Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
SEJARAH jalan dan jembatan sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia. Infrastruktur ini menjadi bagian penting dalam mobilitas, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Berikut adalah gambaran singkat sejarah jalan dan jembatan dari masa ke masa berdasarkan referensi digital:
A. SEJARAH JALAN
Jalan Prasejarah
Manusia purba menggunakan jalur alami seperti jalan setapak di hutan atau dataran. Jalur pertama kemungkinan besar terbentuk dari kebiasaan hewan dan manusia yang berjalan berulang kali di rute yang sama.
Jalan Kuno
Mesopotamia dan Mesir sekitar 4000 SM. Peradaban Mesopotamia membangun jalan tanah untuk perdagangan. Bangsa Mesir menggunakan batu untuk jalan di sekitar piramida.
Jalan Romawi
Kekaisaran Romawi 500 SM – 476 M membangun jalan dengan teknik canggih menggunakan batu besar, pasir, dan kerikil. Beberapa jalan Romawi masih bertahan hingga sekarang.
Jalan Sutra
Jalur perdagangan 200 SM – 1400 M yang menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Timur Tengah, hingga Eropa.
Revolusi Industri
Pembangunan jalan dengan teknik baru seperti penggunaan batu makadam oleh John Loudon McAdam antar thun 1700-1800-an.
Jalan Modern pada Abad ke-20 sudah berkembang pesat menggunakan aspal dan beton.
Pada Abad ke-21, jalan tol, jalan layang, dan sistem jalan pintar berbasis teknologi mulai digunakan.
B. SEJARAH JEMBATAN
Jembatan Primitif
Awalnya berupa batang kayu atau batu yang diletakkan melintasi sungai. Manusia purba juga menggunakan akar pohon yang tumbuh alami sebagai jembatan gantung sederhana.
Jembatan Kuno.
Jembatan Batu Mesopotamia sekitar 3000 SM dibangun dengan batu bata lumpur dan kayu.
Jembatan Romawi
Jembatan yang menggunakan batu dan beton tahan air sekira 500 SM – 500 M. Contoh jembatan yang terkenal pada era ini adalah Jembatan Alcántara di Spanyol.
Jembatan Gantung Inca
Jembatan gantung yang dibuat dari serat alami seperti rumput dan digunakan di Pegunungan Andes pada tahun 1400-an.
Jembatan Revolusi Industri
Jembatan Abad Pertengahan dan Revolusi Industri ini telah menggunakan besi pada 1779 di Inggris. Jembatan Iron Bridge di Shropshire, Inggris, adalah jembatan pertama dari besi tuang.
Jembatan Rel
Jembatan Era Kereta Api pada tahun 1800-an terbuat dari besi dan baja yang dibangun untuk mendukung transportasi kereta api.
Jembatan Modern
Jembatan gantung muncul mulai tahun 1900-an sampai sekarang contohnya Golden Gate Bridge di Amerika Serikat dan Jembatan Akashi-Kaikyō di Jepang.
Jembatan Kabel
Cable-Stayed Bridge mulai pada tahun 1950-an sampai sekarang misalnya Jembatan Suramadu di Indonesia).
Jembatan Berteknologi Tinggi
Jembatan yang muncul pada Abad ke-21 menggunakan material ringan dan teknologi anti-gempa.
Jalan dan jembatan terus berkembang dengan teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan daya tahan. Infrastruktur ini tetap menjadi tulang punggung transportasi global.
Berarti, jalan dan jembatan adalah pasangan ideal yang tak terpisahkan. Dengan kata lain jalannya harus bagus jembatannya juga bagus.
Yang kemudian menjadi persoalan, banyak jalan yang rusak sementara mau membangun jembatan kabel atau kereta gantung.
Pemikiran yang seperti ini jika ada pada kepala pemimpin, seyogyanya yang bersangkutan minum obat terlebih dahulu sehingga bisa berfikir jernih.
Pemimpin jangan menjadi pemimpi, walau kedua diksi ini hanya selisih satu huruf maknanya menjadi sangat jauh berbeda. Mimpi dalam pengertian visioner kedepan itu berbeda dengan mimpi dalam tidur; apalagi menjadi sangat berbeda lagi mimpinya sebelum tidur. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
LPMI Universitas Malahayati Gelar Focus Group Discussion (FGD) Terkait Instrumen Akreditasi Program Studi Kualitatif
Kegiatan FGD ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dari berbagai fakultas dan program studi di lingkungan Universitas Malahayati. Para peserta yang hadir antara lain Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, serta Ketua Program Studi (Kaprodi) dan Sekretaris Program Studi (Sekprodi) dari berbagai program studi, termasuk Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Profesi Dokter, Profesi Bidan, Profesi Ners, S1 Kedokteran, S1 Farmasi, S1 Kebidanan, S1 Keperawatan, S1 Kesehatan Masyarakat, D3 Anafarma, dan D3 Kebidanan.
FGD ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada seluruh peserta terkait persyaratan dan prosedur dalam pengajuan akreditasi, serta memfasilitasi diskusi antar pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Universitas Malahayati.
Lembaga Penjamin Mutu Internal (LPMI) Universitas Malahayati merupakan lembaga yang bertugas untuk memastikan kualitas pendidikan di Universitas Malahayati melalui pengawasan dan penjaminan mutu secara berkelanjutan. LPMI memiliki peran yang sangat penting dalam proses akreditasi program studi dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi di lingkungan Universitas Malahayati. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1446 H
Editor: Gilang Agusman
LPMI Universitas Malahayati Bersama Dekan dan Ka.Prodi Fakultas Teknik Bahas Persiapan Akreditasi
Dekan Fakultas Teknik, Dr. Weka Indra Dharmawan, ST., MT menekankan pentingnya sinergi antara pimpinan fakultas, kaprodi, serta LPMI Unmal dalam menyiapkan dokumen akreditasi. “Akreditasi bukan hanya tentang pemenuhan dokumen, tetapi juga cerminan komitmen kita dalam menjaga mutu pendidikan. Oleh karena itu, kita harus bekerja sama agar semua persyaratan dapat dipenuhi dengan baik,” ujarnya.
Dengan adanya koordinasi ini, diharapkan Fakultas Teknik semakin siap menghadapi proses akreditasi dan meraih hasil yang optimal demi peningkatan kualitas pendidikan. Fakultas Teknik berkomitmen untuk terus meningkatkan mutu akademik dan pelayanan bagi mahasiswa serta stakeholder lainnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dosen Universitas Malahayati, Ir. Iing Lukman, M.Sc., Ph.D., Jadi Penguji Eksternal Sidang Terbuka Promosi Doktor di Universitas Lampung
Keikutsertaan Ir. Iing Lukman, M.Sc., Ph.D., sebagai penguji eksternal dalam ujian sidang doktoral ini menunjukkan pengakuan terhadap keahlian dan pengalaman akademiknya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai akademisi yang telah lama berkecimpung dalam penelitian dan pengajaran, beliau turut memberikan masukan kritis, perspektif ilmiah yang luas, serta evaluasi mendalam terhadap disertasi yang dipertahankan oleh kandidat doktor.
Sidang terbuka ini merupakan tahapan akhir bagi mahasiswa program doktor dalam menyelesaikan studi mereka. Pada kesempatan tersebut, kandidat doktor mempresentasikan hasil penelitian disertasinya di hadapan dewan penguji, yang terdiri dari dosen internal Unila serta penguji eksternal dari universitas lain.
Selain memperkaya wawasan akademik, kolaborasi antaruniversitas melalui pengujian eksternal ini juga menjadi bagian dari sinergi antara perguruan tinggi dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi.
Dengan peran aktif para akademisi seperti Ir. Iing Lukman, diharapkan semakin banyak lulusan doktor yang memiliki kompetensi tinggi dan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Doa Simbok
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat menjelang bulan suci ramadhan kata ini menjadi begitu dekat dengan telinga, khususnya orang Jawa. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut: Kata “Simbok” dalam budaya Jawa merupakan panggilan yang penuh makna dan kedekatan emosional. Secara umum, “Simbok” berarti ibu, terutama dalam konteks masyarakat Jawa tradisional.
Kata “Simbok” berasal dari bahasa Jawa “mbok”, yang merupakan panggilan untuk ibu. Awalan “si-” dalam bahasa Jawa sering digunakan untuk memberi nuansa penghormatan atau keakraban, sehingga “Simbok” berarti “ibu” dengan rasa yang lebih akrab dan hormat. Dalam masyarakat Jawa lama, terutama di pedesaan, “Simbok” sering digunakan oleh anak-anak untuk memanggil ibu mereka secara langsung.
Selain itu, dalam budaya agraris Jawa, seorang ibu sering berperan sebagai pilar keluarga, baik dalam mengurus rumah tangga maupun bekerja di ladang. Oleh karena itu, panggilan “Simbok” tidak hanya merujuk pada status biologis sebagai ibu tetapi juga menggambarkan sosok perempuan yang pekerja keras dan penuh kasih sayang. Meskipun kata “Simbok” masih digunakan di daerah pedesaan dan dalam budaya tradisional, penggunaannya di perkotaan mulai berkurang, tergantikan oleh panggilan seperti “Ibu” atau “Mama”.
Secara keseluruhan, “Simbok” bukan sekadar panggilan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan, kehangatan, dan perjuangan seorang ibu. Simbok adalah simbul Surgawi bagi anak-anaknya, karena atas perkenaan doanyalah semua yang terbaik untuk anak-anaknya. Bahkan tidak salah jika ada diantara kita memberikan bahasa simbol kepada Simbok dengan kata “malaikat takbersayap” atau “malaikat pembawa rahmat” karena doanya tidak pernah putus selalu yang terbaik untuk anak-anaknya. Simbok adalah soko guru rumah tangga, jika tidak ada simbok bagi anak-anaknya; maka runtuhlah marwah keluarga itu. Tidak salah jika ada pepatah mengatakan “biarkan semua membenciku, asal tidak dari simbokku”; karena tidak mungkin simbok akan membenci anak-anaknya.
Pada saat menjelang bulan suci ini berbahagialah bagi mereka yang masih mempunyai simbok, karena masih ada syurga yang menunggu dikakinya. Bersimpuh itupun belum memberikan makna apa-apa, jika dibandingkan dengan apa yang telah beliau berikan kepada kita. Tinggal mampukah kita memaknai arti telapak kaki simbok sebagai suatu lambang keberkahan dalam kehidupan.
Pada masa punggahan seperti ini banyak diantara kita yang masih mencari Simbok untuk bersimpuh dikakinya guna meminta maaf atas segala kesalahan, salah satu bentuk penyucian diri dari segala salah dan hilaf selama ini terutama kepada kedua orang tua. Berbahagialah bagi mereka yang masih memiliki simbok, karena masih ada harap Syurga atasnya.
Namun sayangnya “simbok” setelah bermetamorfosis kealam formal menjadi “Ibu”; banyak yang berperilaku menyimpang dari kodratnya sebagai simbok yang selalu mengayomi. Justru berubah menjadi paradok, bahkan jauh dari konsep ideal. Bayangkan begitu menjadi kepala, banyak diantara mereka berubah menjadi “singa, serigala, tikus” dan atau apapun lainnya; yang mendadak berpenyakit kleptomani, yaitu mengambil milik orang lain seperti miliknya sendiri.
Sebelum mendapatkan kursinya, mereka menjadi pemain drama yang canggih; semua terlihat indah, cantik, manis dan menawan. Begitu duduk menjadi “ibu”; jalan raya yang hancur disalahkan hujan. Melihat di Ibu Kota ada bangunan yang menarik, maka pingin juga di wilayahnya ada hal yang serupa. Ada jembatan kabel-pun ingin ditiru, padahal pemukiman rakyatnya tergenang dimana-mana karena banjir melanda. Saluran mampet dibiarkan bertahun-tahun, pendangkalan sungai terjadi dibiarkan ditutup dengan janji. Kata “nanti” menjadi jawaban kunci manakala dikejar soal kapan oleh wartawan.
Sifat “kemaruk” ini membuat ibu pemimpin kehilangan sifat luhur Simbok. Menyedihkan lagi jika keluhuran simbok dibelokkan dalam menempatkan rasa sayang keluarga justru ditempatkan ke rasa sayang singgasana. Karena suami gagal mencalonkan diri jadi raja disebabkan syaratnya palsu, maka simbok maju “membela” suami dengan maju ingin menggantikan kemenangan suami. Inipun bentuk baru dari sublimasi persona diri simbok. Memang tidak ada undang-undang yang dilanggar, dan itu boleh-boleh saja; bahkan menurut sebagian pendapat justru itu namanya simbok bercibaku. Tetapi mari simbok sebelum memutuskan untuk lanjut, kita minta untuk memegang batang leher bagian belakang, apakah masih ada bulu kuduknya atau sudah dibronding. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Ikuti Workshop “Introduction to Systematic Review” di FK-KMK UGM
YOGYAKARTA (malahayati.ac.id): Sebanyak 30 mahasiswa Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Bandarlampung mengikuti workshop bertajuk Introduction to Systematic Review yang diselenggarakan oleh Pusat Epidemiologi Klinik dan Biostatistik (CEBU) FK-KMK UGM bersama Cochrane Indonesia. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Tahir, FK-KMK UGM, pada Jumat, 21 Februari 2025.
Workshop yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam tentang metodologi review sistematis ini dihadiri oleh mahasiswa Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati, yang didampingi oleh Ketua Program Studi (Ka. Prodi) Magister Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino SH., M.Kes, serta Sekretaris Program Studi, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes.
Prof. dr. Detty Siti Nurdiati, MPH, PhD, SpOG, Subsp. KFM, selaku Direktur Cochrane Indonesia, menjelaskan bahwa workshop ini bertujuan untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai metodologi review sistematis, yang meliputi pengembangan pertanyaan penelitian, pencarian literatur, hingga ekstraksi data. “Melalui workshop ini, kami ingin meningkatkan kapasitas penelitian berbasis bukti di Indonesia. Kami juga berharap kegiatan ini dapat berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3 yang berkaitan dengan kesehatan yang baik dan kesejahteraan, SDG 4 tentang pendidikan berkualitas, dan SDG 17 mengenai kemitraan untuk mencapai tujuan, melalui kolaborasi antar institusi dalam pengembangan penelitian kesehatan yang lebih efektif,” jelas Prof. Detty.
Dalam sambutannya, Ketua Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino, SH., M.Kes menjelaskan bahwa mahasiswa yang mengikuti kegiatan workshop sebanyak 30 mahasiswa. Tujuan kegiatan untuk memberi wawasan pada mahasiswa mengenai bagaimana menulis karya ilmiah tanpa harus menggunakan data primer maupun sekunder. “Artinya mahasiswa diberi wawasan mengenai menyusun artikel ilmiah dengan melakukan systematic review jurnal yang sudah terpublikasi di seluruh dunia. Model ini sangat menguntungkan, waktu penyelesaiaan lebih singkat, hasilnya bermutu, namun memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai manajemen review jurnal itu sendiri,” ujarnya Dr. Samino.
Materi workshop mencakup Introduction to Systematic Review, Developing Review Question, Developing Protocol and Protocol Registration, Literature Searching and Study Selection, Introduction to Metaanalysis, dan Practical Session. Dengan materi tersebut setidaknya mahasiswa memiliki pemahaman mengenai penulisan karya ilmiah mempunyai kualitas tinggi, karena hasil-hasil review jurnal ini dapat diterbitkan pada penerbitan ilmiah berkala bermutu tinggi.
Workshop ini menjadi ajang penting bagi para mahasiswa untuk memahami secara mendalam bagaimana cara melakukan penelitian berbasis bukti dengan menggunakan metodologi review sistematis. Diharapkan, para peserta dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam pengembangan penelitian kesehatan di masa depan, serta meningkatkan kualitas riset yang dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Acara tersebut juga menghadirkan berbagai sesi interaktif, diskusi kelompok, dan studi kasus yang memberikan pengalaman langsung dalam proses pembuatan systematic review. Workshop ini menjadi salah satu langkah penting dalam mendukung pendidikan berkualitas dan riset berbasis bukti dalam dunia kesehatan di Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Umumkan Libur Menjelang Bulan Suci Ramadhan 1446 H
Bagi mahasiswa Universitas Malahayati, momen libur menjelang Ramadhan ini bisa dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga, meningkatkan ibadah, serta mempersiapkan diri menghadapi bulan suci dengan lebih maksimal.
Selamat menyambut bulan suci Ramadhan 1446 H. Semoga ibadah kita semakin lancar dan penuh keberkahan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Kuliah Praktik Peradilan untuk Mahasiswa Angkatan 2022
Kuliah Praktek Peradilan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai hukum acara kepada mahasiswa, terutama terkait dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Melalui kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengimplementasikan langsung ilmu yang telah mereka pelajari dalam perkuliahan. Salah satu bentuk implementasi tersebut adalah melalui kunjungan ke Pengadilan Negeri Tanjung Karang, yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menyaksikan langsung jalannya sidang peradilan.
Dalam kegiatan ini, mahasiswa dibekali dengan buku panduan praktek serta buku panduan untuk peradilan semu. Buku panduan ini berguna sebagai acuan dalam melaksanakan praktek peradilan, baik yang berkaitan dengan teori maupun observasi sidang. Sebagai bagian dari proses evaluasi, mahasiswa diwajibkan untuk mengisi blangko kegiatan pengamatan sidang dan membuat laporan yang harus ditandatangani oleh hakim, yang memastikan bahwa mereka benar-benar mengikuti prosedur dengan baik.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H., menyatakan dukungannya terhadap kegiatan Kuliah Praktek Peradilan ini. Menurutnya, kegiatan ini merupakan bentuk nyata dari pembelajaran berbasis hasil (Outcome-Based Education/OBE), yang mempersiapkan mahasiswa untuk dunia kerja, khususnya dalam bidang profesi hukum seperti jaksa, hakim, pengacara, saksi ahli, panitera, dan profesi lainnya. Ia menekankan bahwa Kuliah Praktek Peradilan merupakan bagian penting dari pendidikan di Fakultas Hukum yang bertujuan menghasilkan lulusan yang kompeten di bidang hukum.
Kegiatan ini menjadi bukti komitmen Fakultas Hukum Universitas Malahayati dalam memberikan pendidikan yang terintegrasi antara teori dan praktik kepada mahasiswa, serta sebagai sarana untuk mempersiapkan mereka menghadapi tantangan di dunia profesional. Dengan adanya Kuliah Praktek Peradilan, diharapkan mahasiswa tidak hanya menguasai teori, tetapi juga memiliki pengalaman praktis yang sangat berharga bagi karier mereka di masa depan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Munggah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kata “munggah” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “naik” atau “menaikkan”. Kata ini sering digunakan dalam berbagai konteks. Sementara dalam kontek budaya dikenal istilah punggahan. Punggahan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dan sebagian masyarakat di Indonesia menjelang bulan Ramadhan. Dapat dimaknai juga sebagai momen meningkatkan kualitas diri dalam menyambut bulan suci Ramadhan bagi umat muslim. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan persiapan menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa.
Bentuk kegiatannya bisa bermacam-macam sesuai dengan budaya tempatan, karena ini bukan perintah agama secara prinsip, maka variasinya menjadi sangat beragam. Bahkan ada yang memposisikan haram melakukannya, ada yang makruh, dan sebagainya. Namun tulisan ini tidak masuk ke wilayah itu, dan lebih fokus pada perilaku sosial.
Tradisi ini juga dikenal pada berbagai sub-etnik di nusantara dengan istilah munggah; seperti juga pada masyarakat Palembang yang selalu mengadakan kenduri ruwah. Bahkan ada yang disertai dengan mandi limau, yaitu mandi yang airnya disertai dengan perasan jeruk nipis. Dahulu beberapa daerah di Riau, Aceh dan beberapa bagian lainnya diantara masyarakat ada yang melakukan ritual ini menjelang puasa Ramadhan.
Kita tinggalkan munggah dan punggahan dalam konteks budaya, tulisan ini lebih menekankan munggah dalam arti “naik”; itupun khususon pada harga-harga kebutuhan sehari-hari di bulan Ramadhan. Sudah semacam hukum ekonomi pasar berlaku untuk situasi ini; semua kebutuhan, terutama bahan pokok, disaat seperti ini mulai merangkak naik. Kenaikan harga seperti ini masih disertai dengan kekurangan stok bahan, atau juga meningkatnya yang membutuhkan. Hukum ekonomi pasar sempurna menjadi terwujud, dan tentu akibatnya banyak dampak yang harus terjadi, baik positif maupun negatif.
Mendekati hari lebaran, maka kondisi seperti ini seolah semakin menjadi-jadi; dan anehnya semua kita termasuk pemerintah sering abai dalam mengatisipasinya. Walhasil, harga menjadi “munggah” disertai kata sejadi-jadinya, atau menggila. Tentu kondisi inilah yang diharapkan oleh para spekulan untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Perilaku munggahkan harga ini sebenarnya oleh para spekulan sudah dirancang jauh hari; banyak diantara mereka sudah menimbun barang satu atau dua bulan sebelumnya. Dan, menjualnyapun dengan mode tertentu, yaitu tiga hari sebelum dan tiga hari saat bulan puasa berjalan. Hal ini dilakukan karena semua orang ingin berpuasa, bahkan yang tidak menjalankan ibadah shalatpun sibuk ikut berpuasa. Kemudian pada hari keempat atau kelima mereka tidak lagi berpuasa, tetapi sibuk mencari persiapan lebaran. Pada umumnya mereka inilah yang paling getol untuk mencari uang dengan cara apapun agar dapat ikut pesta lebaran.
Penjualan berikutnya dilakukan hari-hari terakhir puasa, dimana keramaian puasa melebihi kondisi normal. Apapun yang dijual saat itu, dengan harga berapapun seolah akan habis saja. Dan terakhir dijual saat para pedagang lain masih sibuk mudik lebaran, mereka yang memanfaatkan keadaan, maka menjual barang dengan seenak sendiri saja dalam menetapkan harga. Hal ini terjadi karena pasar tidak ada pesaingnya. Mereka yang membutuhkan harus rela membayar berapapun karena merasa memerlukan dan pedagang belum banyak yang kembali berjualan.
Tampaknya siklus seperti ini berjalan dari tahun ketahun, sehingga kita seolah pasrah dengan keadaan. Para penjualpun menikmati kondisi ini dari masa ke masa. Sementara yang memang melaksanakan ibadah puasa sebagai kewajiban, tidak terpengaruh akan kenaikan harga, sebab rata-rata mereka memang sudah terbiasa berpuasa, dan tidak perlu mempersiapkan segalanya secara berlebihan. Atau memang selama ini mereka harus berpuasa sepanjang tahun karena ketidakadaan; oleh sebab itu mereka tidak merasakan perbedaan signifikan dengan hari-hari biasa.
Hal lain lagi karena banyak diantara kita terserang “hawak mata” terjemahan bebasnya lapar mata. Sesungguhnya kita tidak membutuhkan, tetapi hanya sekedar menginginkan; akhirnya semua mau diraih disiapkan di atas meja; begitu tiba waktu berbuka semua yang dikumpulkan tadi tidak tersentuh, apalagi mau dimakan.
Untuk itu teman-teman seiman,.mari kita siapkan diri untuk “munggah” dalam pengertian hakiki, yaitu mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan perintah agama dengan cara membersihkan diri dari penyakit hati. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Jalan-Jembatan Seiring Sejalan, Bukan Jalan Jadi Siring, Sudah Mimpi Kereta Gantung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
SEJARAH jalan dan jembatan sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia. Infrastruktur ini menjadi bagian penting dalam mobilitas, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Berikut adalah gambaran singkat sejarah jalan dan jembatan dari masa ke masa berdasarkan referensi digital:
A. SEJARAH JALAN
Jalan Prasejarah
Manusia purba menggunakan jalur alami seperti jalan setapak di hutan atau dataran. Jalur pertama kemungkinan besar terbentuk dari kebiasaan hewan dan manusia yang berjalan berulang kali di rute yang sama.
Jalan Kuno
Mesopotamia dan Mesir sekitar 4000 SM. Peradaban Mesopotamia membangun jalan tanah untuk perdagangan. Bangsa Mesir menggunakan batu untuk jalan di sekitar piramida.
Jalan Romawi
Kekaisaran Romawi 500 SM – 476 M membangun jalan dengan teknik canggih menggunakan batu besar, pasir, dan kerikil. Beberapa jalan Romawi masih bertahan hingga sekarang.
Jalan Sutra
Jalur perdagangan 200 SM – 1400 M yang menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Timur Tengah, hingga Eropa.
Revolusi Industri
Pembangunan jalan dengan teknik baru seperti penggunaan batu makadam oleh John Loudon McAdam antar thun 1700-1800-an.
Jalan Modern pada Abad ke-20 sudah berkembang pesat menggunakan aspal dan beton.
Pada Abad ke-21, jalan tol, jalan layang, dan sistem jalan pintar berbasis teknologi mulai digunakan.
B. SEJARAH JEMBATAN
Jembatan Primitif
Awalnya berupa batang kayu atau batu yang diletakkan melintasi sungai. Manusia purba juga menggunakan akar pohon yang tumbuh alami sebagai jembatan gantung sederhana.
Jembatan Kuno.
Jembatan Batu Mesopotamia sekitar 3000 SM dibangun dengan batu bata lumpur dan kayu.
Jembatan Romawi
Jembatan yang menggunakan batu dan beton tahan air sekira 500 SM – 500 M. Contoh jembatan yang terkenal pada era ini adalah Jembatan Alcántara di Spanyol.
Jembatan Gantung Inca
Jembatan gantung yang dibuat dari serat alami seperti rumput dan digunakan di Pegunungan Andes pada tahun 1400-an.
Jembatan Revolusi Industri
Jembatan Abad Pertengahan dan Revolusi Industri ini telah menggunakan besi pada 1779 di Inggris. Jembatan Iron Bridge di Shropshire, Inggris, adalah jembatan pertama dari besi tuang.
Jembatan Rel
Jembatan Era Kereta Api pada tahun 1800-an terbuat dari besi dan baja yang dibangun untuk mendukung transportasi kereta api.
Jembatan Modern
Jembatan gantung muncul mulai tahun 1900-an sampai sekarang contohnya Golden Gate Bridge di Amerika Serikat dan Jembatan Akashi-Kaikyō di Jepang.
Jembatan Kabel
Cable-Stayed Bridge mulai pada tahun 1950-an sampai sekarang misalnya Jembatan Suramadu di Indonesia).
Jembatan Berteknologi Tinggi
Jembatan yang muncul pada Abad ke-21 menggunakan material ringan dan teknologi anti-gempa.
Jalan dan jembatan terus berkembang dengan teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan daya tahan. Infrastruktur ini tetap menjadi tulang punggung transportasi global.
Berarti, jalan dan jembatan adalah pasangan ideal yang tak terpisahkan. Dengan kata lain jalannya harus bagus jembatannya juga bagus.
Yang kemudian menjadi persoalan, banyak jalan yang rusak sementara mau membangun jembatan kabel atau kereta gantung.
Pemikiran yang seperti ini jika ada pada kepala pemimpin, seyogyanya yang bersangkutan minum obat terlebih dahulu sehingga bisa berfikir jernih.
Pemimpin jangan menjadi pemimpi, walau kedua diksi ini hanya selisih satu huruf maknanya menjadi sangat jauh berbeda. Mimpi dalam pengertian visioner kedepan itu berbeda dengan mimpi dalam tidur; apalagi menjadi sangat berbeda lagi mimpinya sebelum tidur. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman