Guest Lecture Inspiratif Universitas Malahayati, Menghubungkan Ilmu Farmasi dengan Aksi Nyata Lewat Clinical Decision Support

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Farmasi Universitas Malahayati kembali menghadirkan pengalaman belajar yang inspiratif dan aplikatif bagi mahasiswanya melalui penyelenggaraan Guest Lecture bertema “From Knowledge to Impact: Real-World Clinical Decision Support in Action – A Practical Session Exploring How Pharmacological Knowledge Drives Real-Life CDS Scenarios for Future Pharmacists”. Jumat (20/6/2025).

Acara ini diselenggarakan di Ruang Perkuliahan Prodi Farmasi dan menghadirkan narasumber ahli, apt. Yuriani, M.Farm, yang menjabat sebagai CDS MIMS Business Development Manager, MIMS Asia – Indonesia. Dalam pemaparannya, apt. Yuriani membagikan pengetahuan mendalam tentang bagaimana sistem Clinical Decision Support (CDS) dapat mengubah pemahaman farmakologi menjadi pengambilan keputusan klinis yang tepat dan berdampak langsung pada keselamatan pasien.

“Clinical Decision Support bukan hanya alat bantu teknologi. Ini adalah jembatan antara ilmu farmasi dan keputusan klinis yang menyelamatkan nyawa. Di tangan apoteker yang terlatih, CDS menjadi senjata penting untuk meningkatkan keamanan dan efektivitas terapi pasien,” ungkapnya di hadapan puluhan mahasiswa Farmasi yang hadir dengan antusias.

Tak hanya menyuguhkan materi teoritis, sesi ini juga menyajikan simulasi kasus klinis nyata. Mahasiswa diajak terlibat langsung dalam skenario penggunaan platform CDS MIMS, yang banyak digunakan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Asia. Melalui pendekatan interaktif ini, peserta diuji untuk menerapkan ilmu farmakologi mereka dalam situasi klinis yang kompleks dan dinamis.

Kegiatan ini menjadi bagian dari komitmen Program Studi Farmasi Universitas Malahayati dalam menyiapkan lulusan yang adaptif terhadap perkembangan dunia kerja, khususnya di era digitalisasi layanan kesehatan. Dengan mengusung pendekatan “from knowledge to impact”, mahasiswa dilatih untuk mengubah wawasan menjadi aksi, teori menjadi solusi.

Kaprodi Farmasi Universitas Malahayati, apt. Ade Maria Ulfa, M.Kes, menyampaikan harapannya atas terselenggaranya Guest Lecture ini.

“Kami ingin mahasiswa tidak hanya memahami teori farmasi, tetapi juga mampu mengambil peran aktif dalam pengambilan keputusan klinis berbasis teknologi. Ini adalah bagian dari profesionalisme farmasi yang visioner dan siap menghadapi tantangan masa depan.”

Dengan semangat kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri, sesi ini menandai langkah maju dalam memperkuat kompetensi mahasiswa sebagai calon apoteker profesional. Guest Lecture ini bukan sekadar kuliah tamu, tetapi menjadi jendela menuju masa depan farmasi digital, di mana pengetahuan bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk digunakan demi keselamatan pasien dan kemajuan layanan kesehatan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kesholehan Digital

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seperti biasa, Jum’at itu mendatangi masjid untuk melaksanakan sholat Jum’at. Kebetulan komplek perumahan tidak jauh ada masjid yang cukup asri. Namun Jum’at itu ada yang tidak biasa karena saat khotib memberikan khotbah beliau menyinggung tetang “Kesholehan Digital”, dan yang menarik lagi khotibnya generasi milenial yang sehari-hari memang bergelut pada dunia digital. Tentu tidak mungkin meng-copy paste isi khotbah tersebut, disamping tidak etis, juga halaman yang tersedia tidak cukup. Satu hal menarik topik itu jika kita bahas dari sudut pandang filsafat manusia.

Di era digital yang berkembang pesat, peradaban manusia mengalami pergeseran mendasar dalam cara berkomunikasi, bekerja, berpikir, bahkan dalam menjalani kehidupan spiritual. Kehadiran media sosial, kecerdasan buatan, dan algoritma telah membentuk lanskap budaya baru yaitu “budaya digital”. Konsep ini menjadi menantang sebab kesholehan digital tidak hanya berbicara tentang bagaimana kita bertindak secara etis di dunia maya, melainkan lebih dalam dari itu, karena kita mulai mempertanyakan bagaimana nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dalam interaksi digital yang serba cepat, tidak berwajah, dan terkadang tanpa tanggung jawab.

Berdasarkan referensi digital dan referensi konvensional ditemukan informasi bahwa; dari sudut pandang filsafat manusia, kesholehan digital dapat dimaknai sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai manusiawi dalam konteks kehidupan digital. Tulisan ini mencoba menjelajahi konsep tersebut dengan mengaitkannya pada pemikiran beberapa filsuf besar mengenai hakikat manusia, moralitas, teknologi, dan kebebasan.

Filsafat manusia menempatkan manusia sebagai makhluk yang unik. Ia bukan sekadar makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang memiliki kesadaran diri, rasionalitas, dan kebebasan moral. Dalam pemikiran Immanuel Kant, manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar alat. Hal ini menegaskan pentingnya memperlakukan manusia dengan hormat dan bermartabat, termasuk dalam konteks digital.

Namun dalam kenyataan digital, seringkali prinsip ini dilanggar. Ketika seseorang menyebarkan data pribadi orang lain tanpa izin, melakukan doxing, atau menyebarkan fitnah, ia sedang mereduksi manusia lain menjadi alat hiburan atau pelampiasan emosi. Kesholehan digital, dalam konteks ini, adalah kesadaran untuk tetap memperlakukan orang lain sebagai subjek moral, bukan objek algoritma.

Plato dalam bukunya “The Republic” menekankan pentingnya pendidikan jiwa agar manusia mampu membedakan mana yang benar dan salah, bukan hanya mengikuti dorongan nafsu atau opini mayoritas. Dunia digital yang dipenuhi banjir informasi, hoaks, dan clickbait bisa membuat manusia terperangkap dalam doxa (pendapat) alih-alih mencapai episteme (pengetahuan).

Kesalehan digital mengharuskan adanya disiplin rasional dan kontrol diri, dua hal yang justru sering luntur karena sifat impulsif dunia maya.

Sementara Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas”. Kebebasan bukan sekadar hak, tetapi juga beban. Artinya, setiap tindakan manusia adalah pilihan yang mencerminkan tanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap dunia. Dalam dunia digital, kebebasan pengguna untuk memproduksi dan menyebarkan informasi sangat besar. Namun kebebasan ini sering kali dijalankan tanpa kesadaran akan konsekuensi moral. Komentar jahat, meme provokatif, atau penyebaran konten negatif sering dilakukan dengan alasan “kebebasan berekspresi”. Di sinilah urgensi kesholehan digital muncul: “sebagai kesadaran akan kebebasan yang bertanggung jawab”.

Sartre juga menekankan bahwa eksistensi mendahului esensi. Dalam konteks ini, jejak digital kita adalah bagian dari eksistensi kita yang tak terhapuskan. Tindakan online bukanlah sesuatu yang ‘tidak nyata’, melainkan bagian dari identitas eksistensial kita. Maka, kesalehan digital adalah bentuk kesadaran bahwa kehidupan digital bukanlah ruang yang terpisah dari moralitas manusia, melainkan perlu menjadi bagian dari upaya membentuk diri yang autentik.

Pendapat Martin Heidegger dalam esainya “The Question Concerning Technology” melihat bahwa teknologi bukanlah sekadar alat netral, melainkan suatu cara dunia menampakkan diri kepada manusia. Teknologi modern, kata Heidegger, cenderung mengubah segala sesuatu menjadi “standing-reserve” yaitu, cadangan yang siap dimanfaatkan kapan saja. Bahkan manusia sendiri, dalam sistem digital, bisa dilihat sebagai data, metrik, atau objek analitik. Di sinilah letak bahaya dehumanisasi digital. Ketika manusia dinilai berdasarkan jumlah followers, engagement, atau traffic, ia kehilangan kedalamannya sebagai makhluk yang bermakna.

Kesalehan digital adalah upaya sadar untuk melawan reduksi seperti ini; dengan memperlakukan sesama bukan sebagai konten, melainkan sebagai sesama manusia yang memiliki eksistensi dan martabat.

Heidegger juga menyarankan agar kita mencari cara hidup yang lebih otentik, yaitu dengan mengalami dunia bukan sebagai objek penguasaan, tetapi sebagai sesuatu yang mengungkapkan makna. Maka, interaksi digital seharusnya menjadi sarana untuk memperluas pemahaman, menjalin empati, dan memperkaya kehidupan spiritual, bukan sekadar memenuhi hasrat narsistik atau konsumtif.

Beda lagi Aristoteles; beliau mengajarkan bahwa kebajikan (virtue) adalah kunci kehidupan yang baik (eudaimonia). Kebajikan tidak hadir secara otomatis, melainkan dibentuk melalui kebiasaan dan pendidikan moral. Jika dalam kehidupan nyata kita membentuk karakter melalui interaksi sosial, maka dalam dunia digital, karakter kita terbentuk dari cara kita berkomentar, membagikan, atau memilih untuk diam.

Kesalehan digital adalah manifestasi dari kebajikan digital yang dibentuk secara sadar dan berkelanjutan. Ini termasuk: kebijaksanaan dalam membedakan informasi yang layak dibagikan, keadilan dalam memberikan kredit pada karya orang lain, keberanian dalam melawan ujaran kebencian, dan pengendalian diri untuk tidak terpancing oleh konflik maya. Menjadi saleh secara digital bukan berarti menjadi sempurna, melainkan memiliki komitmen untuk terus memperbaiki diri dalam interaksi digital. Ini adalah praktik kebajikan kontemporer yang menuntut disiplin dan refleksi, sebagaimana yang diajarkan Aristoteles dalam “Nicomachean Ethics”.

Dunia digital sering kali menuntut kecepatan, reaksi instan, dan kehadiran konstan. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai spiritual seperti kontemplasi, keheningan, dan kesadaran diri mudah tergerus. Padahal, dalam banyak tradisi filsafat dan spiritualitas, termasuk dalam Islam, keheningan adalah ruang di mana manusia mendekati kebenaran dan kedamaian batin.

Kesalehan digital dapat dipahami sebagai perpanjangan dari kehidupan spiritual ke dalam dunia maya. Ia bukan hanya tentang tidak menyebarkan keburukan, tetapi juga menghadirkan kebaikan, ketenangan, dan harapan di ruang digital. Misalnya, dengan membagikan konten yang edukatif, menenangkan, atau menyemangati, seseorang sedang menjalankan laku spiritual yang berdampak pada kesejahteraan batin orang lain.

Filsafat mengajak manusia untuk bertanya secara mendalam, merenung secara jujur, dan bertindak secara sadar. Tanpa kesadaran filosofis, dunia digital bisa menjebak manusia dalam pola hidup yang mekanis, reaksioner, dan terasing dari jati dirinya. Kesalehan digital menjadi praksis filsafat manusia yang nyata untuk selalu menghidupkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, dan tanggung jawab dalam kehidupan digital sehari-hari.

Menjadi saleh secara digital berarti tetap menjadi manusia walaupun di tengah algoritma, di balik layar, dan dalam setiap klik yang kita buat. Dunia mungkin berubah, tetapi nilai kemanusiaan tetap harus dijaga, termasuk dalam bentuknya yang paling baru yang bernama ”digital”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kebaikan Jangan Ditanya, Jahatnyapun Jangan Dicoba (Dua Muka Dalam Satu Wajah)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ruang kerja yang sejuk itu kedatangan tamu dua orang dosen muda. Dua pria tampan ini tampak sumringah; karena mereka berdua ingin melanjutkan studi lanjutnya ke program doktor di salah satu universitas ternama di negeri ini, dan hasil tes sudah diumumkan, mereka berdua diterima dengan program yang berbeda. Mereka berdua meminta wejangan, terutama bagaimana menghadapi karakter beberapa guru besar yang ada di lembaga itu. Salah satu diantara mereka berdua mengatakan bahwa ada seorang guru besar yang pernah membimbingnya saat program strata dua beberapa waktu lalu, berkarakter jika sudah baik, maka beliau sangat baik sekali, bahkan melebihi rerata orang biasa; namun jangan ditanya kalau beliau sudah tidak suka, maka jahatnyapun minta ampun.

Diskusi menjadi hangat karena berbicara menyangkut karakter manusia; dan itu tidak etis untuk dibentang pada halaman ini. Namun, yang menarik penyataan mereka berdua yaitu: “kebaikannya jangan ditanya, jahatnyapun jangan dicoba” ini menarik untuk dijadikan bahan renungan.

Manusia adalah makhluk yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, manusia memiliki potensi untuk melakukan kebaikan yang luar biasa, seperti misalnya; menolong, mencintai, menginspirasi, bahkan berkorban demi orang lain. Namun, di sisi lain, manusia juga menyimpan sisi gelap, diantaranya; kemampuan untuk menyakiti, menghancurkan, dan mengkhianati.

Ungkapan “Kebaikannya jangan ditanya, jahatnya pun jangan dicoba” adalah gambaran sederhana tetapi mendalam tentang kompleksitas watak manusia. Ungkapan ini juga bukan hanya sekadar kata-kata peringatan, melainkan bentuk refleksi sosial yang menunjukkan betapa seseorang bisa menjadi sangat baik bila diperlakukan dengan hormat, namun bisa sangat berbahaya jika disakiti. Melalui uraian ini kita akan membedah makna dari ungkapan tersebut dari konsep filsafat manusia.

Pada konsep filsafat, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki kebebasan moral. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia “dikondisikan untuk memilih”, dan dari pilihan-pilihan inilah karakter seseorang terbentuk. Ungkapan “Kebaikannya jangan ditanya” menyiratkan bahwa seseorang dapat menjadi sumber kebaikan yang tak terbatas ketika hidupnya selaras dengan nilai-nilai luhur. Ia bisa menjadi panutan, pelindung, dan sumber harapan bagi sesamanya. Namun, “Jahatnya pun jangan dicoba” menyiratkan bahwa sisi gelap manusia tak kalah kuat. Seperti yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche dalam konsep “will to power”, setiap manusia memiliki dorongan kekuasaan yang, jika tidak dikendalikan, dapat berubah menjadi destruktif. Dalam konteks ini, kebaikan dan kejahatan bukanlah dua kutub yang terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama: potensi yang hidup dalam diri manusia.

Psikologi modern mengakui bahwa setiap individu menyimpan sisi terang dan gelap dalam kepribadiannya. Carl Gustav Jung memperkenalkan konsep “The Shadow”—bagian dari diri seseorang yang tersembunyi, sering kali berupa keinginan, dorongan, atau karakter yang tidak disetujui oleh norma sosial. Jung percaya bahwa mengabaikan sisi gelap ini justru dapat membuat seseorang lebih mudah dikuasai oleh aspek destruktifnya.

Seseorang yang dikenal penuh kasih dan kebaikan bisa berubah menjadi sosok yang penuh kemarahan dan dendam bila disakiti atau dikhianati. Ini bukan berarti bahwa orang tersebut munafik, melainkan karena ada batas toleransi dalam diri setiap manusia. Ketika rasa sakit, pengkhianatan, atau ketidakadilan melampaui batas tersebut, maka sisi gelap dapat muncul dan mengambil alih kesadaran.

Lingkungan sosial memiliki peran besar dalam membentuk perilaku manusia. Orang yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang cenderung berkembang menjadi pribadi yang hangat dan suportif. Sebaliknya, lingkungan yang keras, penuh kekerasan, atau pengkhianatan bisa membuat seseorang berubah menjadi pribadi yang kasar dan penuh kecurigaan. “Kebaikannya jangan ditanya” bisa bermakna bahwa seseorang telah terbukti memberi banyak manfaat dan cinta kepada orang-orang di sekitarnya. Namun ketika orang tersebut terus-menerus diperlakukan buruk, diabaikan, atau bahkan disakiti, maka muncul peringatan: “jahatnya pun jangan dicoba”. Ini bukan hanya tentang balas dendam, tetapi lebih pada fakta bahwa setiap manusia memiliki titik jenuh emosional.

Pada budaya Indonesia, ungkapan seperti ini kerap muncul dalam bentuk peribahasa atau pepatah. Contohnya, “Air tenang jangan disangka tiada buaya,” atau “Diam-diam menghanyutkan.” Ini adalah bentuk kearifan lokal yang mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan seseorang karena sikap lembut atau diamnya. “Kebaikannya jangan ditanya, jahatnya pun jangan dicoba” bisa dianggap sebagai versi modern dari kebijaksanaan lama yang mengingatkan kita untuk tidak menilai seseorang hanya dari permukaan. Dalam budaya Timur yang menjunjung tinggi kesopanan dan kerendahan hati, orang-orang baik sering kali memilih diam daripada membalas. Namun, diam bukan berarti tidak mampu.

Ungkapan ini masih sangat relevan dalam dinamika kehidupan modern, terutama dalam dunia kerja, pertemanan, dan hubungan sosial. Seseorang yang selalu membantu, murah senyum, dan tidak pernah marah sering kali dianggap sebagai “orang baik” yang bisa diperlakukan seenaknya. Banyak kasus di mana orang-orang baik justru menjadi korban karena dianggap tidak akan melawan. Namun, ketika mereka “meledak” karena terus-menerus disakiti, orang-orang di sekitarnya terkejut. Padahal, itu adalah reaksi wajar dari rasa lelah dan kekecewaan yang menumpuk. Maka, ungkapan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua agar tidak menyalahgunakan kebaikan orang lain.

Hormatilah batasan mereka, karena setiap orang memiliki titik rapuhnya sendiri. Maka dari itu, marilah kita saling menghargai, saling memahami, dan tidak mempermainkan emosi atau perasaan orang lain. Karena sekali saja kita membangunkan sisi gelap seseorang yang selama ini memilih untuk diam, mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Workshop Penulisan Karya Tulis dan Brainstorming Skripsi, Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati Siapkan Dosen Menuju Bimbingan Berkualitas

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati menggelar Workshop Penulisan Karya Tulis dan Brainstorming Skripsi Mahasiswa bagi Dosen Program Studi Pendidikan Dokter pada Kamis, 19 Juni 2025. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid, yakni secara luring di Ruang Rapat Lantai 5 Gedung Rektorat Universitas Malahayati serta daring melalui platform Zoom Meeting.

Workshop ini dihadiri oleh seluruh dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Dokter dan bertujuan untuk memperkuat kapasitas dosen dalam membimbing penulisan skripsi mahasiswa, mulai dari aspek teknis hingga substansi ilmiah.

Acara dibuka secara resmi oleh Ketua Program Studi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Sjahriani, dr., M.Kes, yang dalam sambutannya menyampaikan pentingnya keselarasan antara dosen pembimbing dan pedoman akademik terbaru dalam proses penulisan karya tulis ilmiah mahasiswa.

“Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang penyegaran materi akademik bagi para dosen, tetapi juga forum diskusi untuk menyamakan persepsi serta meningkatkan kualitas bimbingan skripsi di Program Studi Pendidikan Dokter,” ujar Dr. Tessa.

Sejumlah narasumber kompeten turut hadir menyampaikan materi penting dalam workshop ini, di antaranya:
• dr. Nita Sahara, M.Kes., Sp.PA, yang membahas Tata Aturan Pengambilan Skripsi, termasuk prosedur, syarat, dan mekanisme yang harus ditempuh mahasiswa saat memulai tahap skripsi.
• dr. Arti Febriyani H, M.Kes, yang menyampaikan materi mengenai Penulisan BAB Karya Tulis Ilmiah (Skripsi), dengan penekanan pada struktur penulisan yang sistematis dan sesuai dengan kaidah ilmiah.
• dr. Festy Lady, M.Kes, memberikan panduan teknis penulisan skripsi mulai dari format penulisan, penggunaan referensi, hingga penataan bahasa ilmiah yang baik.
• Dwi Marlina Syukri, S.Si., M.BSc., Ph.D, memaparkan pentingnya Uji Plagiasi dan Uji Etik dalam pembuatan jurnal yang bersumber dari karya tulis ilmiah mahasiswa. Ia juga memberikan penjelasan singkat mengenai penggunaan perangkat lunak Mendeley untuk manajemen referensi.
• Dr. Mala Kurniati, S.Si., M.Biomed, melanjutkan materi dengan pembahasan seputar Pembuatan Jurnal dari Karya Tulis Ilmiah serta teknis penulisan dan penyusunan referensi menggunakan Mendeley.
• Dr. Tessa Sjahriani, dr., M.Kes, turut memberikan materi mengenai Kebaharuan (Novelty) Penelitian, yang menjadi indikator penting dalam menentukan kontribusi ilmiah dari sebuah skripsi mahasiswa.

Workshop ini berlangsung dinamis dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang aktif antara pemateri dan para peserta. Antusiasme para dosen terlihat dari partisipasi aktif mereka dalam menggali materi, terutama dalam hal penyamaan format penilaian, manajemen referensi, serta etika publikasi karya ilmiah.

Kegiatan ini menjadi bentuk nyata komitmen Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati dalam meningkatkan mutu akademik, khususnya pada tahap akhir studi mahasiswa. Harapannya, dengan pemahaman yang selaras antara dosen pembimbing dan kebijakan akademik, mahasiswa dapat menyelesaikan skripsi secara tepat waktu dengan kualitas yang tinggi dan berintegritas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kolaborasi Riset dan Etika Profesi, D3 Anafarma Universitas Malahayati Gelar Kuliah Pakar Inspiratif

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi D3 Anafarma Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam membekali mahasiswa dengan wawasan dan keterampilan yang relevan dengan dunia kerja dan industri farmasi. Pada Rabu, 18 Juni 2025, Prodi D3 Anafarma menggelar Kuliah Pakar bertajuk “Peran dan Tantangan dalam Kolaborasi Penelitian antara Laboratorium Kesehatan dan Industri”, bertempat di Gedung Graha Bintang Universitas Malahayati.

Acara ini diikuti oleh 86 mahasiswa dan dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes. Dalam sambutannya, Khoidar menyampaikan apresiasi yang tinggi atas terselenggaranya kegiatan ini, yang dinilainya sebagai langkah progresif untuk menjembatani dunia akademik dengan dunia industri.

“Kegiatan seperti ini sangat penting untuk memperluas perspektif mahasiswa. Dunia kerja menuntut kesiapan yang tidak hanya teknis, tapi juga kolaboratif dan etis,” ujar Khoidar.

Sementara itu, Ketua Program Studi D3 Anafarma, Agustina Retnaningsih, S.Si., Apt., M.Farm, mengungkapkan rasa bangganya atas antusiasme mahasiswa yang begitu tinggi dalam mengikuti kuliah pakar ini. Ia menekankan bahwa kolaborasi dan sinergi dengan dunia luar harus terus diperkuat demi menghasilkan lulusan yang siap kerja dan berdaya saing tinggi.

“Kami ingin mahasiswa tidak hanya cakap di laboratorium, tapi juga mampu beradaptasi, membangun jejaring, dan memiliki pemahaman holistik mengenai tantangan di dunia industri,” kata Agustina.

Kuliah pakar menghadirkan narasumber ahli dari berbagai latar belakang profesional: Wiria Saputri, M.Si dari UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung dan Herlina Wahyuni, STP., M.Si dari PT Indokom Samudra Persada, keduanya membahas tema utama kuliah pakar yakni “Peran dan Tantangan dalam Kolaborasi Penelitian antara Laboratorium Kesehatan dan Industri”. Keduanya menyoroti pentingnya membangun komunikasi efektif antara laboratorium dan pelaku industri demi terwujudnya inovasi produk yang aman, berkualitas, dan memenuhi standar kesehatan.

Sementara itu, Indarto, S.Si., M.Sc dari Halal Expert Institut Teknologi Sumatera (ITERA) menambahkan wawasan penting tentang Legalitas Usaha dan Sertifikasi Halal Produk Farmasi dan Makanan. Ia menekankan bahwa pemahaman terhadap regulasi halal menjadi nilai tambah penting dalam industri farmasi dan makanan di Indonesia. Eris Ferdianto, S.Psi dari PT Sumber Indah Perkasa (Sinarmas Group) menutup sesi dengan materi tentang Etika Profesi dalam Dunia Kerja. Ia menekankan pentingnya integritas, disiplin, dan profesionalitas sebagai fondasi karier yang sukses di dunia kerja modern.

Kegiatan ini tidak hanya memberikan bekal keilmuan bagi mahasiswa, tetapi juga membuka wawasan praktis tentang tantangan dan peluang nyata di dunia industri kesehatan. Prodi D3 Anafarma berharap kuliah pakar ini dapat menjadi awal dari kolaborasi-kolaborasi yang lebih luas antara kampus dan dunia profesional.

Dengan semangat kolaboratif dan visi ke depan, Universitas Malahayati terus berupaya menciptakan lulusan yang unggul, adaptif, dan mampu memberi kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 3 Seni Lukis di National Art Competition (NAC) 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Nala Salsabila Fitriana (23220348), mahasiswa Program Studi S1 Manajemen, sukses meraih Juara 3 dalam ajang bergengsi National Art Competition (NAC) Vol 2 Tahun 2025 untuk kategori Seni Lukis. Kompetisi ini diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Lampung pada 15 Mei 2025 dan diikuti oleh peserta dari berbagai kampus di Indonesia.

Kemenangan ini menjadi sangat istimewa bagi Nala karena merupakan pengalaman pertamanya mengikuti NAC. “Menjadi juara 3 adalah sebuah kebanggaan bagi saya. Ini menjadi awal yang baik untuk mulai percaya diri dengan menunjukkan bakat yang saya punya,” ujar Nala penuh semangat.

Ia menambahkan bahwa mengikuti NAC memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan sekaligus menjadi pelajaran berharga. “Saya belajar banyak dari ajang ini. Ke depan, saya ingin terus berkembang dan menjadi lebih baik,” tambahnya.

Keberhasilan Nala tidak hanya membanggakan dirinya secara pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk berani mengekspresikan diri dan menggali potensi di luar kegiatan akademik. Seni, sebagai bagian dari kreativitas, menjadi wadah penting dalam membentuk karakter mahasiswa yang inovatif dan percaya diri.

Universitas Malahayati melalui berbagai program pengembangan minat dan bakat senantiasa mendukung mahasiswanya untuk berprestasi di berbagai bidang. Capaian ini membuktikan bahwa mahasiswa Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu bersaing secara nasional dalam bidang seni dan budaya.

Selamat kepada Nala Salsabila Fitriana atas prestasinya. Terus berkarya dan menginspirasi! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Teken MoU dan MoA dengan BAWASLU Kota Bandar Lampung, Perkuat Sinergi Pendidikan dan Demokrasi

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam memperluas jejaring dan memperkuat sinergi kelembagaan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Memorandum of Agreement (MoA) bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) Kota Bandar Lampung. Kegiatan ini berlangsung di Kantor Bawaslu dan disambut hangat oleh jajaran pimpinan kedua lembaga. Rabu (18/6/2025).

Dari pihak Universitas Malahayati, kegiatan ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, Kepala Bagian Kerja Sama, Kepala Bagian Humas dan Protokol, Emil Tanhar, S.Kom, serta beberapa perwakilan dosen Fakultas Hukum. Sementara dari pihak BAWASLU Kota Bandar Lampung hadir Muhammad Muhyi, S.Sos.I, Oddy Marsa JP, SH., MH, Juwita, S.H., MM, dan Hasanuddin Alam, S.P., M.Si.

Dalam sambutannya, Muhammad Muhyi, S.Sos.I menyampaikan apresiasi dan antusiasme atas kerja sama yang dibangun bersama Universitas Malahayati.

“Kami menyambut baik kehadiran rekan-rekan dari Universitas Malahayati. Kerja sama ini bukan hanya mempererat hubungan kelembagaan, tetapi juga menjadi bagian dari upaya kami untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi, integritas, dan pengawasan partisipatif kepada generasi muda, khususnya para mahasiswa,” ujarnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan kelanjutan dari nota kesepahaman yang sebelumnya telah dijalin antara kedua pihak. Ia menekankan pentingnya implementasi nyata dari kerja sama ini, khususnya dalam memberikan ruang magang dan pembelajaran langsung bagi mahasiswa.

“Kerja sama ini adalah langkah konkret untuk mendekatkan mahasiswa dengan praktik hukum dan demokrasi di lapangan. Kami berharap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk magang dan belajar langsung dari para profesional di BAWASLU. Ini menjadi bekal penting dalam pembentukan karakter dan pemahaman hukum secara komprehensif,” jelas Aditia.

Penandatanganan MoU dan MoA ini tidak hanya menjadi simbol kolaborasi, tetapi juga menjadi tonggak awal dari berbagai program bersama yang akan datang, termasuk penyuluhan hukum, riset kolaboratif, pelatihan kepemiluan, hingga pengembangan kapasitas mahasiswa dalam pengawasan partisipatif pemilu.

Universitas Malahayati melalui Fakultas Hukum terus berkomitmen untuk menghadirkan pendidikan hukum yang adaptif, aplikatif, dan responsif terhadap perkembangan zaman. Sinergi dengan lembaga seperti BAWASLU menjadi salah satu bentuk penguatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang pengabdian kepada masyarakat dan peningkatan mutu lulusan.

Kerja sama ini bukan hanya tentang MoU, tapi tentang membangun masa depan demokrasi Indonesia bersama generasi muda yang cerdas dan berintegritas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Beradu Punggung

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang mahasiswa pasca datang untuk berkonsultasi tugas akhirnya, karena kebetulan yang bersangkutan adalah kepala unit pelayanan kesehatan tertentu, setelah selesai persoalan ilmiah yang bersangkutan ingin meminta pendapat tentang suatu keadaan yang dijumpai ditempat bekerja. Persoalannya adalah adanya staf yang semula sangat akrab dan terbuka; begitu beliau ini sekolah, staf tadi menjauh bahkan dapat terkategori “beradu punggung” dengan dirinya. Diskusi menjadi menarik dan tidak layak untuk dipaparkan pada media ini, karena itu personal sekali; namun adagium beradu punggung tampaknya menarik jika dibahas dari konsep filsafat manusia.

Filsafat manusia; sebuah cabang pemikiran yang tidak hanya bertanya tentang apa itu manusia, tetapi juga bagaimana manusia berelasi, mengenal diri, dan memahami orang lain. Melalui pandangan filsuf-filsuf seperti Martin Buber, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Levinas, dan Erich Fromm, kita akan mencoba mengurai makna dan akar dari sikap beradu punggung ini.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk relasional. Filsafat humanistik mengakui bahwa identitas manusia tidak terbentuk dalam ruang hampa, tetapi dalam interaksi dengan yang lain. Bahkan, dalam konteks perkembangan psikologis awal, manusia tidak bisa menjadi “diri” tanpa hadirnya “yang lain” sebagai cermin dan penegas eksistensinya. Namun, ketika manusia mulai memperlakukan sesamanya sebagai alat, objek, atau ancaman, maka relasi itu akan berubah menjadi beradu punggung, ini terjadi ketika seseorang berhenti melihat yang lain sebagai pribadi dan mulai memandangnya sebagai sumber masalah, beban, atau bahkan musuh. Punggung yang saling membelakangi adalah simbol dari relasi yang telah kehilangan keintiman, kepercayaan, dan kehadiran sejati.

Jean-Paul Sartre berbeda lagi. Beliau memberikan perspektif lain yang lebih gelap. Beliau berpendapat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas, tetapi kebebasan ini membawa beban besar: tanggung jawab, kecemasan, dan kesepian. Dalam relasi antar manusia, Sartre melihat potensi konflik karena kehadiran orang lain dapat membatasi kebebasan kita. Dalam pandangannya yang terkenal beliau mengatakan “neraka adalah orang lain”. Oleh sebab itu beliau berpendapat ketika dua manusia saling beradu punggung, bisa jadi itu adalah ekspresi dari konflik kebebasan ini. Masing-masing merasa terancam oleh eksistensi yang lain. Mereka tidak mampu menghadapi kejujuran relasi yang memerlukan keterbukaan. Maka, lebih mudah untuk berpaling dengan memilih tidak melihat, tidak berinteraksi, tidak terlibat.

Erich Fromm sebagai seorang psikoanalis dan filsuf humanis; berpandangan fenomena ini dari kebutuhan manusia akan cinta dan keterhubungan. Dalam bukunya “The Art of Loving”, Fromm menyatakan bahwa cinta bukan hanya perasaan, tetapi tindakan aktif yang memerlukan disiplin, perhatian, dan keberanian. Oleh sebab itu Fromm berpendapat bahwa, keterasingan adalah kondisi dasar manusia modern. Manusia yang tidak mampu mencintai akan merasa terisolasi dan tidak terhubung, bahkan ketika secara fisik ia dikelilingi oleh orang lain. Beradu punggung adalah gejala dari kegagalan mencintai, kegagalan untuk berkomunikasi secara empatik, gagal untuk memberi, memahami, dan menyambut kehadiran yang lain.

Satu perspektif yang sangat menyentuh dan memberi harapan datang dari filsuf Emmanuel Levinas. Ia berbicara tentang “wajah yang lain” sebagai panggilan etis yang tak bisa diabaikan. Menurut Levinas, wajah orang lain adalah kehadiran yang menuntut kita untuk bertanggung jawab, bukan sekadar memahami atau menilai. Dalam konteks beradu punggung, wajah yang lain itu telah hilang dari pandangan. Ketika seseorang berpaling dari yang lain, ia bukan hanya menghindari konflik, tetapi juga menghindari tanggung jawab. Ia menolak untuk melihat kemanusiaan yang ada di depan mata. Ia menolak untuk mengakui luka, harapan, dan kerentanan yang ditawarkan oleh yang lain.

Jika beradu punggung adalah simbol keterasingan, maka menoleh adalah simbol dari keberanian untuk kembali hadir. Proses ini tidak mudah; Ia memerlukan kerendahan hati, keberanian menghadapi luka, dan pengakuan bahwa kita telah berjarak terlalu lama. Namun, inilah jalan satu-satunya menuju keutuhan relasi. Dalam kehidupan nyata, konflik antar manusia sering tidak hitam putih. Tidak ada yang sepenuhnya benar atau salah. Tapi yang paling penting adalah siapa yang bersedia membuka ruang pertama. Dalam filsafat timur, tindakan pertama untuk berdamai memiliki nilai moral yang tinggi dan ini menandakan kedewasaan batin yang baik.

Beradu punggung bukan hanya tindakan pasif, tapi sebuah sikap eksistensial yang mencerminkan krisis makna dalam relasi antar manusia. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kita perlu kembali pada filsafat-sebagai ruang refleksi-untuk menemukan kembali nilai-nilai relasional yang memanusiakan. Melalui pemikiran Buber, Sartre, Fromm, dan Levinas, kita diajak melihat bahwa manusia tidak akan pernah utuh tanpa yang lain. Bahwa keberadaan manusia sejati bukanlah dalam dominasi atau pelarian, tetapi dalam keterbukaan untuk hadir, mendengar, dan menatap. Orang bijak mengatakan “Manusia diciptakan untuk saling memandang, bukan saling membelakangi. Karena dalam mata yang lain, kita menemukan wajah kita sendiri.” Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara Harapan 1 Baca Puisi di National Art Competition 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Muhammad Maulana Yusuf (23220305), mahasiswa Program Studi S1 Manajemen, sukses meraih Juara Harapan 1 dalam ajang Baca Puisi National Art Competition (NAC) 2025 yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Lampung pada 15 Mei 2025.

Kompetisi seni tingkat nasional ini menjadi panggung pertama bagi Maulana dalam dunia lomba baca puisi. Meski baru pertama kali mengikuti ajang seperti ini, Maulana berhasil mencuri perhatian dewan juri dengan penampilan yang penuh penghayatan dan sarat makna.

“Untuk kegiatan ini adalah hal pertama yang saya ikuti dan mendapatkan Juara Harapan 1 ini adalah sebuah kebanggaan bagi saya. Karena menjadi awal yang baik untuk terus maju menggapai tujuan yang kita mau,” ujar Maulana dengan semangat.

Ia juga mengungkapkan bahwa pengalaman ini bukan sekadar soal menang atau kalah, melainkan tentang proses kreatif dan keberanian mengekspresikan diri melalui puisi. “Ini adalah pengalaman yang luar biasa. Kemenangan ini bagaikan sayap yang membawaku melayang di atas puncak imajinasi. Setiap lirik yang kubaca kini memiliki gema yang indah, berkat apresiasi semuanya,” lanjutnya.

Pencapaian Maulana mendapat apresiasi hangat dari sivitas akademika Universitas Malahayati. Dosen dan rekan-rekan sesama mahasiswa turut bangga atas prestasi yang diraih, yang tidak hanya mengharumkan nama pribadi tetapi juga membawa nama baik universitas di kancah nasional.

Prestasi ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga memiliki potensi besar di ranah seni dan budaya. Semoga keberhasilan ini menjadi langkah awal bagi Maulana untuk terus berkarya dan menginspirasi generasi muda lainnya.

Selamat dan sukses untuk Muhammad Maulana Yusuf! Teruslah terbang tinggi bersama bait-bait puisi yang menggema. (gil)

Editor: Gilang Agusman