencoba menjelajahi konsep tersebut dengan mengaitkannya pada pemikiran beberapa filsuf besar mengenai hakikat manusia, moralitas, teknologi, dan kebebasan.
Filsafat manusia menempatkan manusia sebagai makhluk yang unik. Ia bukan sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang memiliki kesadaran diri, rasionalitas, dan kebebasan moral. Dalam pemikiran Immanuel Kant, manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar alat. Hal ini menegaskan pentingnya memperlakukan manusia dengan hormat dan bermartabat, termasuk dalam konteks digital.
Namun dalam kenyataan digital, seringkali prinsip ini dilanggar. Ketika seseorang menyebarkan data pribadi orang lain tanpa izin, melakukan doxing, atau menyebarkan fitnah, ia sedang mereduksi manusia lain menjadi alat hiburan atau pelampiasan emosi. Kesholehan digital, dalam konteks ini, adalah kesadaran untuk tetap memperlakukan orang lain sebagai subjek moral, bukan objek algoritma.
Plato dalam bukunya “The Republic” menekankan pentingnya pendidikan jiwa agar manusia mampu membedakan mana yang benar dan salah, bukan hanya mengikuti dorongan nafsu atau opini mayoritas. Dunia digital yang dipenuhi banjir informasi, hoaks, dan clickbait bisa membuat manusia terperangkap dalam doxa (pendapat) alih-alih mencapai episteme (pengetahuan).
Kesalehan digital mengharuskan adanya disiplin rasional dan kontrol diri, dua hal yang justru sering luntur karena sifat impulsif dunia maya.
Sementara Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”. Kebebasan bukan sekadar hak, tetapi juga beban. Artinya, setiap tindakan manusia adalah pilihan yang mencerminkan tanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap dunia. Dalam dunia digital, kebebasan pengguna untuk memproduksi dan menyebarkan informasi sangat besar. Namun kebebasan ini sering kali dijalankan tanpa kesadaran akan konsekuensi moral. Komentar jahat, meme provokatif, atau penyebaran konten negatif sering dilakukan dengan alasan “kebebasan berekspresi”. Di sinilah urgensi kesholehan digital muncul: “sebagai kesadaran akan kebebasan yang bertanggung jawab”.
Sartre juga menekankan bahwa eksistensi mendahului esensi. Dalam konteks ini, jejak digital kita adalah bagian dari eksistensi kita yang tak terhapuskan. Tindakan online bukanlah sesuatu yang ‘tidak nyata’, melainkan bagian dari identitas eksistensial kita. Maka, kesalehan digital adalah bentuk kesadaran bahwa kehidupan digital bukanlah ruang yang terpisah dari moralitas manusia, melainkan perlu menjadi bagian dari upaya membentuk diri yang autentik.
Pendapat Martin Heidegger dalam esainya “The Question Concerning Technology” melihat bahwa teknologi bukanlah sekadar alat netral, melainkan suatu cara dunia menampakkan diri kepada manusia. Teknologi modern, kata Heidegger, cenderung mengubah segala sesuatu menjadi “standing-reserve” yaitu, cadangan yang siap dimanfaatkan kapan saja. Bahkan manusia sendiri, dalam sistem digital, bisa dilihat sebagai data, metrik, atau objek analitik. Di sinilah letak bahaya dehumanisasi digital. Ketika manusia dinilai berdasarkan jumlah followers, engagement, atau traffic, ia kehilangan kedalamannya sebagai makhluk yang bermakna.
Kesalehan digital adalah upaya sadar untuk melawan reduksi seperti ini; dengan memperlakukan sesama bukan sebagai konten, melainkan sebagai sesama manusia yang memiliki eksistensi dan martabat.
Heidegger juga menyarankan agar kita mencari cara hidup yang lebih otentik, yaitu dengan mengalami dunia bukan sebagai objek penguasaan, tetapi sebagai sesuatu yang mengungkapkan makna. Maka, interaksi digital seharusnya menjadi sarana untuk memperluas pemahaman, menjalin empati, dan memperkaya kehidupan spiritual, bukan sekadar memenuhi hasrat narsistik atau konsumtif.
Beda lagi Aristoteles; beliau mengajarkan bahwa kebajikan (virtue) adalah kunci kehidupan yang baik (eudaimonia). Kebajikan tidak hadir secara otomatis, melainkan dibentuk melalui kebiasaan dan pendidikan moral. Jika dalam kehidupan nyata kita membentuk karakter melalui interaksi sosial, maka dalam dunia digital, karakter kita terbentuk dari cara kita berkomentar, membagikan, atau memilih untuk diam.
Kesalehan digital adalah manifestasi dari kebajikan digital yang dibentuk secara sadar dan berkelanjutan. Ini termasuk: kebijaksanaan dalam membedakan informasi yang layak dibagikan, keadilan dalam memberikan kredit pada karya orang lain, keberanian dalam melawan ujaran kebencian, dan pengendalian diri untuk tidak terpancing oleh konflik maya. Menjadi saleh secara digital bukan berarti menjadi sempurna, melainkan memiliki komitmen untuk terus memperbaiki diri dalam interaksi digital. Ini adalah praktik kebajikan kontemporer yang menuntut disiplin dan refleksi, sebagaimana yang diajarkan Aristoteles dalam “Nicomachean Ethics”.
Dunia digital sering kali menuntut kecepatan, reaksi instan, dan kehadiran konstan. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai spiritual seperti kontemplasi, keheningan, dan kesadaran diri mudah tergerus. Padahal, dalam banyak tradisi filsafat dan spiritualitas, termasuk dalam Islam, keheningan adalah ruang di mana manusia mendekati kebenaran dan kedamaian batin.
Kesalehan digital dapat dipahami sebagai perpanjangan dari kehidupan spiritual ke dalam dunia maya. Ia bukan hanya tentang tidak menyebarkan keburukan, tetapi juga menghadirkan kebaikan, ketenangan, dan harapan di ruang digital. Misalnya, dengan membagikan konten yang edukatif, menenangkan, atau menyemangati, seseorang sedang menjalankan laku spiritual yang berdampak pada kesejahteraan batin orang lain.
Filsafat mengajak manusia untuk bertanya secara mendalam, merenung secara jujur, dan bertindak secara sadar. Tanpa kesadaran filosofis, dunia digital bisa menjebak manusia dalam pola hidup yang mekanis, reaksioner, dan terasing dari jati dirinya. Kesalehan digital menjadi praksis filsafat manusia yang nyata untuk selalu menghidupkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, dan tanggung jawab dalam kehidupan digital sehari-hari.
Menjadi saleh secara digital berarti tetap menjadi manusia walaupun di tengah algoritma, di balik layar, dan dalam setiap klik yang kita buat. Dunia mungkin berubah, tetapi nilai kemanusiaan tetap harus dijaga, termasuk dalam bentuknya yang paling baru yang bernama ”digital”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Tinta Sudah Kering, Kerta Sudah Tiada, Liptop Tergadai Pula
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu ikut mengantri di salah satu pusat layanan kendaraan, daerahnya di perbatasan kota, tepi jalan utama. Baru saja duduk ada kiriman masuk lewat piranti dalam saku, ternyata kiriman dari sahabat di Indonesia Timur; setelah dibuka-mata terbelalak–karena mengirimkan potongan berita yang mewartakan adanya pejabat negara konoha diduga korupsi sebesar 220 triliun rupiah. Tidak terbayang berapa jumlah angka nol dibelakannya. Negeri ini memang unik. Kalau kita bicara soal birokrasi dan korupsi, jangan harap kita akan menemukan cerita-cerita biasa. Kita seperti menonton sinetron dengan episode tanpa akhir, di mana setiap babaknya selalu lebih dahsyat dari yang sebelumnya.
Bisa dibayangkan berapa banyak tandatangan dibubuhkan untuk menyetujui agar uang sebesar itu keluar, dan sipenandatangan tidak benar-benar membaca isi; yang penting sudah “beres”; setelah amplop lewat tangan kanan. Tidak peduli apakah tinta yang untuk digunakan tandatangan sudah kering, yang penting tetap menghasilkan yang “basah”.
Bukan hanya tinta yang kering, kertas pun katanya sudah habis. tetapi, kertas habis di sini bukan berarti mereka tidak punya bahan untuk menulis, melainkan mereka tidak peduli akan isi tulisan. Di banyak kantor, laporan hanya dicetak untuk memenuhi kewajiban administratif. Soal apakah laporannya benar itu urusan belakangan. Asal ada tanda tangan dan cap basah, sudah cukup. Yang penting kan laporan sudah “dicetak”, entah isinya bohong atau tidak.
Liptop yang tergadai adalah gambaran dari pejabat yang sudah kehilangan harga diri. Tapi jangan salah, harga diri itu bisa dijual dengan harga mahal; kalau yang membeli memang punya uang lebih. Liptop bukan cuma tas kerja, tapi simbol martabat. Ketika liptop sudah tergadai, itu artinya pegawai terpaksa menjual martabat mereka demi sesuap nasi dan segenggam berlian. Bayangkan hutan lindung disertifikat, itu jelas oleh pejabat; dan bukan oleh rakyat.
Korupsi sudah seperti napas di negeri ini. Tanpa korupsi, mungkin sebagian orang akan bingung mau ngapain. Karena korupsi seolah-olah sudah jadi bagian dari kebiasaan, budaya, bahkan “tradisi” yang diwariskan. Dan, korupsi bukan hanya soal uang, tetapi juga soal waktu, tenaga, dan harapan yang dicuri; bagaimana tidak jika artikel ilmiah-pun ditukangi yang berujung dengan “mengambil” uang negara dengan cantik. Kita semua tahu pejabat suka bilang, “Kita sedang berjuang melawan korupsi.” Tapi kenyataannya, “berjuang” itu biasanya berarti berjuang cari cara supaya korupsi tetap jalan dengan tertib, rapi, dan tidak ketahuan. Uang ketok palu, uang sukses, uang pengaman; semua itu adalah bahasa rahasia yang dipakai untuk menyamarkan transaksi “resmi” dalam proyek-proyek yang dijadikan sasaran korupsi.
Bayangkan saja: sebuah proyek bisa “jalan” bukan karena kualitas dan kebutuhan, tapi karena sudah ada “uang sukses” yang diberikan. Kalau tidak, siap-siap proyek mandek dan pekerjaan jadi berantakan. Lebih runyam lagi jika kepentingan politik masuk pada wilayah ini; sekelas pejabat tinggi negara dengan seenaknya mengatakan “uangnya sudah dibagi, dan disaksikan oleh anaknya”. Seolah-olah adagium “yang bayar paling mahal, dapat kontrak. Yang tidak bayar proyeknya mangkrak”, ada benarnya.
Korupsi memang mengalir deras ke kantong segelintir orang, tetapi yang menanggung beban adalah jutaan orang. Kalau ditanya, “Apa yang bisa kita lakukan?” jawabannya memang sulit, tapi tidak mustahil. Paling tidak kita bisa memulai dari hal kecil: jangan ikut-ikutan menerima suap, jangan diam saat melihat penyimpangan, dan dukung mereka yang berani bersuara.
Negeri ini masih punya harapan; tetapi harapan itu tidak datang dari tinta yang kering, kertas yang habis, atau liptop yang tergadai. Harapan itu datang dari kita semua yang masih punya nyali dan hati nurani. Persoalannya apakah masih ada keberanian untuk menyatakan sikap hati nurani. Tentu jawabannya tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kuliah Pakar Prodi S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati, Soroti Peran Strategis Sensus dan Survei
Kegiatan ini diselenggarakan pada Jumat, 20 Juni 2025, sebagai bentuk integrasi antara mata kuliah Demografi Kesehatan dan Ilmu Kependudukan, serta menjadi sarana penguatan pemahaman mahasiswa tentang pentingnya data statistik dalam kebijakan kesehatan masyarakat.
Kuliah pakar ini dibuka secara resmi oleh Khoidar Amirus, SKM., M.Kes, selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya menanamkan budaya berpikir berbasis data di kalangan mahasiswa sebagai calon tenaga kesehatan masa depan.
“Era saat ini menuntut kita tidak hanya pintar bicara, tapi juga cakap membaca dan menganalisis data. Dengan begitu, kita bisa menghasilkan kebijakan atau intervensi yang benar-benar berdampak nyata,” ujar Khoidar.
“Evidence-based policy making hanya bisa dilakukan jika kita memiliki data yang valid, berkualitas, dan tepat waktu. Oleh karena itu, literasi statistik menjadi hal yang sangat penting, apalagi di tengah fenomena demografi seperti ageing population di Provinsi Lampung, di mana sejak 2022, 1 dari 10 penduduk merupakan lansia,” ungkapnya.
Ia juga mendorong mahasiswa untuk lebih akrab dengan data dan statistik, serta berani berpikir kritis terhadap informasi yang mereka temui. “Pendidikan tinggi harus mampu melahirkan generasi muda yang melek data dan mampu menjadikannya dasar dalam pengambilan keputusan yang bijak dan berdampak,” tambahnya.
“Kegiatan ini sangat luar biasa dan bermanfaat. Kami bisa belajar langsung dari praktisi yang memang ahli di bidangnya. Ilmu yang disampaikan sangat relevan dengan kondisi dunia kesehatan saat ini,” ujarnya.
Sementara itu, Okta Zafika, mahasiswi angkatan 2024, turut aktif dalam sesi tanya jawab dengan menanyakan strategi BPS dalam meningkatkan keterlibatan generasi muda (Gen Z) terhadap literasi statistik.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Erni Hanifah menjelaskan bahwa BPS telah membentuk Pojok Statistik atau dikenal juga dengan nama “Pojok Cantik” di berbagai perguruan tinggi, sebagai pusat informasi dan layanan statistik yang ramah mahasiswa.
Tak ketinggalan, Muhammad Putra Pratama, mahasiswa angkatan 2023, juga mengungkapkan apresiasinya terhadap acara ini.
“Luar biasa. Bisa bertemu dan belajar langsung dari praktisi yang sudah lebih dari dua dekade berkecimpung di dunia statistik adalah pengalaman berharga. Semoga ilmu yang kami dapatkan bisa diterapkan dalam tugas akademik maupun riset kami ke depan,” ujarnya penuh semangat.
Ketua pelaksana kegiatan, Zakiy Arya Prayoga, menyampaikan bahwa kuliah pakar ini bertujuan memberikan manfaat nyata dalam memperluas wawasan mahasiswa terkait pentingnya data dalam pembangunan kesehatan masyarakat.
“Kami berharap kegiatan ini tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga menjadi inspirasi dan bekal berharga untuk pengembangan akademik dan profesional mahasiswa di masa depan,” pungkasnya.
Melalui kuliah pakar ini, Universitas Malahayati terus menunjukkan komitmennya dalam membekali mahasiswa dengan ilmu yang aplikatif, relevan, dan mampu menjawab tantangan zaman—khususnya dalam dunia kesehatan masyarakat yang semakin berbasis data dan teknologi. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Akuntansi Universitas Malahayati Raih Juara Harapan 3 Baca Puisi di NAC 2025
Kompetisi NAC 2025 menjadi panggung bergengsi bagi mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia untuk menunjukkan bakat dan kemampuan seni mereka, termasuk dalam bidang baca puisi. Meskipun berasal dari jurusan yang tidak berfokus pada seni pertunjukan, Yoga membuktikan bahwa semangat dan kecintaan terhadap sastra mampu mengantarkannya menembus persaingan yang ketat dan meraih posisi terbaik.
Dalam wawancara singkat, Yoga mengungkapkan bahwa hasil yang didapatkan kali ini sebenarnya belum sepenuhnya memuaskan. Ia merasa ada ketidaksesuaian dalam proses penilaian oleh dewan juri dan panitia.
“Sejujurnya saya cukup kecewa dengan hasil yang diperoleh karena saya merasa juri dan panitia tidak cukup transparan. Tapi dari sisi positifnya, ini menjadi bahan evaluasi dan penyemangat bagi saya untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan membaca puisi,” ujar Yoga.
Ia juga menyatakan tekadnya untuk kembali tampil lebih maksimal di ajang Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) tahun depan, dan membawa nama Universitas Malahayati lebih tinggi lagi di kancah seni mahasiswa.
Prestasi ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga aktif dan berprestasi dalam kegiatan seni dan budaya. Universitas pun memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Yoga atas semangat dan perjuangannya.
Selamat kepada Yoga Maryanto! Terus berkarya, terus berpuisi, dan jadilah inspirasi bagi generasi muda kampus dalam mengembangkan potensi diri di berbagai bidang. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Guest Lecture Inspiratif Universitas Malahayati, Menghubungkan Ilmu Farmasi dengan Aksi Nyata Lewat Clinical Decision Support
Acara ini diselenggarakan di Ruang Perkuliahan Prodi Farmasi dan menghadirkan narasumber ahli, apt. Yuriani, M.Farm, yang menjabat sebagai CDS MIMS Business Development Manager, MIMS Asia – Indonesia. Dalam pemaparannya, apt. Yuriani membagikan pengetahuan mendalam tentang bagaimana sistem Clinical Decision Support (CDS) dapat mengubah pemahaman farmakologi menjadi pengambilan keputusan klinis yang tepat dan berdampak langsung pada keselamatan pasien.
Tak hanya menyuguhkan materi teoritis, sesi ini juga menyajikan simulasi kasus klinis nyata. Mahasiswa diajak terlibat langsung dalam skenario penggunaan platform CDS MIMS, yang banyak digunakan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Asia. Melalui pendekatan interaktif ini, peserta diuji untuk menerapkan ilmu farmakologi mereka dalam situasi klinis yang kompleks dan dinamis.
Kaprodi Farmasi Universitas Malahayati, apt. Ade Maria Ulfa, M.Kes, menyampaikan harapannya atas terselenggaranya Guest Lecture ini.
“Kami ingin mahasiswa tidak hanya memahami teori farmasi, tetapi juga mampu mengambil peran aktif dalam pengambilan keputusan klinis berbasis teknologi. Ini adalah bagian dari profesionalisme farmasi yang visioner dan siap menghadapi tantangan masa depan.”
Dengan semangat kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri, sesi ini menandai langkah maju dalam memperkuat kompetensi mahasiswa sebagai calon apoteker profesional. Guest Lecture ini bukan sekadar kuliah tamu, tetapi menjadi jendela menuju masa depan farmasi digital, di mana pengetahuan bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk digunakan demi keselamatan pasien dan kemajuan layanan kesehatan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kesholehan Digital
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seperti biasa, Jum’at itu mendatangi masjid untuk melaksanakan sholat Jum’at. Kebetulan komplek perumahan tidak jauh ada masjid yang cukup asri. Namun Jum’at itu ada yang tidak biasa karena saat khotib memberikan khotbah beliau menyinggung tetang “Kesholehan Digital”, dan yang menarik lagi khotibnya generasi milenial yang sehari-hari memang bergelut pada dunia digital. Tentu tidak mungkin meng-copy paste isi khotbah tersebut, disamping tidak etis, juga halaman yang tersedia tidak cukup. Satu hal menarik topik itu jika kita bahas dari sudut pandang filsafat manusia.
Di era digital yang berkembang pesat, peradaban manusia mengalami pergeseran mendasar dalam cara berkomunikasi, bekerja, berpikir, bahkan dalam menjalani kehidupan spiritual. Kehadiran media sosial, kecerdasan buatan, dan algoritma telah membentuk lanskap budaya baru yaitu “budaya digital”. Konsep ini menjadi menantang sebab kesholehan digital tidak hanya berbicara tentang bagaimana kita bertindak secara etis di dunia maya, melainkan lebih dalam dari itu, karena kita mulai mempertanyakan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dalam interaksi digital yang serba cepat, tidak berwajah, dan terkadang tanpa tanggung jawab.
Berdasarkan referensi digital dan referensi konvensional ditemukan informasi bahwa; dari sudut pandang filsafat manusia, kesholehan digital dapat dimaknai sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai manusiawi dalam konteks kehidupan digital. Tulisan ini mencoba menjelajahi konsep tersebut dengan mengaitkannya pada pemikiran beberapa filsuf besar mengenai hakikat manusia, moralitas, teknologi, dan kebebasan.
Filsafat manusia menempatkan manusia sebagai makhluk yang unik. Ia bukan sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang memiliki kesadaran diri, rasionalitas, dan kebebasan moral. Dalam pemikiran Immanuel Kant, manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar alat. Hal ini menegaskan pentingnya memperlakukan manusia dengan hormat dan bermartabat, termasuk dalam konteks digital.
Namun dalam kenyataan digital, seringkali prinsip ini dilanggar. Ketika seseorang menyebarkan data pribadi orang lain tanpa izin, melakukan doxing, atau menyebarkan fitnah, ia sedang mereduksi manusia lain menjadi alat hiburan atau pelampiasan emosi. Kesholehan digital, dalam konteks ini, adalah kesadaran untuk tetap memperlakukan orang lain sebagai subjek moral, bukan objek algoritma.
Plato dalam bukunya “The Republic” menekankan pentingnya pendidikan jiwa agar manusia mampu membedakan mana yang benar dan salah, bukan hanya mengikuti dorongan nafsu atau opini mayoritas. Dunia digital yang dipenuhi banjir informasi, hoaks, dan clickbait bisa membuat manusia terperangkap dalam doxa (pendapat) alih-alih mencapai episteme (pengetahuan).
Kesalehan digital mengharuskan adanya disiplin rasional dan kontrol diri, dua hal yang justru sering luntur karena sifat impulsif dunia maya.
Sementara Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”. Kebebasan bukan sekadar hak, tetapi juga beban. Artinya, setiap tindakan manusia adalah pilihan yang mencerminkan tanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap dunia. Dalam dunia digital, kebebasan pengguna untuk memproduksi dan menyebarkan informasi sangat besar. Namun kebebasan ini sering kali dijalankan tanpa kesadaran akan konsekuensi moral. Komentar jahat, meme provokatif, atau penyebaran konten negatif sering dilakukan dengan alasan “kebebasan berekspresi”. Di sinilah urgensi kesholehan digital muncul: “sebagai kesadaran akan kebebasan yang bertanggung jawab”.
Sartre juga menekankan bahwa eksistensi mendahului esensi. Dalam konteks ini, jejak digital kita adalah bagian dari eksistensi kita yang tak terhapuskan. Tindakan online bukanlah sesuatu yang ‘tidak nyata’, melainkan bagian dari identitas eksistensial kita. Maka, kesalehan digital adalah bentuk kesadaran bahwa kehidupan digital bukanlah ruang yang terpisah dari moralitas manusia, melainkan perlu menjadi bagian dari upaya membentuk diri yang autentik.
Pendapat Martin Heidegger dalam esainya “The Question Concerning Technology” melihat bahwa teknologi bukanlah sekadar alat netral, melainkan suatu cara dunia menampakkan diri kepada manusia. Teknologi modern, kata Heidegger, cenderung mengubah segala sesuatu menjadi “standing-reserve” yaitu, cadangan yang siap dimanfaatkan kapan saja. Bahkan manusia sendiri, dalam sistem digital, bisa dilihat sebagai data, metrik, atau objek analitik. Di sinilah letak bahaya dehumanisasi digital. Ketika manusia dinilai berdasarkan jumlah followers, engagement, atau traffic, ia kehilangan kedalamannya sebagai makhluk yang bermakna.
Kesalehan digital adalah upaya sadar untuk melawan reduksi seperti ini; dengan memperlakukan sesama bukan sebagai konten, melainkan sebagai sesama manusia yang memiliki eksistensi dan martabat.
Heidegger juga menyarankan agar kita mencari cara hidup yang lebih otentik, yaitu dengan mengalami dunia bukan sebagai objek penguasaan, tetapi sebagai sesuatu yang mengungkapkan makna. Maka, interaksi digital seharusnya menjadi sarana untuk memperluas pemahaman, menjalin empati, dan memperkaya kehidupan spiritual, bukan sekadar memenuhi hasrat narsistik atau konsumtif.
Beda lagi Aristoteles; beliau mengajarkan bahwa kebajikan (virtue) adalah kunci kehidupan yang baik (eudaimonia). Kebajikan tidak hadir secara otomatis, melainkan dibentuk melalui kebiasaan dan pendidikan moral. Jika dalam kehidupan nyata kita membentuk karakter melalui interaksi sosial, maka dalam dunia digital, karakter kita terbentuk dari cara kita berkomentar, membagikan, atau memilih untuk diam.
Kesalehan digital adalah manifestasi dari kebajikan digital yang dibentuk secara sadar dan berkelanjutan. Ini termasuk: kebijaksanaan dalam membedakan informasi yang layak dibagikan, keadilan dalam memberikan kredit pada karya orang lain, keberanian dalam melawan ujaran kebencian, dan pengendalian diri untuk tidak terpancing oleh konflik maya. Menjadi saleh secara digital bukan berarti menjadi sempurna, melainkan memiliki komitmen untuk terus memperbaiki diri dalam interaksi digital. Ini adalah praktik kebajikan kontemporer yang menuntut disiplin dan refleksi, sebagaimana yang diajarkan Aristoteles dalam “Nicomachean Ethics”.
Dunia digital sering kali menuntut kecepatan, reaksi instan, dan kehadiran konstan. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai spiritual seperti kontemplasi, keheningan, dan kesadaran diri mudah tergerus. Padahal, dalam banyak tradisi filsafat dan spiritualitas, termasuk dalam Islam, keheningan adalah ruang di mana manusia mendekati kebenaran dan kedamaian batin.
Kesalehan digital dapat dipahami sebagai perpanjangan dari kehidupan spiritual ke dalam dunia maya. Ia bukan hanya tentang tidak menyebarkan keburukan, tetapi juga menghadirkan kebaikan, ketenangan, dan harapan di ruang digital. Misalnya, dengan membagikan konten yang edukatif, menenangkan, atau menyemangati, seseorang sedang menjalankan laku spiritual yang berdampak pada kesejahteraan batin orang lain.
Filsafat mengajak manusia untuk bertanya secara mendalam, merenung secara jujur, dan bertindak secara sadar. Tanpa kesadaran filosofis, dunia digital bisa menjebak manusia dalam pola hidup yang mekanis, reaksioner, dan terasing dari jati dirinya. Kesalehan digital menjadi praksis filsafat manusia yang nyata untuk selalu menghidupkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, dan tanggung jawab dalam kehidupan digital sehari-hari.
Menjadi saleh secara digital berarti tetap menjadi manusia walaupun di tengah algoritma, di balik layar, dan dalam setiap klik yang kita buat. Dunia mungkin berubah, tetapi nilai kemanusiaan tetap harus dijaga, termasuk dalam bentuknya yang paling baru yang bernama ”digital”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kebaikan Jangan Ditanya, Jahatnyapun Jangan Dicoba (Dua Muka Dalam Satu Wajah)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Ruang kerja yang sejuk itu kedatangan tamu dua orang dosen muda. Dua pria tampan ini tampak sumringah; karena mereka berdua ingin melanjutkan studi lanjutnya ke program doktor di salah satu universitas ternama di negeri ini, dan hasil tes sudah diumumkan, mereka berdua diterima dengan program yang berbeda. Mereka berdua meminta wejangan, terutama bagaimana menghadapi karakter beberapa guru besar yang ada di lembaga itu. Salah satu diantara mereka berdua mengatakan bahwa ada seorang guru besar yang pernah membimbingnya saat program strata dua beberapa waktu lalu, berkarakter jika sudah baik, maka beliau sangat baik sekali, bahkan melebihi rerata orang biasa; namun jangan ditanya kalau beliau sudah tidak suka, maka jahatnyapun minta ampun.
Diskusi menjadi hangat karena berbicara menyangkut karakter manusia; dan itu tidak etis untuk dibentang pada halaman ini. Namun, yang menarik penyataan mereka berdua yaitu: “kebaikannya jangan ditanya, jahatnyapun jangan dicoba” ini menarik untuk dijadikan bahan renungan.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, manusia memiliki potensi untuk melakukan kebaikan yang luar biasa, seperti misalnya; menolong, mencintai, menginspirasi, bahkan berkorban demi orang lain. Namun, di sisi lain, manusia juga menyimpan sisi gelap, diantaranya; kemampuan untuk menyakiti, menghancurkan, dan mengkhianati.
Ungkapan “Kebaikannya jangan ditanya, jahatnya pun jangan dicoba” adalah gambaran sederhana tetapi mendalam tentang kompleksitas watak manusia. Ungkapan ini juga bukan hanya sekadar kata-kata peringatan, melainkan bentuk refleksi sosial yang menunjukkan betapa seseorang bisa menjadi sangat baik bila diperlakukan dengan hormat, namun bisa sangat berbahaya jika disakiti. Melalui uraian ini kita akan membedah makna dari ungkapan tersebut dari konsep filsafat manusia.
Pada konsep filsafat, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki kebebasan moral. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia “dikondisikan untuk memilih”, dan dari pilihan-pilihan inilah karakter seseorang terbentuk. Ungkapan “Kebaikannya jangan ditanya” menyiratkan bahwa seseorang dapat menjadi sumber kebaikan yang tak terbatas ketika hidupnya selaras dengan nilai-nilai luhur. Ia bisa menjadi panutan, pelindung, dan sumber harapan bagi sesamanya. Namun, “Jahatnya pun jangan dicoba” menyiratkan bahwa sisi gelap manusia tak kalah kuat. Seperti yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche dalam konsep “will to power”, setiap manusia memiliki dorongan kekuasaan yang, jika tidak dikendalikan, dapat berubah menjadi destruktif. Dalam konteks ini, kebaikan dan kejahatan bukanlah dua kutub yang terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama: potensi yang hidup dalam diri manusia.
Psikologi modern mengakui bahwa setiap individu menyimpan sisi terang dan gelap dalam kepribadiannya. Carl Gustav Jung memperkenalkan konsep “The Shadow”—bagian dari diri seseorang yang tersembunyi, sering kali berupa keinginan, dorongan, atau karakter yang tidak disetujui oleh norma sosial. Jung percaya bahwa mengabaikan sisi gelap ini justru dapat membuat seseorang lebih mudah dikuasai oleh aspek destruktifnya.
Seseorang yang dikenal penuh kasih dan kebaikan bisa berubah menjadi sosok yang penuh kemarahan dan dendam bila disakiti atau dikhianati. Ini bukan berarti bahwa orang tersebut munafik, melainkan karena ada batas toleransi dalam diri setiap manusia. Ketika rasa sakit, pengkhianatan, atau ketidakadilan melampaui batas tersebut, maka sisi gelap dapat muncul dan mengambil alih kesadaran.
Lingkungan sosial memiliki peran besar dalam membentuk perilaku manusia. Orang yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang cenderung berkembang menjadi pribadi yang hangat dan suportif. Sebaliknya, lingkungan yang keras, penuh kekerasan, atau pengkhianatan bisa membuat seseorang berubah menjadi pribadi yang kasar dan penuh kecurigaan. “Kebaikannya jangan ditanya” bisa bermakna bahwa seseorang telah terbukti memberi banyak manfaat dan cinta kepada orang-orang di sekitarnya. Namun ketika orang tersebut terus-menerus diperlakukan buruk, diabaikan, atau bahkan disakiti, maka muncul peringatan: “jahatnya pun jangan dicoba”. Ini bukan hanya tentang balas dendam, tetapi lebih pada fakta bahwa setiap manusia memiliki titik jenuh emosional.
Pada budaya Indonesia, ungkapan seperti ini kerap muncul dalam bentuk peribahasa atau pepatah. Contohnya, “Air tenang jangan disangka tiada buaya,” atau “Diam-diam menghanyutkan.” Ini adalah bentuk kearifan lokal yang mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan seseorang karena sikap lembut atau diamnya. “Kebaikannya jangan ditanya, jahatnya pun jangan dicoba” bisa dianggap sebagai versi modern dari kebijaksanaan lama yang mengingatkan kita untuk tidak menilai seseorang hanya dari permukaan. Dalam budaya Timur yang menjunjung tinggi kesopanan dan kerendahan hati, orang-orang baik sering kali memilih diam daripada membalas. Namun, diam bukan berarti tidak mampu.
Ungkapan ini masih sangat relevan dalam dinamika kehidupan modern, terutama dalam dunia kerja, pertemanan, dan hubungan sosial. Seseorang yang selalu membantu, murah senyum, dan tidak pernah marah sering kali dianggap sebagai “orang baik” yang bisa diperlakukan seenaknya. Banyak kasus di mana orang-orang baik justru menjadi korban karena dianggap tidak akan melawan. Namun, ketika mereka “meledak” karena terus-menerus disakiti, orang-orang di sekitarnya terkejut. Padahal, itu adalah reaksi wajar dari rasa lelah dan kekecewaan yang menumpuk. Maka, ungkapan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua agar tidak menyalahgunakan kebaikan orang lain.
Hormatilah batasan mereka, karena setiap orang memiliki titik rapuhnya sendiri. Maka dari itu, marilah kita saling menghargai, saling memahami, dan tidak mempermainkan emosi atau perasaan orang lain. Karena sekali saja kita membangunkan sisi gelap seseorang yang selama ini memilih untuk diam, mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Workshop Penulisan Karya Tulis dan Brainstorming Skripsi, Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati Siapkan Dosen Menuju Bimbingan Berkualitas
Workshop ini dihadiri oleh seluruh dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Dokter dan bertujuan untuk memperkuat kapasitas dosen dalam membimbing penulisan skripsi mahasiswa, mulai dari aspek teknis hingga substansi ilmiah.
“Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang penyegaran materi akademik bagi para dosen, tetapi juga forum diskusi untuk menyamakan persepsi serta meningkatkan kualitas bimbingan skripsi di Program Studi Pendidikan Dokter,” ujar Dr. Tessa.
Sejumlah narasumber kompeten turut hadir menyampaikan materi penting dalam workshop ini, di antaranya:
• dr. Nita Sahara, M.Kes., Sp.PA, yang membahas Tata Aturan Pengambilan Skripsi, termasuk prosedur, syarat, dan mekanisme yang harus ditempuh mahasiswa saat memulai tahap skripsi.
• dr. Arti Febriyani H, M.Kes, yang menyampaikan materi mengenai Penulisan BAB Karya Tulis Ilmiah (Skripsi), dengan penekanan pada struktur penulisan yang sistematis dan sesuai dengan kaidah ilmiah.
• dr. Festy Lady, M.Kes, memberikan panduan teknis penulisan skripsi mulai dari format penulisan, penggunaan referensi, hingga penataan bahasa ilmiah yang baik.
• Dwi Marlina Syukri, S.Si., M.BSc., Ph.D, memaparkan pentingnya Uji Plagiasi dan Uji Etik dalam pembuatan jurnal yang bersumber dari karya tulis ilmiah mahasiswa. Ia juga memberikan penjelasan singkat mengenai penggunaan perangkat lunak Mendeley untuk manajemen referensi.
• Dr. Mala Kurniati, S.Si., M.Biomed, melanjutkan materi dengan pembahasan seputar Pembuatan Jurnal dari Karya Tulis Ilmiah serta teknis penulisan dan penyusunan referensi menggunakan Mendeley.
• Dr. Tessa Sjahriani, dr., M.Kes, turut memberikan materi mengenai Kebaharuan (Novelty) Penelitian, yang menjadi indikator penting dalam menentukan kontribusi ilmiah dari sebuah skripsi mahasiswa.
Kegiatan ini menjadi bentuk nyata komitmen Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati dalam meningkatkan mutu akademik, khususnya pada tahap akhir studi mahasiswa. Harapannya, dengan pemahaman yang selaras antara dosen pembimbing dan kebijakan akademik, mahasiswa dapat menyelesaikan skripsi secara tepat waktu dengan kualitas yang tinggi dan berintegritas. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kolaborasi Riset dan Etika Profesi, D3 Anafarma Universitas Malahayati Gelar Kuliah Pakar Inspiratif
“Kegiatan seperti ini sangat penting untuk memperluas perspektif mahasiswa. Dunia kerja menuntut kesiapan yang tidak hanya teknis, tapi juga kolaboratif dan etis,” ujar Khoidar.
Sementara itu, Ketua Program Studi D3 Anafarma, Agustina Retnaningsih, S.Si., Apt., M.Farm, mengungkapkan rasa bangganya atas antusiasme mahasiswa yang begitu tinggi dalam mengikuti kuliah pakar ini. Ia menekankan bahwa kolaborasi dan sinergi dengan dunia luar harus terus diperkuat demi menghasilkan lulusan yang siap kerja dan berdaya saing tinggi.
“Kami ingin mahasiswa tidak hanya cakap di laboratorium, tapi juga mampu beradaptasi, membangun jejaring, dan memiliki pemahaman holistik mengenai tantangan di dunia industri,” kata Agustina.
Sementara itu, Indarto, S.Si., M.Sc dari Halal Expert Institut Teknologi Sumatera (ITERA) menambahkan wawasan penting tentang Legalitas Usaha dan Sertifikasi Halal Produk Farmasi dan Makanan. Ia menekankan bahwa pemahaman terhadap regulasi halal menjadi nilai tambah penting dalam industri farmasi dan makanan di Indonesia. Eris Ferdianto, S.Psi dari PT Sumber Indah Perkasa (Sinarmas Group) menutup sesi dengan materi tentang Etika Profesi dalam Dunia Kerja. Ia menekankan pentingnya integritas, disiplin, dan profesionalitas sebagai fondasi karier yang sukses di dunia kerja modern.
Kegiatan ini tidak hanya memberikan bekal keilmuan bagi mahasiswa, tetapi juga membuka wawasan praktis tentang tantangan dan peluang nyata di dunia industri kesehatan. Prodi D3 Anafarma berharap kuliah pakar ini dapat menjadi awal dari kolaborasi-kolaborasi yang lebih luas antara kampus dan dunia profesional.
Dengan semangat kolaboratif dan visi ke depan, Universitas Malahayati terus berupaya menciptakan lulusan yang unggul, adaptif, dan mampu memberi kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 3 Seni Lukis di National Art Competition (NAC) 2025
Kemenangan ini menjadi sangat istimewa bagi Nala karena merupakan pengalaman pertamanya mengikuti NAC. “Menjadi juara 3 adalah sebuah kebanggaan bagi saya. Ini menjadi awal yang baik untuk mulai percaya diri dengan menunjukkan bakat yang saya punya,” ujar Nala penuh semangat.
Ia menambahkan bahwa mengikuti NAC memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan sekaligus menjadi pelajaran berharga. “Saya belajar banyak dari ajang ini. Ke depan, saya ingin terus berkembang dan menjadi lebih baik,” tambahnya.
Keberhasilan Nala tidak hanya membanggakan dirinya secara pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk berani mengekspresikan diri dan menggali potensi di luar kegiatan akademik. Seni, sebagai bagian dari kreativitas, menjadi wadah penting dalam membentuk karakter mahasiswa yang inovatif dan percaya diri.
Universitas Malahayati melalui berbagai program pengembangan minat dan bakat senantiasa mendukung mahasiswanya untuk berprestasi di berbagai bidang. Capaian ini membuktikan bahwa mahasiswa Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu bersaing secara nasional dalam bidang seni dan budaya.
Selamat kepada Nala Salsabila Fitriana atas prestasinya. Terus berkarya dan menginspirasi! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Teken MoU dan MoA dengan BAWASLU Kota Bandar Lampung, Perkuat Sinergi Pendidikan dan Demokrasi
Dari pihak Universitas Malahayati, kegiatan ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, Kepala Bagian Kerja Sama, Kepala Bagian Humas dan Protokol, Emil Tanhar, S.Kom, serta beberapa perwakilan dosen Fakultas Hukum. Sementara dari pihak BAWASLU Kota Bandar Lampung hadir Muhammad Muhyi, S.Sos.I, Oddy Marsa JP, SH., MH, Juwita, S.H., MM, dan Hasanuddin Alam, S.P., M.Si.
“Kami menyambut baik kehadiran rekan-rekan dari Universitas Malahayati. Kerja sama ini bukan hanya mempererat hubungan kelembagaan, tetapi juga menjadi bagian dari upaya kami untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi, integritas, dan pengawasan partisipatif kepada generasi muda, khususnya para mahasiswa,” ujarnya.
“Kerja sama ini adalah langkah konkret untuk mendekatkan mahasiswa dengan praktik hukum dan demokrasi di lapangan. Kami berharap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk magang dan belajar langsung dari para profesional di BAWASLU. Ini menjadi bekal penting dalam pembentukan karakter dan pemahaman hukum secara komprehensif,” jelas Aditia.
Universitas Malahayati melalui Fakultas Hukum terus berkomitmen untuk menghadirkan pendidikan hukum yang adaptif, aplikatif, dan responsif terhadap perkembangan zaman. Sinergi dengan lembaga seperti BAWASLU menjadi salah satu bentuk penguatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang pengabdian kepada masyarakat dan peningkatan mutu lulusan.
Kerja sama ini bukan hanya tentang MoU, tapi tentang membangun masa depan demokrasi Indonesia bersama generasi muda yang cerdas dan berintegritas. (gil)
Editor: Gilang Agusman