Sein ke Kiri, Beloknya ke Kanan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kita harus ekstra hati-hati setiap memasuki wilayah pemukiman. Salah satu di antaranya adalah masalah lalu lintas saat posisi ada di belakang kendaraan roda dua. Sebab, sering ditemukan lampu sein sebagai penanda akan belok, berlawanan dengan sein yang dihidupkan. Semula diasumsikan ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin pengendara dengan perilaku ini. Ternyata asumsi itu tidak benar, sebab yang melakukan perilaku seperti itu ternyata tidak didominasi oleh jenis kelamin tertentu.

Setelah direnungkan dari apa yang dijumpai dalam perjalanan tadi ternyata pada kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai perilaku seperti itu. Menjadi persoalan serius jika perilaku tadi berkaitan dengan institusi yang berkaitan dengan penyelenggara negara. Bagaimana tidak jika saat di atas panggung teriakan penegakan hukum paling nyaring dilakukan, namun dalam kenyataannya korupsi triliyunan rupiah hanya divonis ringan. Sementara yang tidak jelas pelanggarannya dibuih sampai hari ini, karena masih dicari yang cocok kesalahannya itu apa.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakikat dari perilaku “seinnya ke kiri, beloknya ke kanan” terletak pada ketidakkonsistenan antara apa yang ditampilkan atau diisyaratkan (sein) dengan apa yang dilakukan (belok). Hakikat ini mencerminkan berbagai dimensi mendalam tentang sifat manusia dalam berinteraksi sosial pada realitas kehidupan. Atau dengan bahasa lain bahwa hakikat utama perilaku ini adalah adanya disonansi antara apa yang dinyatakan atau ditampilkan dengan apa yang sebenarnya dilakukan. Ini adalah bentuk yang mencerminkan kebingungan, kesengajaan untuk menyesatkan, atau ketidakmampuan untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

Mengatur negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak, wilayah yang begitu luas, serta keragaman budaya yang begitu bervariasi tentu tidak boleh asal-asalan. Seperti halnya sein ke kiri tetapi beloknya ke kanan. Jika pemangku kekuasaannya melakukan tindakan sosial “seinnya ke kanan beloknya ke kiri”, maka akan mengakibatkan “gejolak sosial” yang membahayakan. Tampaknya tanda-tanda itu mulai terlihat pada level pucuk pimpinan. Hal ini ditengarai dengan kecewanya orang nomor satu di negeri ini dengan penegakan hukum yang ada. Sekalipun ini terkesan lebay namun paling tidak sudah mewakili terusiknya rasa keadilan ditengah masyarakat.

Jalan masih panjang. Pengelolaan negara tidak cukup hanya dengan teriak-teriak di atas podium atau keberadaan alutista yang canggih semata; namun kerja nyata untuk kepentingan rakyat adalah segalanya. Banyak pihak sangat berharap pergantian kepemimpinan dan pemerintahan untuk mesegerakan kesejahteraan rakyat; bukan membebani rakyat dengan pajak.

Bisa jadi perilaku memberikan sein tidak sesuai arah itu akibat dari tekanan yang melampaui ambang toleransi dari pengendaranya. Tekanan itu bisa jadi salah satu diantaranya adalah dikarenakan beban hidup yang makin berat. “Besarnya pasak dari pada tiang” membuat bangunan ekonomi mereka terguncang. Indikasi ini dapat dibaca dari makin besarnya kelas menengah turun menjadi kelas bawah dalam strata ekonomi. Akibatnya, daya beli melemah dan menjadikan sepinya pasar, tentu perputaran roda ekonomi menjadi melambat.

Tampaknya pengeluaran besar-besaran selama sepuluh tahun lalu, baru sekarang dirasakan bebannya. Ditambah lagi janji kampanye yang sudah terucap, harus dilunasi saat menjabat. Untuk menemukan sumber yang sudah sekarat tentu menjadi cukup berat. Tinggal satu-satu jalan yang hanya terlihat adalah menaikkan pajak. Akibat lanjut dari kebijakkan ini ialah beban rakyat menjadi begitu berat untuk mencari jalan keluar dari himpitan ekonomi; mencari pekerjaan sudah sangat sulit, membuka usaha sudah semakin sempit celah yang ada.

Akhirnya hanya bisa pasrah dan berdoa untuk menjalani kehidupan yang tersisa. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Abu Nawas dan Ahli Falak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menukil “dongeng” tentang Abu Nawas tidak pernah ada hentinya, karena banyak sekali cerita-cerita menarik yang ditampilkan. Salah satu daya tariknya adalah karena ada pesan moralnya. Salah satu diantaranya adalah kisah Abu Nawas berhadapan dengan orang yang mengaku sebagai ahli ilmu falak.

Suatu hari, seorang ahli ilmu falak terkenal mendatangi istana Raja Harun Al-Rasyid. Ia mengaku mampu membaca bintang dan mengetahui masa depan.
Raja yang selalu ingin mengetahui hal-hal gaib merasa tertarik. Ia berkata, “Wahai ahli falak, tunjukkan kehebatanmu! Jika benar, aku akan memberimu hadiah besar.”

Ahli falak itu berkata dengan penuh percaya diri, “Tuanku, aku mampu membaca takdir seseorang hanya dengan melihat wajahnya dan posisi bintang di langit.”

Mendengar itu, Raja memanggil Abu Nawas, yang sering menjadi penasihatnya, untuk menguji kebenaran klaim tersebut. Ketika Abu Nawas datang, Raja berkata, “Abu Nawas, orang ini mengaku bisa membaca masa depan. Aku ingin kau mengujinya.”

Abu Nawas tersenyum dan berkata kepada ahli falak, “Baiklah, jika kau benar-benar ahli dalam membaca bintang, tolong jawab pertanyaanku. Berapa banyak rambut di kepalaku?”
Ahli falak itu terkejut mendengar pertanyaan Abu Nawas yang aneh. Namun, untuk menjaga wibawanya, ia menutup mata dan berpura-pura menghitung. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Jumlah rambut di kepalamu adalah 100.023 helai.”

Abu Nawas tertawa terbahak-bahak. “Luar biasa sekali! Tetapi bagaimana kau bisa begitu yakin? Padahal aku baru saja mencukur sebagian rambutku kemarin!”. Ahli falak tidak memahami jika kepala Abu Nawas yang dibalut oleh surban itu ternyata sudah dicukur gundul sebelum menghadap raja saat itu.

Raja Harun Al-Rasyid pun tertawa mendengar kecerdikan Abu Nawas. Ia segera menyadari bahwa ahli falak itu hanyalah seorang pembual. Raja berkata, “Jika menghitung rambut saja kau salah, bagaimana aku bisa mempercayaimu untuk membaca masa depan?”. Ahli falak itu tidak bisa berkata apa-apa dan pergi dengan wajah malu.

Apa hikmah yang dapat kita ambil dari cerita di atas. Yaitu cerita ini mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya pada orang yang mengaku mengetahui hal-hal gaib atau masa depan tanpa bukti yang jelas. Abu Nawas, dengan kecerdasannya, menunjukkan bahwa pengetahuan sejati haruslah berdasarkan fakta, bukan sekadar klaim kosong.

Dari kisah Abu Nawas dengan ahli ilmu falak, ada beberapa filosofi dan hikmah lain yang bisa kita ambil: Pertama, berpikir kritis terhadap klaim besar. Kisah ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis terhadap klaim yang tampaknya tidak masuk akal. Abu Nawas menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh langsung percaya pada sesuatu tanpa bukti atau logika yang jelas. Hal ini relevan dalam kehidupan modern, di mana banyak informasi palsu atau klaim berlebihan beredar.

Kedua, pengetahuan sejati lebih berharga daripada kepura-puraan. Ahli ilmu falak dalam cerita ini menjadi simbol kepura-puraan atau “keahlian” yang tidak berdasar. Filosofinya adalah bahwa pengetahuan sejati, meskipun sederhana, jauh lebih berharga daripada mengaku tahu segala hal hanya demi pujian atau keuntungan pribadi.

Ketiga, kebijaksanaan mengalahkan kesombongan. Ahli falak terlalu percaya diri dengan “kemampuannya” dan merasa tidak akan ditantang. Namun, kebijaksanaan dan kecerdikan Abu Nawas membuktikan bahwa kesombongan sering kali menjadi kelemahan. Bersikap rendah hati dan terbuka terhadap kritik jauh lebih bijaksana.

Keempat, kebenaran tidak bisa dimanipulasi. Dalam upayanya menjawab pertanyaan Abu Nawas, ahli falak mencoba memanipulasi dengan jawaban yang dibuat-buat. Namun, kebenaran tidak bisa disembunyikan, dan akhirnya kebohongannya terungkap. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa kejujuran dan transparansi akan selalu lebih unggul daripada kebohongan.

Kelima, kecerdasan dan humor sebagai alat edukasi. Abu Nawas menggunakan kecerdasannya dengan cara yang lucu dan menghibur, tetapi tetap mendidik. Filosofinya adalah bahwa cara menyampaikan kebenaran tidak harus keras atau penuh konfrontasi; dengan humor dan kelembutan, pelajaran bisa lebih diterima dan mudah diingat.

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah kisah ini menjadi pengingat bahwa akal sehat, kejujuran, dan kecerdikan adalah senjata terbaik untuk menghadapi tantangan hidup, termasuk menghadapi orang yang terlalu percaya diri atau manipulatif. Jangan sampai “kail hanya sejengkal, dalam laut hendak diduga”.
Kemudahan media sosial saat ini ternyata memunculkan “ahli falak dadakan” di semua lini. Menganalisis semua persoalan dengan satu senjata “pandai bicara”; walhasil sekelas menteri-pun bisa menjadi ahli falak, dan begitu tidak terbukti apa yang “di-falak-kan”, dengan ringan menjawab “itu kecelakaan saja”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Prodi S1 Kesmas UNMAL Gelar Edukasi Gizi Seimbang di Panti Asuhan As-Salam

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam rangka mendukung penerapan pola hidup sehat di kalangan anak-anak, mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat (Prodi Kesmas) UNMAL melaksanakan kegiatan edukasi gizi seimbang di Panti Asuhan As-Salam, Bandar Lampung. Kegiatan ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Ilmu Gizi dengan tema “Proyek Gizi Kesehatan Masyarakat”.
Kegiatan yang berlangsung pada [4/1/2025] diinisiasi oleh Mahasiswa Kelas C Angkatan 2023, yang terdiri dari 58 mahasiswa, dengan bimbingan langsung oleh Ibu Nurul Aryastuti, S.ST., M.Kes. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman anak-anak panti mengenai pentingnya gizi seimbang untuk mendukung tumbuh kembang yang optimal.
Kegiatan dimulai dengan sesi pembukaan yang diisi dengan sambutan dari panitia mahasiswa dan pengurus panti. Suasana akrab langsung terasa ketika anak-anak panti mulai bergabung dengan penuh antusiasme.
Sesi utama dimulai dengan penyampaian materi edukasi tentang gizi seimbang. Materi disampaikan dengan cara yang sederhana dan menarik, sehingga mudah dipahami oleh anak-anak. Para peserta juga sangat aktif dalam sesi tanya jawab, menunjukkan minat besar terhadap materi yang dibahas.
Setelah sesi edukasi, dilanjutkan dengan kegiatan pengukuran seperti tinggi badan dan berat badan untuk memberikan pemahaman lebih nyata mengenai status gizi. Tak kalah seru, sesi motorik dan permainan dirancang dengan melibatkan anak-anak secara aktif sambil menyisipkan pesan-pesan kesehatan.
Momen yang paling dinanti adalah kegiatan makan bergizi. Anak-anak bersama-sama menikmati makanan sehat yang telah disiapkan oleh mahasiswa. Aktivitas ini juga menjadi kesempatan bagi anak-anak untuk belajar langsung tentang pentingnya konsumsi makanan bergizi.
Acara diakhiri dengan penyerahan hadiah kepada pemenang berbagai lomba dan permainan, serta pemberian plakat sebagai tanda penghargaan kepada pihak panti. Sesi dokumentasi menjadi penutup yang manis, mengabadikan kebersamaan dan keceriaan sepanjang kegiatan.
Dina, selaku Kepala Pengurus Panti Asuhan As-Salam, menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang tinggi atas inisiatif yang dilakukan oleh mahasiswa Prodi Kesmas Unmal. “Kami sangat bersyukur atas kegiatan yang bermanfaat ini. Anak-anak tidak hanya mendapatkan ilmu baru, tetapi juga merasa dihargai dan diperhatikan. Semoga kegiatan seperti ini dapat terus dilakukan,” ujar Dina.
Kegiatan edukasi gizi seimbang ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi anak-anak panti asuhan dalam menjalani pola hidup sehat, serta menjadi pengalaman berharga bagi mahasiswa untuk mengimplementasikan ilmu yang telah dipelajari dengan belajar langsung di lapangan dan memahami perspektif terkait gizi di masyarakat khususnya pada anak-anak dan remaja.

Mahasiswa Teknik Industri Universitas Malahayati, Muhammad Arif Terpilih sebagai Duta Wisata Nasional 2024

JAKARTA (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan berhasil diraih oleh Muhammad Arif (23130164), mahasiswa Program Studi S1 Teknik Industri Universitas Malahayati, yang terpilih sebagai Duta Wisata Nasional 2024 pada ajang Pemilihan Duta Nasional 2024. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh CV Jambi Creative di Gedung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat, pada 19-22 Desember 2024.

Lomba Pemilihan Duta Wisata Nasional ini merupakan ajang bergengsi yang bertujuan untuk memilih individu-individu terbaik yang dapat menjadi wajah pariwisata Indonesia di tingkat nasional. Para peserta yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia harus menjalani serangkaian seleksi ketat, yang meliputi ujian pengetahuan seputar pariwisata, wawancara, serta penilaian terhadap kemampuan komunikasi dan promosi budaya. Kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sektor pariwisata sebagai pilar ekonomi Indonesia, sekaligus untuk mempromosikan keberagaman budaya dan keindahan alam yang dimiliki oleh berbagai daerah di tanah air.

Muhammad Arif, yang menjadi salah satu pemenang, mengungkapkan rasa syukurnya atas pencapaian ini. “Alhamdulillah saya bersyukur dengan raihan ini, suatu kebanggaan bagi saya menjadi salah satu pemenang Duta Wisata Nasional”.

“Ini adalah pengalaman yang tidak akan saya lupakan bisa menjadi juara di salah satu ajang tingkat nasional. Saya sangat bangga bisa menjadi perwakilan Lampung di ajang ini,” kata Arif dengan penuh haru.

Arif juga mengungkapkan harapannya agar kesuksesan ini tidak menjadikannya cepat puas. “Semoga saya tidak cepat puas dan berbangga diri atas pencapaian saya ini dan terus bisa mendorong diri agar menjadi lebih baik kedepannya”.

“Saya ingin terus belajar, berinovasi, dan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan sektor pariwisata Indonesia, terutama di Lampung, yang kaya akan potensi wisata alam dan budaya,” tambahnya.

Pencapaian Muhammad Arif tentu menjadi bukti bahwa potensi mahasiswa Indonesia tidak hanya terbatas di bidang akademik, tetapi juga dalam hal kepemimpinan dan promosi budaya. Dengan terpilihnya Arif sebagai Duta Wisata Nasional, ia berkomitmen untuk turut berperan aktif dalam memajukan pariwisata Indonesia dan memperkenalkan keindahan alam serta budaya lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di Tanah Air.

Selamat kepada Muhammad Arif atas prestasi gemilang ini! Semoga dapat menginspirasi generasi muda lainnya untuk terus berkarya dan berkontribusi pada pembangunan pariwisata Indonesia yang lebih baik. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kewenangan yang Sewenang-Wenang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kewenangan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan keadilan. Ketika dijalankan secara sewenang-wenang, hal itu tidak hanya menghancurkan individu atau kelompok yang terdampak, tetapi juga merusak nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial yang lebih luas; demikian sekelumit refleksi yang dikutip dari referensi digital. Kewenangan, secara filosofis, merujuk pada hak atau kuasa yang dimiliki seseorang atau lembaga untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam suatu konteks tertentu. Makna kewenangan memiliki dimensi yang mendalam, tergantung pada perspektif etika, politik, sosial, dan spiritual, yang dijadikan sudut pandang dalam membahasnya.

Dengan kata lain, kewenangan adalah lebih dari sekadar kuasa untuk bertindak; ia adalah manifestasi dari tanggung jawab, legitimasi, dan kebijaksanaan. Penggunaan kewenangan yang benar menciptakan keadilan dan harmoni, sedangkan penyalahgunaannya membawa ketidakadilan dan konflik. Oleh karena itu, kewenangan selalu terikat pada nilai-nilai moral dan etis yang lebih besar.

Sementara itu hakekat sewenang-wenang dalam filsafat menunjukkan penyalahgunaan kebebasan atau kekuasaan yang tidak diimbangi oleh moralitas, rasionalitas, atau aturan yang adil. Kajian ini mengingatkan manusia akan pentingnya batasan dalam tindakan dan kehendak, sehingga tercipta tatanan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan bersama. Dalam perspektif filsafat, konsep ini sering dikaji dalam konteks etika, politik, dan metafisika. Berikut adalah beberapa penjelasan terkait hakekat sewenang-wenang yang bersumber dari berbagai referensi digital:

Pertama, Etika dan Moralitas. Dalam etika, sewenang-wenang sering dikaitkan dengan tindakan yang tidak didasarkan pada prinsip moral atau keadilan. Misalnya, Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan manusia harus didasarkan pada prinsip universal yang bisa diterima oleh semua orang (categorical imperative). Sebaliknya, tindakan yang sewenang-wenang bertentangan dengan prinsip ini karena didorong oleh kehendak pribadi atau egoisme tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain.

Kedua, Kekuasaan dan Politik. Dalam kajian filsafat politik, sewenang-wenang kerap disoroti sebagai ciri dari pemerintahan tirani. Filsuf seperti John Locke dan Montesquieu memperingatkan bahaya kekuasaan absolut tanpa kontrol hukum atau mekanisme pengawasan, yang memungkinkan penguasa bertindak sesuai kehendaknya tanpa mempertimbangkan keadilan atau kebaikan bersama. Locke menyebut bahwa kekuasaan harus didasarkan pada hukum alam dan kontrak sosial, bukan kehendak individual semata. Montesquieu mengusulkan pembagian kekuasaan untuk mencegah tindakan arbitrary.

Ketiga, Kebebasan dan Tanggung Jawab. Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme menekankan kebebasan manusia sebagai hakikat eksistensi, tetapi kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab. Kebebasan yang digunakan secara sewenang-wenang akan menimbulkan kekacauan dan hilangnya otentisitas dalam kehidupan manusia.

Keempat, Metafisika Kehendak. Dalam pandangan metafisik, Friedrich Nietzsche misalnya, mendefinisikan kehendak sebagai pendorong utama manusia (will to power). Namun, jika kehendak ini dijalankan tanpa moralitas atau nilai yang lebih tinggi, ia dapat menjadi bentuk sewenang-wenang yang bersifat destruktif.

Implikasi pada Kehidupan Sosial; Tindakan sewenang-wenang menimbulkan ketidakadilan, konflik, dan kerusakan harmoni sosial. Oleh sebab itu, banyak filsuf menekankan pentingnya rasionalitas, hukum, dan dialog dalam menghindari perilaku semacam ini. Pertanyaannya sekarang bagaimana potret kehidupan nyata di negeri ini.

Bisa dibayangkan jika kewenangan tanpa diberi solusi, maka yang terjadilah kesewenang-wenangan itu yang dikhawatirkan oleh semua aliran filsaffat di atas. Sebagai contoh, Tempat Pembuangan Sampah Akhir langsung ditutup sebagai kewenangan pusat, tetapi tidak ada penawaran solusi bersama melalui mekanisme duduk bersama guna kesejahteraan rakyat bersama. Kesewenang-wenangan ini dipertontonkan dimuka rakyat yang pernah dulu diminta bahkan sampai mengemis untuk supaya memilih saat pemilihan. Sementara membuang sampah untuk daerah perkotaan adalah urusan yang tidak mudah, kalau tidak dikatakan sulit, bahkan dapat dikategorikan fital. Belum lagi persoalan hukum, mereka yang diduga belum ada bukti-pun bisa ditersangkakan hanya karena memiliki kewenangan.

Dapat ditarik kesimpulan sementara dari sudut pandang aliran filsafat manapun, kewenangan yang dijalankan dengan ke-sewenang-wenang-an itu akan menjadikan tirani. Korbannya adalah rakyat kebanyakan yang tidak mempunyai kewenangan sedikitpun untuk menolak kesewenang-wenangan tadi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Jalan Berubah Menjadi Jalan-Jalan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu setelah shalat subuh berbincang dengan istri untuk melakukan ziarah kubur ke makan orang tua yang berjarak sekitar hampir dua ratus kilo meter. Diputuskan segera berangkat mumpung ada kesempatan, karena waktu libur begini sering masih padat kesibukan. Setelah dipersiapkan minimal, maka perjalanan dimulai dengan mengisi bahan bakar kendaraan dan sedikit isi kartu jalan bebas hambatan. Dua setengah jam kemudian sampai di tujuan dan melakukan ziarah makam keluarga yang bersih dan asri itu; muncul persoalan setelah rangkaian acara selesai, mau mengerjakan apa. Ide baru muncul untuk pergi ke wilayah barat menikmati pemandangan pegunungan dari puncak bukit yang bermasjid, maka perjalanan hari itu berubah menjadi jalan-jalan.

Persoalan baru muncul lagi, setelah pulang bagaimana kalau kita putar haluan ke utara menuju kota “King Stone”. Niat dibulatkan kendaraan dipacu santai menuju kota yang banyak sekali buah durian. Sampai di sana cuaca sangat mendukung, perundingan dimulai, diputuskan perjalanan dilanjutkan ke “Kota Nanas” yang sudah tidak pernah panen lagi. Walaupun pakaian yang dibawa hanya yang melekat di badan, namun karena tekad yang nekad perjalanan yang berubah menjadi jalan-jalan itu dilanjutkan. Mengandalkan piranti google sebagai pemandu, pedal gas mulai ditekan, ternyata halang-rintang mulai muncul karena lebar jalan yang tidak mendukung semetara kendaraan besar dan panjang lalu lalang.

Sekedar info bahwa memang jalan ini dahulunya milik perusahaan pengeboran minyak Indonesia terkemuka yang digunakan untuk membawa peralatan berat. Saat Gubernur Sumatera Selatan dijabat oleh Asnawi Mangku Alam, jalan ini dialihkan menjadi jalan provinsi dan bisa dilalui kendaraan pribadi secara terbatas. Saat ini justru menjadi jalan utama antarprovinsi yang begitu ramai dan padat.

Karena kesulitan dengan penglihatan, maklum sudah tidak muda lagi, maka begitu tiba waktu magrib, dicarilah masjid yang ada di tepi jalan. Memasuki masjid ini agak aneh, karena letak posisi imam tidak pada tempat yang disediakan, akan tetapi bergeser ke kanan yang cukup signifikan. Niat diluruskan kain dikenakan, shalat dijalankan. Kendala baru muncul saa malam sudah tiba, hari makin gelap, mata makin rabun. Maka perjalanan merayap bagai siput dimulai, yang penting selamat sampai tujuan di tempat keluarga yang dituju. Memang ada usulan dari penumpang cantik satu-satunya ini ingin menggantikan posisi pengemudi, namun apa kata dunia seolah suami tidak ada rasa tanggung jawab pada istri, maka permintaan itu ditolak dengan rasa sayang. Alhamdullilah sampai juga silahturahmi ini ditempat keluarga pada waktu selepas isya’.

Keesok harinya rasanya sayang kalau mau pulang kembali ke jalan awal, maka diputuskan singgah walau sebentar di kota empek-empek. Maka dirancang shalat zuhur dilaksanakan di Masjid Agung kebanggaan Wong Plembang dan makan khas martabak di seberangnya. Tepat pukul 15.00 WIB, semua rangkaian sudah diselesaikan, maka jalan pulang dimulai untuk menelusuri jalan bebas hambatan untuk memacu si putih kuda besi yang kami gunakan. Sempurnalah acara kali ini jalan yang berubah menjadi jalan-jalan bagi kami berdua.

Lalu makna apa yang didapat dari semua itu? Ternyata makna hakiki dari perubahan semula “ingin jalan” menjadi “jalan-jalan” dapat ditinjau sebagai transisi dari niat atau kebutuhan menuju ekspresi yang lebih santai atau menyenangkan. Dibantu oleh beberapa referensi pada media digital maka berikut analisisnya : “ingin jalan” mengacu pada keinginan awal untuk bergerak, melangkah, atau melakukan perjalanan. Ini sering kali didorong oleh tujuan atau kebutuhan tertentu, misalnya mencapai sesuatu.

Sedangkan “jalan-jalan” merujuk pada aktivitas yang lebih ringan, santai, dan cenderung rekreatif. Dalam konteks ini, “jalan-jalan” lebih sering dianggap sebagai aktivitas untuk menikmati waktu, menjelajah, atau sekadar mencari hiburan tanpa tekanan dan target tertentu.

Dengan kata lain perubahan dari “ingin jalan” ke “jalan-jalan” menunjukkan pergeseran dari niat serius ke aktivitas santai. Awalnya ada dorongan kuat atau tujuan jelas, tetapi kemudian menjadi pengalaman ringan tanpa beban. Dari kebutuhan ke rekreasi. Hal yang tadinya dipandang sebagai “harus dilakukan” menjadi sesuatu yang dilakukan dengan sukacita. Dari tujuan ke proses, fokusnya bergeser dari hasil akhir (misalnya sampai di suatu tempat) menjadi menikmati perjalanan itu sendiri.

Hikmah filosofis dari semua itu adalah perubahan ini dapat menggambarkan pola pikir yang lebih santai, menikmati setiap langkah kehidupan, tanpa terlalu terpaku pada hasil akhir. Hidup bukan sekadar mencapai tujuan, tetapi juga tentang menghargai proses perjalanan, yang sering kali justru memberi kebahagiaan tersendiri. Semoga akhir tahun dan menuju awal tahun baru juga merupakan proses “jalan” yang juga di dalamnya ada “jalan-jalan”; sehingga hidup ini bukan diburu akan tetapi dinikmati. Salam Waras (gil)

Editor: Gilang Agusman

Abu Nawas dan Gembok

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ditemukan dalam nukilan digital; suatu hari, Sultan Harun Al-Rasyid memanggil Abu Nawas ke istananya. Sultan yang terkenal sering menguji kecerdikan Abu Nawas dengan teka-teki yang sulit. Kali ini, Sultan memberikan sebuah gembok besar kepada Abu Nawas tanpa kunci. Sambil tersenyum penuh tantangan, Sultan berkata, “Abu Nawas, aku ingin kau membuka gembok ini tanpa merusaknya. Kau hanya diberi waktu tiga hari. Jika tidak berhasil, kau akan menerima hukuman.”

Abu Nawas mengamati gembok itu dengan saksama. Setelah itu, dia membawa gembok tersebut pulang sambil berpikir keras mencari cara untuk menyelesaikan tantangan Sultan. Di rumah, Abu Nawas tidak mencoba membuka gembok itu dengan alat apa pun. Sebaliknya, dia hanya menyimpan gembok tersebut di tempat yang aman. Selama tiga hari, dia hidup seperti biasa tanpa terlihat panik.

Pada hari yang telah ditentukan, Abu Nawas kembali ke istana dengan membawa gembok itu. Sultan, yang penasaran, bertanya, “Jadi, apakah kau berhasil membuka gemboknya?” Abu Nawas dengan santai menjawab, “Wahai Paduka, gembok ini tidak memiliki kunci. Jika demikian, bagaimana mungkin aku membuka sesuatu yang tidak terkunci sejak awal?”

Sultan terkejut, tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak. “Kau memang benar-benar cerdik, Abu Nawas! Gembok itu memang tidak terkunci sejak awal. Aku hanya ingin menguji kecerdasanmu.” Abu Nawas tersenyum dan berkata, “Paduka, gembok adalah simbol masalah. Kadang-kadang kita menganggapnya rumit, padahal solusinya sangat sederhana.” Sang Raja tersenyum bangga akan kecerdasan Abu Nawas.

Ternyata sampai hari ini “kunci dan gembok” selalu menjadi persoalan, bahkan terkadang menjadi serius, karena ada “satu gembok tetapi memiliki banyak anak kunci”. Akibatnya siapa saja bisa membukanya, tentu ini menjadi sangat berbahaya karena bisa melakukan “buka gembok” dengan cara berjamaah. Beda lagi “satu anak kunci untuk banyak gembok”. Inipun menjadi persoalan serius karena bisa jadi pemegang “anak kunci” menjadi semena-mena membuka gembok sekalipun itu bukan hak dan kewajibannya. Dengan “anak kunci istimewa” tadi bisa menuduh orang melakukan pelanggaran sekalipun itu baru angan-angannya; atau halusinasinya terhadap apa yang didapat oleh orang lain.

Persoalan-persoalan hukum menjadi berkelindan antara “gembok dan anak kunci”; karena bisa jadi aturan hukum yang mengatur gembok dan kunci belum ada, atau ada dan banyak, akibatnya gembok semakin jauh dari anak kunci. Bisa juga aturan hanya berlaku untuk gembok tetapi tidak untuk anak kunci. Sebaliknya bisa terjadi berlaku hanya untuk anak kunci tetapi tidak pada gembok.

Silogisme “gembok dan anak kunci” ini bisa banyak ragam kita peroleh, baik persamaan maupun perbedaan. Bahkan algoritma dapat kita gunakan untuk menafikkan anak kunci, tetapi tidak untuk gemboknya. Bisa juga algoritma mampu menafikkan gembok dan kunci sekaligus. Kemampuan imajinatif untuk ini tampaknya diperlukan, sehingga “persamaan tersamar” bisa digandengkan dengan “perbedaan tersamar”. Hal inilah yang mendasari filsafat logika bahwa diantara perbedaan itu karena ada kesamaan, dan diantara kesamaan itu karena ada perbedaan.

Tidak salah jika orang bijak mengatakan bahwa keduanya, secara metaforis, dapat digunakan untuk menjelaskan banyak aspek kehidupan, seperti rahasia, perlindungan, dan keterbukaan terhadap peluang. Sekaligus juga teori gembok dan kunci mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pembatasan dan kebebasan untuk mencapai tujuan tertentu.

Teori gembok dan kunci dalam konteks teori sosial dapat dianalisis sebagai metafora yang menggambarkan hubungan antara struktur (gembok) dan agensi (kunci). Struktur merujuk pada sistem, norma, dan institusi yang mengatur kehidupan sosial, sementara agensi adalah kemampuan individu atau kelompok untuk bertindak dan membuat keputusan dalam kerangka struktur tersebut.

Dengan kata lain pemikiran Abu Nawas jika dilihat dari perpektif Teori Sosial; metafora gembok dan kunci menggambarkan hubungan yang kompleks antara struktur dan agensi. Dalam beberapa pendekatan, hubungan ini cenderung hierarkis atau deterministik (struktur lebih dominan), sementara pendekatan lain melihatnya sebagai sesuatu yang lebih dinamis dan saling mempengaruhi. Interpretasi hubungan ini dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang teori yang digunakan.

Pertanyaannya ialah mampukah kita mengenali perbedaan perspektif saat melihat persoalan dalam konteks waktu masa lalu, kini dan yang akan datang. Untuk sampai ketataran ini memang tidak mudah, tetapi sudah seharusnya kita jadikan tujuan sehingga kita tidak “terkejut” melihat semua perbedaan, karena yakin di dalamnya ada unsur kesamaan. Oleh sebab itu tidak salah jika orang bijak mengatakan “baik buruknya kita itu tergantung siapa yang cerita”. Tokoh yang bercerita dan pembuat cerita tentu dasarnya dari sudut pandangnya, sementara akan menjadi berbeda manakala tokohnya berganti dan sudut pandangpun berubah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Tambah Guru Besar Baru, Prof. Dr. Dessy Hermawan Resmi Dapatkan Gelar Profesor

PALEMBANG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandarlampung kembali mencatatkan prestasi gemilang dengan penambahan satu lagi guru besar baru, yakni Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes. Penyerahan Surat Keputusan (SK) pengangkatan guru besar tersebut dilakukan secara resmi di Kantor LLDIKTI Wilayah 2 Palembang, pada Selasa (24/12/2024).

Berdasarkan Surat Keputusan MENTERI PENDIDIKAN TINGGI, SAINS, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN TINGGI, SAINS, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 136639/M/07/2024 yang ditetapkan di Jakarta pada 22 November 2024.

Acara serah terima SK dihadiri oleh sejumlah pejabat penting dari Universitas Malahayati, diantaranya Wakil Rektor 4 Universitas Malahayati, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, yang turut memberikan ucapan selamat atas pencapaian luar biasa ini. Turut hadir pula Kepala Bagian Humas dan Protokol Emil Tanhar, S.Kom, yang mendampingi dalam momen bersejarah tersebut.

Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., dalam kesempatan tersebut menyampaikan rasa bangga dan apresiasi yang tinggi terhadap Prof. Dr. Dessy Hermawan yang kini resmi menyandang gelar profesor. “Kami sangat bangga dengan pencapaian ini. Semoga Prof. Dr. Dessy dapat terus memberikan kontribusi yang luar biasa di bidang akademik, serta membawa nama baik Universitas Malahayati ke tingkat yang lebih tinggi,” ungkapnya penuh haru.

Dengan penambahan gelar profesor ini, Universitas Malahayati semakin mengukuhkan komitmennya dalam mencetak akademisi dan profesional berkualitas, yang diharapkan dapat memperkuat peran kampus dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Selamat dan sukses kepada Prof. Dr. Dessy Hermawan yang terus menginspirasi, baik dalam dunia akademik maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Kedokteran Dasar: Fisiologi dan Kesehatan/Keperawatan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Abu Nawas dan Ulama

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Dalam nukilan sejarah yang ditemukan pada jejak digital ditemukan cerita tentang Abunawas yang berdebat dengan seorang Ulama; diceritakan suatu hari, seorang ulama terkenal datang ke istana Raja Harun Al-Rasyid untuk berbicara tentang ilmu pengetahuan dan agama. Sang Raja yang menyukai perdebatan cerdas memanggil Abunawas untuk ikut serta dalam diskusi. Ia ingin melihat bagaimana kecerdasan Abunawas menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dari sang ulama. Harun Al-Rasyid berkata, “Abunawas, hari ini engkau akan diuji oleh seorang ulama besar. Aku ingin tahu apakah engkau bisa menjawab pertanyaannya dengan baik.”

Abunawas, yang terkenal dengan kecerdikannya, menjawab, “Tentu, Baginda. Tetapi izinkan saya menjawab dengan cara saya sendiri, mohon Baginda untuk tidak ikut campur dengan cara saya menjawab.” Raja dan ulama itu setuju. Maka, dimulailah perdebatan tersebut.

Pertanyaan pertama:”Apa yang paling dekat dengan manusia?” Ulama membuka bertanya dengan serius, “Menurutmu, Abunawas, apa yang paling dekat dengan manusia di dunia ini?”. Abunawas tersenyum dan menjawab, “Kematian, Karena ia bisa datang kapan saja tanpa kita sadari tuan.”. Ulama terkejut mendengar jawaban itu karena sangat benar dan bijak. Lalu disusul dengan pertanyaan kedua: “Apa yang paling berat di dunia ini?” ; lanjut Ulama melanjutkan,. Abunawas berpikir sejenak lalu menjawab: “Tanggung jawab, Tuan. Karena hanya sedikit orang yang mampu memikulnya dengan benar”.

Jawaban itu membuat Raja dan semua orang di istana terpana dan mengangguk-angguk tanda setuju. Sejurus kemudian dengan penuh keyakinan, ulama bertanya untuk yang ketiga kali, ” menurutmu, apa yang paling tajam di dunia ini?”. Abunawas dengan santai menjawab, “Lidah, Tuan. Karena lidah bisa melukai hati lebih dalam daripada pedang.”. Ulama kembali terdiam karena jawaban Abunawas benar semua dan membuatnya kagum.

Ulama itu akhirnya mengakui kecerdasan Abunawas, dan berkata kepada Raja, “Baginda, Abunawas bukan hanya cerdas, tetapi juga bijak. Jawaban-jawabannya sederhana namun penuh makna.”. Raja pun tertawa dan berkata, “Abunawas memang unik. Itulah mengapa aku suka mengujinya.”

“Nanti dulu” sergah Abunawas, “ijinkan saya melengkapi pertanyaan yang keempat Baginda kepada yang hadir di majelis ini semua”. Raja Harus Al-Rasyid terkejut dan berkata “ Apa pertanyaannya wahai Abunawas?”. Abunawas berkata “Apa yang paling jauh di dunia ini”. Tentu semua hadirin menjadi riuh karena masing-masing mengemukakan pendapatnya, ada yang menjawab Kota Basrah, ada yang menjawab Madinah dan lain sebagainya. Terakhir Baginda Raja berkata “Apa menurutmu yang paling jauh wahai orang pandai”. Dengan santai dan percaya diri Abunawas menjawab “Masjid”. Semua orang terperangah, sebelum ada yang berkata Abunawas menimpali “coba perhatikan saat kumandang Adzan di Masjid banyak diantara kita yang tidak peduli, padahal itu panggilan dari Allah yang menciptakan bumi dan isinya termasuk kita; apalagi saat adzan Subuh banyak diantara kita yang memilih pura-pura tidak mendengar dan menutup telinga dengan bantal, bukan bersegera untuk mendatangi Masjid atau Musholah;”. Semua yang hadir saat itu terdiam karena seperti ditampar mukanya oleh Abunawas.

Kisah ini mengajarkan bahwa jawaban atas pertanyaan besar dalam hidup sering kali sederhana, tetapi membutuhkan pemikiran mendalam untuk menemukannya. Abunawas menunjukkan bahwa kecerdasan dan kebijaksanaan bisa datang dari siapa saja, tidak hanya dari ulama atau orang berilmu. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana secara keseluruhan, cerita Abu Nawas dan ulama adalah cermin kehidupan yang mengajarkan kita untuk hidup dengan kebijaksanaan, humor, dan kesalehan yang seimbang.

Ternyata benar apa yang dikatakan oleh para pendahulu bahwa kesalehan itu tidak melekat kepada status jabatan atau pangkat, akan tetapi lebih kepada kondisi di mana seseorang tidak hanya memperhatikan ritual formal, tetapi juga benar-benar menjalankan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ia dekat dengan kejujuran, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Dengan kata lain kesalehan lebih dekat kepada hubungan yang harmonis antara hati, pikiran, dan tindakan dalam menjalani nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama dan kemanusiaan. Kesalehan mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial, yang saling berhubungan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Filsafat Moral Kumbakarna

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menelusuri kisah ini melalui laman digital yang panjang dan melelahkan, ditemukan nukilan yang sangat berharga untuk dijadikan bahan renungan atau kontemplasi diri dalam memaknai kehidupan, yaitu epos Ramayana yang bermula dari kelahiran angkaramurka di dunia ini dengan lahirnya Rahwana.

Namun demikian, orang bijak mengatakan bahwa ditengah keburukan itu jika dicermati secara jeli ada secercah kebaikan di sana. Salah satu wakil dari kebaikan itu adalah diwujudkan oleh tokoh bernama Kumbakarna. Kumbakarna lahir dari pasangan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi, menjadikannya saudara kandung Rahwana, Wibisana, dan Sarpakenaka. Mereka adalah keturunan raksasa yang berasal dari keluarga Alengka.

Kumbakarna adalah seorang raksasa berwujud besar dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, akan tetapi berbeda dari kebanyakan raksasa pada umumnya, ia memiliki sifat yang bijaksana, cinta damai, dan cenderung mengikuti ajaran luhur tentang kebenaran. Sebagai adik Rahwana, Kumbakarna selalu menunjukkan kesetiaan kepada keluarganya. Namun, ia tidak mendukung tindakan Rahwana menculik Shinta.

Ia pernah menasihati Rahwana untuk mengembalikan Shinta kepada Rama dan menghindari perang. Sayangnya, nasihatnya tidak didengar. Bahkan Rahwana murka dan memaksa Kumbakarna untuk maju perang melawan prajurit Ramawijaya yang berupa kera.

Kumbakarna memutuskan untuk bertarung demi membela tanah air dan rakyat Alengka, meskipun ia tidak menyetujui alasan perang tersebut. Baginya, tanggung jawab terhadap negeri lebih besar daripada konflik moral yang ia rasakan. Dialog dengan Rahwana sebagai abang tertuanya saat beliau bertapa tidur jika dideskripsikan secara imajinatif adalah sebagai berikut:
Dasamuka dengan wajah tegang, bergegas masuk ke tempat Kumbakarna bertapa, seraya berteriak, “Kumbakarna, bangunlah, adikku! Negeri Alengka sedang dalam bahaya besar. Engkau harus bangun dan mendengar seruanku!”.

Kumbakarna dengan mata yang masih tertutup, bersuara berat dan lelah beliau berkata: “Siapa yang berani mengganggu tidur panjangku? Tidur ini adalah hakku setelah tapaku… Apakah engkau Kakanda Rahwana? Apa yang begitu mendesak hingga engkau membangunkanku dari ketenangan ini?”.

Dasamuka bersuara keras sambil menahan jengkel, berseru, “Adikku, Alengka sedang dalam bahaya besar! Pasukan Rama sudah mengepung negeri kita. Mereka telah membangun jembatan menuju Alengka. Hanoman, si kera putih, telah membakar istana. Aku membutuhkanmu untuk menghadapi para musuh ini!”.

Kumbakarna bangun dan berdiri perlahan, tubuhnya besar dan penuh wibawa berucap, “Kakanda, apa yang telah aku peringatkan kepadamu dahulu ini terbukti kejadiannya. Jika pada waktu itu Dewi Shinta kau kembalikan kepada Rama, maka tidak akan ada kejadian ini. Ini adalah akibat dari engkau telah bertindak melampaui batas?”.

Dasamuka tidak mau terima dengan ucapan adiknya tadi, seraya berteriak, “Semua ini demi Shinta, wanita yang kupuja dan kucintai! Rama tidak memiliki hak atas dirinya. Aku mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!”

Kumbakarna menatap Dasamuka dengan sorot tajam, penuh kecewa dan berucap yang juga tidak kalah serunya dari Rahwana, “Kakanda, engkau telah membangunkanku untuk sesuatu yang memalukan. Engkau merusak kehormatan Alengka dengan nafsu dan keserakahanmu! Bagaimana mungkin aku bertempur demi tujuan yang tidak benar?”.

Dasamuka sangat murka mendengar ucapan adiknya itu sejurus kemudian dia berteriak lantang, “Adikku, jangan menasehatiku seperti orang suci! Engkau adalah bagian dari keluargaku, dan ini adalah tanggung jawabmu untuk melindungi negeri kita, apa pun alasannya!”.

Kumbakarna menarik napas panjang, dengan suara berat dia berkata, “Aku adalah seorang ksatria, Kakanda. Aku tidak akan membela tindakanmu yang salah. Namun, Alengka adalah tanah kelahiranku. Demi rakyat yang tak berdosa, aku akan maju ke medan perang. Bukan untuk dirimu, tetapi untuk negeri ini!”.

Dasamuka menukas sambil tersenyum licik berkata, “Begitu saja sudah cukup, adikku. Pergilah dan tunjukkan kekuatanmu. Engkau adalah harapan terakhir Alengka. Engkau adalah panglimanya negeri ini”.

Dengan langkah berani Kumbakarna mengambil senjatanya, bersiap pergi dan bersalaman dengan abangnya itu sambil berucap, “Doakan aku, Kakanda. Karena perang ini mungkin akan menjadi akhir dari hidupku.”

Dialog ini menggambarkan dilema moral Kumbakarna, kesetiaannya pada tanah air, serta perasaan kecewanya terhadap kakaknya, Dasamuka, yang sering bertindak semena-mena. Lalu apa yang dapat kita petik dari peristiwa di atas. Tindakan Kumbakarna adalah contoh nilai ksatria sejati yang penuh dengan kebijaksanaan, keberanian, dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam tradisi pewayangan, ia dipandang sebagai simbol manusia ideal yang mendahulukan kewajiban dan kehormatan di atas kepentingan pribadi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman