BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati sukses menggelar Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72. Suasana khidmat dan penuh haru menyelimuti Gedung Graha Bintang Universitas Malahayati, sebanyak 64 lulusan kedokteran resmi dikukuhkan sebagai dokter baru, menandai babak baru dalam pengabdian mereka sebagai tenaga medis profesional. Selasa (20/5/2025)
Acara ini menjadi momentum penting yang tidak hanya menegaskan keberhasilan akademik para lulusan, tetapi juga komitmen mereka dalam mengemban tanggung jawab besar untuk melayani dan melindungi kesehatan masyarakat dengan penuh integritas dan empati.
Prosesi sumpah dipimpin langsung oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM. Dalam sambutannya, Dr. Toni menyampaikan rasa bangga atas keberhasilan para lulusan dan menegaskan bahwa perjalanan menjadi dokter bukanlah akhir, melainkan awal dari pengabdian sejati.“Hari ini adalah bukti nyata dari kerja keras, ketekunan, dan dedikasi kalian. Tapi ingat, gelar ‘dr.’ di depan nama kalian bukan sekadar simbol akademik, itu adalah panggilan moral”.
“Kalian telah ditempa oleh tekanan dan waktu, dan kini siap untuk menjadi dokter yang tidak hanya cerdas, tetapi juga menginspirasi dan melayani dengan hati,” ungkap Dr. Toni dengan penuh semangat.
Mewakili Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, hadir Wakil Rektor I Bidang Akademik, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes. Dalam sambutannya, ia memberikan pesan mendalam tentang pentingnya integritas dan sikap religius dalam praktik kedokteran.
“Dengan bertambahnya 64 dokter baru ini, semoga Universitas Malahayati dapat terus berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan nasional, khususnya di Provinsi Lampung. Bekerjalah dengan hati, jaga integritas, dan jadilah dokter yang membawa kebermanfaatan,” ujar Prof. Dessy.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan profesi dokter tidak hanya diukur dari kemampuan klinis, tetapi juga dari sikap dan perilaku yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
“Teruslah menjunjung tinggi etika religius. InsyaAllah, jika kalian menjaga perilaku dan perkataan dengan nilai-nilai religius, kalian akan selamat bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat,” pesannya disambut tepuk tangan para hadirin.
Turut hadir perwakilan IDI Wilayah Provinsi Lampung, Dr. dr. Fattah Satria Wibawa, Sp.THT-KL, yang memberikan pembekalan terkait tahapan yang akan dijalani para dokter baru pasca-sumpah. Ia menegaskan bahwa para lulusan wajib menjalani program intensif sebelum dapat mengurus Surat Izin Praktik (SIP) secara mandiri.
“Setelah kalian menyelesaikan masa intensif, kalian akan lebih memahami dunia praktik secara nyata. Kalian bisa memilih jalur pengabdian atau melanjutkan pendidikan spesialis. Apa pun pilihan kalian, konsultasikan dengan senior dan jangan berhenti belajar,” pesannya.
Dalam prosesi ini, para dokter baru juga menerima buku Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagai panduan moral dan profesional dalam menjalankan praktik kedokteran. Dr. Fattah menyampaikan analogi menarik yang menggambarkan pentingnya menjunjung tinggi sumpah dan etika dokter.
“Sumpah dokter dan kode etik adalah dua sisi dari satu mata uang. Jika hanya salah satu yang dijalankan, maka nilainya tidak sempurna. Tapi jika keduanya diamalkan dengan sungguh-sungguh, maka di situlah terletak nilai kalian sebagai dokter sejati,” tegasnya.
Universitas Malahayati tak hanya bangga melepas dokter baru, tapi juga mencatatkan prestasi membanggakan. Enam lulusan berhasil meraih nilai tertinggi dalam ujian nasional kompetensi dokter.
Top Score CBT Februari 2025: dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 79,33, dr. Dela Sartika – Skor: 78, dr. Eko M. Atiq Al Haromain – Skor: 78. Top Score OSCE Februari 2025: dr. Muhammad Basith F. – Skor: 87,79, dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 85,16, dr. Marina Ayu Ningsri – Skor: 84,31.
Prestasi ini menjadi bukti kualitas pendidikan dan pembinaan akademik yang diterapkan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
Acara ini turut dihadiri oleh berbagai tokoh dari instansi pemerintahan, rumah sakit, dan organisasi profesi. Di antaranya: Risna Intiza, M.Pd – Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Effendi, SKM., M.Kes – Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Arjuliati Syam – Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, Mulyadi, S.Sos., M.M – Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung, Dr. dr. Aila Kariyus, M.Kes, Sp.KKLP – IDI Kota Bandar Lampung, dr. Rahmawati, M.Ph – Direktur RSPBA, dr. Nia – RS Bhayangkara, Andin A., S.Kep., M.Kes – RSUD Ahmad Yani Metro.
Dari internal kampus, tampak hadir jajaran pimpinan Universitas Malahayati, termasuk: Drs. Nirwanto, M.Kes – Wakil Rektor II, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes – Wakil Rektor IV, dr. Neno Fitriani Hasbie, M.Kes – Wakil Dekan Akademik, Dr. dr. Hidayat, Sp.PK, M.Kes – Wakil Dekan Non-Akademik, Dr. dr. Tessa Sjahriani, M.Kes – Ka.Prodi S.Ked, dr. Ade Utia Detty, M.Kes – Ka.Prodi Profesi Dokter, serta dosen dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati lainnya.
Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72 ini tidak hanya menjadi selebrasi atas kelulusan, tetapi juga menjadi tonggak awal perjalanan pengabdian yang panjang dan penuh tanggung jawab. Universitas Malahayati kembali menegaskan peran sentralnya dalam mencetak dokter-dokter berkualitas, berintegritas, dan berlandaskan nilai kemanusiaan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Malahayati Raih Juara 2 Kejurda Hapkido se-Provinsi Lampung
Ahmad Yoga tampil impresif sepanjang pertandingan, menunjukkan teknik dan semangat juang tinggi yang membawanya hingga babak final. Dalam kategori yang cukup kompetitif ini, ia berhasil mengalahkan sejumlah atlet tangguh dari berbagai daerah di Provinsi Lampung.
“Alhamdulillah, dengan kemenangan di kejuaraan Hapkido ini saya belajar bahwa usaha yang tekun tidak akan mengkhianati hasil. Beberapa kali latihan yang keras akhirnya membuahkan hasil. Semangat, terus berdoa, dan yang terpenting bisa membanggakan keluarga, Fakultas Hukum, serta mengharumkan nama Universitas Malahayati,” ungkap Ahmad Yoga penuh rasa syukur.
Ia juga menambahkan, “Prestasi ini menjadi motivasi besar bagi saya untuk terus berkembang, tidak hanya dalam bidang akademik tetapi juga di dunia olahraga. Saya berharap pencapaian ini dapat memicu semangat teman-teman mahasiswa lain untuk terus berprestasi di bidangnya masing-masing.”
Universitas Malahayati melalui Fakultas Hukum turut menyampaikan apresiasi atas pencapaian ini. Prestasi Ahmad Yoga menjadi bukti bahwa mahasiswa tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu bersaing di kancah olahraga daerah, membawa nama baik kampus ke tingkat yang lebih luas.
Selamat kepada Ahmad Yoga atas prestasi gemilang ini! Semoga menjadi langkah awal untuk pencapaian-pencapaian lebih besar kedepannya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Bertempur tanpa Kata Libur
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi di Hari Kebangkitan Nasional itu L, saya kedatangan tamu seorang dosen muda yang bergelar doktor. Di samping mengucapkan selamat ultah ternyata beliau mengajak diskusi. Topik pagi itu adalah mengomentari satu artikel yang dikirim oleh teman lama waktu ditempat kerja dulu yang dimuat oleh harian digital ternama di negeri ini, bertema beban kerja dosen yang mirip pekerja rodi, sesuai judul yang dimuat “Dosen Kerja Seperti Kuda”. Diskusi melebar dengan melacak pendapatan pekerja profesional di negeri ini dibandingkan dengan jam kerja dan tanggungjawab yang diemban oleh masing-masing profesi.
Ternyata ditemukan indikasi pendapatan dosen itu pada level golongan tertentu sama dan sebangun dengan pendapatan Supir Bus Malam eksekutif di Jawa, bahkan bisa dibawah yaitu setara kondektur atau malah kernetnya. Kami berdua tertawa dan akhirnya diskusi menjadi menarik, dan jika disaripatikan hasilnya sebagai berikut: Dalam dunia profesional yang terus berubah dengan cepat, tuntutan akan produktivitas, efisiensi, dan dedikasi kian meningkat. Kalimat “Bertempur tanpa mengenal kata libur” bukan sekadar ungkapan semangat, melainkan mencerminkan sebuah filosofi hidup dan kerja yang mendalam. Ungkapan ini tidak berarti seseorang harus bekerja tanpa henti secara fisik, tetapi lebih pada sikap mental: komitmen tanpa jeda untuk terus berkembang, menghadapi tantangan, dan menyelesaikan tanggung jawab dengan tekad penuh, tanpa melihat pendapatannya berapa.
Diksi yang sering dipakai oleh para supir Bus Malam AnatarProvinsi ini memiliki makna filosofis sebagai Perjuangan Tak Kenal Henti. Secara harfiah, kata “bertempur” merujuk pada pertempuran atau peperangan. Namun, dalam konteks pekerjaan, maknanya meluas menjadi upaya terus-menerus untuk mengatasi tantangan, memenuhi target, menjaga profesionalisme, dan menciptakan nilai.
Sementara itu, frasa “tanpa mengenal kata libur” bukan ajakan untuk mengabaikan istirahat, tetapi gambaran semangat juang yang konsisten, bahkan ketika banyak orang memilih untuk berhenti. Filosofi ini juga menekankan bahwa perjuangan dalam bekerja adalah bagian dari proses hidup. Dalam dunia kerja, musuh yang dihadapi bukan musuh fisik, tetapi bisa berupa kemalasan, rasa puas diri, tekanan deadline, persaingan, maupun krisis moral.
Di berbagai sektor industri, karyawan, pengusaha, dosen, maupun pemimpin dihadapkan pada tekanan yang luar biasa. Tenggat waktu, target, inovasi, pelayanan, dan ketahanan terhadap krisis menuntut semua pihak untuk selalu siaga dan tanggap. Dalam situasi seperti ini, filosofi “bertempur tanpa mengenal kata libur” menjadi relevan sebagai sikap mental untuk: “Tidak cepat puas dengan pencapaian sementara”. Seseorang yang menghidupkan prinsip ini dalam pekerjaan akan menunjukkan etos kerja tinggi yang melampaui sekadar bekerja untuk menggugurkan kewajiban.
Dalam dunia kerja modern, etos kerja menjadi indikator utama keberhasilan seseorang. Etos kerja meliputi ketekunan, tanggung jawab, kejujuran, disiplin, dan daya tahan mental. Filosofi bertempur tanpa libur menyatu dalam semangat ini, karena mencerminkan kesediaan untuk terus berkontribusi dan bertahan, bahkan ketika kondisi tidak ideal seperti halnya saat covid-19 kemarin.
Seorang profesional yang menghayati prinsip ini tidak akan menyerah saat menghadapi tekanan. Ia akan terus berpikir solutif, memperbaiki kesalahan, dan berinovasi, karena dalam benaknya tidak ada ruang untuk berhenti. Libur fisik mungkin ada, tetapi mentalitasnya tetap menyala. Banyak orang-orang sukses yang memulai dari nol. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, tanpa akhir pekan, karena menyadari bahwa membangun karier membutuhkan dedikasi penuh. Kegagalan demi kegagalan menjadi bagian dari perjuangan mereka, namun semangat pantang menyerah membuat mereka bertahan. Seorang pendidik sejati tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga mempersiapkan materi, membimbing mahasiswanya, bahkan di luar jam kerja.
Mereka terus belajar, menyesuaikan metode dengan zaman, dan menjadi contoh hidup dari prinsip perjuangan berkelanjutan.
Penting untuk memahami bahwa filosofi ini tidak berarti mengabaikan kesehatan mental dan fisik. Justru, dengan mentalitas bertempur tanpa libur, seseorang belajar mengelola waktu, energi, dan emosi dengan baik. Istirahat tetap diperlukan, namun bukan sebagai bentuk pelarian, melainkan sebagai strategi pemulihan agar bisa bertempur lebih baik esok hari. Dalam dunia kerja, terlalu memaksakan diri hingga kelelahan dapat menimbulkan burnout. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara “kerja keras” dan “kerja cerdas”. Filosofi ini mendorong kita untuk terus berjuang, tapi juga mengembangkan strategi agar tetap sehat dan produktif dalam jangka panjang.
Sikap mental yang siap “bertempur” membuat seseorang memandang tantangan sebagai pembelajaran, bukan sebagai hambatan. Setiap krisis menjadi peluang untuk tumbuh. Setiap kesalahan menjadi ruang refleksi. Dengan begitu, dunia kerja bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga arena untuk mengembangkan potensi diri secara utuh.
Oleh karena itu, mereka yang ada pada posisi ini memandang tempat mereka bekerja adalah rumah kedua dalam kehidupannya.
“Bertempur tanpa mengenal kata libur” adalah filosofi yang relevan di tengah dinamika dunia kerja saat ini. Ia mengajarkan kita untuk konsisten, tangguh, dan berdedikasi. Slogan ini bukan ajakan untuk mengorbankan diri secara buta, tetapi panggilan untuk bekerja dengan semangat pantang menyerah, mengabdi dengan hati, dan terus berkembang sebagai pribadi. Dalam dunia kerja, mereka yang berhasil bukan hanya yang pintar, tetapi juga yang gigih. Karena pada akhirnya, kesuksesan adalah milik mereka yang memilih untuk terus “bertempur”, bahkan ketika jalan terlihat berat. Terlepas akan penghargaan rupiah terhadap profesi, namun hikmah yang terkandung bernilai ibadah, adalah sesuatu yang mulia dihadap Tuhan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Hadiri Halal Bihalal dan Rapat Kerja APTISI Wilayah II-B Lampung
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, S.T., MM, hadir dalam acara Halal Bi Halal dan Rapat Kerja Aptisi wilayah IIB Lampung. Ketua APTISI Pusat, Prof. Dr. Ir. M. Budi Djatmoko, M.Si. M.E.I., juga hadir melalui link zoom dalam acara tersebut.
Dalam sambutannya, Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, S.T., MM, menyampaikan saat ini 68 persen penduduk Lampung berada dalam usia produktif (15–65 tahun), menjadikan Provinsi Lampung berpotensi lebih cepat menikmati bonus demografi tersebut, bahkan sebelum tahun 2028. Gubernur Mirza mengkhawatirkan bahwa potensi tersebut akan menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing tenaga kerja.
“Bonus demografi bisa menjadi peluang besar, tapi kalau kualitas SDM kita masih rendah, maka yang menikmati kemajuan bukan masyarakat Lampung,”ujarnya.
Lebih lanjut, Kiai Mirza, biasa disapa, mengungkapkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung masih tergolong rendah, yakni peringkat terakhir di Sumatera dan ke-20 secara nasional dimana rendahnya angka tersebut didorong oleh kualitas pendidikan yang belum memadai.
“Hanya 21–22 persen lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi, dan hanya sekitar 62 persen lulusan SMP yang masuk ke SMA dan kondisi ini terus terjadi setiap tahun dan menghambat peningkatan IPM Lampung,”ungkapnya.
Dalam forum tersebut, dibahas berbagai strategi penguatan kelembagaan, peningkatan mutu akademik, serta sinergi program yang mendukung pengembangan kapasitas dosen dan institusi. Keaktifan Universitas Malahayati dalam forum ini mempertegas peran strategisnya sebagai salah satu perguruan tinggi swasta yang terus berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.
Kegiatan Halal Bihalal dan Raker ini juga menjadi momen refleksi bersama, dengan harapan membawa semangat baru dalam membangun dunia pendidikan yang unggul, bermutu, dan berdaya saing tinggi. (gil)
Editor: Gilang Agusman
UKM Mahapala Universitas Malahayati Gelar Mahapala Orienteering and Climbing Competition 2025
Gelaran MOCC3 diawali dengan kegiatan bazar yang menghadirkan beragam produk UMKM mahasiswa dan mitra, yang berlangsung meriah di area kampus Universitas Malahayati. Suasana semakin hangat menjelang kompetisi inti yaitu lomba wall climbing dan orientering yang digelar dari tanggal 19 hingga 24 Mei 2025. Acara akan ditutup dengan festival musik yang menghadirkan musisi lokal dan nasional, sekaligus menjadi momen pelepas lelah bagi seluruh peserta dan panitia.
“Kegiatan seperti ini bukan hanya ajang adu keterampilan, tapi juga bentuk nyata pembinaan karakter mahasiswa. Ada nilai keberanian, ketangguhan, dan solidaritas di dalamnya. Saya berharap MOCC3 dapat terus menjadi ruang pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bagi seluruh peserta,” ujar Dr. Rina.
“Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini karena mampu mengangkat potensi olahraga di Lampung sekaligus memperkuat karakter generasi muda,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Umum UKM Mahapala, Panji Gani Alif (20110023), menyambut para peserta dengan semangat tinggi. “Selamat datang di MOCC3. Kami bangga menyambut teman-teman dari berbagai kampus dan komunitas. Semoga ajang ini menjadi ruang bertemu yang hangat, sehat, dan kompetitif,” katanya.
Acara ini juga dihadiri oleh berbagai tokoh dan instansi penting di Lampung, antara lain: Wakil Rektor IV Universitas Malahayati, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Dr. Hi. Yanuar Irawan, S.E., M.M, Kasubdit Gatsum Ditsamapta Polda Lampung, AKBP Nelson Manik, S.H, Perwakilan Dispora Provinsi Lampung, Pasman Syairi, S.Sos., M.M, Ketua FPTI Provinsi Lampung, Rudi Antoni, S.H., M.H, Ketua FONI Provinsi Lampung, Erma Danu, S.Kom.
Dengan kehadiran tokoh-tokoh tersebut, MOCC3 kian mengukuhkan eksistensinya sebagai ajang bergengsi yang bukan hanya membangun fisik, tapi juga jejaring, solidaritas, dan kecintaan pada lingkungan hidup.
Festival MOCC3 tahun ini diharapkan tidak hanya meninggalkan jejak prestasi, tetapi juga inspirasi yang membekas di hati para peserta. Mahapala Universitas Malahayati membuktikan bahwa semangat petualang, solidaritas, dan sportivitas bisa berpadu dalam satu panggung kebersamaan. Salam Lestari! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Kukuhkan 64 Dokter Baru dalam Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72
Acara ini menjadi momentum penting yang tidak hanya menegaskan keberhasilan akademik para lulusan, tetapi juga komitmen mereka dalam mengemban tanggung jawab besar untuk melayani dan melindungi kesehatan masyarakat dengan penuh integritas dan empati.
“Kalian telah ditempa oleh tekanan dan waktu, dan kini siap untuk menjadi dokter yang tidak hanya cerdas, tetapi juga menginspirasi dan melayani dengan hati,” ungkap Dr. Toni dengan penuh semangat.
“Dengan bertambahnya 64 dokter baru ini, semoga Universitas Malahayati dapat terus berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan nasional, khususnya di Provinsi Lampung. Bekerjalah dengan hati, jaga integritas, dan jadilah dokter yang membawa kebermanfaatan,” ujar Prof. Dessy.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan profesi dokter tidak hanya diukur dari kemampuan klinis, tetapi juga dari sikap dan perilaku yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
“Teruslah menjunjung tinggi etika religius. InsyaAllah, jika kalian menjaga perilaku dan perkataan dengan nilai-nilai religius, kalian akan selamat bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat,” pesannya disambut tepuk tangan para hadirin.
“Setelah kalian menyelesaikan masa intensif, kalian akan lebih memahami dunia praktik secara nyata. Kalian bisa memilih jalur pengabdian atau melanjutkan pendidikan spesialis. Apa pun pilihan kalian, konsultasikan dengan senior dan jangan berhenti belajar,” pesannya.
Dalam prosesi ini, para dokter baru juga menerima buku Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagai panduan moral dan profesional dalam menjalankan praktik kedokteran. Dr. Fattah menyampaikan analogi menarik yang menggambarkan pentingnya menjunjung tinggi sumpah dan etika dokter.
“Sumpah dokter dan kode etik adalah dua sisi dari satu mata uang. Jika hanya salah satu yang dijalankan, maka nilainya tidak sempurna. Tapi jika keduanya diamalkan dengan sungguh-sungguh, maka di situlah terletak nilai kalian sebagai dokter sejati,” tegasnya.
Top Score CBT Februari 2025: dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 79,33, dr. Dela Sartika – Skor: 78, dr. Eko M. Atiq Al Haromain – Skor: 78. Top Score OSCE Februari 2025: dr. Muhammad Basith F. – Skor: 87,79, dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 85,16, dr. Marina Ayu Ningsri – Skor: 84,31.
Prestasi ini menjadi bukti kualitas pendidikan dan pembinaan akademik yang diterapkan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
Dari internal kampus, tampak hadir jajaran pimpinan Universitas Malahayati, termasuk: Drs. Nirwanto, M.Kes – Wakil Rektor II, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes – Wakil Rektor IV, dr. Neno Fitriani Hasbie, M.Kes – Wakil Dekan Akademik, Dr. dr. Hidayat, Sp.PK, M.Kes – Wakil Dekan Non-Akademik, Dr. dr. Tessa Sjahriani, M.Kes – Ka.Prodi S.Ked, dr. Ade Utia Detty, M.Kes – Ka.Prodi Profesi Dokter, serta dosen dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati lainnya.
Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72 ini tidak hanya menjadi selebrasi atas kelulusan, tetapi juga menjadi tonggak awal perjalanan pengabdian yang panjang dan penuh tanggung jawab. Universitas Malahayati kembali menegaskan peran sentralnya dalam mencetak dokter-dokter berkualitas, berintegritas, dan berlandaskan nilai kemanusiaan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
20 Mei, Hari Istimewa untuk Indonesia, Saya, dan Dunia Pendidikan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari ini, Selasa, 20 Mei 2025, adalah Hari Kebangkitan Nasional, yang ditandai lahirnya kesadaran nasionalisme dari para mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang dipelopori dr. Soetomo dan kawan-kawan di Batavia, 20 Mei 1908.
Boedi Oetomo menjadi organisasi modern pertama yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, serta terbuka bagi kaum pribumi di Indonesia yang pada masa itu masih disebut Hindia Belanda.
Walaupun Boedi Oetomo tidak secara eksplisit menyatakan perjuangan kemerdekaan, namun berdirinya organisasi ini menandai perubahan besar dalam cara berpikir dan cara berjuang bangsa Indonesia.
Boedi Oetomo menjadi simbol bangkitnya kesadaran nasional, bahwa persatuan dan pendidikan adalah kunci menuju kemerdekaan.
Nasionalisme
Kebangkitan nasional memiliki beberapa makna penting, baik secara historis maupun dalam konteks kekinian: Sebelum abad ke-20, perlawanan terhadap penjajah dilakukan secara lokal dan kedaerahan. Namun, setelah Boedi Oetomo dan organisasi-organisasi lain bermunculan, mulai tumbuh kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah satu kesatuan yang memiliki tujuan bersama: merdeka dari penjajahan.
Keberagaman suku, agama, bahasa, dan budaya yang sebelumnya menjadi hambatan untuk bersatu, mulai diatasi dengan semangat nasionalisme.
Organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Indische Partij, dan Perhimpunan Indonesia memperkuat cita-cita persatuan bangsa. Para tokoh kebangkitan nasional sangat menekankan pentingnya pendidikan.
Mereka percaya bahwa bangsa yang terdidik adalah bangsa yang kuat. Oleh sebab itu, banyak tokoh pergerakan yang berasal dari kalangan terpelajar dan berjuang melalui jalur pemikiran dan organisasi.
Hari Kebangkitan Nasional secara resmi ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Mei dipilih untuk mengenang berdirinya Boedi Oetomo sekaligus penanda Era Kebangkitan Nasional.
Penetapan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan dan nasionalisme kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama generasi muda, agar tidak melupakan sejarah panjang perjuangan bangsa.
Pendidikan
Bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1953, penulis lahir di tengah gejolak perjuangan mempertahankan keberadaan Republik Indonesia di tengah berkecambuknya peperangan dengan bangsa sendiri yang mengatasnamakan “pemberontakan”.
Pada saat kelahiran saya, orangtua yang mantan gerilyawan perang harus memilih antara melawan pemberontak yang itu adalah bangsa sendiri akibat kebodohan atau memilih berjuang dengan cara lain.
Akhirnya, orangtua menjatuhkan pilihan berhenti jadi tentara ketimbang menembak bangsa sendiri dan memutuskan mendirikan “Sekolah Rakyat” yang muridnya kebanyakan dari anak pemberontak. Mereka dididik secara formal agar bukan memusuhi negaranya, tetapi membela bangsanya.
Jejak peritiwa 72 tahun lalu itu masih ada pada ingatan dan jiwa penulis sampai kini. Momentum 20 Mei 2025 hari ini, penulis berulang tahun. Tentu, perjalanan panjang itu, banyak onak dan duri serta riuh rendahnya gelombang kehidupan yang sudah dilalui.
Empat puluh tiga tahun berjuang di lembaga pendidikan tinggi negeri dan hari ini berjuang melalui perguruan tinggi swasta untuk tetap konsisten meneruskan cita-cita perjuangan orangtua untuk membebaskan anak negeri ini dari kebodohan.
Beruntung, di ujung usia, penulis berjumpa dengan Herman Batin Mangku (HBM), Hariwardoyo, Sudarmono, Oyos Suroso, Gino Fanoli dan masih banyak lagi yang mau bahumembahu tidak mengenal lelah untuk terus berjuang di jalan sunyi.
Jika dahulu orangtua berjuang untuk kemerdekaan negeri ini dan membebaskan dari kebodohan, kami meneruskan perjuang agar jangan dibodohbodohi.
Terimakasih teman-teman yang telah ikut menumbuhsuburkan benih nasionalisme melalui jurnalis; karena dengan media inilah penyebarluasan gagasan akan kebangkitan terus kita kawal.
Kini, tugas kita adalah menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan semangat yang sama seperti para pelopor kebangkitan nasional.
Melalui pendidikan, persatuan, dan pengabdian kepada bangsa, kita melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya. Seperti kata Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.”
Maka dari itu, mari kita jadikan 20 Mei bukan hanya sebagai hari peringatan, tetapi sebagai hari kebangkitan kembali semangat kebangsaan di tengah tantangan zaman yang terus berubah. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Memetik Matahari Menuai Badai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang santri dalam satu pengajian personal bertanya kepada Guru Mursyidnya apa maksud dari diksi “Janganlah engkau memitik matahari, jika dirimu tidak tahan badai”; tampaknya frase itu sesuatu banget. Sang guru yang mendapatkan pertanyaan demikian dari muridnya merasa perlu menjelaskan pada posisi permukaan saja, karena jika langsung ke inti filosofinya, dikhawatirkan sang murid belum siap secara batiniah. Beliau seraya menjawab; “baiklah akan kujelaskan pengantarnya dahulu, nanti pada kesempatan lain akan dijelaskan inti pokok dari frase itu”.
Lanjut beliau, berdasarkan referensi yang saya baca memberikan informasi bahwa, setiap manusia memiliki dorongan alami untuk tumbuh, mencapai sesuatu, dan meninggalkan jejak dalam hidupnya. Dalam proses tersebut, kita menatap ke atas—kepada sesuatu yang bercahaya, besar, dan tampak menjanjikan. Kita menyebutnya “impian”, “ambisi”, atau “cita-cita”. Namun, ada satu peringatan bijak yang perlu kita renungkan bersama: “Janganlah engkau memetik matahari jika dirimu tidak tahan badai.”
Kalimat ini adalah metafora kuat yang berbicara tentang hubungan antara ambisi besar dan konsekuensi besar. Ini tidak serta-merta melarang kita bermimpi tinggi, tetapi menyadarkan kita bahwa impian besar menuntut kesiapan mental, emosional, dan moral yang besar pula. Secara simbolik, matahari melambangkan segala sesuatu yang terang, tinggi, dan berharga. Ia bisa menjadi representasi dari kesuksesan, pengakuan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, hingga pencapaian spiritual. Sementara itu, badai adalah lambang dari kesulitan, tekanan, tantangan, bahkan penderitaan yang kerap mengiringi proses pencapaian tersebut. Badai hadir sebagai bentuk konsekuensi alami dari keinginan untuk naik ke level yang lebih tinggi. Frasa ini menyampaikan pesan sederhana: jangan berani mengejar hal besar jika kamu belum siap menghadapi rintangannya.
Dalam psikologi modern, konsep ambisi sering dikaitkan dengan motivasi intrinsik dan kebutuhan aktualisasi diri, seperti yang diungkap Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan manusia. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia cenderung mengejar sesuatu yang lebih tinggi—eksistensi, prestasi, makna. Namun, para psikolog juga mengingatkan bahwa ambisi tanpa kesiapan mental justru bisa membawa pada stres kronis, burnout, atau bahkan gangguan kesehatan mental. Orang yang terlalu cepat naik tanpa fondasi ketahanan emosi akan mudah rapuh saat badai datang dalam bentuk kritik, kegagalan, tekanan sosial, atau ekspektasi berlebih. Di sinilah pentingnya resiliensi—kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam kondisi sulit. Dalam banyak studi, resiliensi menjadi kunci keberhasilan jangka panjang, bahkan lebih penting daripada IQ atau bakat alamiah.
Di era digital saat ini, banyak orang berlomba mengejar “matahari” versi masing-masing: ketenaran di media sosial, pencapaian akademik cepat, kekayaan instan, atau validasi publik. Namun, dalam prosesnya, banyak yang mengabaikan satu aspek penting: proses dan daya tahan.
Budaya instan dan citra palsu di media sosial memperkuat ilusi bahwa sukses itu mudah dan tanpa badai. Padahal kenyataannya, setiap orang sukses pasti melewati badai—hanya saja, badai itu sering tak terlihat dari layar kaca. Ketika realita tidak sesuai ekspektasi, banyak yang kemudian mengalami disonansi kognitif, bahkan menyerah pada ambisinya. Maka, penting bagi masyarakat—terutama generasi muda—untuk menanamkan kesadaran bahwa sukses itu bukan hanya soal “memetik matahari”, akan tetapi juga soal tahan uji saat badai menerjang.
Frasa ini juga bisa ditarik ke ranah etika. Ada orang yang memetik matahari dengan cara merusak, mengorbankan yang lain, atau menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, frasa tersebut bisa dimaknai sebagai: “jangan mengejar sesuatu yang besar jika caramu mencapainya akan membawa kehancuran bagi dirimu atau orang lain”. Sains tanpa etika, kekuasaan tanpa tanggung jawab, atau popularitas tanpa integritas bisa menjadi “matahari palsu” yang justru membawa badai lebih besar, bukan hanya pada pelakunya, tetapi juga lingkungannya. Bermimpilah tinggi, namun siapkan fondasi mental yang kokoh. Karena badai pasti akan datang. Dan hanya mereka yang tangguh, yang akan tetap berdiri—bahkan lebih kuat setelahnya.
Dan, pada akhirnya frasa “Janganlah Engkau Memetik Matahari Jika Dirimu Tidak Tahan Badai” adalah bentuk cinta dari kehidupan itu sendiri. Ia bukan larangan untuk bermimpi, tapi pengingat untuk bersiap. Karena dalam setiap perjalanan menuju terang, akan selalu ada gelap yang harus dilewati. Dan siapa yang ingin mencapai puncak, harus siap menghadapi angin paling kencang. Bukan soal seberapa tinggi matahari yang kau petik, tapi seberapa kuat kamu berdiri ketika badai mencoba menjatuhkanmu.
Sejurus kemudian Sang Guru menutup wedarannya dengan kalimat kunci: “Demikian muridku semoga engkau paham akan makna yang terkandung dalam frasa tadi, intinya bahwa tidak ada larangan untuk bercita-cita tinggi, namun yang lebih penting dari itu sudah siapkah dirimu menempuh badai yang menjadi halangrintangnya. Semua kembali kepada mu dan kodratmu”. Sang murid tercenung dan tidak lama kemudian undur diri, dalam hatinya berkata: “ini baru permukaan saja kepala saya sudah goyang, apalagi intinya”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Kebangkitan Nasionakl ke-117
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Tanggal 20 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), sebuah momentum bersejarah yang menandai lahirnya semangat persatuan dan kesadaran kebangsaan melalui berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Tahun ini, peringatan Harkitnas 2025 mengusung tema “Bangkit untuk Indonesia Emas”, mengajak seluruh elemen bangsa untuk memperkuat kolaborasi dan komitmen dalam membangun masa depan yang unggul, tangguh, dan berdaya saing.
Hari Kebangkitan Nasional menjadi pengingat bahwa kemajuan bangsa tidak dapat diraih tanpa semangat kolektif, kerja sama lintas sektor, dan kesadaran akan pentingnya persatuan. Dalam konteks hari ini, kebangkitan nasional tak hanya berbicara tentang perjuangan fisik, melainkan juga kebangkitan dalam menghadapi tantangan zaman: dari transformasi digital, krisis iklim, hingga pemulihan ekonomi pascapandemi.
“Hari Kebangkitan Nasional adalah momen refleksi dan afirmasi. Kita tidak boleh hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pelaku perubahan. Mari jadikan momentum ini sebagai titik tolak untuk membangkitkan optimisme, membangun karakter bangsa yang kuat, dan terus berkontribusi positif bagi Indonesia,” ujar penulis.
Penulis juga beranggapan bahwa, kebangkitan nasional bukan hanya milik masa lalu, tapi tugas kita hari ini. Melalui pendidikan, inovasi, dan karakter yang religius serta beretika, kita bisa mengantar Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani dunia.
Peringatan Harkitnas 2025 juga menjadi panggilan bagi semua pihak untuk tidak menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, namun justru menjadikannya batu loncatan untuk tumbuh lebih baik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Sukses Gelar Yudisium Profesi Dokter Ke-72, 64 Lulusan Siap Mengabdi
Acara yudisium dihadiri langsung oleh jajaran pimpinan universitas, di antaranya Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, serta Wakil Dekan, Kepala Program Studi Profesi Dokter, dr. Ade Utia Detty, M.Kes., Sekretaris Prodi, dan para dosen dari Prodi Profesi serta Pendidikan Dokter.
“Kalian bukan hanya lulus dari ruang kuliah dan bangsal rumah sakit, tapi juga telah ditempa oleh waktu, tekanan, dan pengalaman yang membentuk karakter sejati seorang dokter. Jadilah dokter yang bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menginspirasi dan melayani dengan hati,” ujarnya penuh semangat.
“Hari ini, kalian tidak hanya mengukuhkan gelar, tetapi juga mengemban tanggung jawab besar di tengah masyarakat. Semoga ilmu yang kalian bawa bisa menjadi penerang bagi mereka yang membutuhkan. Jangan pernah berhenti belajar dan teruslah jadi dokter yang rendah hati dan berintegritas,” tutur Prof. Dessy.
Ia juga mengingatkan para lulusan untuk tetap menjalin solidaritas dan memberikan dukungan kepada rekan-rekan yang masih berjuang menyelesaikan studinya.
“Saya titip, bantu adik-adik kalian yang belum lulus. Ajak mereka bangkit, beri semangat dan motivasi. Jadikan keberhasilan kalian sebagai inspirasi agar mereka juga bisa berdiri di panggung yang sama suatu hari nanti,” pesannya.
Menutup sambutannya, Prof. Dessy menekankan pentingnya menjaga nama baik almamater tercinta.
“Dimana pun kalian berada nantinya, ingatlah bahwa kalian membawa nama besar Universitas Malahayati. Jaga sikap, jaga etika, dan jadilah pribadi yang membanggakan. Biarkan dunia melihat bahwa dokter lulusan Malahayati adalah dokter yang berkualitas dan berkarakter,” tegasnya.
Acara yudisium ditutup dengan pembacaan janji dokter dan doa bersama, diikuti oleh sesi foto dan momen kebersamaan yang tak terlupakan. Yudisium ini bukan hanya sebuah seremoni, melainkan tonggak awal bagi para lulusan untuk menapaki jalan pengabdian sebagai tenaga medis profesional.
Selamat kepada 64 dokter baru. Perjalanan kalian baru dimulai, dan dunia menanti dedikasi terbaik kalian. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Berbicara dalam Diam
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang santri menjumpai gurunya dan bertanya, “Guru, apakah yang dimaksud dengan bicara dalam diam? Sementara berbicara itu berarti tidak diam, bagaimana bisa demikian Guru?”. Dengan senyuman khas, Sang Guru menatap wajah santrinya dalam-dalam. Diam-diam dia mengagumi kecerdasan santri ini yang memang senang membaca.
Guru mencoba menjawab “Baiklah muridku, akan aku coba melihat dari pandangan beberapa tokoh besar dalam agama yang kita anut mengenai persoalan ini. Hanya saja, persiapkan diri dengan mata batinmu guna merasakan perbedaan mendasar di antara mereka, dan pesanku dirimu tidak perlu memihak apalagi membenci”.
Sang Guru mulai mendedah persoalan ini demikian: Berbicara dalam diam sering dikaitkan dengan ketuhanan; oleh sebab itu lengkap kalimat itu adalah Tuhan berbicara dalam diam. Dari berbagai sumber buku yang pernah saya baca ditemukan risalah bahwa makna “Tuhan berbicara dalam diam” adalah ungkapan spiritual yang sangat dalam dan kaya akan tradisi sufisme, khususnya dalam ajaran Jalaluddin Rumi.
Berikut makna filosofis dan spiritual dari frasa itu:
Pertama, Diam adalah Bahasa Tuhan.
Dalam dunia yang penuh kebisingan pikiran, kata-kata, dan ego, diam menjadi ruang suci tempat jiwa bisa benar-benar mendengar. Rumi percaya bahwa kata-kata seringkali membatasi, sedangkan Tuhan melampaui bahasa manusia. Dalam keheningan batin, kita bisa menangkap bisikan Ilahi yang tak bisa diucapkan dengan logika. Rumi menulis: “Ada suara yang tidak bisa didengar telinga. Dengarkan dengan hatimu, karena Tuhan berbicara dalam diam.”
Kedua. Diam sebagai Meditasi dan Kesadaran.
Diam bukan sekadar tidak berbicara, tapi diam batin — bebas dari ego, keinginan, dan distraksi duniawi. Oleh sebab itu dalam diam yang hening, hati menjadi cermin. Rumi berpendapat bahwa Tuhan ‘berbicara’ dalam bentuk ilham, kesadaran, pemahaman, atau kedamaian mendalam.
Ketiga, Penderitaan Diam dan Kehadiran Tuhan.
Terkadang, seseorang mengalami luka atau kesedihan yang begitu dalam sehingga tidak terungkap oleh kata-kata. Rumi melihat rasa sakit dan keheningan batin sebagai momen paling dekat dengan Tuhan. Dan Rumi berkata : “Kesedihanmu adalah pesan dari langit. Dengarkan air matamu; ia membawa pesan cinta dari Sang Kekasih.”
Keempat. Diam dan Penyatuan (Fana).
Dalam sufisme, puncak spiritualitas adalah fana — lenyapnya ego dalam kehadiran Tuhan. Di titik ini, tak ada lagi “aku” yang berbicara, hanya ada keheningan murni, yang justru penuh makna Ilahi. Oleh sebab itu Rumi berpesan bahwa: “Tuhan berbicara dalam diam” berarti bahwa dalam keheningan terdalam jiwa — ketika pikiran tenang, hati bersih, dan ego runtuh — itulah saat suara Tuhan bisa didengar. Bukan dengan telinga, tapi dengan hati yang terbuka.
Berbeda lagi pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi perempuan besar dari abad ke-8, tentang “Tuhan berbicara dalam diam” sejalan, namun memiliki nuansa khas: penuh cinta murni (mahabbah) dan pengosongan total diri untuk Tuhan. Dalam ajarannya, diam bukan sekadar keadaan sunyi, tetapi kehadiran penuh jiwa yang sepenuhnya terarah pada Sang Kekasih, yaitu Tuhan.
Adawiyah meyakini bahwa cinta kepada Tuhan tidak membutuhkan perantara kata, karena cinta sejati adalah hadir sepenuhnya untuk-Nya, bahkan tanpa mengucap. Ucapan beliau yang terkenal sampai saat ini ialah: “Tuhanku, aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka atau rindu surga. Tetapi karena Engkaulah yang layak dicintai”. Dalam konteks itu, diam adalah bentuk tertinggi dari ibadah dan penyerahan—karena ketika cinta sudah menyala total, tak ada lagi yang perlu dikatakan.
Bagi Rabi’ah, cinta kepada Tuhan membuat jiwa mendengarkan suara Ilahi dalam keheningan batin, bukan dari telinga, tapi dari rasa yang paling halus. Tuhan tidak perlu “berkata-kata” karena hadirat-Nya bisa dirasakan dalam ketenangan, air mata, atau bahkan dalam napas paling sunyi.
Diam dalam ajaran Adawiyah juga bisa dilihat sebagai ruang kosong dari selain Tuhan, tempat jiwa bisa bersatu tanpa gangguan duniawi. Dalam diam itu, Tuhan “berbicara” lewat cahaya, rasa tenang, atau getaran cinta yang menyusup ke relung jiwa. Diam Menjadi doa yang tertinggi, sebab dalam kecintaan yang mendalam, kata-kata malah terasa tidak cukup. Maka, diam dalam cinta sufi bukan hampa, tapi justru doa yang paling dalam, karena cinta murni lebih fasih dari lisan.
Berbeda lagi pandangan Imam Al-Ghazali tentang “Tuhan berbicara dalam diam”; beliau tidak sepekat dan puitis seperti dalam ajaran Rumi atau Rabi’ah Al-Adawiyah, namun tetap mendalam dan kaya secara intelektual maupun spiritual. Sebagai seorang filsuf, teolog, dan sufi besar, Al-Ghazali memadukan akal, hati, dan wahyu dalam memahami relasi manusia dengan Tuhan.
Pandangan beliau, diam sebagai jalan ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan). Pengatahuan sejati tentang Tuhan (ma’rifah) tidak dicapai semata-mata melalui logika atau banyak bicara, tetapi lewat penyucian jiwa dan kontemplasi mendalam. Perkataan beliau yang terkenal sampai hari ini ialah: “Diam adalah kunci ibadah dan sarana keselamatan dari kesalahan lisan”. Jadi, diam di sini adalah alat untuk membersihkan hati, karena hati yang bersih adalah tempat Tuhan menanamkan cahaya-Nya.
Menurut Al-Ghazali, ketika seseorang mencapai tahapan tazkiyah (penyucian jiwa), hatinya menjadi wadah cahaya ilahi (nur). Dalam kondisi ini, bukan suara literal yang didengar, tapi ilham (bisikan kebenaran) yang datang langsung dari Tuhan ke dalam hati. Oleh karena itu beliau berpesan: “Jika hatimu suci, maka setiap bisikan baik yang muncul di sana adalah dari Tuhan.” Walaupun pesan ini sebagai keunggulan sekaligus kelemahan Ghazali; nanti pada lain kesempatan kita bicarakan secara khusus tentang ini.
Al-Ghazali sangat menekankan uzlah (menyepi dari dunia) sebagai cara mendengar kebenaran yang lebih hakiki. Dunia, dengan segala kesibukan dan suara-suara luar, bisa menutupi suara Ilahi. Dalam Misykat al-Anwar (Niche of Lights), ia membahas bahwa cahaya Tuhan hanya masuk ke hati yang bebas dari kegelapan hawa nafsu dan gangguan luar. Oleh sebab itu “diam”, bagi Al-Ghazali, adalah penutup pintu dunia agar terbuka pintu langit.
“Berbicara dalam diam” menurut Al-Ghazali berarti bahwa dalam diam yang dipenuhi dzikir, tafakur, dan penyucian jiwa, hati menjadi wadah ilham Ilahi. Bukan suara yang terdengar telinga, melainkan cahaya kebenaran yang hadir dalam batin.
Demikianlah wahai muridku, betapa “diam” merupakan pintu maksuk ke dalam keramaian “keilahian”; hanya sayang banyak manusia terjebak dalam keramaian, sebenarnya dia dalam kesunyian; dan, akhirnya dia tidak bisa “diam”. Semoga kau memahami apa makna semua itu. Sang santri tertunduk takzim mohon diri dari hadapan sang guru karena harus mengumandangakan adzhan tanda waktu shalat telah tiba. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman