Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari ini media sosial diramaikan dengan “seruan” sebagian orang untuk tidak dulu mengibarkan bendera lambang negara, tetapi menggantikannya dengan bendera tertentu yang melambangkan kekecewaan. Hal itu sah-sah saja di negara yang demokratis; namun juga sah-sah saja untuk bersikap tidak membersamai seruan itu, dengan alasan tertentu pula.
Tulisan ini tidak ingin memperkeruh suasana atau juga tidak nimbrung begitu saja; namun mencoba berbicara dari sisi lain.
Bendera adalah sebuah simbol. Ia tidak sekadar kain berwarna yang dikibarkan di tiang-tiang tinggi, melainkan lambang dari identitas, harapan, dan perjuangan. Dalam setiap helai bendera terkandung narasi panjang tentang sejarah, darah, air mata, dan mimpi sebuah bangsa. Namun di balik kibaran bendera yang megah, sering tersembunyi kisah manusia yang penuh cinta dan luka.
Bendera bukanlah benda mati. Seperti yang dijelaskan oleh filsuf semiotika Charles Sanders Peirce dan Roland Barthes, sebuah simbol mengandung makna yang jauh melampaui wujud fisiknya. Bendera adalah tanda yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih besar: identitas sebuah bangsa, sejarah panjang perjuangan, serta harapan masa depan.
Dalam konteks bangsa Indonesia, bendera Merah Putih bukan hanya warna, tapi sebuah narasi: merah melambangkan keberanian dan semangat juang, putih melambangkan kemurnian dan niat suci.
Dengan mengibarkan bendera, seseorang secara kolektif mengekspresikan rasa bangga dan loyalitas terhadap bangsa. Namun, kita perlu mempertanyakan: apakah simbol ini selalu mampu menyampaikan kebenaran dan keotentikan pengalaman manusia? Sejauh mana simbol kebangsaan dapat menjembatani jarak antara individu dan negara, antara jiwa dan kolektif? Ini adalah pertanyaan mendasar karena seringkali simbol besar seperti bendera disambut dengan kebanggaan di permukaan, sementara di dalam jiwa banyak yang merasa terasing, kecewa, bahkan terluka.
Cinta adalah konsep yang kompleks dan multidimensi dalam filsafat. Dari Plato hingga Simone de Beauvoir, cinta dipandang bukan hanya sebagai emosi, tapi sebagai kondisi eksistensial yang mendalam. Plato membedakan cinta menjadi eros (cinta yang penuh hasrat) dan agape (cinta tanpa syarat dan universal). Dalam konteks bendera dan bangsa, cinta yang dimaksud biasanya adalah cinta agape, yaitu cinta yang tidak menuntut balasan dan berdasar pada penghormatan terhadap identitas bersama.
Dari sisi humanisme, Erich Fromm dalam The Art of Loving menekankan bahwa cinta adalah seni yang harus dipelajari dan dijalani secara aktif. Cinta bukan sekadar perasaan, melainkan tindakan yang membutuhkan kesadaran, pengorbanan, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, cinta kepada bangsa harus dilandasi oleh tindakan nyata, bukan hanya simbolik semata.
Jika bendera adalah lambang cinta tanah air, maka pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah: apakah cinta itu sudah menyentuh realitas hidup manusia? Apakah negara mampu memberikan perhatian dan keadilan kepada setiap individu sehingga cinta itu tidak berujung pada kekecewaan?
Lalu, bagaimana dengan Luka ? Luka adalah pengalaman yang tak terhindarkan dalam perjalanan hidup manusia. Dalam konteks filsafat, luka bukan hanya kerusakan fisik, melainkan luka eksistensial, yaitu perasaan keterasingan, ketidakadilan, penindasan, dan kekecewaan.
Filsuf Emmanuel Levinas mengajarkan bahwa ketika rakyat merasa terabaikan, dilupakan, atau bahkan dizalimi oleh sistem sosial, mereka mengalami luka yang dalam, sebuah pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan.
Luka-luka ini sering tersembunyi di balik simbol kebangsaan. Seorang ibu yang memasang bendera di rumah reyotnya mungkin memaknai bendera itu sebagai simbol harapan, namun sekaligus sebagai pengingat akan ketidakadilan dan penderitaan yang harus ia hadapi sehari-hari. Luka ini adalah suara batin yang berteriak dalam diam, yang kerap diabaikan oleh narasi besar nasionalisme.
Oleh karena itu: bendera, cinta, dan luka, berinteraksi dalam sebuah dialektika yang rumit. Bendera sebagai simbol kebangsaan dapat menjadi sumber cinta kolektif yang menguatkan rasa identitas dan solidaritas. Namun, bila realitas sosial tidak sejalan dengan simbol itu, maka bendera juga bisa menjadi sumber luka dan kekecewaan.
Dari sisi individu, cinta kepada bangsa harus berakar pada pengalaman autentik dan kesadaran kritis. Jika cinta itu hanya berupa ritual tanpa substansi, maka cinta itu menjadi semu dan bisa menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Lebih jauh, luka yang dialami warga akibat ketimpangan sosial, diskriminasi, atau penindasan harus dibaca bukan sebagai kegagalan individu, melainkan sebagai tantangan bagi bangsa untuk memperbaiki diri. Luka ini adalah panggilan untuk refleksi moral dan etika kolektif.
Memahami hubungan antara bendera, cinta, dan luka memberikan kita beberapa pelajaran penting: Pertama, simbol tidak cukup tanpa tindakan nyata. Bendera sebagai simbol nasionalisme harus dilengkapi dengan kebijakan dan tindakan yang nyata untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat manusia.
Kedua, cinta harus dipupuk dengan kesadaran dan tanggung jawab. Cinta kepada bangsa bukan sekadar slogan, melainkan komitmen untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Sementara luka, harus menjadi bahan refleksi dan perubahan. Luka-luka sosial dan eksistensial tidak boleh diabaikan. Mengabaikan luka berarti mengabaikan kemanusiaan dan merusak fondasi bangsa. Untuk itu rakyat harus diberikan ruang untuk mengkritik dan mengembangkan diri agar cinta kepada bangsa dapat tumbuh dengan otentik, bukan sekadar dipaksakan.
Bendera, cinta, dan luka adalah tiga konsep yang saling terjalin dalam kehidupan manusia dan bangsa. Bendera sebagai simbol kebangsaan mengundang kita untuk merenungkan makna cinta yang lebih dalam dan menyadari bahwa di balik semangat nasionalisme, ada luka-luka yang perlu disembuhkan.
Kita harus belajar bahwa cinta kepada bangsa tidak boleh menjadi beban yang menyakitkan, melainkan sebuah penguatan yang lahir dari keadilan, pengakuan martabat, dan solidaritas nyata. Luka yang ada adalah panggilan untuk perubahan, untuk membangun bangsa yang tidak hanya bangga dengan benderanya, tapi juga memanusiakan seluruh rakyatnya.
Akhirnya, dengan penuh kesadaran, kita semua diundang oleh hati nurani kita sendiri, untuk mengibarkan bendera kebangsaan bukan hanya dengan tangan, tetapi dengan hati yang utuh, dan hati yang penuh cinta kepada negeri ini, serta sekaligus kesiapan untuk menyembuhkan luka negeri akibat dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Namun jika di antara kita ada keinginan untuk mengibarkan bendera lain, selain bendera resmi negeri ini, itu adalah hak individual, seperti halnya jika ada konsekwensi karena itu. Untuk pilihan yang satu ini kita berbeda dan perbedaan itu sah-sah saja. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Manajemen Universitas Malahayati Raih Juara 1 Bhayangkara Boxing Clash 2025
Kejuaraan ini digelar dalam rangka memeriahkan Hari Bhayangkara ke-79, dan diikuti oleh para petinju terbaik dari berbagai daerah. Dalam laga final yang berlangsung sengit dan penuh semangat sportivitas, Awalul tampil memukau dengan teknik dan ketangguhannya di atas ring. Ia berhasil menundukkan lawan-lawannya dengan strategi yang matang dan kekuatan yang mengesankan.
Usai kemenangan, Awalul menyampaikan rasa syukurnya atas pencapaian tersebut. Ia mengungkapkan bahwa perjuangannya tidaklah mudah, namun keyakinan dan dukungan dari sang ibu menjadi sumber kekuatan yang tak tergantikan.
“Setiap rintangan pasti ada, tapi doa ibu selalu menjadi kekuatan. Tidak ada kata mundur selagi ibu berkata bisa,” ungkap Awalul penuh haru.
Kemenangan ini tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi bagi Awalul, tetapi juga mengharumkan nama Universitas Malahayati di kancah olahraga tinju daerah. Pihak kampus memberikan apresiasi tinggi atas prestasi tersebut dan berharap semangat juang Awalul dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berprestasi di berbagai bidang.
Selamat kepada A Walul Fawaldh atas pencapaian gemilangnya! Teruslah melangkah maju dan ukir prestasi demi masa depan yang lebih cerah. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Raih Beasiswa Subsidi Unmal Padamu Negeri! Wujudkan Inpianmu di Universitas Malahayati!
Dengan semangat inklusif dan keberpihakan pada mahasiswa kurang mampu, program ini dirancang khusus untuk eks penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu, dengan berbagai keringanan biaya yang sangat membantu.
Keuntungan Program Beasiswa Subsidi Unmal: Gratis Sumbangan Wajib, beasiswa Subsidi SPP hingga 50%, cicilan SPP Mulai dari Rp 500.000/bulan. Bisa Diangsur!
Tak hanya terjangkau, pilihan fakultas di Universitas Malahayati juga sangat beragam dan relevan dengan kebutuhan zaman. Kamu bisa memilih dari berbagai program studi unggulan di: Fakultas Ilmu Kesehatan, Fakultas Teknik, Fakultas Ekonomi & Manajemen, Fakultas Hukum. Namun perlu dicatat, program ini tidak berlaku untuk Program Studi S1 Kedokteran dan S1 Farmasi.
Tempat dan Informasi Pendaftaran: Segala bentuk informasi dan pelaksanaan tes Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) hanya dilayani langsung di Gedung Rektorat Lt. 4, Universitas Malahayati: Jl. Pramuka No.27, Kemiling, Kota Bandar Lampung. Info resmi: 0811-7975-0007
Mau kuliah tapi terbatas biaya? UNMAL kasih SOLUSI-nya!
Segera daftar dan raih masa depan cerahmu bersama Universitas Malahayati! “BEASISWA SUBSIDI UNMAL – PADAMU NEGERI” adalah wujud nyata keberpihakan kampus terhadap pemerataan pendidikan tinggi untuk semua kalangan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Rumah Terakhir
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat menghadiri sebuah tauziah ditempat keluarga yang ditimpa duka karena kematian kepala keluarga; seorang penceramah muda tampil menceritakan kisah seorang tukang rumah yang telah bekerja selama 60 tahun untuk majikannya. Pada hari ia hendak mengundurkan diri, bosnya meminta satu permintaan terakhir: membangun satu rumah lagi. Sang tukang, yang sudah letih dan ingin segera pensiun, menyelesaikan rumah itu dengan terburu-buru dan tanpa semangat, bahkan cenderung sembrono. Namun, tak disangka, rumah tersebut ternyata dihadiahkan oleh sang majikan kepadanya. Betapa kecewanya sang tukang mengetahui bahwa rumah yang ia bangun asal-asalan itu justru adalah rumah yang akan ia tempati sendiri.
Kisah ini tampak sederhana, tetapi menyimpan makna filosofis yang dalam. Ia menyentuh tema-tema seperti etika kerja, tanggung jawab, makna tindakan, dan refleksi diri dalam menjalani hidup. Dalam esai ini, kita akan mengkaji kisah tersebut dari sudut pandang filsafat, terutama melalui pemikiran etika Aristotelian, filsafat eksistensialisme.
Aristoteles dalam karyanya Nicomachean Ethics mengajarkan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan akhir hidup manusia. Kebahagiaan itu bukan hasil dari kesenangan sesaat atau kekayaan material, melainkan dari hidup yang dijalani dengan keutamaan (virtue). Salah satu keutamaan yang ia tekankan adalah arête, atau keunggulan dalam menjalankan fungsi kita sebagai manusia.
Sang tukang rumah adalah pengrajin, dan tugasnya adalah membangun rumah. Keunggulan baginya adalah membangun dengan baik, penuh dedikasi, dan keahlian. Namun ketika ia membangun rumah dengan sembarangan karena sudah merasa waktunya berhenti, ia melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang pekerja yang beretika. Ia melanggar prinsip areté. Bila ia tetap menjaga kualitas pekerjaannya sampai akhir, ia akan memenuhi keutamaan dirinya. Tetapi ketika ia menyerah pada rasa jenuh dan menurunkan standar, ia tidak hanya mengecewakan bosnya, tetapi dia juga mengkhianati dirinya sendiri. Kisah ini mengajarkan bahwa tindakan kita, sekecil apapun, seharusnya mencerminkan integritas. Karena pada akhirnya, kita sering kali harus tinggal di “rumah” yang kita bangun sendiri.
Sementara dalam pandangan eksistensialisme, terutama menurut Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk bebas yang harus menciptakan esensi hidupnya melalui tindakan. Sartre terkenal dengan pernyataannya bahwa “eksistensi mendahului esensi.” Artinya, kita tidak ditentukan oleh status atau jabatan, melainkan oleh pilihan dan perbuatan kita sendiri. Sang tukang rumah, dalam kisah ini, membuat sebuah pilihan: ia memilih untuk tidak bekerja sebaik biasanya karena merasa masa pengabdiannya sudah cukup. Ia menggunakan kebebasan eksistensialnya, tetapi ia lupa bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi. Konsekuensi itu datang dalam bentuk penyesalan; karena dia menyadari bahwa tindakannya adalah cerminan dirinya.
Filsafat Eksistensialis juga berbicara tentang autentisitas. Hidup yang otentik adalah hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh bahwa setiap tindakan membentuk siapa kita. Tukang rumah yang membangun rumah asal-asalan berarti sedang “membangun” dirinya sendiri dengan cara asal-asalan pula. Dan ketika ia akhirnya harus menempati rumah itu, ia harus menerima versi dirinya yang terbentuk dari pilihan tersebut.
Kisah ini juga mengajak kita untuk memaknai pekerjaan bukan sekadar rutinitas mencari nafkah, melainkan sebagai laku spiritual. Dalam ajaran filsafat Islam, pekerjaan adalah bentuk ibadah. Setiap paku yang dipukul, setiap semen yang diaduk, setiap kata yang diucap; bila dilakukan dengan niat yang benar dan hati yang ikhlas, maka dia akan menjadi amal ibadah.
Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah hati tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga mengosongkan nilai spiritual dalam hidup kita sendiri. Sang tukang rumah telah bekerja selama 60 tahun, dan mungkin ia sudah mengumpulkan banyak pahala dari pekerjaan itu. Namun pada akhirnya, satu perbuatan buruk di akhir masa kerja mampu menghapus rasa puas terhadap seluruh pengabdiannya. Dalam hal ini, ada pesan penting: konsistensi moral dan spiritual itu penting sepanjang hidup. Tidak cukup untuk “pernah baik”; kita harus “selalu berusaha menjadi baik”, karena kita tidak tahu kapan dan di mana akhir dari perjalanan hidup kita.
Rumah dalam kisah ini bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga simbol dari kehidupan yang kita bangun sendiri. Tindakan kita, kebiasaan kita, pilihan kita, dan semuanya menjadi “batu bata” yang menyusun keberadaan kita. Ketika kita hidup dengan asal-asalan, maka kita pun membangun diri yang rapuh dan tidak tahan uji. Ketika sang tukang harus tinggal di rumah itu, ia harus tinggal dalam “hasil dirinya sendiri.” Betapa mirip dengan kenyataan hidup: kita harus tinggal dalam batin kita sendiri, menghadapi konsekuensi dari kehidupan yang telah kita bangun.
Kalau kita renungkan ada pelajaran etis yang kuat dalam kisah ini. Cerita ini mengajarkan bahwa setiap tindakan terakhir adalah potensi warisan kita. Banyak orang mengendurkan kualitas diri di akhir, karena merasa sudah cukup. Padahal, tindakan terakhir sering kali yang paling dikenang. Bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi dalam kehidupan secara umum: kita tidak tahu kapan akhir kita tiba. Mungkin hari ini adalah kesempatan terakhir kita untuk memperbaiki hubungan, untuk berbuat baik, atau untuk menunjukkan cinta dan perhatian. Dalam konteks ini, cerita sang tukang menjadi simbol penting: bahwa kita harus menyelesaikan setiap “tugas kehidupan” kita dengan kualitas terbaik. Karena siapa tahu, bahwa itu akan menjadi “hadiah” atau “warisan” yang harus kita tanggung sendiri.
Kisah tukang rumah ini juga bukan sekadar dongeng moral, melainkan cermin filosofis yang menyentuh inti kehidupan manusia. Ia mengajarkan bahwa hidup adalah proses membangun “rumah” kita sendiri melalui tindakan sehari-hari. Etika kerja, tanggung jawab, kebebasan memilih, dan kesadaran spiritual semua berpadu dalam kisah ini. Dengan memahami dan merenungkan kisah ini, kita diingatkan untuk tidak hidup secara sembarangan. Karena kita tidak pernah tahu, kapan “rumah” terakhir itu akan diberikan kepada kita. Dan pada akhirnya, kita akan tinggal dalam rumah yang kita bangun sendiri. Baik atau buruk sangati tergantung kita saat menyelesaikannya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Adakan Pengabdian Masyarakat di MAS Hidayatul Islamiyah, Angkat Isu Bullying dari Perspektif Hukum
Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Dekan Fakultas Hukum, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, didampingi dosen Dwi Arrasy Aprillia RS, SH., MH, serta melibatkan sejumlah mahasiswa dari berbagai angkatan. Dengan suasana interaktif dan penuh antusiasme, kegiatan ini menyasar edukasi hukum kepada para siswa-siswi, khususnya tentang isu krusial yang kerap terjadi di lingkungan sekolah: bullying.
Dalam sesi utama, para siswa mendapatkan pemaparan mendalam mengenai bullying dalam perspektif hukum pidana. Mereka diajak memahami bentuk-bentuk bullying, sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku, serta hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan hukum.
“Edukasi ini penting agar para siswa tahu bahwa bullying bukan hanya tindakan tidak menyenangkan, tapi juga bisa menjadi tindak pidana. Kita ingin mereka paham hak dan kewajiban hukumnya,” jelas Dwi.
Selain penyuluhan hukum, FH Unmal juga memperkenalkan berbagai keunggulan Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Malahayati. Dalam kesempatan itu, pihak fakultas memberikan informasi mengenai peluang beasiswa KIP Kuliah untuk tahun 2026.
Kegiatan Pengmas ini juga menjadi wadah pengembangan diri bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Mereka diberi kesempatan untuk melatih kemampuan public speaking, komunikasi efektif, negosiasi, serta pemecahan masalah hukum secara langsung di lapangan.
“Mahasiswa tidak hanya belajar teori di kelas, tapi juga praktek langsung menyampaikan materi hukum kepada audiens yang beragam. Ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan membentuk karakter profesional,” kata Aditia.
Melalui kegiatan ini, FH Unmal berharap dapat menanamkan nilai-nilai hukum dan kesadaran kritis terhadap perilaku bullying yang masih kerap terjadi di sekolah. Edukasi hukum yang disampaikan dengan cara yang komunikatif dan mudah dipahami diharapkan mampu menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga beretika dan taat hukum.
“Jika mereka paham hukum, mereka akan lebih bijak dalam bertindak. Kami ingin menjadikan hukum sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari siswa,” tutup Aditia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Ngemperi Jagat
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat membaca kiriman balik dari sahabat yang membaca artikel yang penulis kirim; senyum mengembang sendiri. Beliau memberi komentar halus, tetapi menohok mengenai situasi kondisi saat ini dengan bahasa Jawa “Mereka-mereka sepertinya mau ngemperi jagat, Prof”. Sontak terpikir untuk menelusuri istilah lama yang sarat makna itu melalui referensi digital dan konvensional.
Secara harfiah, “jagat” berarti alam semesta atau dunia. “diemperi” berasal dari kata emper, semacam atap kecil yang biasanya ada di depan atau samping rumah. Namun dalam konteks ungkapan ini, “diemperi” menggambarkan sesuatu yang diberi atap atau naungan, tetapi tanpa tiang atau penopang. Artinya: dunia ini seakan memiliki struktur atau perlindungan, tetapi fondasinya tak terlihat atau bahkan tak ada.
Bila kita tarik makna itu ke dalam ranah eksistensial, ungkapan ini dapat dibaca sebagai sebuah gugatan atas keberadaan manusia di dunia yang tampak teratur, tetapi tidak memiliki dasar yang pasti atau terlihat. Kita hidup dalam jagat yang seperti “tertata”, ada langit dan bumi, ada hukum-hukum alam, ada budaya, agama, moral, teknologi. Namun, siapa yang menopang semua itu? Inilah persoalan mendasar yang menjadi jantung pemikiran filsafat manusia: kegelisahan tentang eksistensi.
Salah satu krisis besar manusia modern adalah ilusi keteraturan. Kita hidup di dunia yang secara fisik dan sosial tampak terstruktur: ada hukum negara, ada sistem ekonomi, ada aturan moral, bahkan ada agama dan kepercayaan. Namun, semakin manusia mengedepankan pengetahuan ilmiah dan rasionalitas modern, semakin terasa bahwa semua struktur itu tampaknya menggantung di udara. Tidak ada yang sungguh-sungguh “menopang” secara mutlak.
“Jagat kok diemperi” dalam konteks ini adalah ekspresi dari keheranan akan dunia yang seolah-olah punya bentuk, punya batas, punya langit dan bumi, tapi tak diketahui siapa atau apa yang menjadi tiangnya. Apakah nilai-nilai moral yang kita anut benar-benar berasal dari sesuatu yang mutlak? Atau apakah ia hanya konstruksi sosial yang “nempel” di emper dunia ini, sementara dinding dan tiangnya tidak pernah ada?
Dunia modern, dengan seluruh kemajuan teknologi dan logika, seolah memberikan “atap”—perlindungan dari ketidaktahuan dan rasa takut. Namun, atap itu rapuh karena tidak lagi ditopang oleh fondasi metafisik atau moral yang kokoh.
Nietzsche menulis tentang nihilisme, yaitu kondisi di mana manusia tidak lagi memiliki orientasi nilai yang absolut. Kita menjadi bingung tentang apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah. Dalam kondisi ini, “Jagat kok diemperi” menjadi ungkapan ironi: kita telah membangun peradaban, hukum, sains, bahkan demokrasi, tetapi semuanya berdiri tanpa tiang nilai yang absolut. Kita menjadi seperti orang yang tinggal di bawah atap, tapi lupa bahwa atap itu tidak memiliki tiang, dan suatu saat bisa runtuh kapan saja. Oleh sebab itu bisa jadi orang yang tidak berbuat jahat diputuskan jahat oleh kejahatan yang dianut oleh para penjahat.
“Jagat kok diemperi” menjadi simbol dari dunia yang kosong secara ontologis, tapi padat secara sosial. Kita hidup dalam masyarakat yang memberi kita “keamanan” melalui struktur, tetapi secara ontologis dan metafisik, kita tetap menggantung di jurang ketiadaan. Dunia tidak menjawab pertanyaan “mengapa kita ada?” Hanya menyediakan ruang kosong yang harus diisi sendiri oleh manusia.
Meski banyak pemikir Barat modern cenderung menuju sekularisme atau bahkan ateisme, dalam banyak tradisi filsafat dan teologi Timur dan klasik, “penyangga dunia” tidak selalu harus terlihat. Ia justru sering disadari melalui keheningan batin dan kesadaran spiritual. Kembali kepada ungkapan “Jagat kok diemperi”, dalam kerangka spiritualitas, maknanya bisa dibalik: dunia tampak tidak berpenopang karena Tuhan sebagai penopang justru tidak terlihat, bukan karena tidak ada. Maka manusia harus memiliki iman, bukan dalam arti buta, tetapi sebagai kesadaran akan keterbatasan rasionalitas manusia dalam memahami struktur semesta.
Jika jagat memang diemperi, maka tugas manusia bukan mengeluh atau menyangkal, melainkan mendirikan tiang sendiri: melalui etika, cinta kasih, keberanian, kejujuran, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dalam konteks ini, esensi manusia bukan menunggu penopang eksternal, tapi menjadi penopang bagi sesamanya dan dunia. Oleh sebab itu “Jagat kok diemperi” adalah bentuk gugatan, keheranan, dan ajakan untuk berpikir. Ia menyentuh pertanyaan terdalam dalam hidup manusia: siapa yang menopang semua ini? Dan apa makna dari keteraturan semu yang kita hidupi?
Tulisan ini tidak memberikan jawaban pasti, sebagaimana filsafat tidak pernah selesai. Tapi setidaknya, ungkapan sederhana dari budaya Jawa ini telah membawa kita pada refleksi mendalam tentang siapa kita, mengapa kita di sini, dan bagaimana kita seharusnya hidup di dunia yang menggantung ini. Dan, kemana kita akan berlabuh terakhir. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Bendera, Cinta, dan Luka
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari ini media sosial diramaikan dengan “seruan” sebagian orang untuk tidak dulu mengibarkan bendera lambang negara, tetapi menggantikannya dengan bendera tertentu yang melambangkan kekecewaan. Hal itu sah-sah saja di negara yang demokratis; namun juga sah-sah saja untuk bersikap tidak membersamai seruan itu, dengan alasan tertentu pula.
Tulisan ini tidak ingin memperkeruh suasana atau juga tidak nimbrung begitu saja; namun mencoba berbicara dari sisi lain.
Bendera adalah sebuah simbol. Ia tidak sekadar kain berwarna yang dikibarkan di tiang-tiang tinggi, melainkan lambang dari identitas, harapan, dan perjuangan. Dalam setiap helai bendera terkandung narasi panjang tentang sejarah, darah, air mata, dan mimpi sebuah bangsa. Namun di balik kibaran bendera yang megah, sering tersembunyi kisah manusia yang penuh cinta dan luka.
Bendera bukanlah benda mati. Seperti yang dijelaskan oleh filsuf semiotika Charles Sanders Peirce dan Roland Barthes, sebuah simbol mengandung makna yang jauh melampaui wujud fisiknya. Bendera adalah tanda yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih besar: identitas sebuah bangsa, sejarah panjang perjuangan, serta harapan masa depan.
Dalam konteks bangsa Indonesia, bendera Merah Putih bukan hanya warna, tapi sebuah narasi: merah melambangkan keberanian dan semangat juang, putih melambangkan kemurnian dan niat suci.
Dengan mengibarkan bendera, seseorang secara kolektif mengekspresikan rasa bangga dan loyalitas terhadap bangsa. Namun, kita perlu mempertanyakan: apakah simbol ini selalu mampu menyampaikan kebenaran dan keotentikan pengalaman manusia? Sejauh mana simbol kebangsaan dapat menjembatani jarak antara individu dan negara, antara jiwa dan kolektif? Ini adalah pertanyaan mendasar karena seringkali simbol besar seperti bendera disambut dengan kebanggaan di permukaan, sementara di dalam jiwa banyak yang merasa terasing, kecewa, bahkan terluka.
Cinta adalah konsep yang kompleks dan multidimensi dalam filsafat. Dari Plato hingga Simone de Beauvoir, cinta dipandang bukan hanya sebagai emosi, tapi sebagai kondisi eksistensial yang mendalam. Plato membedakan cinta menjadi eros (cinta yang penuh hasrat) dan agape (cinta tanpa syarat dan universal). Dalam konteks bendera dan bangsa, cinta yang dimaksud biasanya adalah cinta agape, yaitu cinta yang tidak menuntut balasan dan berdasar pada penghormatan terhadap identitas bersama.
Dari sisi humanisme, Erich Fromm dalam The Art of Loving menekankan bahwa cinta adalah seni yang harus dipelajari dan dijalani secara aktif. Cinta bukan sekadar perasaan, melainkan tindakan yang membutuhkan kesadaran, pengorbanan, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, cinta kepada bangsa harus dilandasi oleh tindakan nyata, bukan hanya simbolik semata.
Jika bendera adalah lambang cinta tanah air, maka pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah: apakah cinta itu sudah menyentuh realitas hidup manusia? Apakah negara mampu memberikan perhatian dan keadilan kepada setiap individu sehingga cinta itu tidak berujung pada kekecewaan?
Lalu, bagaimana dengan Luka ? Luka adalah pengalaman yang tak terhindarkan dalam perjalanan hidup manusia. Dalam konteks filsafat, luka bukan hanya kerusakan fisik, melainkan luka eksistensial, yaitu perasaan keterasingan, ketidakadilan, penindasan, dan kekecewaan.
Filsuf Emmanuel Levinas mengajarkan bahwa ketika rakyat merasa terabaikan, dilupakan, atau bahkan dizalimi oleh sistem sosial, mereka mengalami luka yang dalam, sebuah pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan.
Luka-luka ini sering tersembunyi di balik simbol kebangsaan. Seorang ibu yang memasang bendera di rumah reyotnya mungkin memaknai bendera itu sebagai simbol harapan, namun sekaligus sebagai pengingat akan ketidakadilan dan penderitaan yang harus ia hadapi sehari-hari. Luka ini adalah suara batin yang berteriak dalam diam, yang kerap diabaikan oleh narasi besar nasionalisme.
Oleh karena itu: bendera, cinta, dan luka, berinteraksi dalam sebuah dialektika yang rumit. Bendera sebagai simbol kebangsaan dapat menjadi sumber cinta kolektif yang menguatkan rasa identitas dan solidaritas. Namun, bila realitas sosial tidak sejalan dengan simbol itu, maka bendera juga bisa menjadi sumber luka dan kekecewaan.
Dari sisi individu, cinta kepada bangsa harus berakar pada pengalaman autentik dan kesadaran kritis. Jika cinta itu hanya berupa ritual tanpa substansi, maka cinta itu menjadi semu dan bisa menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Lebih jauh, luka yang dialami warga akibat ketimpangan sosial, diskriminasi, atau penindasan harus dibaca bukan sebagai kegagalan individu, melainkan sebagai tantangan bagi bangsa untuk memperbaiki diri. Luka ini adalah panggilan untuk refleksi moral dan etika kolektif.
Memahami hubungan antara bendera, cinta, dan luka memberikan kita beberapa pelajaran penting: Pertama, simbol tidak cukup tanpa tindakan nyata. Bendera sebagai simbol nasionalisme harus dilengkapi dengan kebijakan dan tindakan yang nyata untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat manusia.
Kedua, cinta harus dipupuk dengan kesadaran dan tanggung jawab. Cinta kepada bangsa bukan sekadar slogan, melainkan komitmen untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Sementara luka, harus menjadi bahan refleksi dan perubahan. Luka-luka sosial dan eksistensial tidak boleh diabaikan. Mengabaikan luka berarti mengabaikan kemanusiaan dan merusak fondasi bangsa. Untuk itu rakyat harus diberikan ruang untuk mengkritik dan mengembangkan diri agar cinta kepada bangsa dapat tumbuh dengan otentik, bukan sekadar dipaksakan.
Bendera, cinta, dan luka adalah tiga konsep yang saling terjalin dalam kehidupan manusia dan bangsa. Bendera sebagai simbol kebangsaan mengundang kita untuk merenungkan makna cinta yang lebih dalam dan menyadari bahwa di balik semangat nasionalisme, ada luka-luka yang perlu disembuhkan.
Kita harus belajar bahwa cinta kepada bangsa tidak boleh menjadi beban yang menyakitkan, melainkan sebuah penguatan yang lahir dari keadilan, pengakuan martabat, dan solidaritas nyata. Luka yang ada adalah panggilan untuk perubahan, untuk membangun bangsa yang tidak hanya bangga dengan benderanya, tapi juga memanusiakan seluruh rakyatnya.
Akhirnya, dengan penuh kesadaran, kita semua diundang oleh hati nurani kita sendiri, untuk mengibarkan bendera kebangsaan bukan hanya dengan tangan, tetapi dengan hati yang utuh, dan hati yang penuh cinta kepada negeri ini, serta sekaligus kesiapan untuk menyembuhkan luka negeri akibat dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Namun jika di antara kita ada keinginan untuk mengibarkan bendera lain, selain bendera resmi negeri ini, itu adalah hak individual, seperti halnya jika ada konsekwensi karena itu. Untuk pilihan yang satu ini kita berbeda dan perbedaan itu sah-sah saja. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Borong Medali di Cabang Karate POMProv Lampung 2025
Lima mahasiswa dari program studi yang berbeda berhasil menyabet juara, menunjukkan keunggulan dan keragaman talenta di lingkungan Universitas Malahayati. Daftar Peraih Medali:
1. M. Ariq Al-Hakim H – Mahasiswa S1 Teknik Sipil Juara 1 Kumite Under 21 -61kg Putra. “Kemenangan ini saya persembahkan untuk almamater tercinta. Latihan keras selama ini akhirnya terbayar. Semoga bisa menjadi motivasi bagi mahasiswa lain untuk terus semangat di bidang apa pun yang digeluti.”
2. Anissa Ade Amelliya (234210007) – Mahasiswi S1 Akuntansi Juara 1 Kumite Under 21 -61kg Putri. “Saya sangat bersyukur bisa meraih medali emas. Terima kasih kepada pelatih, keluarga, dan Universitas Malahayati yang selalu mendukung. Semoga prestasi ini menjadi langkah awal untuk target ke tingkat nasional.”
3. Dini Maharani (24380110P) – Mahasiswi S1 Farmasi Juara 2 Kata Perorangan Putri. “Meski belum emas, saya bangga bisa membawa pulang perak. Banyak pelajaran yang saya dapat dari kompetisi ini, terutama tentang semangat sportivitas dan disiplin.”
4. Zamzam Abdul Haq (22220356) – Mahasiswa S1 Manajemen Juara 2 Kumite Under 21 -67kg Putra. “Saya merasa ini adalah awal yang baik. Saya akan terus meningkatkan performa dan berharap bisa mengharumkan nama kampus di tingkat yang lebih tinggi.”
5. Ribka Tias Ayu – Mahasiswi S1 Teknik Sipil Juara 3 Kumite Under 21 -50kg Putri. “Kejuaraan ini memberikan pengalaman luar biasa. Saya bangga bisa berdiri di podium dan membawa nama UNMAL. Terima kasih atas semua dukungan yang saya terima.”
Prestasi ini menjadi bukti nyata dari komitmen Universitas Malahayati dalam mendukung pengembangan minat dan bakat mahasiswa di luar ruang kelas. Melalui fasilitas latihan yang memadai, dukungan moral dan akademik, serta semangat kebersamaan, UNMAL terus menjadi wadah berkembangnya para juara masa depan.
Pihak universitas menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh mahasiswa yang telah berjuang dan mengharumkan nama institusi di ajang POMProv 2025. Keberhasilan mereka menjadi inspirasi dan dorongan semangat bagi seluruh civitas akademika Universitas Malahayati untuk terus mengejar prestasi dalam berbagai bidang. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Pulang (Bukan Akhir; Tetapi Perjalanan Sejati)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Membaca hasil penelitian di salah satu jurnal ternama, menemukan hasil penelitian bahwa para pensiunan itu rata-rata berpulang diwaktu tiga tahun sampai lima tahun setelah mereka purnabakti. Dan, setelah melampaui rerata itu, mereka yang masih bekerja atas dasar kemampuan otak, memiliki peluang hidup lebih panjang, disusul mereka yang bekerja mengandalkan aktivitas fisik. Sementara yang tidak memiliki aktivitas keduanya, berpeluang lebih cepat pulang. Tentu saja penelitian ini masih sangat dini untuk dipercaya tingkat validitasnya , sebab banyak variabel yang tidak tercover. Namun tulisan kali ini tidak ingin membahas itu, justru yang menjadi titik focus adalah istilah “pulang” untuk kata ganti meninggal; itupun focus pembahasan ada pada ranah filsafat.
Kata “pulang” seringkali diasosiasikan dengan akhir: akhir dari perjalanan, akhir dari penantian, akhir dari segala sesuatu yang bersifat duniawi. Namun dalam dimensi spiritual, “pulang” justru adalah awal. Ia adalah awal dari penyatuan, awal dari keutuhan, awal dari perjalanan yang sesungguhnya, dan atau perjalanan yang tak lagi dibatasi oleh ruang, waktu, dan bentuk. Dalam pengertian ini, pulang bukanlah kematian dalam arti fisik semata, tetapi kembalinya jiwa kepada asalnya, kepada fitrah, kepada Tuhan sebagai pemilik.
Manusia lahir bukan dari kehampaan. Ia berasal dari sumber yang mulia, dari Tuhan sendiri. Dalam banyak ajaran spiritual, hidup di dunia adalah pengembaraan sementara. Dunia hanyalah tempat ujian, tempat persinggahan sementara bagi jiwa yang akan kembali. Dan masih banyak lagi istilah yang berkonotasi sama, yaitu bukan akhir dari sesuatu. Maka “pulang” bukanlah hilang. Ia adalah penyatuan kembali. Seperti air hujan yang kembali ke samudera setelah lama mengalir sebagai sungai. Ia tidak musnah. Ia justru kembali ke asal yang lebih luas, lebih dalam, lebih utuh.
Kematian adalah misteri terbesar bagi manusia. Sebagian menganggapnya akhir dari segala sesuatu, tetapi bagi yang hidup dengan kesadaran spiritual, kematian justru adalah awal dari kehidupan yang sebenarnya. Ia adalah kelahiran kedua, yaitu lahir ke dalam dunia yang tidak lagi terikat oleh materi. Oleh sebab itu Jalaluddin Rumi berkata “Kamu tidak mati, kamu hanya berganti ruang.”
Pandangan seperti ini bukan sekadar puisi. Ia berakar pada pemahaman mendalam tentang ruh sebagai entitas yang tak hancur. Tubuh memang binasa, tetapi jiwa melanjutkan perjalanan. Dalam Al-Qur’an, digambarkan bahwa setelah mati, manusia memasuki alam barzakh, lalu hari kebangkitan, lalu akhirat. Semua itu bukan akhir, tapi tahap-tahap awal menuju keabadian. Maka mati bukan pulang untuk beristirahat, melainkan pulang untuk memulai kehidupan yang kekal.
Pulang tidak selalu harus menunggu kematian. Banyak orang yang secara spiritual telah “pulang” bahkan ketika mereka masih hidup. Mereka yang menemukan kembali fitrah, menundukkan egonya, dan hidup dalam kehadiran Tuhan, sejatinya telah pulang. Mereka tidak lagi tercerai dari asal mereka, meskipun raga masih tinggal di dunia. Ini yang disebut oleh para sufi sebagai fana’, yaitu melebur dalam Tuhan. Mereka tidak menunggu maut untuk pulang, tetapi sudah menjalani kehidupan sebagai hamba yang telah kembali. Mereka bebas dari rasa takut, bebas dari keserakahan, karena tahu bahwa dunia bukan rumah sejati mereka. Di sini Jalaludin Rumi berpesan “Ketika kamu mati sebelum mati, kamu akan tahu bahwa kematian bukanlah apa yang kamu pikirkan.” Kesadaran ini adalah pintu. Mereka yang melewatinya akan memandang hidup dengan cara yang berbeda. Setiap hari adalah perjalanan, setiap napas adalah bekal, dan setiap ujian adalah kesempatan untuk lebih dekat pada Tuhan.
Mengapa para filusuf mengatakan pulang disebut sebagai awal dari perjalanan sejati. Karena di sanalah kita menemukan keutuhan yang selama ini kita cari. Di dunia, manusia hidup dalam fragmentasi: terpecah oleh keinginan, tuntutan sosial, dan kekhawatiran. Kita mengejar sesuatu yang kita sendiri tak tahu ujungnya. Kita merasa ada yang kurang, tetapi tidak tahu apa itu yang kurang.
Pulang adalah momen di mana semua potongan jiwa bersatu kembali. Kita tidak lagi mencari di luar, karena telah menemukan di dalam. Tuhan bukan lagi konsep jauh di langit, melainkan kehadiran nyata di dalam hati. Penyatuan ini digambarkan bukan dengan logika, tapi dengan cinta. Tuhan adalah kekasih, dan jiwa manusia adalah perindu abadi. Pulang adalah saat pertemuan itu terjadi. Dan di sanalah perjalanan baru dimulai: perjalanan dalam keabadian, dalam cinta, dalam kedekatan yang tak terputus.
Di dunia, perjalanan manusia adalah perjuangan. Kita berusaha, kita jatuh, kita bangkit. Tetapi semua itu hanyalah persiapan. Seperti siswa yang belajar di kelas sebelum lulus dan memasuki kehidupan sebenarnya. Dengan “pulang” perjalanan sejati dimulai. Di sana tidak ada lagi pencarian, melainkan perjumpaan. Tidak ada lagi kegelisahan, melainkan ketenangan. Tidak ada lagi keterpisahan, melainkan keintiman abadi. Oleh sebab itu perjalanan sejati bukanlah tentang ruang atau waktu, tetapi tentang keadaan jiwa. Ini adalah perjalanan dari “mengetahui” menjadi “mengalami”; dari sekadar percaya, menjadi bersatu.
Setiap manusia, sadar atau tidak, sedang menuju pulang. Mereka yang tenggelam dalam dunia pun pada akhirnya akan pulang. Perbedaannya hanya pada kesiapan. Ada yang pulang dengan tangan kosong, ada yang membawa bekal. Karena itu, kehidupan sejati dimulai dengan kesadaran. Bahwa hidup ini bukan untuk mengejar dunia, tapi untuk mempersiapkan pulang. Mereka yang sadar akan hidup dalam ketenangan, karena tahu ke mana ia akan pergi. Pertanyaan sekarang adalah “sudahkah kita siapkan bekal untuk pulang”. Jawabannya ada dalam sanubari kita masing-masing. Karena perasaan kurang yang paling menyesakkan adalah manakala kita selalu merasa kurang akan bekal menuju “pulang”. Disana pula letak “keridho-an” dari Yang Maha Kuasa sebagai penyelamat segala mahlukNYA. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Hidup Ini Diawali Dengan Membuka Mata, Diakhiri Dengan Menutup Mata
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu mendapat kiriman hasil kreasi seorang murid empat puluh lima tahun lalu, yang sekarang sudah menjadi creator handal, dengan caption seperti judul di atas. Ada rasa bangga, senang, dan haru membacanya; karena itu dibuat oleh anak cerdas yang empat puluh lima tahun lalu masih berpakain putih abu-abu; dan sekarang sama-sama sudah bercucu. Akhirnya atas ijin yang bersangkutan penulis mencoba menelusuri dari sisi filsafat manusia. berdasarkan kajian literature baik digital maupun konvensional, ditemukan uraian sebagai berikut: Ungkapan “Hidup diawali dengan membuka mata, diakhiri dengan menutup mata” adalah kalimat yang secara sederhana menggambarkan perjalanan hidup manusia: lahir, tumbuh, mengalami, dan mati. Namun jika ditelusuri secara filosofis, ungkapan ini menyimpan makna eksistensial yang dalam. Dalam filsafat manusia, hidup bukan sekadar rentang biologis antara kelahiran dan kematian, melainkan sebuah dinamika keberadaan yang melibatkan kesadaran, kebebasan, kehendak, makna, dan tujuan.
Dalam filsafat, manusia tidak sekadar dipahami sebagai makhluk biologis, melainkan sebagai makhluk eksistensial. Eksistensi manusia adalah keberadaan yang sadar, reflektif, dan mampu mempertanyakan dirinya sendiri. Filsuf Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang hidup dalam dunia simbol, makna, dan budaya. Dengan membuka mata, manusia tidak hanya melihat dunia secara indrawi, tetapi menafsirkan realitas: memberi nama, menyusun konsep, membangun bahasa dan budaya.
Membuka mata bukan sekadar gerakan refleks bayi yang baru lahir, melainkan simbol lahirnya kesadaran pertama. Dari titik inilah, manusia mulai “hadir” ke dalam dunia. Menurut Edmund Husserl, pengalaman manusia bersumber dari kesadaran. Kesadaran selalu “akan sesuatu” (intentionality). Ketika seorang bayi membuka mata, ia belum memahami apa yang ia lihat, tetapi mulai membentuk kesadaran prareflektif yang kelak berkembang menjadi persepsi, pemahaman, dan refleksi diri.
Setelah membuka mata, manusia tidak langsung menjadi makhluk dewasa secara penuh. Ia mengalami proses menjadi, yang melibatkan pengalaman, pembelajaran, kegagalan, dan pertumbuhan eksistensial. Oleh sebab itu Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein—ada-yang-menyadari-keberadaannya. Dasein selalu “menuju ke depan”, mengada dalam kemungkinan-kemungkinan, dan menyusun proyek-proyek kehidupannya. Dengan membuka mata pada dunia, manusia memasuki dunia historis, sosial, dan personal yang harus ia hadapi dan bentuk secara otentik.
Jika membuka mata adalah awal kesadaran, maka menutup mata adalah akhir kesadaran duniawi. Dalam pandangan filosofis, kematian bukan semata-mata akhir biologis, tapi juga peristiwa eksistensial yang memberi makna pada kehidupan. Oleh karena itu Heidegger menyebut manusia sebagai “ada-untuk-mati”. Artinya, kesadaran akan kematian memberi bobot pada setiap tindakan manusia. Tanpa kematian, hidup tidak akan berarti. Dengan menyadari bahwa kita akan menutup mata suatu hari nanti, kita menjadi lebih sadar untuk hidup secara otentik dan bermakna.
Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf eksistensialis, berpendapat bahwa manusia terdorong oleh kebutuhan akan makna (will to meaning). Bahkan dalam penderitaan dan keterbatasan, manusia tetap bisa menemukan makna hidup. Pengetahuan akan kematian memperdalam kesadaran kita akan nilai dari waktu, relasi, dan kontribusi kita pada dunia.
Perjalanan manusia dari membuka hingga menutup mata mencerminkan keseluruhan dinamika eksistensi: dari tidak sadar menjadi sadar, dari potensi menjadi aktual, dari pengembaraan menuju peristirahatan. Dalam pandangan Hegel, kehidupan manusia adalah proses dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis. Manusia bertumbuh melalui konflik, kontradiksi, dan penyatuan kembali. Membuka mata adalah tesis, menghadapi dunia adalah antitesis, dan makna hidup tercapai sebagai sintesis yang membawa ke penyatuan atau transendensi.
Hidup adalah jeda singkat di antara dua keheningan: saat sebelum mata terbuka dan sesudah ia tertutup. Dalam rentang yang fana itu, kita belajar melihat; bukan sekadar dengan mata, tetapi dengan kesadaran yang terus tumbuh. Membuka mata bukan hanya tanda lahir, melainkan awal dari pencarian makna, dan menutupnya kelak bukan sekadar akhir, melainkan kepulangan yang sunyi. Maka, hidup sejatinya adalah perjalanan untuk memahami apa arti melihat, merasakan, dan menjadi. Sebab hanya mereka yang sungguh “terjaga” selama hidupnya, yang dapat menutup mata dengan damai. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
UPT Perpustakaan Universitas Malahayati Perkuat Kolaborasi Melalui Rapat Kerja FPPTI dan Penandatanganan MoU
Kegiatan penting ini dihadiri oleh Nowo Hadiyanto, S.Sos., selaku Kepala UPT. Perpustakaan Universitas Malahayati, bersama sejumlah pejabat dan kepala perpustakaan dari berbagai lembaga pendidikan tinggi yang tergabung dalam FPPTI wilayah Lampung untuk periode 2025–2026.
“Kami percaya bahwa kolaborasi adalah kunci untuk memajukan dunia perpustakaan di era digital ini. Dengan bekerjasama, kita tidak hanya saling memperkuat layanan, tapi juga menciptakan pengalaman belajar yang lebih kaya bagi para pemustaka,” ujar Nowo Hadiyanto.
Kerjasama ini diyakini akan memberikan dampak positif, baik bagi perpustakaan maupun pengguna layanan. Bagi pemustaka, kolaborasi ini berarti terbukanya akses yang lebih luas terhadap koleksi dan layanan informasi dari berbagai institusi, serta meningkatnya mutu layanan yang diberikan.
UPT. Perpustakaan Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus mendorong inovasi dan kolaborasi di bidang perpustakaan, sejalan dengan visi universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang modern dan inklusif. Kolaborasi dalam forum seperti FPPTI diharapkan menjadi katalis bagi terwujudnya perpustakaan yang adaptif, progresif, dan relevan di tengah tantangan zaman.
Dengan semangat kolaborasi dan sinergi, perpustakaan bukan hanya menjadi tempat menyimpan buku, tetapi juga pusat pembelajaran yang dinamis, inklusif, dan terhubung. (gil)
Editor: Gilang Agusman