Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Belum selesai kasus perundungan di salah satu sekolah menengah atas negeri di daerah ini; muncul lagi peristiwa hampir sama di salah satu sekolah menengah pertama swasta yang terkenal disiplin, siswanya melakukan hal yang sama.
Beruntung semua itu diliput oleh media masa sekelas media yang kita baca saat ini; tentu memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi. Terutama Herman Batin Mangku (HBM) jurnalis senior yang sangat peduli dengan pendidikan.
Sekalipun HBM sering mendapatkan “perundungan” juga saat meminta klarifikasi kepada sumber berita. Tulisan ini mencoba mmbahasnya dengan meminjam lensa Filsafat Pendidikan, bukan untuk menghakimi, atau memberi solusi, namun paling tidak memberikan referensi.
Perundungan atau bullying, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi fenomena sosial yang tidak hanya menyentuh ruang-ruang sekolah saja, akan tetapi juga merembes ke media sosial, lingkungan kerja, bahkan dalam relasi keseharian yang tampak normal.
Ia menyaru dalam candaan, merayap dalam budaya kompetisi, dan terkadang mewujud dalam sistem yang tak lagi berpihak pada kemanusiaan.
Pertanyaannya bukan sekadar mengapa perundungan marak terjadi, tetapi apa yang telah berubah secara mendasar dalam cara manusia dididik hingga kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial kita hari ini.
Filsafat pendidikan kontemporer mengajak kita untuk tidak berhenti pada identifikasi gejala, melainkan menggali struktur pemikiran, nilai, dan orientasi pendidikan yang melandasi tindakan manusia.
Dalam perspektif ini, perundungan bukan sekadar tindakan salah individu terhadap individu lain, melainkan adanya gejala krisis kemanusiaan dalam pendidikan.
Kita hidup dalam dunia yang semakin menilai manusia dari performa, pencapaian, dan tampilan, bukan dari nilai-nilai keberadaan mereka sebagai subjek utuh.
Pendidikan, alih-alih menjadi ruang emansipasi dan penguatan identitas diri, justru sering berubah menjelma menjadi medan tempur, di mana hanya yang “unggul” yang mendapat pengakuan, dan yang “berbeda” menjadi objek cemooh; dan ini mendapat peneguhan yang jelas dan terang ada dalam visi lembaga.
Dalam masyarakat yang dibentuk oleh paradigma seperti ini, perundungan menemukan tanah suburnya. Ketika peserta didik tidak lagi diajak mengenali diri secara jujur dan utuh, tetapi terus-menerus dibandingkan, ditekan, dan diarahkan untuk menjadi sesuatu yang di luar dirinya, maka kegelisahan, kecemasan, dan agresi menjadi respons yang wajar.
Mereka yang merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup populer, mulai menyalurkan frustrasi mereka dengan menciptakan hierarki baru: “aku boleh tidak pintar, tapi aku bisa menjadi penguasa di antara teman-temanku lewat intimidasi”.
Kekerasan verbal menjadi alat untuk menunjukkan eksistensi. Kekerasan fisik menjadi bahasa baru untuk mengklaim kuasa.
Filsafat pendidikan kontemporer tidak hanya menggugat isi kurikulum atau metode pengajaran, melainkan juga menyentuh kedalaman eksistensial relasi manusia dalam pendidikan. Di mana letak kemanusiaan ketika sekolah menjadi tempat di mana anak-anak merasa terancam?
Apa arti pendidikan ketika seorang anak lebih takut ke sekolah daripada menghadapi ujian? Bukankah seharusnya pendidikan menjadi proses pembebasan, bukan penindasan?
Dalam dunia yang semakin kehilangan arah moral, di mana kebenaran menjadi relatif dan nilai menjadi cair, pendidikan seharusnya menjadi jangkar yang meneguhkan kembali hakikat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan, saling menghargai, dan saling menjaga.
Namun kenyataan yang kita hadapi hari ini justru sebaliknya. Kegagalan kita dalam membangun ruang pendidikan yang inklusif, terbuka, dan empatik menjadi akar dari tumbuhnya perundungan.
Ketika norma sosial lebih menghargai kekuatan daripada kelembutan, dominasi daripada dialog, maka perundungan bukan lagi penyimpangan, melainkan produk sistemik dari pola pikir yang telah menyimpang.
Anak-anak belajar dari lingkungan mereka. Jika mereka melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik di rumah, jika mereka menyaksikan penghinaan sebagai hiburan di televisi atau media sosial, dan jika mereka merasakan tekanan konstan untuk menjadi sempurna, maka perundungan hanya menjadi manifestasi dari pelajaran-pelajaran tak terlihat itu.
Maraknya perundungan juga mencerminkan ketimpangan dalam relasi kuasa yang sering diabaikan dalam sistem pendidikan. Ketika anak-anak dididik dalam struktur hierarkis yang kaku, di mana otoritas lebih penting daripada keadilan, maka mereka akan meniru pola itu dalam interaksi mereka.
Mereka yang merasa berkuasa: karena status sosial, fisik, atau prestasi, cenderung menggunakannya untuk mengontrol yang lain. Sementara mereka yang dianggap lemah terus mengalami penindasan tanpa ruang untuk bersuara. Pendidikan yang membebaskan tidak membiarkan struktur semacam ini bertahan.
Ia menantang dominasi dan membuka ruang partisipasi bagi semua suara, terutama yang kerap dibungkam.
Selain itu, peran media sosial dalam memperburuk fenomena perundungan tidak bisa diabaikan.
Di ruang digital, perundungan menemukan bentuk baru yang jauh lebih kompleks dan mengerikan: ia tak lagi terbatas ruang dan waktu, dan bisa menyebar dalam hitungan detik. Anonimitas memberi keberanian bagi pelaku, sementara algoritma memperkuat ekosistem kekerasan simbolik ini.
Sayangnya, pendidikan digital masih sangat minim diberikan. Banyak anak dan remaja yang masuk ke dunia digital tanpa dibekali kesadaran etis dan tanggung jawab sosial.
Mereka tidak tahu bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat secara bijak, karena mereka sendiri belum pernah mengalami bagaimana rasanya dihargai sebagai manusia yang utuh.
Guru dan pendidik perlu dipersiapkan bukan hanya sebagai pengajar materi, tetapi sebagai fasilitator kemanusiaan. Mereka harus mampu membangun relasi yang otentik dengan peserta didik, menjadi teladan dalam kepekaan sosial, dan memiliki keberanian untuk berdiri di pihak yang tertindas.
Dalam kerangka filsafat pendidikan kontemporer, guru bukan sekadar agen transformasi kognitif, melainkan agen perubahan sosial. Tugas mereka adalah membantu peserta didik menemukan identitas mereka yang sejati, membangun kesadaran kritis terhadap realitas yang mereka hadapi, dan mengembangkan kapasitas untuk hidup bersama secara damai dan bermakna.
Dan, tidak kalah pentingnya lembaga pencetak guru jangan tinggal diam di menara gading, mari turun lihat ke bumi karena alumni anda ada di sana.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa perundungan adalah cermin dari kegagalan kita memahami dan mempraktikkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pendidikan.
Selama pendidikan hanya mengejar standar, ranking, dan sertifikat, maka selama itu pula kita akan menciptakan generasi yang lebih terampil secara teknis, tetapi lumpuh secara moral. Kita harus kembali ke pertanyaan mendasar: untuk apa kita mendidik?
Jika jawabannya adalah untuk menciptakan manusia yang utuh, yang mampu hidup berdampingan dengan yang lain dalam perbedaan, maka seluruh orientasi sistem pendidikan kita harus dirombak agar sejalan dengan visi itu.
Terakhir, terimakasih patut diucapkan kepada media sosial (termasuk Hello Indonesia) yang konsisten mewartakan kejadian serupa ini, sekalipun diyakini saat mengkonfirmasi berita justru juga mendapatkan “perundungan jurnalistik” dari mereka yang merasa terusuk.
Semoga dinas pendidikan terkait dapat melakukan tindakan edukasi kepada semua jajarannya terutama yang berkait dengan masalah. Dan, tidak kalah pentingnya harus mampu bertindak tegas kepada mereka yang bertanggung jawab akan hal ini.
Bukan justru membuat kebijakkan kontradiktif, yang akhirnya memumbuhsuburkan perundungan di lingkungan dunia pendidikan. Salam Waras (gil)
Editor: Gilang Agusman
Monolog Senja di Ruang Sepi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore itu kebetulan banyak tenaga pengajar yang sudah meninggalkan kampus, karena jam kuliah mereka sudah berakhir. Yang tersisa hanya penulis dengan seorang staf administrasi; seorang lelaki tampan berkacamata tebal, sebagai orang yang diserahi mengurus semua keperluan mahasiswa dari alfa sampai zero. Semua dia kerjakan sendiri dalam sunyi tanpa pamrih, dengan satu harapan semua lancar. Dan, dalam kesendirian di ruang kerja yang nyaman ini, terbayang saat tadi “mucuki” kuliah perdana pada program sarjana. Istilah mucuki dikenal pada dunia pedalangan wayang kulit dimana seorang dalang senior membuka pertunjukkan, dengan segala macam kebesarannya. Kemudian sang senior menepi, selanjutnya digantikan oleh dalang yunior guna menuntaskan cerita babat yang sedang digelar.
Pagi tadi saya terkejut setelah mempersilakan masing-masing mahasiswa untuk menyebutkan latar belakang pendidikan, serta hal-hal lain yang melingkupinya. Ternyata latar belakang pendidikan mereka sangat beragam. Hal itu bisa menjadi sangat aneh jika dikaitkan dengan program studi yang mereka pilih hari ini. Terbayang bagaimana beratnya dosen sebagai tenaga pengajar berhadapan dengan keadaan seperti itu. Dosen harus memiliki jurus metodologis bagai pemain kungfu. Semua harus dilakukan agar transfer ilmu pengetahuan, dan pembentukan kepribadian dapat berjalan bersama.
Di ruang akademik itu, mereka semua diminta untuk berjalan di atas satu garis: garis kelulusan, garis derajat sarjana, garis status yang oleh luar sana disebut sama; “sama dengan lulusan perguruan tinggi negeri”.
Tantangannya bukan hanya pada mereka yang duduk di bangku, tetapi sangat berat bagi yang di muka kelas. Ia bukan semata mengajar, tetapi mengorkestrasikan keberagaman agar menghasilkan harmoni yang tak terlihat, setidaknya kelihatannya serasi di atas kertas ijazah nantinya.
Bagaimana mempertimbangkan keadilan dalam situasi tersebut? Apakah keadilan berarti memperlakukan semua mahasiswa dengan sama persis? Atau adakah keadilan justru memberi perbedaan sesuai kebutuhan dan kondisi?
Filsafat kontemporer telah banyak membincang ini lewat teori-teori yang mencermati prinsip keadilan, kesetaraan, kesetaraan peluang, keadilan distributif, dan keadilan korektif.
Pada senja yang sepi ini, pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dari kepala, menuntut jawaban tidak sekadar teknis, tetapi etis.
Pertama, mempertimbangkan bahwa bukan semua mereka yang datang dengan modal yang sama. Ada yang lahir dari keluarga dengan kemampuan membeli buku pelajaran lengkap, bisa ke les privat, dukungan keluarga dalam bentuk ruang belajar yang nyaman. Ada yang harus berjibaku dengan tugas rumahan, bekerja paruh waktu, atau bahkan menempuh perjalanan jauh setiap hari untuk mencapai kampus.
Ada yang bahasa ibunya bukan bahasa pengantar resmi, sehingga kesulitan menangkap jargon akademik.Bahkan tidak jarang dialek rumah pun masih kental mereka pakai di kampus. Ada yang sejak kecil telah terbiasa meraba-raba bacaan, sementara yang lain nyaris tak pernah melihat buku tebal tebal. Ada yang belum bisa memanfaatkan toilet dengan baik dan benar. Kondisi-kondisi ini bukan sekadar latar; ia mempengaruhi bagaimana kapasitas belajar bisa tumbuh.
Tanpa pengakuan terhadap latar ini, tuntutan “kelulusan dengan standar yang sama” bisa menjadi bentuk kekerasan epistemis, yaitu menuntut sesuatu yang mungkin tidak lengkap sama secara modal mental, material, dan sosial.
Kedua, dosen berada di posisi yang paradoks. Di satu sisi, ada tuntutan institusi: standar minimal yang mesti dijaga agar perguruan tinggi tidak kehilangan reputasi. Dosen harus menilai berdasarkan rubrik, bobot tugas, jumlah SKS, dan kurikulum yang ditetapkan.
Keseragaman dalam kurikulum dimaksudkan untuk menjamin bahwa gelar yang diperoleh lulusan menggambarkan kompetensi tertentu.
Di sisi lain, sebagai manusia yang melihat mahasiswanya bukan angka, ia melihat kemampuan yang tak kasat mata begitu “njomplang”, kerja keras yang di luar hitungan kelas, perjuangan hidup yang dalam diam. Ia tahu bahwa meskipun target adalah “lulus dengan kompetensi”, tidak semua mahasiswanya bisa berjalan di lintasan yang serupa.
Teori keadilan distributif mengajarkan bahwa keadilan tidak selalu berarti identik, melainkan memberi bagian yang sesuai kebutuhan; redistribusi agar ketidaksetaraan bisa dikecilkan. Di samping itu, teori equality of opportunity menekankan bahwa kesempatan harus diakses secara setara sejak awal, bukan hanya saat di puncak seleksi. Tetapi bagaimana mengimplementasikan ini di kampus? Apakah dengan remedial khusus, pemberian sumber belajar tambahan, kebijakan toleran terhadap latar sosial, pengurangan beban biaya, atau fleksibilitas dalam metode pengajaran?
Tentu semua ini memerlukan komitmen moral dan material yang luar biasa beratnya bagi dosen perguruan tinggi swasta.
Senja makin menuju temaram bersamaan bersitan di sanubari muncul keraguan: apakah usaha dosen tersebut tidak akan dianggap memanjakan? Apakah akan ada tuduhan bahwa standar akan direndahkan jika diadakan kompensasi?
Inilah titik ketegangan antara idealisme dan pragmatisme. Filsafat pendidikan kontemporer menolak ide bahwa standar harus dijaga dengan mengabaikan ketidaksetaraan latar belakang.
Sebaliknya, ia menawarkan bahwa standar itu sendiri harus sensitif terhadap konteks; bahwa standar tak boleh menjadi jangkar penghukum yang lemah; ia harus menjadi tongkat yang membantu semua untuk menaiki gunung pendidikan; namun bukti di lapangan jauh panggang dari api.
Keadilan, dalam perspektif pragmatis kontemporer, bukan sekedar pembauran persamaan, melainkan proses transformasi. Proses di mana institusi memperhitungkan bahwa mahasiswa mungkin punya “beban tersembunyi”: kekurangan bahasa, minim bahan ajar, keterbatasan teknologi, tekanan ekonomi, tanggung jawab di rumah. Mahasiswa yang datang dengan “keunggulan modal budaya” tidak diminta mundur; mereka tetap bisa bersinar. Tetapi mereka yang modalnya kurang, perlu diberi pijakan agar tidak terjungkal saat menginjak tangga-tangga pendidikan tinggi yang curam. Dosen menjadi semacam penjaga pintu yang tidak boleh menolak siapapun, tetapi membantu mereka untuk masuk dengan bekal yang cukup.
Gelarnya sama dengan sarjana negeri. Tetapi di hati dosen dan mahasiswa yang berproses dalam keberagaman, ada kisah yang tak tertulis di ijazah: usaha melewati tantangan, melintasi jurang perbedaan sosial, budaya, bahasa, material.
Akhirnya pertanyaan di udara menggema; Apakah kelulusan yang sama akan terasa bermakna jika saat di jalaninya ada yang harus menanggung beban berlipat, bergulat dengan rintangan yang tidak dipercayakan kepada yang lain? Apakah gelar itu menjadi pengakuan keadilan, atau sekadar cap seragam tanpa isi bagi sebagian? Apakah dosen, yang dianggap sebagai dirigen, tidak hanya menggiring ke arah satu tempo standar, tetapi juga mampu meresapi irama yang berbeda, tempo yang berbeda pada tiap mahasiswanya, agar keseluruhan simfoni pendidikan menjadi kaya, penuh nuansa, dan setia pada panggilan kemanusiaan?.
Pertanyaan-pertanyaan seperti menjadi sangat liar dalam benak dosen pengajar di perguruan tinggi swasta; namun mereka terbiasa dengan sunyi untuk mengabdi.
Biarlah senja itu menjadi saksi bahwa perguruan tinggi swasta yang harus memungut sisa-sisa remah-remah dari PTN “hawak”; karena menggunakan pukat harimau dalam menjaring calon mahasiswanya; berjuang menyamakan kualitas lulusannya agar sama dengan mereka, sementara bahan bakunya sisa mereka.
Lalu siapakah sejatinya yang pahlawan? Entahlah. Yang jelas pembedanya adalah kerja akademik dosen perguruan tinggi swasta saat ini menjadi jauh lebih berat. Namun yakinilah bahwa pendidikan tinggi adalah medan bagi manusia-manusia yang berbeda untuk tumbuh menjadi satu generasi yang tidak seragam dalam asal tetapi seragam dalam kepekaan, tanggung jawab, dan harapan, serta bersama menjaga negeri ini dari “para perampok berdasi”. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Membaca Perundungan di Sekolah Favorit Bandarlampung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Belum selesai kasus perundungan di salah satu sekolah menengah atas negeri di daerah ini; muncul lagi peristiwa hampir sama di salah satu sekolah menengah pertama swasta yang terkenal disiplin, siswanya melakukan hal yang sama.
Beruntung semua itu diliput oleh media masa sekelas media yang kita baca saat ini; tentu memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi. Terutama Herman Batin Mangku (HBM) jurnalis senior yang sangat peduli dengan pendidikan.
Sekalipun HBM sering mendapatkan “perundungan” juga saat meminta klarifikasi kepada sumber berita. Tulisan ini mencoba mmbahasnya dengan meminjam lensa Filsafat Pendidikan, bukan untuk menghakimi, atau memberi solusi, namun paling tidak memberikan referensi.
Perundungan atau bullying, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi fenomena sosial yang tidak hanya menyentuh ruang-ruang sekolah saja, akan tetapi juga merembes ke media sosial, lingkungan kerja, bahkan dalam relasi keseharian yang tampak normal.
Ia menyaru dalam candaan, merayap dalam budaya kompetisi, dan terkadang mewujud dalam sistem yang tak lagi berpihak pada kemanusiaan.
Pertanyaannya bukan sekadar mengapa perundungan marak terjadi, tetapi apa yang telah berubah secara mendasar dalam cara manusia dididik hingga kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial kita hari ini.
Filsafat pendidikan kontemporer mengajak kita untuk tidak berhenti pada identifikasi gejala, melainkan menggali struktur pemikiran, nilai, dan orientasi pendidikan yang melandasi tindakan manusia.
Dalam perspektif ini, perundungan bukan sekadar tindakan salah individu terhadap individu lain, melainkan adanya gejala krisis kemanusiaan dalam pendidikan.
Kita hidup dalam dunia yang semakin menilai manusia dari performa, pencapaian, dan tampilan, bukan dari nilai-nilai keberadaan mereka sebagai subjek utuh.
Pendidikan, alih-alih menjadi ruang emansipasi dan penguatan identitas diri, justru sering berubah menjelma menjadi medan tempur, di mana hanya yang “unggul” yang mendapat pengakuan, dan yang “berbeda” menjadi objek cemooh; dan ini mendapat peneguhan yang jelas dan terang ada dalam visi lembaga.
Dalam masyarakat yang dibentuk oleh paradigma seperti ini, perundungan menemukan tanah suburnya. Ketika peserta didik tidak lagi diajak mengenali diri secara jujur dan utuh, tetapi terus-menerus dibandingkan, ditekan, dan diarahkan untuk menjadi sesuatu yang di luar dirinya, maka kegelisahan, kecemasan, dan agresi menjadi respons yang wajar.
Mereka yang merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup populer, mulai menyalurkan frustrasi mereka dengan menciptakan hierarki baru: “aku boleh tidak pintar, tapi aku bisa menjadi penguasa di antara teman-temanku lewat intimidasi”.
Kekerasan verbal menjadi alat untuk menunjukkan eksistensi. Kekerasan fisik menjadi bahasa baru untuk mengklaim kuasa.
Filsafat pendidikan kontemporer tidak hanya menggugat isi kurikulum atau metode pengajaran, melainkan juga menyentuh kedalaman eksistensial relasi manusia dalam pendidikan. Di mana letak kemanusiaan ketika sekolah menjadi tempat di mana anak-anak merasa terancam?
Apa arti pendidikan ketika seorang anak lebih takut ke sekolah daripada menghadapi ujian? Bukankah seharusnya pendidikan menjadi proses pembebasan, bukan penindasan?
Dalam dunia yang semakin kehilangan arah moral, di mana kebenaran menjadi relatif dan nilai menjadi cair, pendidikan seharusnya menjadi jangkar yang meneguhkan kembali hakikat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan, saling menghargai, dan saling menjaga.
Namun kenyataan yang kita hadapi hari ini justru sebaliknya. Kegagalan kita dalam membangun ruang pendidikan yang inklusif, terbuka, dan empatik menjadi akar dari tumbuhnya perundungan.
Ketika norma sosial lebih menghargai kekuatan daripada kelembutan, dominasi daripada dialog, maka perundungan bukan lagi penyimpangan, melainkan produk sistemik dari pola pikir yang telah menyimpang.
Anak-anak belajar dari lingkungan mereka. Jika mereka melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik di rumah, jika mereka menyaksikan penghinaan sebagai hiburan di televisi atau media sosial, dan jika mereka merasakan tekanan konstan untuk menjadi sempurna, maka perundungan hanya menjadi manifestasi dari pelajaran-pelajaran tak terlihat itu.
Maraknya perundungan juga mencerminkan ketimpangan dalam relasi kuasa yang sering diabaikan dalam sistem pendidikan. Ketika anak-anak dididik dalam struktur hierarkis yang kaku, di mana otoritas lebih penting daripada keadilan, maka mereka akan meniru pola itu dalam interaksi mereka.
Mereka yang merasa berkuasa: karena status sosial, fisik, atau prestasi, cenderung menggunakannya untuk mengontrol yang lain. Sementara mereka yang dianggap lemah terus mengalami penindasan tanpa ruang untuk bersuara. Pendidikan yang membebaskan tidak membiarkan struktur semacam ini bertahan.
Ia menantang dominasi dan membuka ruang partisipasi bagi semua suara, terutama yang kerap dibungkam.
Selain itu, peran media sosial dalam memperburuk fenomena perundungan tidak bisa diabaikan.
Di ruang digital, perundungan menemukan bentuk baru yang jauh lebih kompleks dan mengerikan: ia tak lagi terbatas ruang dan waktu, dan bisa menyebar dalam hitungan detik. Anonimitas memberi keberanian bagi pelaku, sementara algoritma memperkuat ekosistem kekerasan simbolik ini.
Sayangnya, pendidikan digital masih sangat minim diberikan. Banyak anak dan remaja yang masuk ke dunia digital tanpa dibekali kesadaran etis dan tanggung jawab sosial.
Mereka tidak tahu bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat secara bijak, karena mereka sendiri belum pernah mengalami bagaimana rasanya dihargai sebagai manusia yang utuh.
Guru dan pendidik perlu dipersiapkan bukan hanya sebagai pengajar materi, tetapi sebagai fasilitator kemanusiaan. Mereka harus mampu membangun relasi yang otentik dengan peserta didik, menjadi teladan dalam kepekaan sosial, dan memiliki keberanian untuk berdiri di pihak yang tertindas.
Dalam kerangka filsafat pendidikan kontemporer, guru bukan sekadar agen transformasi kognitif, melainkan agen perubahan sosial. Tugas mereka adalah membantu peserta didik menemukan identitas mereka yang sejati, membangun kesadaran kritis terhadap realitas yang mereka hadapi, dan mengembangkan kapasitas untuk hidup bersama secara damai dan bermakna.
Dan, tidak kalah pentingnya lembaga pencetak guru jangan tinggal diam di menara gading, mari turun lihat ke bumi karena alumni anda ada di sana.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa perundungan adalah cermin dari kegagalan kita memahami dan mempraktikkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pendidikan.
Selama pendidikan hanya mengejar standar, ranking, dan sertifikat, maka selama itu pula kita akan menciptakan generasi yang lebih terampil secara teknis, tetapi lumpuh secara moral. Kita harus kembali ke pertanyaan mendasar: untuk apa kita mendidik?
Jika jawabannya adalah untuk menciptakan manusia yang utuh, yang mampu hidup berdampingan dengan yang lain dalam perbedaan, maka seluruh orientasi sistem pendidikan kita harus dirombak agar sejalan dengan visi itu.
Terakhir, terimakasih patut diucapkan kepada media sosial (termasuk Hello Indonesia) yang konsisten mewartakan kejadian serupa ini, sekalipun diyakini saat mengkonfirmasi berita justru juga mendapatkan “perundungan jurnalistik” dari mereka yang merasa terusuk.
Semoga dinas pendidikan terkait dapat melakukan tindakan edukasi kepada semua jajarannya terutama yang berkait dengan masalah. Dan, tidak kalah pentingnya harus mampu bertindak tegas kepada mereka yang bertanggung jawab akan hal ini.
Bukan justru membuat kebijakkan kontradiktif, yang akhirnya memumbuhsuburkan perundungan di lingkungan dunia pendidikan. Salam Waras (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Malahayati Raih 2nd Runner Up di Rimau Robotic Contest 2025
Kejuaraan ini menjadi wadah adu inovasi, kreativitas, serta keterampilan mahasiswa dalam bidang teknologi dan robotika. Pada kategori Line Follower Mahasiswa, peserta dituntut menciptakan robot yang mampu berjalan mengikuti lintasan dengan kecepatan, akurasi, serta stabilitas yang tinggi.
Arjun tampil percaya diri dan berhasil membawa harum nama Universitas Malahayati melalui performa robot ciptaannya yang stabil, presisi, serta mampu bersaing dengan tim-tim unggulan lainnya. Prestasi ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati mampu bersaing di bidang teknologi dan robotika di level nasional.
Dalam kesempatan wawancara, Arjun menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas pencapaian tersebut. “Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa meraih 2nd Runner Up di ajang Rimau Robotic Contest 2025 ini. Prestasi ini tidak lepas dari dukungan dosen, teman-teman, dan keluarga yang selalu memberi semangat”.
“Kompetisi ini juga membuka wawasan saya tentang pentingnya inovasi dan kerja keras dalam bidang teknologi. Semoga ke depan saya bisa terus berprestasi dan membawa nama baik Universitas Malahayati di kancah nasional maupun internasional,” ujar Arjun.
Prestasi ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi mahasiswa lain di Universitas Malahayati untuk terus berkarya, mengembangkan potensi diri, dan berani berkompetisi di berbagai bidang, khususnya teknologi dan inovasi yang kini semakin berkembang pesat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Katalog Buku Regulasi, Kebijakan, Dan Pelaporan Keuangan Akuntansi Sektor Publik
Judul : Buku Regulasi, Kebijakan, Dan Pelaporan Keuangan Akuntansi Sektor Publik
Pengarang : Apip Alansori, Muhammad Luthfi, Reyndi Fadillah
Penerbit : Universitas Malahayati
Sinopsis: Perkembangan Akuntansi Sektor Publik dari masa ke
masa selalu mengalami perubahan dengan sisi
multidimensionalnya terjelas dengan baik di buku ini. Buku ini
memiliki bab-bab yang disusun secara sistematis dengan
harapan agar buku ini dapat menjadi rujukan serta dapat
membantu para mahasiswa dalam pengambilan keputusan di
bidang Sektor Publik.
Penjelasan dalam buku ini bersifat sangat mudah
dipahami, tentunya semua ini bertujuan agar para pembaca
dapat memahami setiap kondisi persoalan Akuntansi Sektor
Publik secara lebih realistis. Tidak ada suatu kerugian jika buku
ini memiliki nilai tambah sebagai penguat referensi bagi
pengambil keputusan, khususnya para pembuat kebijakan
ekonomi.
Ketika Diam Itu Bersuara
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu membaca komentar seorang teman lama, yang kebetulan satu kampung halaman, dan beliau juga sudah purna bakti, dengan satu komentar yang sangat menohok, siang panglima perang untuk keluarganya, malam dihabiskan waktu untuk Tuhannya. Ternyata beliau penganut aliran “diam itu adalah bersuara”. Istilah ini menjadi sangat menarik jika kita pahami melalui filsafat manusia.
Diam sering dipahami sebagai tidak adanya suara. Ia dianggap sebagai kekosongan, sebagai ruang hampa dari aktivitas, komunikasi, dan ekspresi. Namun bagi manusia yang mau melihat lebih dalam, diam bukanlah kehampaan. Justru di dalam diam, ada kegaduhan yang tak terlihat; ada keramaian yang tak terdengar oleh telinga, tetapi menggema di relung jiwa. Diam bukan ketiadaan, melainkan bentuk keberadaan lain yang lebih dalam, lebih jujur, dan lebih padat makna. Inilah paradoks eksistensial manusia: bahwa yang terlihat hening di luar, bisa sangat riuh di dalam. Ramai dalam diam, bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan realitas eksistensial yang dialami oleh siapa saja yang menyentuh kedalaman dirinya.
Dalam diam, manusia dihadapkan pada dirinya sendiri. Tidak ada pelarian. Tidak ada distraksi. Ketika tubuh tak bergerak dan mulut tak berkata, tak ada lagi tempat untuk menyembunyikan kegelisahan, ketakutan, kerinduan, dan kekosongan batin. Diam menjadi cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya; tanpa topeng sosial, tanpa rekayasa pencitraan. Maka, diam bukan sekadar keadaan fisik, melainkan kondisi batin yang memaksa manusia untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dan dalam dialog itulah, ramai yang sesungguhnya muncul. Sebuah keramaian yang bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam kesadaran yang terbangun.
Manusia adalah makhluk paradoksal. Ia merindukan keheningan, tetapi takut pada kesepian. Ia mencari ketenangan, tetapi terganggu oleh suara hatinya sendiri. Dalam diam, manusia justru menemukan bahwa dirinya tidak pernah benar-benar sendirian. Ada ingatan yang datang silih berganti, ada bayangan masa lalu yang muncul tanpa diundang, ada kecemasan masa depan yang belum terjadi tapi sudah mengganggu. Pikiran manusia bekerja tanpa henti, dan dalam diam, kerja itu menjadi lebih kentara. Inilah yang membuat diam terasa “ramai”. Ia memaksa manusia untuk mendengarkan suara yang selama ini tertutup oleh hiruk-pikuk luar.
Namun keramaian dalam diam tidak selalu negatif. Ia bisa menjadi ladang refleksi, tempat lahirnya kesadaran baru. Dalam keheningan itulah manusia bisa melihat realitas dengan lebih jernih, tanpa gangguan, tanpa kebisingan distraksi. Ketika dunia luar diam, dunia dalam bisa berbicara lebih jelas. Manusia mulai melihat makna dari setiap pengalaman, memahami alasan di balik luka, menangkap pesan dari setiap kehilangan. Diam menjadi medium untuk menyusun kembali kepingan-kepingan hidup yang berserakan. Ia bukan ruang hampa, tetapi ruang pemulihan. Bukan tempat melarikan diri, tetapi tempat untuk kembali pulang kepada diri yang otentik.
Keramaian dalam diam juga terlihat dalam relasi manusia dengan yang ilahi. Doa yang paling tulus seringkali bukan yang panjang dan lantang, melainkan yang lirih, bahkan hanya berupa desahan batin. Dalam diam, manusia menemukan Tuhan bukan sebagai konsep, tetapi sebagai kehadiran. Sebuah kehadiran yang tidak perlu dijelaskan, hanya perlu dialami. Ketika semua kata habis, ketika logika tidak lagi mampu menjawab, ketika perasaan tak terungkapkan, manusia masuk ke dalam ruang diam. Dan justru di situ, ia merasakan pelukan spiritual yang tidak bisa dirumuskan dalam bahasa apa pun. Diam menjadi tempat perjumpaan yang suci.
Keramaian dalam diam juga mencerminkan kompleksitas eksistensi manusia. Kita bisa terlihat tenang di luar, tetapi menyimpan badai di dalam. Kita bisa tersenyum, tetapi hancur di dalam hati. Kita bisa diam seribu bahasa, tetapi sebenarnya sedang berteriak dalam batin. Realitas manusia tidak pernah sesederhana apa yang tampak. Ada banyak ruang tak terlihat dalam diri manusia ada ruang luka, ruang harapan, ruang rindu, ruang doa. Semua ruang ini hidup dan aktif, bahkan ketika manusia tampak diam. Dan justru dalam keheningan itulah, semua ruang ini bersuara, bercerita, menari dalam irama yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang terbuka.
Dalam kehidupan sosial, ramai dalam diam juga hadir dalam bentuk solidaritas sunyi. Sebuah genggaman tangan dalam duka, sebuah kehadiran di sisi ranjang rumah sakit tanpa kata-kata, sebuah pelukan dalam keheningan: semua itu lebih keras dari ribuan ucapan. Manusia memahami bahwa tidak semua komunikasi harus melalui kata. Diam juga bisa menjadi bahasa cinta, bahasa kepedulian, bahasa penerimaan. Bahkan dalam konflik, diam bisa menjadi bentuk kebijaksanaan; memilih tidak menjawab, bukan karena kalah, tetapi karena sadar bahwa tidak semua pertarungan layak dilanjutkan.
Pada akhirnya, ramai dalam diam adalah bentuk keberadaan manusia yang paling dalam. Ia menunjukkan bahwa manusia bukan sekadar tubuh, bukan sekadar makhluk sosial, tetapi juga makhluk batin. Ada dunia dalam diri manusia yang tidak bisa dijamah oleh suara luar. Dunia itu bisa sangat gaduh, bisa juga sangat damai. Namun dalam kedua keadaan itu, diam adalah pintu masuknya. Hanya dalam diam, manusia bisa mengenal dirinya sendiri. Dan hanya dengan mengenal dirinya, ia bisa mengenal yang lain, dan juga mengenal Tuhannya.
Ramai dalam diam bukanlah kontradiksi. Ia adalah kenyataan dari jiwa manusia yang kompleks. Ia menunjukkan bahwa makna tidak selalu muncul dalam suara, bahwa kebenaran tidak selalu hadir dalam debat, bahwa kehadiran tidak selalu memerlukan kata. Ia mengajarkan bahwa dalam keheningan ada kehidupan. Dalam sunyi ada suara. Dan dalam diam, ada keramaian yang tidak bisa diukur, tetapi bisa dirasakan oleh hati yang mendengar, oleh jiwa yang terjaga. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dibalik Siswi Mogok Kena Bully, Ada Manajemen Macet di Kesatuan Pendidikan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menyimak berita siswi SMA yang tak kuat lagi sekolah karena perundungan lewat media yang sedang kita tatap saat ini, sungguh menyayat hati. Ia berasal dari keluarga yang hidup serba kekurangan, namun tetap berjuang menuntut ilmu di sekolah negeri yang seharusnya menjadi kebanggaan.
Bagaimana tidak, secara ekonomi sangat kekurangan, entah apakah keluarga ini mendapat bantuan dari pemerintah atau tidak tidak ada informasi, kemudian sekolah di negeri yang kita banggakan, malah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan dari rekan sekolah.
Aneh dan ajaibnya, guru bimbingan penyuluhan (BK) siswa tidak kelihatan “bekas kerjanya”. Demikian pula sekolahnya, alih-alih mengakui kealpaannya, malah membuat klarifikasi yang seolah-olah cuci tangan. Setelah viral, baru sekolah mulai mencari celah pembelaan.
Kasus seperti ini tentunya tidak harus terjadi pada sekolah selevel sekolah dimaksud; sebab instrumen pendidikan sekolah tersebut sudah lengkap; baik sarana, prasarana, dan tenaga pengajar.
Tinggal komandan tertinggi sekolah itu mampukah mengorganisir sumber daya yang ada. Peristiwa ini mentengarai bahwa pimpinan tertinggi lembaga ini tidak melakukan fungsinya secara maksimal. Prinsip-prinsip manajemen sekolah dan atau pendidikan tidak dijalankan dengan baik.
Atas dasar itu, pihak dinas pendidikan yang membawahi lembaga ini harus berani melakukan tindakan tegas kepada pimpinan lembaganya. Jangan terkesan menunggu laporan, yang pada akhirnya peristiwa ini “masuk angin” di jalan.
Upaya pembinaan biasa tidak cukup untuk melakukan penanganan kasus ini; dan lembaga yang bertanggungjawab akan keberlangsungan pendidikan di provinsi ini sudah harus “malu” jika sampai menjadi konsumsi publik beritanya.
Permohonan maaf; dan atau ucapan tidak akan mengulangi lagi; itu bukan solusi yang diharapkan. Tindakan administratif luar biasa harus dilakukan kepada pimpinan tertinggi sekolah ini jika marwah pendidikan di daerah ini ingin dijaga.
Perlu disadari bahwa banyak guru-guru yang lebih cakap memimpin di daerah ini dan tinggal adakah kesempatan diberikan kepada mereka untuk mengimplementasikannya.
Serta yang tidak kalah pentingnya adakah sistem yang dibangun untuk memunculkan kepala sekolah yang cakap secara manajerial dan leadership yang baik, itu perlu diadakan.
Hal yang tidak kalah pentingnya kejadian seperti ini bisa jadi ada di sekolah-sekolah yang nunjauh di sana; hanya karena jarak dan rentang kendali, berita itu tidak sampai naik kepermukaan.
Oleh karena harus diciptakan sistem yang dapat menditeksi guna pencegahan, agar hal serupa tidak terjadi. Di tingkat provinsi harus ada satuan tugas yang memonitor hal ini; dan setiap sekolah Koordinator Guru BK adalah merupakan anggota satgas secara otomatis.
Sementara di sekolah koordinator ini menjadi ketua satgas yang setiap minggu harus melaporkan kepada pimpinan sekolah tentang kejadian yang ada di sekolah. Anggota satgas di sekolah harus ada unsur siswa yang dilibatkan agar ada keakuratan informasi.
Sementara dinas pendidikan provinsi harus memasang alat pantau untuk setiap sekolah dengan kamera tersembunyi untuk daerah rawan, terutama sekolah tipe A dan B yang jumlah peserta didiknya besar. Alat pantau ini ada di runag Koordinator Guru BK dan dapat dimonitor secara menyeluruh dari kantor dinas provinsi sebagai pengendali.
Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran bagai semua mereka yang terlibat pada dunia pendidikan. Dan, tidak kalah pentingnya bahwa memang menjadi guru itu bukan mudah, apalagi dengan begitu cepatnya kemajuan teknologi dewasa ini.
Serta, menjadi kepala sekolah itu bukan jabatan yang bebas dari tanggungjawab pendidikan, justru siapapun yang duduk pada posisi ini harus menunjukkan kelebihannya dalam bidang pendidikan termasuk manajerial sekolah.
Demikian juga kepada pimpinan tertinggi dunia pendidikan di daerah ini, jangan setengah hati untuk menindak kepala sekolah yang memang tidak mampu menunjukan kinerjanya dengan baik.
Namun juga jangan pelit memberikan penghargaan kepada mereka-mereka yang berhasil menunjukkan kinerjanya di bidang pendidikan, termasuk kepada kepala sekolah yang memang layak mendapatkan apresiasi untuk itu. Salam Waras (gil)
Editor: Gilang Agusman
Ubah Limbah Jadi Berkah, Dosen Universitas Malahayati Transformasikan Cangkang Kerang Hijau Jadi Pupuk dan Pakan di Pulau Pasaran
Program ini hadir berkat inisiatif tim dosen Universitas Malahayati yang memberikan sosialisasi, pelatihan, pendampingan, hingga penerapan teknologi tepat guna melalui Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) DPPM Kemdikbudristek Tahun 2025 dengan Nomor Kontrak 205/C3/DT.05.00/PM II/2025 tertanggal 23 Juli 2025.
Kerang hijau (Perna viridis) banyak ditemukan di perairan dangkal seperti batu karang, pelabuhan, dan struktur pantai. Di berbagai daerah, termasuk Teluk Jakarta, Pantai Utara Pulau Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan, hingga Sulawesi pesisir, keberadaan kerang hijau melimpah.
Namun, di Pulau Pasaran, limbah cangkang kerang hijau yang menumpuk sering kali hanya dijadikan timbunan tanah di sekitar rumah warga. Selain merusak estetika lingkungan, limbah ini belum memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat.
Tak hanya sebatas produksi, program ini juga mengajarkan digitalisasi pemasaran melalui e-katalog Likerau, serta menghadirkan alat produksi modern yang dapat membantu masyarakat mengolah limbah secara lebih efektif. Mitra PKM dalam kegiatan ini adalah kelompok Pengrajin Kerambah Kerang Hijau Pulau Pasaran.
Ia pun menyampaikan apresiasi kepada DPPM Kemdikbudristek yang telah memberikan dukungan pendanaan penuh untuk program PKM tahun anggaran 2025.
Dengan dukungan teknologi produksi modern dan strategi pemasaran yang terintegrasi, inovasi ini diharapkan dapat menjadi model pemberdayaan masyarakat pesisir yang tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Raih Medali Emas di Kejuaraan Kickboxing Lampung 2025
Dalam pertandingan yang diikuti atlet-atlet terbaik dari berbagai daerah di Provinsi Lampung, Adika menunjukkan ketangguhan, disiplin, dan teknik bertarung yang memukau. Dukungan penuh dari tim pelatih serta semangat juang tinggi menjadi kunci keberhasilannya merebut gelar juara.
Keberhasilan Adika menjadi bukti nyata bahwa semangat sportivitas, disiplin, dan kerja keras mampu mengantarkan mahasiswa mencapai puncak prestasi, sekaligus mengharumkan nama almamater Universitas Malahayati di tingkat daerah maupun nasional.
Adika Hedi Pratama bersyukur bisa meraih medali emas pada kejuaraan ini. Rasanya luar biasa bisa membawa pulang kemenangan untuk Universitas Malahayati. “Pertandingan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga mental, strategi, dan dukungan dari orang-orang terdekat. Semua proses latihan, rasa lelah, dan perjuangan akhirnya terbayar lunas.” ujarnya.
Keberhasilan Adika menjadi bukti nyata bahwa semangat sportivitas, disiplin, dan kerja keras mampu mengantarkan mahasiswa mencapai puncak prestasi, sekaligus mengharumkan nama almamater Universitas Malahayati di tingkat daerah maupun nasional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Serah Terima, Ucap Janji, dan Orientasi Dokter Muda Universitas Malahayati di RSUD Jend. A. Yani Metro
Hadir langsung dalam acara ini, Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, bersama jajaran Wakil Rektor I, II, III, IV, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Ketua Program Studi Profesi dan Pendidikan, Sekretaris, Ketua PMB, serta Kepala Humas dan Protokoler Universitas Malahayati.
“Masa Co-ass adalah fase penting yang akan menguji ketangguhan, integritas, dan empati kalian terhadap pasien dan masyarakat. Ikuti orientasi ini dengan sungguh-sungguh, jalin komunikasi yang baik dengan para pembimbing, dan jagalah etika profesi. Ingatlah, kalian bukan hanya mewakili diri sendiri, tetapi juga almamater dan bangsa,” ujar Kadafi.
Beliau juga menambahkan bahwa keberadaan mahasiswa Universitas Malahayati di Metro diharapkan bisa berkontribusi pada visi dan misi Kota Metro sebagai kota pendidikan dan kota sehat. “Bulan Oktober nanti, kita juga akan menyambut mahasiswa dari Universitas Putra Malaysia. Ini menjadi momentum kolaborasi internasional di bidang kesehatan,” tambahnya.
“Setelah menempuh teori di bangku kuliah, kini saatnya adik-adik terjun langsung dalam pengabdian. Anggaplah rumah sakit ini sebagai rumah kedua. Jangan ragu untuk bertanya dan berdiskusi. Setiap pasien yang kalian temui adalah guru terbaik,” tuturnya.
Orientasi ini akan berlangsung selama dua hari, 17–18 September 2025. Para peserta akan dibekali berbagai materi penting, mulai dari pengenalan visi-misi rumah sakit, etika profesi, PMKP (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien), pelayanan prima, pencegahan dan pengendalian infeksi, komunikasi efektif, hingga praktik penggunaan APAR (Alat Pemadam Api Ringan).
“Orientasi ini bukan sekadar agenda rutin, tetapi bentuk nyata sinergi kita dalam membangun kesehatan masyarakat. Kehadiran dokter muda di RSUD Metro akan memperkuat layanan medis sekaligus menghidupkan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” ungkapnya.
Ia berharap, mahasiswa dokter muda Universitas Malahayati mampu memanfaatkan kesempatan ini untuk tidak hanya mengasah keterampilan medis, tetapi juga memahami dinamika sosial kesehatan dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat Kota Metro.
Dengan orientasi ini, 57 dokter muda Universitas Malahayati siap mengawali perjalanan klinisnya di RSUD Jend. A. Yani Metro. Harapannya, mereka tidak hanya menjadi tenaga medis yang kompeten, tetapi juga hadir sebagai insan kesehatan yang humanis, berintegritas, dan berdedikasi tinggi bagi bangsa dan masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Uang Masih Perlu, (walau) Kerja Sudah Tak Mampu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir pekan ini matahari memancarkan sinarnya sangat terik sekali. Saat membersihkan halaman rumah pusaka bagian depan, bertemu dengan seorang bapak yang bekerja sebagai pengumpul bahan bekas. Saat beliau istirahat sejenak ditepi jalan, kesempatan itu digunakan oleh penulis untuk berbincang- bincang; ternyata usia beliau sudah tidak muda lagi. Namun, karena tuntutan perut keluarga, maka tidak ada jalan lain kecuali bekerja dan bekerja sepanjang hari. pedoman beliau sekalipun kerja sudah tak mampu, namun uang masih perlu; maka tidak ada jalan untuk menyerah; yang ada hanya terus maju. Jadi ingat, beberapa waktu lalu ada teman yang pensiunan ASN, tentu saja beliau ini sudah tidak muda lagi, berprinsip sama dengan bapak di atas. Beliau masih harus aktif bekerja karena membiayai si bungsu yang masih kuliah tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri papan atas negeri ini. Bedanya bapak pensiunan ini melanjutkan bertani di desa istrinya dengan bertanam kelapa sawit; tentu model tani berdasi, namun tetap saja namanya bertani harus banting tulang menyingsingkan lengan. Sebab, jika tidak itu yang beliau lakukan maka hasil kebon akan dicuri orang. Alasan inilah menjadi pembenaran dirinya yang ada pada posisi “uang masih perlu, walau kerja sudah tak mampu”. Dari hal inilah terinspirasi untuk menulis ulang kembali tema itu dari kacamata filsafat.
Dunia modern adalah arena tuntutan yang tak kunjung habis. Di tengah dentingan mesin industri dan bisik-bisik algoritma digital, manusia menjadi roda yang terus berputar tanpa sempat bertanya ke mana arah perjalanannya. Hidup di tengah arus kapitalisme global dan tuntutan produktivitas tak ubahnya seperti berlomba di lintasan yang tak memiliki garis akhir. Namun, suatu ketika, tubuh mulai memberi sinyal. Tulang yang dulu tegak mulai rapuh, mata yang tajam mulai kabur, dan tangan yang cekatan mulai gemetar. Kerja sudah tak mampu; namun, uang masih perlu.
Persoalan ini bukan semata soal ekonomi atau kesehatan, tetapi soal makna eksistensi manusia di tengah lanskap nilai yang berubah. Dalam perspektif filsafat kontemporer, tema ini membuka ruang untuk menyoal kembali relasi antara tubuh, kerja, dan nilai manusia. Pertanyaan yang muncul tak lagi sekadar “apa yang harus dikerjakan”, melainkan “apakah makna kerja ketika tubuh sudah tak mampu, tetapi kebutuhan hidup tetap ada” Di sinilah letak ketegangan antara eksistensi dan sistem: bagaimana manusia tetap dianggap bernilai dalam masyarakat ketika ia sudah tidak mampu memenuhi standar produktivitas.
Dunia modern mengukur nilai berdasarkan kemampuan untuk menghasilkan. Siapa yang bekerja keras dianggap mulia. Siapa yang menghasilkan banyak dianggap berhasil. Tapi ketika seseorang tidak lagi bisa bekerja karena usia atau sakit, masyarakat perlahan menjauhkannya dari pusat kehidupan. Ia tak lagi dilihat sebagai kontributor, melainkan beban. Namun, kebutuhan dasar manusia tidak mengenal kata pensiun. Makan, tempat tinggal, kesehatan, dan harga diri; semuanya tetap dibutuhkan. Uang tetap perlu, bahkan ketika bekerja tak lagi mungkin dilakukan.
Dalam perspektif filsafat kontemporer, hal ini bisa dibaca sebagai krisis subjektivitas. Manusia dikonstruksi sebagai subjek produktif. Ketika ia tidak bisa lagi produktif, ia merasa kehilangan jati dirinya. Padahal, eksistensi manusia tidak seharusnya direduksi hanya pada perannya sebagai pekerja. Ada kehidupan di luar kerja. Ada nilai dalam keberadaan itu sendiri. Tetapi sistem sosial-ekonomi yang dominan terus menekan individu untuk menyamakan hidup dengan kerja. Akibatnya, banyak orang tua yang merasa tidak berguna, hanya karena tubuh mereka tak sanggup lagi menyumbang dalam bentuk kerja fisik atau mental yang dapat diuangkan.
Lantas, apakah manusia yang tak mampu lagi bekerja harus menyerah pada kemiskinan dan keterasingan? Filsafat kontemporer tidak menawarkan jawaban moralistik, tetapi membuka ruang refleksi. Barangkali yang perlu digugat bukanlah ketidakmampuan bekerja, melainkan sistem yang menyamakan nilai hidup dengan produktivitas. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apakah sistem itu adil bagi mereka yang sudah memberikan sebagian besar hidupnya untuk bekerja, lalu pada masa senja justru diabaikan.
Kebutuhan terhadap uang adalah kenyataan yang tak bisa dihindari. Tetapi filsafat mengajarkan bahwa manusia bukan hanya makhluk ekonomi. Ia juga makhluk moral, sosial, dan eksistensial. Jika sistem hanya menyediakan ruang bagi mereka yang bekerja, lalu menutup mata bagi mereka yang tak mampu, maka sistem itu gagal memahami hakikat manusia secara utuh. Dunia bukan hanya milik mereka yang kuat dan sehat. Dunia adalah tempat bersama, di mana yang lemah dan sakit juga berhak untuk hidup dengan martabat.
Masalah ini semakin rumit ketika kita menyadari bahwa tak semua orang memiliki akses yang adil terhadap sumber daya. Ketika tubuh masih kuat, banyak yang hanya bisa bekerja dalam sektor informal tanpa jaminan masa tua. Maka ketika tua datang, mereka tidak punya simpanan, tidak punya jaminan, dan tidak punya ruang untuk bersandar. Di sinilah kekejaman sistem menjadi nyata. Mereka yang sudah bekerja keras sepanjang hidup, tetap harus mencari uang di masa tua, bukan karena ambisi, tetapi karena kebutuhan. Uang masih perlu, kerja sudah tak mampu.
Ada pula dimensi relasional dalam isu ini. Dalam masyarakat yang semakin individualistik, mereka yang tak mampu bekerja sering kali ditinggalkan sendiri. Rasa malu, takut menjadi beban, dan kehilangan harga diri menjadi luka-luka batin yang tak terlihat. Padahal, dalam relasi yang sehat, manusia saling menopang. Yang muda merawat yang tua, dan yang tua membimbing yang muda. Tapi ketika relasi ini dikorbankan demi efisiensi dan kemandirian palsu, manusia menjadi makhluk terasing. Ia tidak hanya kekurangan uang, tetapi juga kekurangan makna dan pengakuan.
Kita perlu mengganti paradigma. Bukan lagi “siapa yang bekerja, dia yang berhak hidup”, tetapi “siapa yang hidup, dia berhak hidup layak”. Ini bukan utopia, tapi keharusan moral. Sebab jika tidak, kita sedang membangun dunia yang menolak keberadaan kita sendiri ketika usia senja datang. Barangkali pada akhirnya, pertanyaan terdalam dari tema ini adalah: apakah kita siap hidup dalam dunia yang hanya menerima kita ketika kita kuat, dan membuang kita ketika kita lemah? Atau apakah kita bisa membayangkan dunia yang mengerti bahwa lemah pun adalah bagian dari menjadi manusia?. Kita hanya bisa menyerahkannya kepada waktu. Namun ingat pesan bijak para leluhur dulu “jangan memberi supaya dipuji, dan jangan memuji supaya diberi”. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman