Bagaimana Menerima Suatu Keadaan, Tanpa Harus Menyalahkan Keadaan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu panas terik sekali, kami baru pulang menghadiri undangan di dua tempat yang berbeda, bahkan berlawanan arah. Namun esensi acaranya sama, yaitu upacara pernikahan anak sahabat. Pada tempat pertama berperan menjadi tokoh sentral penerima pihak besan, pada acara kedua sebagai tamu undangan kehormatan. Tugas kemanusiaan usia lanjut seperti ini, hampir terjadi setiap pekan; namun hari itu sedikit special karena menjumpai keadaan yang kontradiktif. Pada posisi ini posisi harus diambil adalah menerima keadaan, tanpa harus menyalahkan keadaan. Tentu persoalan seperti ini menjadi menarik jika dibahas dari sudut pandang Filsafat Kontemporer.

“Keadaan”  adalah segala sesuatu yang terjadi di luar atau dalam diri individu, seperti halnya ; kejadian tak terduga, kehilangan, kegagalan, kondisi sosial-politik, hingga krisis makna hidup. Dalam pemikiran kontemporer, terutama eksistensialis, keadaan bukan sekadar kejadian pasif, tetapi bagian dari keberadaan manusia yang harus dihadapi secara sadar. Sartre mengatakan bahwa manusia tidak bisa menghindari tanggung jawab atas bagaimana kita merespons apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Keadaan, dalam hal ini, bukan penyebab utama penderitaan, tetapi bagaimana kita mempersepsikannya dan bagaimana kita memilih untuk merespons. Ini menegaskan bahwa keadaan bersifat netral, dan manusialah yang memberi makna. Jean-Paul Sartre juga menolak ide bahwa manusia adalah korban nasib. Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre menekankan bahwa keberadaan manusia mendahului esensinya, maksudnya kita ada lebih dulu, lalu menciptakan makna atas hidup kita melalui tindakan. Maka ketika seseorang mengalami kegagalan, Sartre akan bertanya: bagaimana engkau memilih untuk menanggapi kegagalan itu?

Menyalahkan keadaan, bagi Sartre, adalah bentuk “bad faith” (itikad buruk), yakni upaya menyangkal kebebasan dan tanggung jawab pribadi. Ketika kita berkata, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya seperti ini,” kita sedang bersembunyi dari kebebasan kita sendiri. Maka, untuk benar-benar hidup secara otentik, seseorang harus mengakui bahwa sekalipun tidak bisa mengendalikan keadaan, kita tetap bebas untuk memilih sikap.

Berbeda lagi dengan Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, beliau menggambarkan kehidupan sebagai absurd: manusia mendambakan makna, tetapi dunia tidak memberikannya. Ketika tragedi terjadi seperti; kematian orang terdekat, ketidakadilan sosial, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, sebenarnya kita berhadapan langsung dengan absurditas ini. Namun, Camus tidak menyarankan untuk menyerah atau menyalahkan dunia. Sebaliknya, ia menawarkan sikap “pemberontakan”, yakni menerima absurditas dan terus hidup dengan kepala tegak.  Menerima keadaan, bagi Camus, bukan soal pasrah, tetapi memilih untuk tetap hidup dengan integritas, meskipun hidup itu sendiri tampak tanpa makna.

Simone de Beauvoir, dalam “The Ethics of Ambiguity”, menekankan bahwa kehidupan manusia selalu berada dalam ambiguitas yaitu, antara keterbatasan dan kebebasan. Ia mengingatkan bahwa meskipun kita tidak selalu menciptakan keadaan (misalnya, struktur patriarki atau kolonialisme), kita tetap bertanggung jawab atas bagaimana kita meresponsnya. Menyalahkan keadaan, dalam kerangka ini, justru bisa menjadi bentuk pelepasan tanggung jawab moral. Beauvoir menekankan bahwa tindakan etis adalah ketika kita memperjuangkan kebebasan: baik kebebasan diri maupun orang lain. Maka, menerima keadaan berarti mengakui keterbatasan, namun tetap bertindak demi kebaikan dan kebebasan bersama.

Viktor Frankl, seorang psikiater sekaligus penyintas kamp konsentrasi Nazi, memberikan perspektif yang mendalam tentang bagaimana menerima keadaan ekstrem tanpa kehilangan makna hidup. Dalam bukunya “Man’s Search for Meaning”, ia menyatakan bahwa: bahkan dalam penderitaan terdalam, manusia tetap memiliki kebebasan terakhir: memilih sikapnya terhadap penderitaan itu. Frankl berpendapat bahwa makna tidak harus ditemukan dalam kesuksesan atau kebahagiaan, tetapi bahkan dalam penderitaan yang tak bisa dihindari. Dengan demikian, daripada menyalahkan keadaan, manusia dapat bertanya: “Apa makna dari pengalaman ini bagi dirinya?”: Ini bukan bentuk naif, tetapi suatu bentuk keberanian eksistensial untuk menemukan makna dalam absurditas.

Filsafat postmodern, seperti yang dikembangkan oleh Jean-François Lyotard dan Michel Foucault, mengkritik narasi besar yang seolah menjelaskan segalanya secara linear dan absolut. Dalam konteks menyalahkan keadaan, postmodernisme mengajak kita untuk mempertanyakan: apakah benar keadaan itu tunggal dan obyektif? Ataukah kita sedang mengadopsi narasi tertentu tentang apa yang “seharusnya” terjadi. Dengan membongkar narasi-narasi yang membentuk cara pandang kita terhadap kehidupan (misalnya: sukses berarti kaya; hidup bahagia berarti tanpa kesulitan), postmodernisme membuka ruang bagi interpretasi yang lebih fleksibel. Penerimaan tidak lagi dipandang sebagai bentuk pasrah, tetapi sebagai bentuk kesadaran bahwa tidak ada satu pun cara hidup yang “benar”. Ini membebaskan manusia dari perangkap menyalahkan karena standar kesuksesan atau kebahagiaan bisa dikonstruksi ulang.

Penting untuk membedakan antara penerimaan dengan kepasrahan total. Dalam banyak filsafat kontemporer, penerimaan berarti pengakuan jujur terhadap kenyataan; namun bukan berarti menyerah terhadap kondisi itu. Camus menerima absurditas, tetapi ia memberontak. Frankl menerima penderitaan, tetapi ia mencari makna. Sartre menerima keterbatasan hidup, tetapi ia mengadvokasi kebebasan bertindak. Menerima keadaan tanpa menyalahkan berarti menggeser fokus dari apa yang tidak bisa kita kendalikan ke apa yang masih bisa kita pilih. Ini menuntut keberanian, kedewasaan, dan kejujuran eksistensial.

Secara praktis, filsafat kontemporer mengajarkan kita bahwa penerimaan bukan reaksi sekali jadi, melainkan suatu proses yang panjang. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, filsafat kontemporer tidak memberi jawaban instan, tetapi membuka ruang bagi refleksi yang lebih dalam; yang pada akhirnya menuntun kita pada penerimaan yang memerdekakan, bukan menindas.  Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Matangkan Persiapan Audit Mutu Internal (AMI) Tahun 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati melalui Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) tengah mematangkan persiapan pelaksanaan Audit Mutu Internal (AMI) tahun 2025. Kegiatan ini merupakan agenda rutin tahunan dalam rangka mengevaluasi implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan memastikan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) berjalan secara berkesinambungan di seluruh unit kerja.

Rapat persiapan yang dipimpin langsung oleh Ketua LPMI Universitas Malahayati, Dr. M. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kep., dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas, wakil ketua LPMI, BPMI FIK, tim auditor, serta perwakilan unit terkait. Dalam arahannya, Ketua LPMI menekankan bahwa AMI bukan sekadar kegiatan administratif, melainkan instrumen penting untuk mengukur kualitas penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di Universitas Malahayati.

Persiapan yang dilakukan meliputi: Penyusunan jadwal dan ruang lingkup audit yang mencakup semua program studi dan unit kerja. Pembekalan auditor internal agar memiliki pemahaman yang komprehensif tentang standar mutu pendidikan tinggi dan pedoman LAM-PTKes maupun BAN-PT. Koordinasi teknis dengan unit terkait untuk kelancaran pelaksanaan AMI. Penyempurnaan instrumen audit sesuai standar terbaru.

Ketua LPMI Universitas Malahayati dalam sambutannya menyampaikan bahwa AMI diharapkan menjadi cermin kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hasil audit akan menjadi dasar dalam menyusun strategi peningkatan mutu universitas, termasuk dalam menghadapi akreditasi nasional maupun internasional.

Pelaksanaan AMI tahun 2025 rencananya akan dimulai pada bulan 7-9 September 2025, dengan melibatkan 4 tim auditor internal, 2 tenaga IT, dan didukung penuh oleh seluruh unit kerja. Universitas Malahayati berkomitmen untuk melaksanakan audit secara independen, obyektif, dan transparan demi tercapainya visi universitas sebagai institusi pendidikan tinggi yang unggul, berdaya saing, dan berkarakter. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Gelar Workshop Bedah Kurikulum

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat (S2 Kesmas) Universitas Malahayati menyelenggarakan Workshop Bedah Kurikulum dalam rangka penyempurnaan kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Outcome Based Education (OBE). Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Rapat Pascasarjana Universitas Malahayati. Rabu (27/8/2025).

Workshop dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes. yang dalam sambutannya menegaskan pentingnya penyusunan kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, kebutuhan dunia kerja, serta kebijakan nasional maupun global di bidang kesehatan masyarakat.

Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan ini adalah pakar kurikulum dan praktisi kesehatan masyarakat, di antaranya: Prof. Dr. Dyah Wulan Sumekar RW, S.KM., M.Kes (pakar kurikulum kesehatan masyarakat) dan Dr. Noviansyah, M.Kes, perwakilan organisasi profesi IAKMI

Peserta workshop terdiri dari dosen, tendik, mahasiswa, Alumni, Dinas Kesehatan dan mitra eksternal yang berperan aktif dalam memberikan masukan konstruktif. Diskusi difokuskan pada penyelarasan capaian pembelajaran lulusan (CPL), struktur mata kuliah inti dan peminatan, serta integrasi isu-isu strategis kesehatan masyarakat seperti epidemiologi penyakit, kesehatan global, manajemen pelayanan kesehatan, gizi kesmas, kesehatan reproduksi, dan promosi kesehatan berbasis komunitas.

Ketua Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino, M.Kes, menyampaikan bahwa hasil dari workshop ini akan ditindaklanjuti dengan penyusunan dokumen kurikulum final yang siap diimplementasikan mulai tahun akademik 2025/2026.

Kegiatan diakhiri dengan penandatanganan berita acara dan komitmen bersama untuk melaksanakan kurikulum baru yang diharapkan dapat meningkatkan mutu lulusan serta daya saing Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati di tingkat nasional maupun internasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa KKL-PPM Universitas Malahayati Kelompok 48 Gelar Sosialisasi Pangan Lokal Lewat Beans Cookies untuk Cegah Stunting di Pekon Sampang Turus

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Upaya pencegahan stunting kembali mendapat dukungan dari mahasiswa Universitas Malahayati Bandar Lampung. Melalui program Kuliah Kerja Lapangan Pengabdian kepada Masyarakat (KKL-PPM), kelompok 48 mengadakan kegiatan sosialisasi bertajuk “Pemberdayaan Pangan Lokal melalui Produk Beans Cookies sebagai Solusi Cegah Stunting” di Balai Pekon Sampang Turus, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus.

Kegiatan ini berlangsung dengan pendampingan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Annisa Mayang Soliha, M.Gz., serta diikuti oleh ibu hamil, ibu menyusui, anak-anak, dan para kader kesehatan desa. Melalui inovasi pangan lokal berbasis kacang hijau yang diolah menjadi beans cookies, mahasiswa memperkenalkan alternatif camilan sehat, bergizi, dan tetap disukai anak-anak.

Turut hadir dalam acara ini Kepala Pekon Sampang Turus, Bapak Marhawi, bersama istri Ibu Lodema, beserta perangkat pekon. Dalam sambutannya, Pak Marhawi memberikan apresiasi penuh terhadap kegiatan mahasiswa.

“Saya sangat berterima kasih kepada mahasiswa KKL-PPM Universitas Malahayati yang telah memberikan edukasi kepada masyarakat kami. Semoga kegiatan ini bermanfaat bagi kesehatan anak-anak di Pekon Sampang Turus dan menjadi motivasi bagi warga untuk lebih peduli terhadap gizi keluarga,” ujarnya.

Selain penyuluhan, kegiatan semakin menarik dengan pembagian beans cookies kepada anak-anak. Suasana terlihat hangat ketika mereka menikmati kudapan bergizi, sementara para ibu tampak antusias mendengarkan materi sekaligus aktif bertanya seputar gizi seimbang, pola makan sehat, dan cara mengolah bahan pangan lokal agar lebih bervariasi.

Mahasiswa kelompok 48 juga menekankan pentingnya pemenuhan gizi sejak masa kehamilan. Protein dari kacang-kacangan, termasuk kacang hijau, disebut sebagai salah satu sumber nutrisi yang mudah didapat dan terjangkau. Dengan metode komunikasi interaktif, kegiatan ini tidak hanya memperluas wawasan masyarakat tetapi juga mendorong perubahan pola hidup yang lebih sehat.

Antusiasme masyarakat menjadi bukti keberhasilan kegiatan ini. Para ibu mengaku senang mendapatkan tambahan ilmu, sementara anak-anak tampak ceria bisa belajar sekaligus menikmati camilan sehat bersama mahasiswa.

Di akhir acara, mahasiswa kelompok 48 menyampaikan harapan agar pengetahuan yang dibagikan dapat menjadi bekal bagi warga Sampang Turus dalam menjaga kesehatan keluarga. Mereka menegaskan bahwa kontribusi kecil seperti pemanfaatan pangan lokal diharapkan mampu menjadi langkah nyata dalam menciptakan generasi yang sehat, cerdas, dan bebas stunting di masa depan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

UKM-U MAHAPALA Universitas Malahayati Raih Penghargaan Wana Lestari Nasional 2025

JAKARTA (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali diraih oleh Universitas Malahayati Bandar Lampung. Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM-U) Malahayati Pencinta Alam (MAHAPALA) sukses meraih Juara II Nasional dalam ajang Apresiasi Wana Lestari 2025 kategori Kelompok Pencinta Alam (KPA) yang digelar oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Senin (18/8/2025).

Penghargaan ini diserahkan langsung oleh Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, dalam rangkaian kegiatan Temu Karya Teladan Wana Lestari Tingkat Nasional 2025 yang berlangsung pada 14–18 Agustus 2025 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

Sebagai organisasi pencinta alam di tingkat universitas, MAHAPALA Universitas Malahayati tidak hanya menjadi wadah pengembangan minat dan bakat mahasiswa di bidang kepencintaalaman, tetapi juga konsisten berkontribusi dalam edukasi, konservasi, dan aksi nyata pelestarian lingkungan.

Dalam ajang bergengsi ini, MAHAPALA mewakili Provinsi Lampung setelah berhasil menembus tiga besar nasional, mengungguli puluhan kelompok pencinta alam lainnya dari berbagai daerah di Indonesia.

“Alhamdulillah, kami sangat bersyukur dan berterima kasih atas dukungan semua pihak. Penghargaan ini bukan akhir, melainkan awal bagi kami untuk terus berkontribusi lebih besar dalam menjaga lingkungan dan hutan Indonesia,” ujar Panji Gani Alif (20110023), Ketua UKM-U MAHAPALA Universitas Malahayati dengan penuh rasa bangga.

Apresiasi Wana Lestari merupakan ajang tahunan Kementerian Kehutanan RI yang memberikan penghargaan kepada perorangan, kelompok, aparatur pemerintah, hingga badan usaha yang dinilai berhasil memberdayakan masyarakat serta menjadi teladan dalam pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan.

Penghargaan ini menjadi wujud apresiasi pemerintah pusat maupun daerah terhadap kiprah nyata para penggiat lingkungan dalam melestarikan alam, mengedukasi masyarakat, dan menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan.

Pada kesempatan ini, MAHAPALA Universitas Malahayati berhasil meraih Juara II Nasional Kategori Kelompok Pencinta Alam (KPA). Capaian ini menunjukkan bahwa kiprah mahasiswa Lampung di tingkat nasional semakin diperhitungkan.

Kegiatan Temu Karya Teladan Penerima Penghargaan Wana Lestari 2025 juga menjadi bagian dari peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia. Momentum ini menegaskan komitmen Indonesia dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari demi kesejahteraan masyarakat, sejalan dengan Asta Cita ke-4 pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yakni memperkuat pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045.

Kementerian Kehutanan RI memberikan apresiasi tinggi terhadap dedikasi UKM-U MAHAPALA dan para peserta lainnya. Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menekankan bahwa penghargaan ini diharapkan menjadi inspirasi dan teladan bagi generasi muda untuk terus menjaga hutan sebagai warisan berharga bangsa.

Prestasi MAHAPALA Universitas Malahayati ini tidak hanya menjadi kebanggaan sivitas akademika, tetapi juga inspirasi bagi generasi muda Indonesia. Semangat cinta lingkungan, kepedulian terhadap hutan, serta keberanian untuk bertindak nyata menjadi bukti bahwa mahasiswa dapat mengambil peran penting dalam pembangunan berkelanjutan.

Dengan penghargaan ini, UKM-U MAHAPALA Universitas Malahayati semakin mengukuhkan dirinya sebagai organisasi mahasiswa yang tidak hanya peduli pada lingkungan kampus, tetapi juga menjadi bagian dari gerakan nasional dalam menjaga kelestarian alam Indonesia. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa KKLPPM Universitas Malahayati Berdayakan UMKM Ikan Asap di Pekon Tegineneng

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa KKLPPM Universitas Malahayati Kelompok 1 Pekon Tegineneng melaksanakan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui kunjungan ke dua UMKM pengolahan ikan asap yang telah berkembang, yaitu UMKM Ikan Asap Ceria milik Ibu Sanaria yang berlokasi di Dusun 2, serta UMKM Ikan Asap Bina Usaha milik Bapak Marhidayat. Rabu (20/8/2025).

Dalam kegiatan ini, mahasiswa terlibat langsung dalam proses produksi, mulai dari pengasapan ikan, penjagaan proses pengasapan, hingga tahap pengemasan dengan sistem vakum. Selain praktik produksi, mahasiswa juga memberikan banner promosi produk sebagai dukungan dalam meningkatkan identitas usaha.

UMKM ikan asap di Pekon Tegineneng ini telah berjalan sejak 2010 dengan dukungan berbagai pelatihan dari Kementerian Perikanan. Kini, produk mereka tidak hanya dipasarkan di wilayah lokal, tetapi juga telah menjangkau luar pekon, luar daerah, hingga luar kabupaten. Dengan izin edar resmi, kedua UMKM ini sudah masuk kategori UMKM berkembang.

Untuk harga, produk ikan asap dijual mulai dari Rp7.500/Pcs , dan tersedia pula dalam bentuk kiloan sesuai kebutuhan konsumen. Dari segi ketahanan, produk ikan asap dapat bertahan 1–2 bulan jika disimpan di freezer, sedangkan pada suhu ruang hanya mampu bertahan 3–4 hari.

Melalui kegiatan ini, mahasiswa KKLPPM Kelompok 1 berharap kehadiran mereka dapat memberikan dukungan nyata bagi pelaku UMKM dalam meningkatkan kualitas produk sekaligus memperluas jangkauan pemasaran, sehingga mampu memperkuat perekonomian masyarakat desa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Ciptakan Puding dan Bakso Daun Kelor untuk Pencegahan Stunting di Pekon Dadisari

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa Universitas Malahayati Kelompok 32 KKL-PPM melaksanakan program inovasi pangan sehat di Pekon Dadisari, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, dengan membuat makanan tambahan berupa puding dan bakso berbahan dasar daun kelor. Program ini ditujukan sebagai langkah pencegahan stuntin g sekaligus pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan pangan lokal. Rabu (20/8/2025).

Ketua Kelompok KKL, Juli Firmanto, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari program kerja yang berfokus pada pemanfaatan bahan pangan lokal yang bergizi tinggi. “Daun kelor memiliki kandungan gizi yang luar biasa. Kami ingin mengajak masyarakat untuk mengolahnya menjadi makanan tambahan yang disukai anak-anak, sehingga bisa membantu mencegah stunting sejak dini,” ujarnya.

Kegiatan ini bertujuan antara lain: Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi seimbang untuk tumbuh kembang anak. Memberdayakan ibu-ibu agar mampu mengolah bahan lokal bergizi secara mandiri. Mencegah stunting sejak dini, khususnya pada anak-anak dan balita yang berada dalam masa pertumbuhan emas (golden age).

Selain praktik langsung pembuatan puding dan bakso daun kelor, mahasiswa juga memberikan penyuluhan tentang manfaat gizi kelor dan cara pengolahannya agar dapat diterapkan sehari-hari. Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari warga, terutama kalangan ibu-ibu, yang menilai inovasi ini praktis, sehat, dan mudah diaplikasikan di rumah.

Melalui program ini, Kelompok 32 KKL-PPM Universitas Malahayati berharap masyarakat Pekon Dadisari dapat terus memanfaatkan potensi pangan lokal sebagai upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kesehatan anak-anak dan mencegah stunting. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Sosialisasikan Stunting dan Dapur Sehat, Berikan Edukasi Ibu-ibu Olah Bahan Murah Jadi Bergizi

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa Kuliah Kerja Lapangan-Partisipasi Pemberdayaan Masyarakat (KKL-PPM) Universitas Malahayati menyelenggarakan acara sosialisasi pencegahan stunting, dapur sehat, dan edukasi makanan bergizi. Kegiatan ini dalam rangka mengatasi permasalahan stunting dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang gizi,

Acara yang berlangsung pada Selasa, 12 Agustus 2025 di Balai Desa Pekon Gunung Tiga, Kecamatan Ulubelu itu dihadiri puluhan peserta dari berbagai kalangan, termasuk orang tua dari anak yang terdampak stunting. Kegiatan yang dijalankan oleh Kelompok 58 KKL-PPM Universitas Malahayati ini diikuti dengan antusias oleh 45 orang peserta.

Acara ini menjadi semakin relevan mengingat data dari bidan setempat yang menyebutkan terdapat 7 keluarga di pekon tersebut yang memiliki anak terdampak stunting. Fakta ini mempertegas pentingnya intervensi melalui edukasi gizi yang masif. Tidak hanya berisi pemaparan materi, acara juga diisi dengan demonstrasi langsung pembuatan makanan bergizi tinggi dengan bahan-bahan terjangkau.

Para peserta, terutama orang tua dari anak stunting, terlihat sangat antusias mengikuti sesi praktik ini. Silvia Ika Damayanti, ketua pelaksana, mengatakan, melalui kegiatan ini, pihaknya tidak hanya menyampaikan teori, tetapi juga pendekatan yang empatik.

Ia menjelaskan, di tengah-tengah peserta, hadir ibu-ibu yang sedang berjuang untuk anak-anak mereka. Data dari bidan tentang 7 keluarga dengan anak stunting menjadi perhatian serius.

”Kami perkenalkan konsep isi piringku dan bagaimana memanfaatkan bahan lokal yang murah meriah untuk pemulihan dan pencegahan stunting,” ujarnya.

Ia menambahkan, Kelompok 58 berkomitmen untuk tidak berhenti pada sosialisasi saja.

Ke depannya, pihaknya berharap dapat melakukan pendampingan lebih intensif khususnya bagi keluarga yang terdampak.

Seluruh peserta terlihat aktif selama sesi tanya jawab dan demonstrasi masak. Beberapa orang tua yang memiliki anak stunting secara khusus menyampaikan apresiasi terhadap kegiatan ini. Seorang peserta mengatakan ia memiliki anak yang tergolong stunting dan selama ini merasa sangat kesulitan.

Acara seperti ini sangat membuka wawasannya bahwa dengan bahan sederhana dan bujet terbatas, bisa memberikan yang terbaik untuk pemulihan anak.

”Terima kasih untuk mahasiswa yang sudah membawa ilmu sangat bermanfaat ini,” tutur peserta itu.

Keberhasilan acara ini diharapkan menjadi titik awal untuk program berkelanjutan. Para mahasiswa KKL-PPM juga mendorong terbentuknya kelompok pendamping khusus untuk keluarga dengan anak stunting agar pemantauan gizi dapat dilakukan secara lebih intensif. Kegiatan ini ditutup dengan pembagian booklet resep makanan bergizi dan nasi bento bergizi, sebagai bentuk dukungan nyata bagi keluarga, khususnya 7 keluarga yang terdampak stunting.

(gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Gelar Sosialisasi PHBS di Pekon Sampang Turus, Wujudkan Lingkungan Bersih, Sehat, dan Harmonis Bersama DLH Tanggamus

TANGGAMUS (malahayati.ac.id): Mahasiswa Kuliah Kerja Lapangan – Pengabdian Pada Masyarakat (KKL-PPM) Universitas Malahayati Bandar Lampung terus menunjukkan kepeduliannya terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan masyarakat. Kelompok 48 KKL-PPM menggelar kegiatan Sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan tema BERSIH di Balai Desa Pekon Sampang Turus, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus. Kegiatan ini terlaksana berkat kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tanggamus. Rabu (20/8/2025).

Sosialisasi ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri, lingkungan sekitar, serta menerapkan pola hidup sehat sehari-hari. Selain itu, masyarakat juga diajak untuk menyadari bahaya penyakit yang dapat timbul akibat perilaku hidup yang kurang sehat.

Dalam sambutannya, Kepala Pekon Sampang Turus, Marhawi, menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada mahasiswa Universitas Malahayati dan DLH Tanggamus.

“Kami sangat berterima kasih atas kegiatan ini. Sosialisasi seperti ini penting agar warga semakin sadar akan pentingnya kebersihan dan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua KKL-PPM Kelompok 48, Agung Berlian, menekankan bahwa kegiatan BERSIH diharapkan menjadi momentum bersama untuk membangun kesadaran kolektif menjaga lingkungan.

“Melalui kegiatan ini, kami ingin mengajak masyarakat untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, dan harmonis. Salah satunya dengan mengelola sampah dengan baik agar tidak menimbulkan masalah kesehatan maupun pencemaran lingkungan,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tanggamus memberikan materi tentang PHBS dengan menekankan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle):
• Reduce: mengurangi penggunaan barang-barang sekali pakai yang berpotensi menjadi sampah.
• Reuse: menggunakan kembali barang yang masih layak pakai.
• Recycle: mendaur ulang sampah menjadi produk baru yang bermanfaat.

Pihak DLH juga mengingatkan bahwa pengelolaan sampah sebaiknya dimulai dari skala terkecil, yaitu rumah tangga, sekolah, hingga lingkungan masyarakat. Dengan demikian, budaya hidup bersih dapat tumbuh secara berkesinambungan.

Sebagai tindak lanjut nyata, mahasiswa KKL-PPM bersama warga melaksanakan gotong royong di tiga dusun yang ada di Pekon Sampang Turus. Lingkungan sekitar Balai Desa, saluran pembuangan, hingga area pemukiman menjadi sasaran utama pembersihan. Dalam kegiatan ini, mahasiswa juga meletakkan drum kaleng sampah besar di setiap dusun sebagai simbol kepedulian terhadap kebersihan dan sebagai sarana masyarakat dalam mengelola sampah.

Kegiatan berlangsung dengan penuh semangat. Warga terlihat antusias mengikuti rangkaian acara, mulai dari sosialisasi hingga aksi bersih-bersih bersama. Kekompakan ini menunjukkan adanya kepedulian dan kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga lingkungan agar tetap sehat, bersih, dan harmonis.

Dengan terlaksananya kegiatan ini, diharapkan masyarakat Pekon Sampang Turus dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, serta mengelola lingkungan dengan lebih bijak. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Penghasilanmu, Penghasilanku Juga

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Selesai waktu ashar, ada pesan masuk. Ternyata kiriman tulisan dari seorang sahabat jurnalis senior di negeri ini, yang isinya menggugat ketimpangan pendapatan antara anggota parlemen dan pejabat negeri, dengan rakyat kebanyakan. Sementara, pendapatan mereka itu sebenarnya adalah hasil pajak yang diperoleh dari setiap denyut kehidupan rakyat. Tidak igin memperkeruh suasana, tulisan ini akan melihat persoalan yang sama, tetapi dari sudut pandang yang berbeda; yaitu dari filsafat kontemporer, dengan judul di atas.

John Rawls, dalam karyanya “A Theory of Justice”, memperkenalkan prinsip keadilan sebagai fairness. Ia membayangkan situasi ideal di mana semua individu menyusun aturan dasar masyarakat dari posisi yang disebutnya original position, di balik veil of ignorance atau tirai ketidaktahuan tentang posisi mereka di masyarakat. Dalam kondisi ini, tak seorang pun tahu apakah ia akan lahir kaya, miskin, pejabat, atau rakyat jelata. Dari situasi tersebut, Rawls berpendapat bahwa prinsip-prinsip keadilan yang dihasilkan akan menjamin kebebasan yang setara dan distribusi sumber daya yang adil.

Namun, dalam realitas hari ini, prinsip itu justru dilanggar secara sistemik. Para pejabat dan elit politik menetapkan kebijakan yang menguntungkan diri mereka sendiri, karena mereka tidak berada di balik tirai ketidaktahuan, tetapi sepenuhnya sadar akan posisi mereka dalam piramida kekuasaan. Mereka menyusun aturan main untuk mempertahankan hak istimewa, bukan demi keadilan bagi yang paling miskin. Maka dari itu, jika dinilai dari prinsip Rawls, struktur sosial ekonomi kita saat ini gagal memenuhi keadilan sebagai fairness.

Michel Foucault, melalui konsep biopolitik, mengajukan gagasan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja hanya melalui represi atau kekerasan fisik, melainkan melalui kontrol atas kehidupan itu sendiri. Dan termasuk didalamnya pengelolaan populasi, kebijakan kesehatan, ekonomi, dan pajak. Dalam konteks di mana pajak yang diambil dari hampir setiap aktivitas ekonomi rakyat dapat dibaca sebagai bentuk kontrol biopolitik. Negara tidak sekadar mengatur, tetapi menyerap kehidupan warganya untuk menopang kelangsungan elite yang mengatur.

Foucault juga mengkritik bagaimana wacana kerap digunakan untuk melegitimasi ketimpangan. Ketika pemerintah berbicara soal “tunjangan untuk kinerja pejabat” atau “kenaikan gaji sebagai bentuk apresiasi”, itu bukan sekadar argumen teknis, melainkan bagian dari konstruksi wacana kekuasaan. Wacana ini menutupi fakta bahwa sebagian besar pejabat justru tidak menunjukkan produktivitas yang sebanding dengan fasilitas yang mereka nikmati.

Slavoj Žižek, filsuf kontemporer yang dikenal dengan pendekatan psikoanalitik-Marxis, menunjukkan bahwa ideologi bukan hanya sistem keyakinan palsu, melainkan cara bagaimana masyarakat tetap terjebak dalam sistem ketidakadilan sambil tetap percaya bahwa mereka bebas. Dalam konteks ini, rakyat terus-menerus diminta untuk patuh membayar pajak, bekerja keras, dan menerima hidup sederhana, sementara pejabat diberi legitimasi untuk menikmati kekayaan atas nama jabatan.

Menurut Žižek, masyarakat modern hidup dalam apa yang disebutnya sebagai cynical reason; yaitu mereka tahu sistem ini tidak adil, tetapi tetap ikut serta karena merasa tidak ada alternatif. Rakyat tahu bahwa pajak mereka lebih banyak digunakan untuk membiayai gaya hidup elite daripada untuk kesejahteraan publik, tetapi karena merasa tak berdaya, mereka melanjutkan kehidupan seperti biasa. Inilah bentuk tertinggi dari ideologi: ketika pengetahuan tentang ketidakadilan justru tidak mengarah pada perlawanan, tetapi pada normalisasi, atau sesuatu yang dianggap biasa-biasa saja.

Jacques Rancière berpendapat bahwa politik sejati adalah tentang demos, yaitu suara mereka yang tidak diakui. Ia membedakan antara politik dan polisi. Politik sejati terjadi ketika ada gangguan terhadap tatanan yang mapan dan suara kaum tertindas dimunculkan. Sementara itu, polisi adalah sistem yang menjaga ketertiban sosial yang ada, termasuk melalui pengaturan siapa yang boleh berbicara dan siapa yang harus diam.

Dalam sistem politik dewasa ini, yang terjadi lebih banyak adalah police order ketimbang politik sejati. Rakyat dipaksa diam dengan dalih “pemerintah sudah bekerja keras” atau “APBN sudah disusun sesuai prosedur hukum”. Padahal, suara protes rakyat; misalnya terhadap kenaikan pajak, tarif listrik, atau harga BBM, hal itu dianggap mengganggu stabilitas. Suara mereka diredam, dan distribusi ekonomi tetap dikuasai oleh segelintir orang yang menyusun “aturan main”. Rancière menyebut ini sebagai “partage du sensible”, yaitu pembagian realitas sosial yang membuat suara sebagian orang menjadi tidak terdengar.

Jika dalam teori klasik pajak adalah kontribusi warga negara untuk pembiayaan negara, maka dalam praktik kontemporer, pajak sering kali menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan. Dalam sistem yang timpang, pajak bersifat regresif; artinya, beban relatifnya lebih berat bagi yang miskin daripada yang kaya. Pajak PPN misalnya, yang dikenakan pada semua barang konsumsi, menekan penghasilan kelas bawah lebih besar dibanding kelas atas. Bahkan ketika pemerintah memberikan insentif atau tax holiday kepada investor besar, rakyat kecil tidak mendapat keringanan serupa. Inilah bentuk eksploitasi struktural yang dikritik para pemikir kontemporer, sebab sistem ini secara legal sah, tetapi secara moral cacat.

Jean Baudrillard mengembangkan konsep simulakra, yaitu ketika realitas digantikan oleh representasi yang pura-pura nyata. Dalam konteks sistem pemerintahan dan ekonomi kita, tunjangan pejabat dan kebijakan fiskal sering dibungkus dengan jargon “kesejahteraan rakyat”, “penguatan institusi”, atau “efisiensi birokrasi”. Namun semua itu hanyalah representasi kosong, dan itulah simulakra; yang tidak merepresentasikan realitas sebenarnya.

Misalnya, ketika pejabat menerima tunjangan perumahan ratusan juta rupiah, narasi yang dibangun adalah “agar mereka fokus bekerja tanpa memikirkan kebutuhan dasar”. Namun kenyataannya, banyak dari mereka tetap korup dan tidak efisien. Kesejahteraan rakyat hanya menjadi citra, bukan tujuan yang sungguh-sungguh diperjuangkan.
Di balik retorika pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.

Jurang antara kaya dan miskin terus melebar. Laporan ketimpangan terbaru menunjukkan bahwa 1% kelompok terkaya di negeri ini menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional, sementara jutaan rakyat hidup dalam kondisi rentan: tanpa jaminan sosial, tanpa pekerjaan tetap, dan tanpa akses memadai terhadap pendidikan atau layanan kesehatan.

Sementara itu, sistem representasi politik semakin dikendalikan oleh oligarki. Partai-partai politik dikuasai oleh elite yang sama, yang saling bertukar kursi kekuasaan, memonopoli sumber daya, dan menumpuk tunjangan dengan alasan “tugas negara”. Rakyat, yang seharusnya menjadi subjek utama dalam demokrasi, justru terpinggirkan menjadi objek kebijakan, bahkan objek pungutan.

Dari perspektif filsafat kontemporer, ketimpangan antara pejabat dan rakyat bukan sekadar soal ekonomi, tetapi soal etika, kekuasaan, ideologi, dan pengakuan. Negara yang dibangun dari jerih payah rakyat tidak boleh menjadi alat eksploitasi bagi segelintir elite. Keadilan sejati hanya akan hadir ketika struktur penghasilan, distribusi pajak, dan pengelolaan negara didesain untuk melayani yang paling lemah, bukan yang paling kuat. Penghasilanmu, penghasilanku juga bukan lagi sekadar sindiran, tetapi deklarasi untuk mengembalikan makna keadilan sosial dari tangan birokrasi yang telah kehilangan empatinya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman