Sampah Peradaban

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang ulama masa kini yang pernah dimasukan penjara oleh rezim masa lalu, yang kemudian mendapatkan amnesti pemerintahan masa kini, dalam satu captionnya berkomentar tentang bagaimana Tuhan menentukan takdir mahluk ciptaanNYA dalam sekejab. Tidak ada yang dapat mengubah jika Tuhan sudah berkehendak, dan kejatuhan yang paling dalam di dunia ini adalah dijadikannya mahluk tadi menjadi sampah peradaban.

Istilah “sampah peradaban” terdengar tajam dan provokatif. Ia tidak hanya menyiratkan kecaman, tetapi juga sebuah penghukuman moral: bahwa ada individu atau kelompok yang tidak hanya gagal dalam tanggung jawab sosial-politik, tetapi juga telah jatuh ke titik nadir nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks pernyataan “mereka yang melukai hati rakyat dan kemudian dihukum Tuhan dengan dicabut kenikmatannya,” kita berhadapan dengan sebuah narasi yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga spiritual dan eksistensial.

Peradaban adalah akumulasi nilai, norma, pengetahuan, dan sistem yang membentuk cara manusia hidup bersama. Ketika seseorang disebut “sampah peradaban,” itu berarti ia tidak hanya menyalahi norma hukum, tetapi juga menggugat nilai dasar kemanusiaan. Istilah ini menjadi cermin sosial dari penghukuman kolektif: masyarakat menolak, mengecam, bahkan membuang tokoh-tokoh tertentu karena dianggap telah merusak tatanan bersama.

Tulisan ini bertujuan untuk menelaah istilah ini dari sudut pandang filsafat kontemporer, dengan meninjau bagaimana konsep kekuasaan, moralitas, legitimasi sosial, serta peran emosi kolektif dapat membantu kita memahami fenomena ini. Tulisan ini juga ingin memperlihatkan bahwa penghukuman moral semacam ini adalah bagian dari dinamika masyarakat modern, di mana publik tidak hanya menjadi pengikut, tetapi juga hakim etis terhadap mereka yang pernah mereka angkat menjadi pemimpin.

Michel Foucault adalah salah satu filsuf kontemporer yang paling tajam dalam mengurai hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki oleh penguasa, tetapi sesuatu yang menyebar dalam seluruh jaringan masyarakat, melalui bahasa, institusi, dan norma-norma sosial. Kekuasaan tidak bekerja hanya melalui represi, tetapi juga melalui produksi kebenaran: siapa yang dianggap benar, baik, atau sah. Dalam konteks ini, mereka yang melukai hati rakyat sebenarnya telah menyalahgunakan wacana kekuasaan. Ketika pemimpin menggunakan posisi mereka untuk memanipulasi kebenaran, mengabaikan penderitaan rakyat, atau mempraktikkan kekuasaan tanpa tanggung jawab, mereka kehilangan legitimasi. Mereka menjadi “sampah peradaban” karena tidak lagi sesuai dengan wacana nilai yang diidealkan masyarakat: kejujuran, pengabdian, dan keadilan.

Habermas, di sisi lain, memberikan pandangan yang lebih normatif melalui konsep diskursus dan ruang publik. Ia menekankan bahwa legitimasi kekuasaan harus lahir dari komunikasi rasional yang bebas dari distorsi, dalam ruang publik yang demokratis. Ketika pemimpin tidak lagi mendengar rakyat, menghindari dialog, dan menutup ruang kritik, mereka bukan hanya gagal sebagai politisi, tetapi juga sebagai manusia rasional dalam dimensi peradaban.

Maka, dari dua pemikir di atas, kita melihat bahwa pelanggaran terhadap rakyat bukan hanya pelanggaran praktis, tetapi juga pelanggaran epistemik dan etis. Ketika kekuasaan kehilangan basis moralnya, masyarakat akan melontarkan perlawanan dalam bentuk simbolik; termasuk seperti memberi cap “sampah peradaban.”

Istilah “sampah peradaban” mengandung simbolisasi ekstrem. Ia bukan sekadar kritik, tetapi penolakan total terhadap eksistensi moral seseorang. Foucault pernah menyebut bahwa masyarakat modern membentuk “regime of truth”, yaitu seperangkat nilai dan pengetahuan yang diterima sebagai kebenaran. Dalam konteks ini, individu yang tidak sesuai lagi dengan rezim tersebut akan didekonstruksi, dideligitimasi, bahkan dipinggirkan secara sosial. Kita bisa melihat contoh ini dalam fenomena tokoh-tokoh politik yang jatuh karena skandal korupsi, kekerasan, atau pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat. Ketika mereka menikmati kekuasaan, mereka mungkin merasa tak tersentuh. Namun ketika kejahatan mereka terbongkar, mereka menjadi objek penghinaan publik. Media sosial, sebagai ruang diskursus modern, mempercepat proses ini. Mereka tidak hanya dihukum hukum, tetapi juga dihukum oleh memori kolektif sebagai “sampah”; tidak layak dikenang, apalagi dihormati. Oleh sebab itu perlu dicatat bahwa pembuangan simbolik ini juga merupakan cara masyarakat membersihkan dirinya sendiri, mempertahankan nilai-nilai ideal dalam demokrasi. Dalam pengertian ini, istilah tersebut meskipun keras, mengandung fungsi sosial: memisahkan yang baik dari yang busuk, yang luhur dari yang rusak. Pernyataan bahwa Tuhan “mencabut kenikmatan” dari mereka yang melukai rakyat mencerminkan pandangan teologis dalam bingkai keadilan imanen.

Martha Nussbaum memberikan pendekatan yang penting dalam memahami peran emosi dalam politik. Ia berargumen bahwa emosi seperti kemarahan, belas kasihan, dan rasa malu bukanlah musuh rasionalitas, tetapi bagian dari penilaian moral yang sah. Ketika rakyat merasa “dilukai hatinya,” itu adalah ekspresi dari rasa keadilan yang dilanggar.

Nussbaum menyebutkan bahwa emosi kolektif bisa menjadi dasar untuk hukum dan kebijakan publik. Dalam konteks ini, kemarahan rakyat terhadap pemimpin yang korup, represif, atau culas adalah bentuk tuntutan moral yang berakar pada rasa hormat terhadap nilai kehidupan bersama. Ketika emosi ini terakumulasi dan diartikulasikan melalui media, unjuk rasa, satire, atau sindiran publik, mereka membentuk tekanan sosial yang kuat. “Sampah peradaban” adalah istilah yang lahir dari kegelisahan moral semacam itu. Ini bukan hanya penghinaan personal, tetapi ekspresi kolektif bahwa individu tersebut tidak lagi pantas menjadi bagian dari tubuh sosial.

Istilah “sampah peradaban” mencerminkan penolakan moral yang sangat kuat dari masyarakat terhadap individu yang telah mengkhianati nilai-nilai bersama. Dalam kacamata filsafat kontemporer, kita dapat memahami istilah ini sebagai puncak dari krisis legitimasi, di mana kekuasaan yang korup telah kehilangan dasar moralnya, dan rakyat merespons dengan kecaman simbolik.

Akhirnya, meskipun istilah ini keras, ia adalah bagian dari mekanisme pertahanan sosial untuk menjaga nilai-nilai luhur peradaban. Namun penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak menjadi alat balas dendam atau dehumanisasi, tetapi tetap menjadi panggilan moral untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Semoga negeri ini cepat pulih dari “luka sosial”nya; sehingga anak negeri bisa kembali berdiri tegak menjadi tuan di negerinya sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Sebulan Beri Dampak di Pekon Balak, Mahasiswa Universitas Malahayati Wujudkan Pengabdian Melalui 3 Program Unggulan PANTANG Stunting!

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Melalui program kerja PANTANG Stunting (Pangan Mandiri, Sehat, Lingkungan Sejahtera) untuk Generasi Bebas Stunting, sebanyak 19 mahasiswa KKL-PPM Universitas Malahayati Kelompok 47 melaksanakan tiga program unggulan yang menyasar bidang pangan, lingkungan, dan gizi kesehatan masyarakat. Rangkaian kegiatan ini disambut positif oleh masyarakat, kader posyandu, hingga kelompok tani, karena dinilai memberikan dampak nyata dalam penanggulangan stunting di Pekon Balak, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus.

Program pertama berupa cek kesehatan gratis secara door to door yang berlangsung pada 4–6 Agustus 2025 di seluruh dusun Pekon Balak. Pemeriksaan meliputi tensi darah dan gula darah pada 75 orang yang berusia >60 tahun. Hasil menunjukkan 60% mengalami hipertensi dan 40% memiliki gejala diabetes, sementara sebagian besar tidak rutin minum obat maupun memeriksakan diri ke posyandu. Ketua kelompok, Risky Ageng Hadi Prayoga, menegaskan bahwa kegiatan ini bertujuan mendekatkan layanan kesehatan dasar dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk rutin memantau kesehatannya. Penanggung jawab program, Calya Benariva Azzahra Mattatri, menambahkan kegiatan ini merupakan wujud kontribusi mahasiswa dan diharapkan dapat berlanjut demi peningkatan kualitas hidup masyarakat di Pekon Balak.

Selanjutnya, pada Jumat (15/8/2025), mahasiswa memperkenalkan inovasi ramah lingkungan melalui sosialisasi pemanfaatan limbah puntung rokok menjadi biopestisida hayati berbentuk pupuk cair. Acara yang dihadiri aparat pekon, tokoh masyarakat, dan kelompok tani ini memperlihatkan cara pembuatan biopestisida sederhana menggunakan puntung rokok, sabun cair, air panas, dan botol bekas. Ketua kelompok, Risky Ageng Hadi Prayoga, menjelaskan inovasi ini menjadi alternatif murah, praktis, dan ramah lingkungan untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida sintetis. Penanggung jawab program, M. Sahrul Sidik, menambahkan bahwa kegiatan ini juga mengedukasi masyarakat dalam mengelola limbah berbahaya menjadi produk bermanfaat. Kelompok tani pun mengapresiasi inovasi ini karena mudah dibuat, bahan tersedia di sekitar, serta berpotensi meningkatkan hasil pertanian tanpa merusak tanah.

Program ketiga digelar pada Jumat (22/8/2025), yakni sosialisasi pencegahan stunting dan inovasi pangan lokal. Mahasiswa memperkenalkan nugget legreen berbahan lele dan daun kelor yang kaya protein, vitamin, mineral, serta antioksidan dan tentunya menjadi salah satu pangan yang mudah dan banyak terdapat di Pekon Balak. Acara dihadiri perangkat pekon, kepala pekon, Babinkamtibmas, bidan Puskesmas Siring Betik, serta ibu hamil dan ibu balita dari Dusun 1–4. Dalam kegiatan ini dilakukan penyuluhan terlebih dahulu terkait pentingnya pencegahan stunting. Selanjutnya mendemontrasikan inovasi pangan sumber protein sebagai bentuk pemanfaatan pangan lokal melalui video tutorial, memberi tester produk, hingga evaluasi penerimaan produk melalui wawancara dengan masyarakat. Selain itu, bidan bersama mahasiswa juga melakukan pemantauan status gizi balita penerima PMT. Penanggung jawab program, Shofia Amri, berharap nugget legreen dapat diterapkan berkelanjutan di rumah tangga sebagai upaya pemenuhan asupan protein. Rangkaian kegiatan berlanjut pada Minggu (24/8/2025) di Dusun 5–6, didampingi Dosen Pembimbing Lapangan, Ibu Annisa Mayang Soliha, M.Gz., yang mengapresiasi antusiasme masyarakat dan menegaskan pentingnya pemanfaatan pangan lokal untuk pencegahan stunting.

Ketiga program ini menunjukkan komitmen KKL-PPM Universitas Malahayati dalam mendukung pembangunan masyarakat melalui Gerakan Kampus Berdampak pada Penurunan Stunting di Kabupaten Tanggamus. Wujud pengabdian masyarakat lewat inovasi mahasiswa ini tidak hanya memberikan solusi praktis, tetapi juga mendorong terciptanya kesadaran kolektif menuju hidup sehat, lingkungan bersih, serta pemenuhan gizi yang berkelanjutan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Gelar Yudisium, 55 Mahasiswa Resmi Lanjut ke Tahap Profesi

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati kembali menorehkan momen penting dalam perjalanan akademiknya. Sebanyak 55 mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter resmi diyudisium dalam sebuah acara yang berlangsung khidmat di ruang 1.13 Gedung Rektorat Universitas Malahayati, Selasa (3/9/2025).

Acara yudisium ini dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas dan fakultas, di antaranya Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, Wakil Dekan Akademik Fakultas Kedokteran, dr. Neno Fitriani Hasbie, M.Kes, Ketua Program Studi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Syahrini, dr., M.Kes, Wakil Dekan Non Akademik Fakultas Kedokteran, serta Sekretaris Prodi Pendidikan Dokter.

Dalam sambutannya, Prof. Dessy Hermawan menyampaikan apresiasi dan rasa bangganya atas capaian para mahasiswa. Ia menekankan bahwa keberhasilan ini adalah hasil perjuangan panjang yang penuh pengorbanan.

“Selamat kepada seluruh mahasiswa yang telah sampai di titik ini. Ini bukan hanya akhir dari satu fase, tetapi awal dari perjuangan baru di dunia profesi. Teruslah belajar, jaga integritas, dan bangun karakter sebagai dokter yang berkompeten dan beretika,” pesan Prof. Dessy.

Senada dengan itu, Wakil Dekan Akademik, dr. Neno Fitriani Hasbie, M.Kes., menegaskan bahwa yudisium kali ini menjadi gerbang menuju tahap kedua dalam pendidikan kedokteran, yakni pendidikan profesi.

“Satu tahap sudah selesai, dan berikutnya adalah pendidikan profesi. Dua tahun ke depan adalah waktu kalian untuk magang di rumah sakit, menggali pengalaman klinis sebanyak-banyaknya, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi UKMPPD,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pada tahap profesi, mahasiswa dianggap sudah menguasai teori dasar sehingga dituntut untuk lebih mandiri dan tidak lagi menanyakan hal-hal mendasar.

Ketua Prodi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Syahrini, dr., M.Kes., turut berpesan agar para lulusan yudisium selalu menjunjung tinggi etika profesi dan kedisiplinan dalam bertugas.

“Suatu saat nanti, kalian akan duduk sebagai pejabat dan membawa nama baik orang tua serta almamater. Tetaplah jaga etika kedokteran dan selalu disiplin dalam setiap tindakan,” tegas Dr. Tessa.

Sementara itu, Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., memberikan nasihat praktis kepada mahasiswa agar lebih berhati-hati dalam menjalankan peran sebagai co-assistant.

“Selalu bertanya jika ada hal yang belum dipahami sebelum bertindak. Hati-hati dalam praktik, dan jangan lupa belajar lebih giat menghadapi UKMPPD nantinya,” pesannya.

Acara yudisium yang berlangsung penuh khidmat ini menjadi tonggak penting bagi 55 mahasiswa yang siap melanjutkan perjalanan menuju gelar dokter. Dengan semangat baru, mereka kini bersiap menghadapi tantangan pendidikan profesi dengan dedikasi tinggi, demi menjadi dokter yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berjiwa pelayanan serta menjunjung tinggi nilai etika kedokteran. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Negeri ini sedang tidak baik-baik saja, di banyak wilayah terjadi gejolak demonstrasi besar-besaran, baik tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi, tidak terkecuali Lampung; pada tanggal satu September bagai laut bah, manusia tumpah di sepanjang utama menuju satu titik Gedung DPRD. Mereka dengan satu tujuan menyampaikan ekspresi yang selama ini dirasakan sudah sangat keterlaluan penguasa negeri ini memberlakukan rakyatnya. Terlepas dari adanya pihak ke tiga yang “mengambil manfaat” dari situasi ini, tulisan ini mencoba untuk melihat dari sisi lain, terutama daerah-daerah yang aman tidak terjadi gejolak; mengapa itu bisa terjadi? Mari kita dedah satu persatu dari konsep filsafat manusia.

Demonstrasi adalah peristiwa sosial yang menyingkap wajah terdalam dari suatu masyarakat. Ia adalah titik temu antara kegelisahan rakyat dan reaksi kekuasaan. Di banyak tempat, demonstrasi berubah menjadi kekacauan karena ketegangan dua sisi itu tidak tersambung oleh kepercayaan. Namun, ada peristiwa yang menyela pola umum itu, yakni di Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara, demonstrasi berlangsung damai, dan relatif tertib. Tidak ada kerusuhan, tidak ada bentrokan, tidak ada saling curiga yang merusak. Di sana, rakyat bersuara dan pemimpinnya menyambut. Ini bukan sekadar keberhasilan manajerial atau koordinasi keamanan. Ini adalah keberhasilan etis. Sebuah keberhasilan yang harus ditilik dari sudut terdalam kemanusiaan: dari filsafat manusia.

Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran itu melahirkan kehendak untuk menyatakan diri, menyampaikan gagasan, dan mencari kebenaran. Maka ketika ketidakadilan atau ketimpangan terjadi, manusia akan terdorong untuk bersuara, tidak karena nafsu memberontak semata, tetapi karena ia ingin eksistensinya diakui. Dalam kerangka ini, demonstrasi adalah bentuk pencarian pengakuan. Manusia ingin dipandang bukan sebagai objek kebijakan yang dilihat sebagai individu dengan lambang statistik, tetapi sebagai subjek yang rasional, merdeka, dan bermartabat.

Namun, dalam dunia politik yang sering kali keras dan tertutup, suara rakyat kerap dianggap gangguan. Pemimpin yang buta oleh kekuasaan melihat demonstrasi sebagai ancaman, bukan sebagai panggilan untuk mendengar. Di sinilah akar dari kekerasan lahir. Rakyat yang tidak didengar akan berteriak lebih keras. Negara yang takut pada suara rakyat akan membalas dengan represi.

Kekerasan bukanlah kodrat dari demonstrasi, melainkan akibat dari putusnya relasi etis antara rakyat dan pemimpin. Yang terjadi di Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara adalah pengecualian yang seharusnya menjadi teladan. Di daerah-daerah itu, pemimpin tidak menutup pintu. Mereka tidak memobilisasi aparat sebagai tameng ketakutan, tetapi membuka diri sebagai tempat rakyat menaruh kegelisahannya, bahkan menyongsongnya bersama mereka. Mereka menyongsong rakyat bukan karena takut pada citra atau tekanan politik, melainkan karena mereka mengerti bahwa kekuasaan bukan milik pribadi, melainkan amanah dari manusia kepada manusia. Dan manusia, dalam filsafat yang paling purba sekalipun, adalah makhluk yang menuntut martabat.
Martabat manusia adalah pusat dari semua etika. Dalam pandangan Immanuel Kant, manusia adalah tujuan, bukan alat. Maka tidak boleh ada kebijakan yang mengorbankan manusia demi tujuan politik, ekonomi, atau kekuasaan.

Ketika pemimpin menyambut demonstrasi dengan tangan terbuka, ia sedang mengatakan: “aku tidak menjadikan rakyatku sebagai angka statistik atau beban administratif. Aku melihat mereka. Aku mengakui mereka. Aku bersedia digugat, karena aku juga manusia”.

Sikap seperti ini lahir bukan dari teknik komunikasi, tetapi dari kedalaman hati. Dari hati yang bersih. Dalam bahasa spiritual, hati yang bersih adalah hati yang tidak diselimuti niat buruk. Hati yang tidak takut pada rakyat, karena ia tidak sedang menyembunyikan kesalahan. Pemimpin dengan hati bersih tidak panik ketika dikritik, sebab ia menyadari bahwa kritik adalah bagian dari pengawasan moral. Hati yang bersih adalah cermin dari jiwa yang utuh, yaitu jiwa yang tidak terbelah antara kepentingan pribadi dan tanggung jawab publik.

Inilah yang membedakan pemimpin sejati dari pejabat biasa. Pemimpin sejati mengerti bahwa kekuasaan bukan soal otoritas, tetapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan tidak bisa dibeli atau dituntut, ia hanya bisa diberikan secara sukarela oleh rakyat ketika mereka merasa dihargai. Ketika pemimpin terbuka, rakyat akan damai. Mereka akan datang dengan kepala tegak, bukan dengan emosi yang meledak-ledak. Sebab mereka merasa, meskipun tidak semua tuntutan dipenuhi, setidaknya mereka telah didengar sebagai manusia.

Kita bisa melihat bahwa yang terjadi di daerah-daerah ini bukan semata keberuntungan sosial. Ini adalah hasil dari relasi yang dibangun di atas dasar-dasar filsafat manusia: kesadaran, pengakuan, dialog, dan tanggung jawab. Pemimpin dan rakyat berdiri sejajar, bukan karena status sosial mereka sama, tetapi karena nilai kemanusiaan mereka tidak bisa dibedakan.

Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa demonstrasi damai tidak muncul dari satu sisi saja. Rakyat di daerah tersebut juga menunjukkan kedewasaan moral. Mereka tidak terprovokasi, tidak mudah terbakar oleh emosi. Mereka datang dengan maksud menyampaikan, bukan menghancurkan. Ini menunjukkan bahwa ketika pemimpin memberi ruang yang aman dan tulus, rakyat akan memilih ekspresi yang lebih beradab. Kekerasan adalah jalan terakhir, bukan pilihan utama.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa banyak kerusuhan sosial justru lahir dari rasa tidak didengar. Ketika suara rakyat dibungkam, ketika aspirasi dikerdilkan menjadi formalitas birokrasi, maka yang lahir bukan dialog, tetapi dendam. Di sinilah pentingnya peran pemimpin sebagai penjaga harmoni. Bukan sekadar penegak aturan, tetapi penafsir nilai. Seorang pemimpin sejati mengerti bahwa hukum tanpa kemanusiaan hanyalah alat kekuasaan yang kaku. Sebaliknya, kemanusiaan tanpa hukum akan melahirkan kekacauan. Keseimbangan itulah yang ditunjukkan oleh para pemimpin di Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara.

Tentu kita tidak bisa mengidealisasi sepenuhnya. Tidak ada pemimpin yang sempurna, tidak ada rakyat yang sepenuhnya rasional. Tetapi dalam hubungan sosial, yang dibutuhkan bukan kesempurnaan, melainkan “ketulusan dan keberanian untuk hadir secara otentik”. Inilah nilai eksistensial yang paling dasar: menjadi manusia yang jujur terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Ketika pemimpin dan rakyat hadir dalam perjumpaan yang otentik, maka relasi kuasa berubah menjadi relasi kemanusiaan.

Banyak yang lupa bahwa politik pada dasarnya adalah ruang etis. Ia adalah tempat di mana manusia bertemu untuk merancang masa depan bersama. Ketika politik dirusak oleh ambisi dan ketakutan, maka kekerasan menjadi keniscayaan. Tetapi ketika politik dijalankan dengan kasih, dengan niat luhur untuk memanusiakan satu sama lain, maka bahkan demonstrasi yang panas sekalipun bisa menjadi momen persaudaraan.

Nilai-nilai lokal juga ikut menopang fenomena ini. Di Yogyakarta, misalnya, ada nilai luhur dalam budaya Jawa yang mengajarkan harmoni dan tata krama. Di Maluku Utara, nilai pela gandong menjadi tali perekat antar manusia lintas identitas. Di Jawa Barat, semangat silih asah, silih asih, dan silih asuh menciptakan budaya saling jaga. Di Lampung, nilai-nilai adat dan kekeluargaan Fiil Pasenggiri; menumbuhkan sikap saling menghormati. Budaya ini tidak bisa dianggap remeh. Mereka adalah fondasi moral yang membuat masyarakat mampu menyuarakan haknya tanpa kehilangan rasa hormat terhadap tatanan.

Maka keberhasilan ini bukanlah hasil dari satu faktor saja. Ia adalah akumulasi dari kesadaran, nilai, kepemimpinan, dan partisipasi. Ia adalah buah dari filsafat yang hidup; bukan filsafat yang hanya tertulis di buku, tetapi yang meresap dalam tindakan sosial. Filsafat manusia bukan wacana abstrak. Ia adalah napas dari setiap relasi yang adil dan bermartabat.

Kita harus belajar dari peristiwa ini. Kita harus berhenti melihat demonstrasi sebagai musuh, dan mulai melihatnya sebagai dialog. Kita harus membangun pemimpin yang tidak alergi pada kritik, dan rakyat yang tidak mudah terbakar oleh kemarahan. Kita harus menciptakan ruang di mana suara dan telinga sama-sama terbuka. Sebab itulah hakikat kehidupan bersama: saling hadir, saling menyambut, saling mendengar. Dan yang lebih penting dari semua itu, kita harus menghidupkan kembali etika dalam politik. Etika yang lahir dari kesadaran akan kesamaan martabat manusia. Etika yang menghindari kekerasan karena percaya bahwa manusia bisa bicara sebagai sesama. Etika yang membangun masa depan bukan di atas rasa takut, tapi di atas kepercayaan. Sebab kekuasaan yang paling kuat bukan yang lahir dari senjata, tapi yang lahir dari hati yang bersih. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Hukum Universitas Malahayati Tanamkan Jiwa Kewirausahaan Berbasis Hukum Bisnis di SMA Negeri 7 Bandar Lampung

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati (FH Unmal) kembali menunjukkan komitmennya dalam menumbuhkan kesadaran hukum sejak dini. Melalui program Pengabdian kepada Masyarakat (Pengmas), FH Unmal hadir di SMA Negeri 7 Bandar Lampung, Kamis (21/8/2025), dengan mengangkat tema penting: “Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan dalam Perspektif Hukum Bisnis.”

Kegiatan ini dipimpin langsung oleh dua dosen FH Unmal, Dr. Muhammad Kadafi, S.H., M.H. dan Dr. Rissa Afni Martinouva, S.H., M.H., serta melibatkan mahasiswa lintas angkatan. Suasana berlangsung interaktif dan penuh antusiasme. Para siswa diajak berdiskusi tentang bagaimana hukum bisnis menjadi landasan penting dalam menjalankan kewirausahaan, khususnya di sektor ekonomi dan bisnis di Indonesia.

Dekan FH Unmal, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H., menegaskan bahwa kegiatan ini lebih dari sekadar rutinitas akademik.

“Pengabdian masyarakat ini bukan sekadar rutinitas akademik, tetapi wujud nyata kontribusi kami kepada masyarakat. Kami ingin menanamkan kesadaran hukum sejak dini kepada generasi muda,” ujarnya.

Dalam sesi utama, para siswa mendapatkan pemahaman mendalam mengenai proses kewirausahaan, hak dan kewajiban wirausaha, serta pentingnya perlindungan hukum bagi usaha yang dijalankan. Dr. Rissa Afni Martinouva menekankan bahwa kewirausahaan tidak hanya tentang membuka usaha, tetapi juga bagaimana usaha tersebut memiliki dasar hukum yang kuat.

“Edukasi ini penting agar para siswa memahami hukum dengan baik, bukan sekadar formalitas, melainkan juga bentuk tanggung jawab sebagai warga negara,” jelas Rissa.

Selain memberikan penyuluhan hukum, FH Unmal juga memperkenalkan keunggulan Program Studi Ilmu Hukum Universitas Malahayati serta peluang Beasiswa KIP Kuliah 2026. Langkah ini merupakan bentuk dukungan FH Unmal terhadap pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.

“Kami ingin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan tinggi,” tambah Rissa.

Tak hanya bermanfaat bagi para siswa, kegiatan ini juga menjadi wadah pengembangan diri bagi mahasiswa FH Unmal. Mereka berkesempatan melatih kemampuan public speaking, komunikasi efektif, negosiasi, hingga pemecahan masalah hukum secara langsung di tengah masyarakat.

“Belajar hukum tidak cukup hanya di kelas. Mahasiswa harus terjun langsung, menghadapi audiens yang beragam, dan mampu menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami. Dari sini mereka juga belajar pentingnya hukum bagi wirausaha,” pungkas Rissa.

Dengan kegiatan ini, FH Unmal tidak hanya meneguhkan peran akademisi dalam memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, tetapi juga berupaya mencetak generasi muda yang sadar hukum dan siap menghadapi tantangan dunia usaha secara cerdas dan bertanggung jawab. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Semarak Festival Senam SKJ 2025, Universitas Malahayati Bersama Kemenpora Bangun Kebugaran, Eratkan Persatuan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati bekerja sama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI sukses menggelar “Festival Senam SKJ 2025” dengan tema Sehat, Kompak, Jaya (SKJ). Kegiatan ini berlangsung meriah di pelataran Rektorat Universitas Malahayati pada Minggu (31/8), dan diikuti dengan penuh antusias oleh sekitar 400 mahasiswa Universitas Malahayati.

Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor IV Universitas Malahayati, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya olahraga bersama sebagai wadah memperkuat kebersamaan di tengah mahasiswa sekaligus menjaga kebugaran jasmani.

“Senam SKJ bukan sekadar gerakan olahraga, tetapi juga simbol kekompakan dan semangat persatuan. Kami berharap kegiatan ini menjadi rutinitas positif yang memupuk rasa kebersamaan sekaligus menjaga kesehatan civitas akademika Universitas Malahayati,” ujar Suharman.

Turut hadir dalam kegiatan ini para pimpinan kampus, di antaranya Wakil Rektor II, Drs. Nirwanto, M.Kes., Wakil Rektor III, Dr. Eng Rina Febrina, ST., MT., Kepala Biro, serta Kepala Bagian Universitas Malahayati. Kehadiran para pejabat kampus ini menambah semarak sekaligus menunjukkan dukungan penuh terhadap upaya membangun pola hidup sehat di lingkungan perguruan tinggi.

Suasana festival semakin meriah dengan adanya pembagian doorprize menarik dan hiburan yang menambah keceriaan peserta. Mahasiswa yang hadir tampak bersemangat mengikuti setiap gerakan senam, sambil sesekali bersorak riang saat nomor undian doorprize diumumkan.

Dengan semangat “SKJ: Sehat, Kompak, Jaya”, Universitas Malahayati bersama Kemenpora berharap kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang olahraga, tetapi juga menjadi wahana mempererat persaudaraan antar mahasiswa sekaligus mendorong lahirnya generasi muda yang sehat, bugar, dan penuh energi positif. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Lari Meninggalkan Negeri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hiruk-pikuk negeri ini belum reda, tetapi berita tak sedap melintas di media sosial. Bagaimana anggota terhormat, yang dipersoalkan oleh rakyat karena ucapan dan perbuatannya yang melukai. Ternyata sudah pergi ke luar negeri tentu dengan berbagai alasan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral dan politik yang mereka emban. Fenomena ini bukan hanya menunjukkan kelalaian pribadi, tetapi juga mengungkapkan ketidaksesuaian dalam struktur sosial-politik yang lebih luas. Untuk menggali lebih dalam mengenai fenomena tersebut, kita akan menggunakan berbagai teori filsafat kontemporer yang membahas kebebasan, tanggung jawab, etika politik, serta dinamika sosial dalam dunia modern.

Filsafat eksistensialisme, dengan tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, memberikan pandangan yang menarik terkait fenomena “lari dari tanggung jawab”. Eksistensialisme menekankan pada kebebasan individu untuk membuat pilihan, namun dengan kebebasan tersebut datang pula tanggung jawab besar. Sartre dalam karyanya, Being and Nothingness, menyatakan bahwa manusia terlahir bebas, namun kebebasan tersebut adalah “kutukan” karena membawa tanggung jawab yang tidak bisa dihindari. Setiap pilihan yang diambil oleh individu, kata Sartre, menciptakan dunia bagi diri mereka sendiri dan orang lain.

Ketika seorang politisi memilih untuk meninggalkan negara mereka di tengah krisis, keputusan ini bisa dipahami sebagai penghindaran terhadap tanggung jawab mereka. Menurut Sartre, tindakan tersebut mencerminkan ketidakmampuan untuk bertindak autentik dan menerima tanggung jawab moral. Politisi yang melarikan diri dari krisis tidak hanya menghindari situasi yang sulit, tetapi mereka juga mengabaikan peran mereka dalam masyarakat yang telah memberi mereka kekuasaan dan kepercayaan untuk bertindak demi kepentingan umum.

Sebagai seorang wakil rakyat, politisi tersebut seharusnya memahami bahwa tanggung jawab mereka bukan hanya terhadap diri mereka sendiri, tetapi juga terhadap rakyat yang telah memilih mereka. Dengan memilih untuk melarikan diri, mereka menunjukkan kegagalan dalam menghadapi “ketidakpastian eksistensial” yang menjadi bagian dari kehidupan politik. Sartre mengajarkan bahwa untuk menjadi manusia yang otentik, seseorang harus mengakui tanggung jawab yang datang dengan kebebasan. Dalam politik, ini berarti bahwa seorang politisi harus siap menghadapi tantangan dan konflik, bukan mencari pelarian.

Menurut Heidegger, manusia seringkali terjebak dalam “kebiasaan” atau rutinitas yang mengabaikan pertanyaan mendalam tentang keberadaan mereka. Politisi yang lari bisa dilihat sebagai contoh seseorang yang “terjatuh” dalam rutinitas kekuasaan dan kenyamanan pribadi, dan mengabaikan tugas untuk berhubungan dengan masalah eksistensial yang lebih besar, tugas mereka untuk bertindak demi kebaikan bersama dalam situasi krisis. Heidegger menekankan pentingnya “berada di dunia” secara autentik, yang dalam konteks ini berarti menerima tugas yang dihadapi oleh politisi untuk berjuang demi negara dan rakyat, bukan melarikan diri.

John Rawls, dalam bukunya yang terkenal A Theory of Justice, mengemukakan dua prinsip utama keadilan yang relevan dalam konteks ini: (1) setiap individu harus memiliki kebebasan dasar yang sama, dan (2) ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut menguntungkan mereka yang paling terpinggirkan dalam masyarakat. Dalam kerangka ini, kita dapat melihat tindakan politisi yang meninggalkan negeri mereka sebagai pengabaian terhadap prinsip pertama dan kedua keadilan yang Rawls ajukan. Ketika politisi tersebut memilih untuk pergi ke luar negeri, mereka tidak hanya mengabaikan kewajiban mereka untuk memperjuangkan kebebasan dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan dalam cara mereka merespons kesulitan sosial. Rakyat yang membutuhkan dukungan selama krisis ditinggalkan, sementara politisi yang seharusnya memperjuangkan keadilan sosial justru mencari kenyamanan di luar negeri.

Rawls berargumen bahwa dalam sebuah masyarakat yang adil, struktur sosial harus dirancang sedemikian rupa sehingga ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika hal itu meningkatkan kesejahteraan bagi mereka yang paling kurang beruntung. Oleh karena itu, tindakan lari dari tanggung jawab ini bertentangan dengan prinsip dasar keadilan sosial, karena politisi yang seharusnya berada di garis depan dalam mengatasi ketidaksetaraan dan kesulitan, justru memilih untuk menghindar.

Prinsip difference dalam teori Rawls juga dapat diterapkan dalam menganalisis fenomena ini. Prinsip ini menyatakan bahwa ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika itu menguntungkan mereka yang paling rentan. Dengan kata lain, politisi yang melarikan diri selama masa krisis tidak hanya mengabaikan tanggung jawab mereka untuk mengatasi ketidaksetaraan, tetapi juga melanggar kewajiban moral mereka untuk memanfaatkan posisi mereka untuk memperbaiki nasib yang kurang beruntung. Dalam konteks ini, meninggalkan negara adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan yang seharusnya mereka jaga.

Dalam masyarakat modern yang terstruktur oleh neoliberalisme, individu seringkali lebih dipandang sebagai konsumen daripada sebagai bagian dari sebuah kolektivitas sosial yang lebih besar. Zygmunt Bauman, dalam karya-karyanya seperti Liquid Modernity, menjelaskan bagaimana dunia modern bergerak menuju individualisme yang semakin kuat. Dalam konteks politik, fenomena politisi yang memilih melarikan diri ke luar negeri dapat dipahami sebagai bentuk penghindaran terhadap ketidakpastian, sebuah ciri khas masyarakat cair yang diwarnai oleh kepentingan pribadi, konsumerisme, dan keinginan untuk menghindari tanggung jawab kolektif.

Dalam dunia yang dipengaruhi oleh neoliberalisme, politisi lebih cenderung untuk memprioritaskan kenyamanan pribadi, status sosial, dan kepentingan finansial mereka sendiri daripada kepentingan publik. Bauman berpendapat bahwa dalam masyarakat yang semakin mengedepankan kepemilikan dan konsumerisme, individu cenderung mengejar kebebasan yang bersifat material, yaitu kebebasan dari kesulitan, dari penderitaan, dan dari ketidakpastian. Dalam hal ini, politisi yang meninggalkan negeri adalah contoh dari kecenderungan ini, yang lebih memilih melarikan diri ke negara yang lebih aman secara sosial dan ekonomis, tanpa memikirkan nasib mereka yang tertinggal di dalam negeri.

Neoliberalisme, dengan penekanannya pada kebebasan individual dan pasar bebas, menciptakan individu yang lebih fokus pada pencapaian pribadi daripada pada kewajiban sosial. Tindakan politisi yang melarikan diri dapat dilihat sebagai dampak langsung dari logika neoliberalisme yang mengedepankan pemenuhan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama.

Hannah Arendt, seorang filsuf politik terkemuka, menekankan bahwa tindakan politik merupakan inti dari kebebasan dan keberadaan manusia dalam ruang publik. Dalam karya-karyanya seperti The Human Condition, Arendt menjelaskan bahwa politik adalah tentang tindakan kolektif yang memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama dan menciptakan dunia yang lebih baik. Politik, bagi Arendt, bukan hanya soal kekuasaan atau pemerintahan, tetapi juga soal kehadiran manusia yang aktif dalam kehidupan publik.

Bagi Arendt, kebebasan politik dapat terwujud hanya melalui tindakan bersama dalam ruang publik, yang menciptakan saling pengertian dan persatuan dalam menghadapi tantangan sosial. Ketika seorang politisi memilih untuk melarikan diri, mereka tidak hanya menghindari tugas mereka, tetapi juga menghancurkan makna dari kebebasan politik itu sendiri. Tindakan lari ini mengarah pada pengabaian terhadap prinsip dasar demokrasi, yaitu partisipasi aktif dalam kehidupan politik dan komitmen untuk kesejahteraan bersama.

Arendt juga menekankan bahwa tanggung jawab politik tidak hanya berkaitan dengan individu, tetapi juga dengan komunitas secara keseluruhan. Ketika seorang politisi melarikan diri, mereka secara tidak langsung mengabaikan prinsip ini, karena mereka tidak lagi berkomitmen untuk menjaga kebebasan dan kebaikan bersama. Dalam pandangan Arendt, kebebasan politik bukan hanya soal hak untuk membuat pilihan, tetapi juga tentang tanggung jawab terhadap masyarakat yang lebih besar.

Dapat disimpulkan bahwa fenomena politisi yang melarikan diri ke luar negeri di tengah krisis negara menunjukkan sebuah kegagalan moral dan etika yang serius dalam politik. Menggunakan perspektif filsafat kontemporer, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan ini bukan hanya sebuah penghindaran terhadap tanggung jawab pribadi, tetapi juga sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip dasar keadilan sosial, kebebasan politik, dan tanggung jawab kolektif.

Politisi yang melarikan diri bukan hanya kehilangan kredibilitas sebagai pemimpin, tetapi mereka juga merusak integritas sistem politik yang mengharapkan mereka untuk berkontribusi pada perubahan positif. Dalam masyarakat demokratis, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk bekerja bersama demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, tindakan “lari meninggalkan negeri” ini harus dilihat sebagai tanda dari krisis dalam sistem politik yang lebih besar, dan memerlukan refleksi mendalam tentang etika, moralitas, dan tanggung jawab dalam kepemimpinan. Namun, harus diakui ditengah-tengah mereka masih ada mutiara-mutiara yang indah bekerja dalam diam. Mereka tidak ikut berjingkrak- jingkrak saat rakyat sedang menderita, mereka bicara tidak asal bunyi, dan mereka tetap santun mau mendengar dan menyadari untuk berubah sesuai norma dan etika kepatutan. Selamat berjuang dalam sunyi wahai orang-orang baik. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Jongos Serasa Bos (Ketika Wakil Rakyat Kehilangan Martabat)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hiruk-pikuk media sosial akhir-akhir ini, salah satu diantaranya disebabkan oleh kata “Tolol se-dunia”, yang diucapkan oleh orang yang seharusnya tidak mengucapkan. Akhirnya saat mendapat respon tantangan debat, mulai keluar jurus “hindar di luar nalar”. Tampaknya negeri ini mengalami keadaan dimana pilihan wakilnya merasa menjadi raja. Tidak sadar bahwa dirinya wakil, bukan majikan. Begitu majikannya meminta sesuatu, kenyataan dibalik bahwa “jongos serasa bos”.

Pada kehidupan demokrasi, seorang wakil rakyat wajib menyadari bahwa mereka adalah pelayan, bukan penguasa. Namun kini, muncul fenomena yang menyiratkan sebaliknya, politisi yang merasa berada di atas rakyat. Mereka menggerakkan panggung publik bukan sebagai abdi, melainkan seperti tuan. Saya menyebutnya, dalam bahasa satir sekaligus kritis: “Jongos Serasa Bos.”

Istilah “jongos” secara budaya adalah: figur yang tunduk total, mencari kesenangan tuan, dan kehilangan keberanian berdaulat. Ketika mental semacam itu berpadu dengan posisi formal di legislatif atau eksekutif, maka hal yang ironis pun terjadi. Politisi lupa statusnya sebagai pelayan, justru menganggap dirinya bos yang berhak menghina dan memerintah siapa saja termasuk yang memilihnya. Melalui tulisan ini mengajak kita menyelami mentalitas dan praktik politik yang mengikis esensi publik, menyuguhkan kritik, dan menawarkan refleksi; agar demokrasi bukan sekadar sistem, melainkan peradaban beretika yang harus dijunjung tinggi.

Dalam budaya kita, “jongos” bukan sekadar pembantu. Ia adalah simbol mentalitas penjajahan: figur yang hidup dalam ketiadaan keberanian, mengikuti perintah atasan demi keamanan, dan bukan nilai. Sebagai simbol, jongos mencerminkan ketundukan yang buta terhadap kekuasaan.

Mudji Sutrisno bahkan memasukkan konsep “jongos” ke dalam kritik terhadap politik orbitalisme: pola relasi kuasa tempat bawahan tunduk tanpa suara, yang memicu siklus kekuasaan dan penundukan budaya. Mental jongos inilah yang merendahkan rasa kedaulatan rakyat . Kini, mentalitas ini tak lagi berada di sektor swasta atau rumah tangga saja, tetapi merambah lembaga politik. Inilah yang membuat istilah “jongos serasa bos” terasa begitu tajam dalam konteks wakil rakyat yang bersikap arogan dan seakan-akan tunduk kepada kekuasaan pribadi, bukan kewajiban publik.

Seharusnya, politisi berdialog untuk melayani kebutuhan masyarakat. Tapi saat ini, terlalu banyak pemain politik yang lebih memilih gaya paternalistik, memerintah, atau menghina. Dalam lingkungan legislatif atau pemerintahan, cara ini bukan hanya menjauhkan kritikus, tapi melemahkan deliberasi. Bahasa politik yang seharusnya membangun kini menjadi alat intimidasi: kritikus disebut bodoh, lawan politik dilabeli tolol. Itu tanda degradasi intelektualitas. Akibatnya memosisikan dirinya jauh di atas rakyat, padahal seharusnya duduk di bawah dalam struktur tanggung jawab demokrasi.

Ideologi “jongos serasa bos” akan makin berbahaya jika lembaga etika tidak tegas. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) semestinya menjadi tameng moral, tapi tidak jarang dipolitisasi. Intervensi dilembagakan sebagai humor politik atau dibela atas nama imunitas; padahal yang dihina bukan hanya individu, tetapi martabat lembaga. Tanpa konsistensi etik, parlemen kehilangan imprimatur.

Rakyat melihat frasa kasar digunakan sebagai alat kampanye, lalu menganggapnya itu sebagai sesuatu yang normal, bahkan santai. Aspirasi demokrasi terkikis, digantikan sikap defensif dan permisif terhadap gaya politik destruktif.

Fenomena “jongos serasa bos” adalah alarm serius bahwa demokrasi bisa disewa oleh mentalitas kebalik-balik. Ketika wakil rakyat merasa berada di atas bukan karena mandat, tapi karena narasi kekuasaan. Ini merupakan ancaman untuk tumbuh-kembangnya demokrasi secara baik.

Mari hentikan kebanggaan yang manipulatif. Selamatkan wajah parlemen. Karena bila wakil rakyat kembali menjadi abdi yang bukan menindas, maka kita bergerak mendekati demokrasi sejati.
“Jongos serasa bos” bukan hanya sebuah frasa tanpa makna. Ia adalah sindiran tajam atas mentalitas politik yang salah arah. Ia adalah penanda, bahwa wakil rakyat lupa bahwa mereka dibayar rakyat, bukan sebaliknya.

Jika demokrasi adalah pemerintahan rakyat, maka pejabat harus menyadari perannya sebagai abdi, bukan bos. Kita harus menuntut bahasa yang bermartabat, lembaga yang tegas, dan politisi yang berintegritas. Dengan begitu, demokrasi bukan sekadar sistem, tetapi peradaban yang menjunjung tinggi martabat dan akal sehat. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa KKLPPM Universitas Malahayati Luncurkan Program BESTARI, Hadirkan Roket Stove: Inovasi Pembakaran Sampah Bersih dan Edukasi Kesehatan

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa Kelompok 08 KKLPPM Universitas Malahayati melaksanakan program kerja unggulan bertajuk BESTARI (Bersama Tangani Stunting dan Kelola Sampah Mandiri) di Pekon Antar Brak, Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus. Program ini tidak hanya menjadi wujud pengabdian kepada masyarakat, tetapi juga sebagai bentuk implementasi ilmu lintas bidang yang diterapkan untuk memecahkan masalah sosial, kesehatan, lingkungan, dan ekonomi.

Permasalahan stunting masih menjadi isu utama di wilayah pedesaan, salah satunya dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran akan pola hidup bersih dan sehat. Selain itu, pengelolaan sampah yang belum optimal berpotensi menciptakan lingkungan tidak sehat yang memperburuk kondisi kesehatan masyarakat. Tidak kalah penting, faktor ekonomi keluarga juga berperan besar terhadap pemenuhan gizi anak, sehingga penguatan ekonomi menjadi bagian strategis untuk menekan angka stunting.

Oleh karena itu, program ini dirancang secara komprehensif melalui tiga pendekatan utama: edukasi kesehatan, inovasi pengelolaan sampah, dan pemberdayaan ekonomi kreatif melalui Pasar Kreatif. Melalui kegiatan bazar UMKM ini, Masyarakat khususnya para ibu didorong untuk lebih melek potensi usaha lokal sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Dengan adanya peningkatan ekonomi rumah tangga, diharapkan pemenuhan gizi anak juga lebih baik, yang pada akhirnya membantu pencegahan stunting.

Program Utama BESTARI merupakan inti dari seluruh rangkaian kegiatan pengabdian. Program ini dirancang untuk menjawab dua persoalan besar: pencegahan stunting dan pengelolaan sampah secara mandiri.
Salah satu kegiatan utamanya adalah Sosialisasi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) di SDN 1 Antar Brak pada 11 Agustus 2025. Edukasi ini diikuti oleh sekitar 60 siswa dengan tujuan meningkatkan pemahaman anak-anak tentang kebiasaan sederhana yang berdampak besar terhadap kesehatan, seperti mencuci tangan pakai sabun, menjaga kebersihan diri, dan membiasakan pemilahan sampah. Kegiatan ini penting karena perilaku hidup bersih sejak usia dini dapat mengurangi risiko penyakit menular serta mendukung upaya pencegahan stunting.

Inovasi lain yang dihadirkan adalah pembuatan media pembakaran sampah (incinerator sederhana berbasis roket stove). Alat ini bukan sekadar tungku pembakar, tetapi dirancang dengan prinsip pembakaran sempurna sehingga mengurangi asap dan emisi berbahaya. Roket stove memiliki ruang bakar yang memanfaatkan aliran udara (draft) secara optimal, sehingga proses pembakaran berlangsung lebih cepat dan hemat bahan bakar. Dengan desain ini, sampah kering dapat habis terbakar dengan lebih efisien tanpa menimbulkan bau menyengat maupun polusi berlebihan.

Keunggulan roket stove adalah kemudahan perakitan menggunakan bahan lokal, biaya rendah, dan ramah lingkungan. Alat ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengurangi timbunan sampah rumah tangga, sehingga mengurangi risiko pencemaran yang sering menjadi pemicu penyakit. Selain itu, inovasi ini bersifat edukatif karena masyarakat tidak hanya menggunakan, tetapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan, sehingga mereka memahami prinsip kerja dan manfaatnya.

Sebagai pelengkap, kelompok juga membuat bagan edukasi waktu penguraian sampah yang dipasang di titik strategis desa. Bagan ini memberikan informasi tentang lamanya sampah organik dan anorganik terurai, sehingga masyarakat terdorong untuk lebih bijak dalam menggunakan plastik dan barang sekali pakai.
Program Pendukung: Edukasi Kesehatan, Sosial, dan Digital

Untuk memperkuat dampak program, kelompok menyelenggarakan berbagai sosialisasi yang relevan dengan isu remaja dan masyarakat.
– Bahaya Napza: Sosialisasi ini bertujuan meningkatkan kesadaran remaja terhadap dampak negatif penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan, masa depan, dan lingkungan sosial mereka. Materi disampaikan dengan pendekatan interaktif agar lebih mudah dipahami dan diingat.
– Pencegahan Pernikahan Dini: Dilaksanakan di SMK PGRI 1 Limau, program ini mengedukasi siswa tentang risiko pernikahan usia muda, termasuk kaitannya dengan stunting akibat kehamilan yang belum siap secara biologis dan psikologis.
– Bahaya Pacaran Bagi Remaja: Mengingat meningkatnya kasus pacaran usia sekolah yang berdampak pada prestasi dan psikologi remaja, sosialisasi ini hadir untuk memberikan pemahaman bahwa membangun masa depan lebih penting daripada hubungan yang belum saatnya.
– Bullying: Sosialisasi ini fokus pada dampak negatif perundungan terhadap kesehatan mental, hubungan sosial, dan prestasi akademik. Peserta diajak memahami cara menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan menghargai perbedaan.
– Edukasi Digital dan Penggunaan AI: Di era teknologi, literasi digital menjadi kebutuhan. Melalui program ini, masyarakat diajarkan cara memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk belajar, mencari peluang usaha, dan menghindari penyalahgunaan teknologi.
– Nilai Keagamaan: Kegiatan keagamaan seperti pengajian bersama warga juga menjadi bagian penting. Program ini tidak hanya mengajarkan tentang nilai spiritual tetapi juga mengaitkannya dengan pola hidup sehat dan bersih sesuai ajaran agama.

Sebagai wujud dukungan terhadap perekonomian masyarakat, kelompok menginisiasi Pasar Kreatif dengan tema “UMKM Halal dan Kreatif untuk Mewujudkan Pekon Antar Brak Mandiri”. Kegiatan ini menghadirkan bazar UMKM lokal, memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk memasarkan produk mereka, serta membekali mereka dengan informasi tentang pengurusan sertifikasi halal dan strategi pemasaran yang kreatif.

Dengan adanya Pasar Kreatif, masyarakat tidak hanya mendapatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan, tetapi juga memperoleh wawasan tentang pentingnya inovasi produk agar lebih kompetitif. Langkah ini diharapkan menciptakan ekosistem ekonomi desa yang mandiri dan berkelanjutan.

“Program ini bukan sekadar pengabdian, tapi kolaborasi lintas bidang untuk solusi yang berkelanjutan,” ujar Hilyazori, Ketua Kelompok 08. “Kami bangga mahasiswa bisa membawa inovasi yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, dari pencegahan stunting hingga pengelolaan sampah,” tambah Muslih, S. H.I,. M. H.I selaku DPL.

Program BESTARI mendapat sambutan positif dari masyarakat Pekon Antar Brak. Kepala Lingkungan Pekon Antar Brak, Ade Priyatna, menyampaikan apresiasinya: “Program ini sangat membantu kami dalam memberikan pemahaman kepada warga tentang stunting dan pengelolaan sampah. Inovasi roket stove juga sangat bermanfaat karena ramah lingkungan dan mudah digunakan.”

Salah satu warga, Elly, mengungkapkan pengalamannya: “Selama ini kami kurang tahu cara mengelola sampah dengan benar. Dengan adanya sosialisasi dan pembuatan roket stove, kami jadi lebih paham dan siap menerapkan di rumah.”

Sementara itu, siswa SDN 1 Antar Brak, Adiba (kelas II), juga merasa senang mengikuti sosialisasi PHBS:
“Sekarang saya tahu kalau cuci tangan pakai sabun itu penting supaya tidak sakit. Saya juga jadi tahu kalau sampah harus dipisah.”

Fakta Singkat
1. Lokasi : Pekon Antar Brak, Kecamatan Limau, Kabupaten Tanggamus.
2. Tema : Edukasi Stunting, dan Pengelolaan Sampah
3. Pelaksana : Kelompok 08 KKL-PPM Universitas Malahayati
4. Kegiatan : Sosialisasi stunting, Bahaya Napza, Perikahan Dini, Bahaya Pacaran, Bulliying, Edukasi Penggunaan AI, PHBS, Pasar Kreatif, Pembuatan Media Pembakaran Sampah, Pembuatan Bagan Waktu Dekomposisi Sampah, Pendampingan posyandu, Nilai Keagamaan dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
5. Mitra : Pemerintah Pekon, Puskesmas Antar Brak, SDN 1 Antar Brak, SDN 2 Antar Brak, SMPN 1 Limau, SMK PGRI 1 Limau.

Langkah selanjutnya meliputi pendampingan kader pekon dalam penggunaan media pembakaran sampah, monitoring implementasi PHBS, pemasangan media edukasi lanjutan, serta penguatan literasi digital masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Gelar Yudisium ke-38, Cetak 22 Sarjana Baru

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Universitas Malahayati kembali mencetak generasi penerus bangsa melalui prosesi Yudisium ke-38 yang digelar di Gedung Malahayati Convention Center (MCC), Kamis (28/8/2025).

Mengusung tema “Bersama Berkarya, Membangun Negeri: Dari Kampus Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Menuju Generasi Emas Indonesia”, acara ini menjadi momen penting bagi 22 mahasiswa yang resmi dikukuhkan sebagai sarjana. Mereka terdiri dari 16 lulusan Program Studi Manajemen dan 6 lulusan Program Studi Akuntansi.

Ketua Yudisium, Indah Lia Puspita, S.E., M.Si., memimpin langsung jalannya acara yang berlangsung khidmat. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Dekan FEM Dr. Rahyono, S.Sos., M.M., Kaprodi Manajemen Dr. Febrianty, S.E., M.Si., Kaprodi Akuntansi Muhammad Luthfi, S.E., M.Si., serta seluruh dosen FEM yang memberikan dukungan penuh bagi para peserta yudisium.

Dalam sambutannya, Wakil Rektor IV Universitas Malahayati, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., yang turut hadir memberikan sambutan mewakili Rektor, berharap lulusan FEM dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa.
“Saya berharap lulusan Fakultas Ekonomi dan Manajemen mampu menjadi sarjana yang cakap, cerdas, dan siap bersaing di dunia kerja. Tidak hanya itu, lulusan FEM juga harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat membantu mengurangi angka pengangguran di negeri ini,” tegasnya.

Sementara itu, Dekan FEM Dr. Rahyono, S.Sos., M.M. menyampaikan rasa bangga sekaligus pesan mendalam bagi para lulusan.
“Selamat menempuh fase baru kehidupan. Almamater ini adalah rumah yang melahirkan ilmu dan karakter. Jadikanlah bekal ini sebagai cahaya untuk berkarya dan membangun negeri,” ujarnya.

Momen membanggakan juga datang dari para lulusan terbaik. Dari Prodi Akuntansi, predikat lulusan terbaik diraih oleh Ade Kurniawati (NPM 21210001) dengan IPK 3,97. Sementara dari Prodi Manajemen, gelar mahasiswa terbaik diraih oleh Anis Hermayana (NPM 21220020) dengan IPK 3,95. Prestasi ini menjadi bukti nyata dedikasi dan kerja keras mahasiswa FEM Universitas Malahayati selama menempuh pendidikan.

Yudisium ini bukan hanya menjadi ajang penyerahan gelar, tetapi juga momentum melepas para sarjana untuk siap berkarya, berkontribusi, dan membawa nama baik Universitas Malahayati di masyarakat maupun dunia kerja.

Dengan terselenggaranya yudisium ke-38 ini, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati kembali menegaskan komitmennya dalam mencetak lulusan berkualitas yang siap bersaing di era global dan turut serta membangun negeri menuju Generasi Emas Indonesia.