Membeli Masa Depan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat libur bersama, waktu dihabiskan untuk berkontemplasi dalam diam di rumah kopel yang mungil, namun serasa luas. Meja kerja yang mini-pun serasa lapangan bola guna berselancar dengan angan dan idea yang silih berganti muncul merekonstruksi berfikir, untuk kemudian dituangkan dalam deret huruf yang terkadang sulit untuk dicernah karena tidak seiringnya tekanan huruf dengan idea yang mengalir. Hari itu mendapatkan pembelajaran dari Satuan Pengamanan komplek yang mengatakan bahwa pendapayannya di luar gaji, ditabung melalui sistem piranti perangkat lunak modern sekarang. Beliau yang tidak tamat sekolah lanjutan sudah mampu membeli masa depannya dengan piranti genggam yang ada. Generasi Lanjut Usia sudah harus mengakui akan keterbelakangannya di bidang teknologi rekayasa masa depan. Harus bersiap menjadi korban atau dikorbankan oleh waktu yang berjalan begitu cepat dalam menyongsong masa depan.

Dunia yang bergerak begitu cepat dan didorong oleh teknologi canggih, frasa “membeli masa depan” menjadi semakin relevan, baik dalam percakapan sehari-hari. Namun, jauh di balik makna literalnya, terdapat dimensi filosofis yang dalam dan kompleks. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “membeli masa depan”? Apakah masa depan sesuatu yang bisa dimiliki, diprediksi, atau bahkan diperjualbelikan? Dan bagaimana sikap manusia terhadap masa depan mencerminkan pandangan eksistensialnya terhadap waktu, pilihan, dan harapan.

Batasan pengertian paling sederhana, membeli masa depan dapat dimaknai sebagai tindakan berinvestasi hari ini demi memperoleh hasil di masa yang akan datang. Pendidikan adalah contoh paling jelas: seseorang menempuh pendidikan bukan untuk manfaat langsung, melainkan karena percaya bahwa ilmu dan keterampilan yang diperoleh akan membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik. Demikian pula dengan menabung, membeli asuransi, atau bahkan menjaga kesehatan—semua adalah bentuk ‘pembelian’ terhadap masa depan. Tindakan-tindakan ini dilandasi oleh harapan bahwa dunia esok hari akan memberi ruang dari hasil jerih payah hari ini. Dari sudut pandang ini, membeli masa depan adalah bentuk optimisme rasional. Ia adalah perwujudan keyakinan bahwa masa depan, meski tak pasti, namun bisa diarahkan.

Dalam masyarakat kapitalis modern, konsep masa depan sering kali dikomodifikasi. Perusahaan menjual “masa depan” dalam bentuk kontrak jangka panjang, pinjaman pendidikan, investasi saham, dan teknologi ramalan. Bahkan dalam dunia kerja, individu sering terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir demi “masa depan yang lebih baik”, tanpa pernah benar-benar hidup di masa kini. Filsuf seperti Herbert Marcuse dan Jean Baudrillard telah mengkritik bagaimana kapitalisme modern menciptakan “fetisisme masa depan”. Dalam sistem ini, masa depan dijadikan komoditas, dan manusia kehilangan kendali atas kehidupannya sendiri. Alih-alih menjadi subjek yang aktif membentuk masa depan, manusia menjadi objek dari janji-janji yang dikendalikan pasar dan teknologi.

Berbeda dengan Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang ditentukan oleh pilihannya. Dalam konteks ini, membeli masa depan bukanlah tindakan konsumtif, tetapi tindakan eksistensial. Setiap pilihan yang kita ambil hari ini merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap masa depan kita sendiri. Pandangan ini seolah menafikan takdir. Semua masa depan bisa dirancang hari ini, dan tergantung manusia membaca peluang. Tampaknya pandangan ini lebih menafikan agama, terutama agama-agama langit.

Oleh sebab itu dalam banyak tradisi spiritual, masa depan dipandang bukan sebagai sesuatu yang bisa “dibeli” atau “dimiliki”, tetapi sebagai bagian dari aliran waktu yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya. Contohnya dalam ajaran Sufi, masa depan tidak dimiliki oleh manusia, tetapi oleh Tuhan. Oleh karena itu, membeli masa depan bukan soal mengendalikan, tetapi tentang berserah dan bertindak dengan niat yang benar di masa kini untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Dari sini kita belajar bahwa konsep “membeli masa depan” bisa menjadi jebakan ego jika tidak dibarengi dengan kesadaran spiritual. Terlalu terpaku pada masa depan dapat membuat kita kehilangan makna kehidupan saat ini. Oleh karena itu secara filosofis, masa depan adalah entitas yang belum eksis. Ia belum nyata, belum terjadi, dan karena itu bersifat maya. Kita tidak bisa menyentuhnya, mengukurnya, apalagi memilikinya. Maka pertanyaannya: bagaimana kita bisa “membeli” sesuatu yang belum ada?

Martin Heidegger, dalam karya besarnya Being and Time, menyatakan bahwa keberadaan manusia (Dasein) selalu diarahkan ke masa depan. Eksistensi kita bukan berada di masa kini yang statis, melainkan terus bergerak menuju yang akan datang. Dalam pengertian ini, “membeli masa depan” adalah bentuk kepedulian manusia terhadap eksistensinya sendiri di waktu yang akan datang. Karena masa depan itu tidak pasti, tindakan ini selalu disertai dengan kecemasan (anxiety). Kecemasan itu bukan kelemahan, melainkan bagian dari kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia. Tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa secara filosofis, masa depan bukan sesuatu yang bisa dibeli dalam pengertian literal. Masa depan adalah ruang kemungkinan, bukan barang dagangan. Ketika kita berbicara tentang membeli masa depan, yang sebenarnya kita lakukan adalah menciptakan masa depan melalui tindakan, pilihan, dan nilai-nilai kita hari ini. Dalam dunia yang semakin tergoda oleh kepastian semu dan janji instan, renungan filosofis ini mengingatkan kita untuk tetap sadar bahwa masa depan tidak dijamin oleh uang, teknologi, atau kekuasaan. Masa depan adalah milik mereka yang berani bertindak hari ini dengan bijak, bertanggung jawab, dan penuh kesadaran akan keterbatasan manusia.

Oleh sebab itu sangat salah jika kita membeli masa depan dengan cara merusak hari ini. Masa depan harus jadi impian yang diwujudkan tetapi tetap ada pada jalur-jalur normative dan konstitusional dengan cara menatanya dari hari ini; bukan dengan menabrak aturan, apalagi sampai berkomplot tega berbuat jahat hanya karena ingin bahagia sesaat. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Hanya Waktu dan Keadilan yang Menjawab

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang hari itu, penulis berdiskusi dengan seorang calon doktor yang membidangi hukum, dan beliau sangat mumpuni dalam bidang filsafat, terutama Filsafat Hukum. Dalil-dalil keilmuan dan keagamaan sering menghias uraian dalam mengomentari tulisan yang dikirim ke hadapan beliau. Topik diskusi kali ini adalah bagaimana suatu lembaga akademik bergengsi bisa kehilangan maruwahnya hanya karena segelintir orang di dalamnya yang memiliki mental terabas dalam mencapai suatu jenjang akademik tertinggi. Kami berdua sepakat pelanggaran moral akademik memang sulit dibuktikan, karena itu menyangkut norma, etika dan kepatutan yang terkadang ukurannya sangat subyektif.

Pengalaman hidup yang penulis lampaui, tidak jarang niat memperingatkan berujung menjadi ketidaksukaan, bahkan menjadi kebencian yang amat sangat. Benar orang-orang suci pada zamannya yang berkata bahwa “Memperingatkan orang pandai itu jauh lebih sulit dari pada memperingatkan orang awam”.

Dalam hidup, kita semua pernah merasa diperlakukan tidak adil. Mungkin kita pernah difitnah, disalahpahami, atau bahkan dijatuhkan oleh orang yang dulu kita percaya. Rasanya seperti dunia tidak berpihak, seolah-olah kejujuran dan kebaikan itu sia-sia. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang perlu kita yakini, “Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab”. Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, bahkan klise, tetapi jika kita renungkan lebih dalam, ada kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya. Kekuatan untuk tetap tenang, tetap berdiri, dan tetap berjalan meski dunia seperti menolak kehadiran kita. Waktu adalah teman yang setia. Ia tidak pernah berpihak, tapi juga tidak pernah memihak yang salah. Dalam diamnya, waktu merekam segalanya—ucapan, tindakan, bahkan niat di balik setiap perbuatan. Kadang, kebenaran memang tidak langsung terlihat. Ia tersembunyi di balik kabut opini, gosip, dan prasangka. Tapi seiring berjalannya waktu, kabut itu perlahan menghilang, dan satu per satu fakta akan muncul ke permukaan.

Banyak dari kita ingin membuktikan bahwa kita benar, secepat mungkin. Kita ingin membersihkan nama, membela diri, dan membuat orang tahu bahwa mereka telah salah menilai. Namun, hidup tidak bekerja seperti itu. Ada hal-hal yang hanya bisa dijelaskan oleh waktu. Dan saat waktunya tiba, orang-orang akan melihat sendiri siapa yang jujur dan siapa yang hanya pandai bersandiwara, siapa yang tulus dan siapa yang berpura-pura.

Kita sering merasa bahwa keadilan lambat. Bahkan kadang kita bertanya-tanya: “Apakah keadilan itu benar-benar ada?” Di dunia yang penuh kepentingan dan tipu muslihat, wajar bila kita merasa kecewa, tetapi sejarah menunjukkan bahwa pada akhirnya, kebenaran selalu menemukan jalannya. Tidak selalu cepat, tidak selalu nyaman, tapi pasti.

Keadilan mungkin tidak datang dengan sorotan kamera atau tepuk tangan. Ia bisa datang diam-diam, di waktu yang tak terduga. Mungkin melalui sebuah pengakuan, sebuah keputusan, atau bahkan melalui karma yang bekerja dengan caranya sendiri, yang penting, kita tetap berpegang pada prinsip. Jangan biarkan luka membuat kita menjadi seperti orang yang melukai kita.

Ada kalanya, diam adalah bentuk perlawanan yang paling kuat. Diam bukan berarti kita lemah, atau menyerah. Tapi diam bisa berarti kita percaya bahwa waktu dan keadilan sedang bekerja. Ketika semua orang berteriak, terkadang suara paling jujur justru datang dari mereka yang memilih untuk tidak membalas.

Dalam proses ini, kita juga perlu belajar satu hal: tidak semua orang perlu diyakinkan. Tidak semua orang akan percaya pada versi kebenaran kita, bahkan jika kita telah berteriak sekuat tenaga. Dan itu tidak apa-apa. Tugas kita bukan untuk membuat semua orang setuju, tetapi untuk tetap menjadi diri sendiri. Ada orang-orang yang akan tetap percaya, meski kita diam. Ada juga yang tetap mencurigai, meski bukti sudah jelas. Fokuslah pada mereka yang tulus. Mereka yang mengenal hati kita akan tetap tinggal, bahkan saat dunia menjauh.

Kebaikan tidak selalu dibalas kebaikan. Dan itu fakta pahit yang harus kita terima. Namun, bukan berarti kita harus berhenti menjadi baik. Kita baik bukan karena orang lain selalu baik, tetapi karena kita tahu itu adalah hal yang benar. Bahkan ketika kebaikan kita tidak dihargai, jangan biarkan itu mengubah siapa kita. Orang yang tulus tidak akan kehilangan nilainya hanya karena difitnah. Sebaliknya, orang yang menipu tidak akan selamanya bisa bersembunyi di balik topeng. Waktu akan membuka semuanya, satu per satu.

Hidup tidak selalu tentang membuktikan siapa yang benar, tapi tentang siapa yang tetap bisa tenang saat disalahkan. Tentang siapa yang tetap bisa jujur saat dicurigai. Dan tentang siapa yang tetap bisa tersenyum meski hatinya penuh luka. Ketika kamu merasa dikhianati, disalahpahami, atau dijatuhkan, tarik napas dalam-dalam. Jangan buru-buru membalas. Jangan biarkan amarah menenggelamkan kamu dalam hal-hal yang kamu sesali di kemudian hari. Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab karena pada akhirnya, kebenaran tidak butuh pembelaan keras—ia hanya butuh waktu. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari ini, seluruh bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, tonggak penting dalam sejarah perjalanan bangsa yang menjadi dasar dan panduan dalam kehidupan bernegara.

Peringatan Hari Lahir Pancasila merujuk pada pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidatonya, Bung Karno untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep dasar negara yang kemudian dikenal dengan nama Pancasila.

Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini mengusung tema nasional “Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”, yang mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu, memperkuat persaudaraan, dan bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa menuju satu abad Indonesia merdeka.

“Pancasila bukan sekadar warisan sejarah, tetapi pedoman hidup bangsa. Di era modern ini, semangat gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila harus terus kita hidupkan. Mari kita jadikan Hari Lahir Pancasila sebagai momentum memperkuat semangat kebangsaan dan komitmen bersama membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan beradab.” Penulis.

Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025. Mari kita jaga semangat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman untuk Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Gelar Yudisium, Tujuh Mahasiswa Siap Masuki Tahap Pendidikan Profesi

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati kembali mengukir momen penting dalam perjalanan akademiknya. Sebanyak tujuh mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter resmi diyudisium pada acara yang digelar di ruang 1.13 Gedung Rektorat Universitas Malahayati, Selasa (27/5/2025).

Acara yudisium ini dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas dan fakultas, di antaranya Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, Ka.Prodi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Syahrini, dr., M.Kes, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Ka.Prodi Profesi Dokter serta Sekretaris Prodi Pendidikan Dokter,

Dalam sambutannya, Prof. Dessy Hermawan menyampaikan apresiasi dan rasa bangganya kepada para peserta yudisium. Ia menekankan bahwa pencapaian hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang yang patut disyukuri. “Selamat kepada seluruh mahasiswa yang telah sampai di titik ini. Ini bukan hanya akhir dari satu fase, tetapi awal dari perjuangan baru di dunia profesi”.

“Teruslah belajar, jaga integritas, dan bangun karakter sebagai dokter yang berkompeten dan beretika,” ujar Prof. Dessy.

Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dalam sambutannya juga mengucapkan selamat kepada para mahasiswa yang telah berhasil menyelesaikan fase akademik dan siap memasuki tahap berikutnya dalam pendidikan dokter, yaitu pendidikan profesi.

“Selamat atas yudisium yang dilaksanakan hari ini. Satu tahap sudah selesai, dan berikutnya adalah tahap kedua, yakni pendidikan profesi,” ujar Dr. Toni.

Lebih lanjut, Dr. Toni menjelaskan bahwa tahap pendidikan profesi merupakan masa magang yang akan berlangsung selama dua tahun. Ia menekankan pentingnya pemanfaatan waktu dengan bijak agar para mahasiswa bisa memperoleh pengalaman klinis sebanyak-banyaknya sekaligus mempersiapkan diri menghadapi Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD).

“Ada waktu dua tahun untuk melaksanakan magang. Gali ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya, serta persiapkan diri kalian untuk UKMPPD. Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, kalian harus pintar-pintar dalam menjalani proses magang ini. Semoga bisa selesai tepat waktu,” pesannya.

Ia juga mengingatkan bahwa selama masa magang, mahasiswa dianggap telah menguasai teori dasar, sehingga tidak lagi ditoleransi untuk bertanya hal-hal mendasar yang seharusnya sudah dipahami di bangku kuliah.

Sementara itu, Ketua Program Studi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Syahrini, dr., M.Kes., menekankan pentingnya menjaga etika profesi dan kedisiplinan dalam menjalankan tugas di dunia medis.

“Suatu saat nanti, kalian akan duduk sebagai pejabat dan memberikan kebanggaan bagi orang tua serta almamater. Tetap jaga etika kedokteran dan selalu disiplin dalam bertugas,” pesan Dr. Tessa.

Acara yudisium berlangsung khidmat dan penuh makna. Bagi ketujuh mahasiswa yang diyudisium, momen ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan mereka menuju gelar dokter. Dengan semangat baru, mereka kini bersiap untuk menapaki fase pendidikan profesi dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab, demi menjadi dokter yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berjiwa pelayanan dan menjunjung tinggi etika kedokteran. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Melepas dan Menerima

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Cuaca hari itu cukup sejuk karena mendung dari pagi sampai siang hari; sementara suasana di ruang kerja kantor agak sedikit menghangat karena sedang diskusi dengan beberapa teman selepas sholat dhuhur. Persoalan utama yang dibahas adalah kebersediaan orang untuk melepas dan menerima keadaan; sekalipun keadaan itu tidak mengenakkan. Pilihan untuk melepas dan menerima merupakan dinamika kehidupan; namun pada kenyataannya untuk bersikab berterima dengan apapun hasil dari suatu proses, tidak mudah untuk melakukan. Dalam kehidupan manusia, situasi kehilangan, kegagalan, dan perubahan seringkali menimbulkan tekanan emosional yang signifikan. Dua konsep penting yang sering dikaitkan dengan pemulihan psikologis dari kondisi tersebut adalah “melepas” (letting go) dan “menerima” (acceptance).

Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari pengalaman kehilangan, penolakan, atau perubahan drastis yang menguji ketahanan mental dan emosional. Dalam konteks tersebut, kemampuan untuk “melepas” dan “menerima” menjadi kunci penting dalam mencapai kesejahteraan psikologis. Meskipun kedua konsep ini sering muncul dalam narasi populer, secara akademik keduanya memiliki basis teoretis yang kuat, khususnya dalam pendekatan psikologi positif dan terapi berbasis mindfulness.

Selepas dari itu saat kembali keruang kerja ingat beberapa puluhtahun lalu waktu masih bekerja di kota empek-empek; ada peristiwa yang membekas sampai sekarang berkaitan dengan cerita perjalanan hidup seorang anggota pengamanan suatu lembaga. Namanya Pak No, begitu kami memanggil. Pada waktu itu usia sudah paruh baya. Rambutnya sudah dipenuhi uban, tapi tubuhnya masih tegap. Ia bekerja sebagai satpam di sebuah kantor swasta sudah selama hampir 15 tahun. Ia dikenal ramah, rajin shalat, dan tak pernah absen datang lebih awal dari jadwal baik ditempat bekerja, apalagi di musholah. Setiap pagi, ia berdiri di gerbang sambil memberi salam dan senyuman kepada para karyawan yang lewat. Ucapan renyahnya Pak No yang selalu menjadi ingatan semua orang:

“Assalamu’alaikum, Bu,”

“Selamat pagi, Pak. Semoga sehat selalu ya!”

Tak semua orang membalas. Tapi ia tak pernah berhenti memberi salam. Dalam hati, ia selalu berkata, “Memberi salam itu bagian dari sedekah. Mungkin dari sini rezeki saya diluaskan.”

Tapi hari itu berbeda. Setelah shalat Dzuhur di musholla kantor, ia dipanggil ke ruangan HRD. Seorang pria muda, manajer baru, menyampaikan kabar yang menampar hatinya:

“Mohon maaf Pak No.… Karena efisiensi perusahaan, posisi Bapak sebagai satpam tidak diperpanjang lagi kontraknya mulai akhir bulan ini.”

Pak No diam seribu bahas; dia menunduk, berusaha menahan air mata. Bukan karena malu, tapi karena bingung harus dengan apa memberi makan keluarganya bulan depan.

Pak No hanya berkata lirih, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Baik, Pak. Saya terima.”

Malam itu, di rumah kecil kontrakannya di pinggiran stasiun Kertapati, Pak No duduk bersama istrinya, Bu sholeha. Ia cerita dengan tenang, tanpa melebih-lebihkan. “Kalau memang Allah ingin aku berhenti sampai di sini, mungkin memang sudah waktunya,” ucapnya. Istrinya menggenggam tangannya seraya berkata. “Allah tidak pernah salah dalam menulis takdir untuk mahlukNYA. Kita tinggal sabar menunggu kelanjutannya.” Jawaban istri Pak No membuat sejuk dihati dan membuat dirinya lebih tegar dalam mengarungi hidup.

Hari-hari berikutnya gelombang ujian mulai datang. Uang pesangon habis untuk bayar kontrakan dan membeli kebutuhan pokok. Pak No sempat melamar pekerjaan di beberapa tempat, tidak memilih bekerja apa saja yang penting mendapatkan gaji halal; tetapi tidak ada panggilan untuknya.

Namun, ia tetap bangun pagi, shalat tahajud tidak pernah dia tinggalkan, juga shalat dhuha, lalu keluar rumah bukan untuk bekerja, tapi mencari peluang. Ia sempat jadi tukang parkir, lalu bantu bersih-bersih masjid, membersihkan selokan rumah tetangga; menyikat kamar mandi tetangga yang minta bantuan, mencuci mobil tetangga, bahkan reparasi payung-pun dijabanin; tak sekalipun ia mengeluh. Semua dilakoni dengan ihlas.

Suatu hari Jumat, setelah shalat di masjid, Pak No melihat seorang anak kecil berdiri di luar gerbang. Pakaiannya kotor dan ia menatap kotak infak masjid dari kejauhan. Pak No tidak berfikiran negatif; justru beliau bertanya:. “Mau infak, Nak?”. Anak itu mengangguk pelan. “Tapi uangnya tinggal seribu. Ini buat beli roti…”. Pak No tersenyum. Ia keluarkan uang dua ribu dari saku celananya—uang satu-satunya yang tersisa hari itu. Ia sodorkan ke anak itu sambil berkata: “Ambil ini, beli roti dua. Satu buat kamu, satu buat temenmu. Lain kali, kalau mau infak, kasih doa juga ya.”. Anak itu memeluk Pak No sejenak, lalu pergi sambil tersenyum lebar. Pak No menatapnya dengan haru. “Ya Allah, aku tidak punya apa-apa hari ini. Tapi semoga ini cukup sebagai bentuk syukurku kepada-Mu.”

Tiga hari kemudian, Pak No dicari oleh seorang yang tak dikenalnya. Suaranya sopan, memperkenalkan diri sebagai ustaz dari sebuah pesantren wakaf di luar daerah, dan berkata:“Kami sedang butuh penjaga keamanan untuk lingkungan pondok, yang bisa juga membimbing anak-anak santri tentang adab dan shalat. Kami dapat nama Bapak dari rekomendasi seorang warga masjid. Apakah Bapak bersedia?”

Pak No terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Subhanallah… tentu saya bersedia, Pak.”

Mulailah babak baru dalam hidup Pak No. Ia tinggal di rumah kecil milik pondok bersama istri tercinta, diberi gaji cukup, makan dari dapur pondok, dan lebih penting lagi: ia kembali merasa dibutuhkan. Pak No sering berucap “Ya Allah, terima kasih karena Engkau ajarkan aku melepas dunia, dan menerima takdir-Mu dengan ridha. Ternyata, apa yang terlihat buruk di awal, bisa jadi jalan pulang menuju kebaikan yang lebih besar.”

Melepas bukan berarti kalah, dan menerima bukan berarti lemah. Dalam Islam, kita diajarkan untuk ikhlas atas apa yang Allah ambil, dan bersyukur atas apa yang Allah beri. Bahkan jika satu pintu tertutup, Allah bisa membuka pintu-pintu lain yang lebih berkah—asal kita tetap sabar dan percaya pada-Nya.

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengelola dan merespons pengalaman emosional secara adaptif. Dalam banyak studi, kemampuan untuk melepaskan dan menerima telah terbukti berperan penting dalam proses regulasi emosi. Melepas dapat mengurangi intensitas emosi negatif yang bersumber dari keterikatan pada masa lalu, sedangkan penerimaan memungkinkan individu untuk tidak terjebak dalam siklus penolakan terhadap kenyataan. Dalam studi longitudinal oleh Shallcross, ditemukan bahwa individu yang mampu menerima emosi negatifnya secara sadar dan terbuka menunjukkan gejala depresi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menolak atau menghindari perasaan tersebut.

Menariknya, banyak penelitian menunjukkan bahwa individu yang berhasil melalui fase “melepas dan menerima” justru mengalami pertumbuhan pribadi yang signifikan. Konsep post-traumatic growth (PTG) menjelaskan bahwa setelah mengalami peristiwa menyakitkan, banyak orang menemukan makna baru dalam hidup, memperkuat hubungan interpersonal, dan membangun kembali identitas diri yang lebih sehat. Dalam hal ini, proses pelepasan dan penerimaan tidak hanya menjadi alat bertahan, tetapi juga menjadi jembatan menuju transformasi psikologis yang lebih mendalam. Semoga kita mampu mengambil hikmah dari semua peristiwa yang kita alami selama hidup di dunia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Bersama Kemdiktiksaintek Gelar Workshop Penulisan Ilmiah dan Tata Kelola Jurnal

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati menjadi tuan rumah kegiatan prestisius “Pendampingan Penulisan Artikel Ilmiah dan Workshop Tata Kelola Jurnal Ilmiah” yang digelar oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM), Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemdiktiksaintek), bekerja sama dengan Universitas Malahayati. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Rektorat Universitas Malahayati dan diikuti oleh 120 peserta yang terdiri dari dosen dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Provinsi Lampung. Selasa (27/5/2025).

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH., yang hadir langsung di lokasi bersama jajaran Wakil Rektor I-IV dan Kepala LPPM, menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi yang tinggi atas kepercayaan Kemdiktiksaintek menjadikan kampusnya sebagai mitra kegiatan strategis ini.

Dalam sambutannya, Rektor menegaskan pentingnya budaya menulis ilmiah sebagai tanggung jawab moral akademisi. “Menulis ilmiah bukan hanya tuntutan karier, melainkan kewajiban etis untuk menyebarluaskan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat”.

Tata kelola jurnal yang baik akan memperkuat ekosistem akademik yang kolaboratif. “Ini bukan semata teknis, tapi membangun komunitas yang solid, saling mendukung, dan tumbuh bersama dalam semangat berkarya demi kemajuan universitas,” ujar Rektor.

Acara ini dibuka secara resmi oleh Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Prof. I Ketut Adnyana, M.Si., Ph.D., yang hadir secara daring. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya inovasi dalam penulisan artikel ilmiah serta peran jurnal ilmiah sebagai pintu gerbang dunia akademik Indonesia.

“Pendampingan penulisan artikel ilmiah sangat penting, karena di sinilah awal dari upaya menyampaikan ilmu pengetahuan secara kredibel dan terstandar. Media penyampaiannya harus kuat, dan inilah kunci untuk menembus publikasi global,” ujar Prof. I Ketut Adnyana.

“Saya berharap seluruh peserta dapat memanfaatkan momentum ini untuk menghasilkan karya ilmiah berkualitas yang mampu memberikan kontribusi nyata,” tandasnya.

Sementara itu, Dirjen Risbang Kemdiktiksaintek, Dr. M. Fauzan Adziman, ST, M.Eng., dalam sambutan daringnya menyampaikan harapan besar terhadap peningkatan kapasitas akademisi di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera.“Workshop ini bukan hanya soal teknis penulisan, tetapi bagian dari strategi nasional untuk memperkuat posisi Indonesia dalam kancah riset global”.

Saya mendorong para peserta untuk aktif berdiskusi, bertanya, dan menggali potensi diri agar mampu menghasilkan artikel ilmiah yang tidak hanya layak publikasi, tetapi juga berdampak. “Universitas Malahayati telah memulai langkah besar dan saya yakin Lampung bisa menjadi pusat pertumbuhan akademik baru di Indonesia,” tuturnya.

Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber ternama di bidang kepenulisan ilmiah, seperti: Prof. Dr. Achmad Nizar Hidayanto, S.Kom., M.Kom., Prof. Amirul Mukminin, S.Pd., M.Sc.Ed., Ph.D., Prof. Dr. Edi Surya Negara Harahap, S.Kom., M.Kom., Prof. Dr. Parmin, S.Pd., M.Pd., Prof. Dr. Renca Shinta Aminda, S.E., M.M.

Untuk sesi tata kelola jurnal, hadir pula para pakar seperti: Prof. Ifdil, S.HI., S.Pd., M.Pd., Ph.D., Kons., Antomi Saregar, M.Pd., M.Si., Dr. Iwan Hermawan, M. Nur Hudha, Cahniyo Wijaya Kuswanto.

Ketua Tim Kerja Jurnal DPPM, Rizki Prasetya, yang hadir secara langsung, turut memberikan gambaran teknis seputar pengelolaan jurnal yang terakreditasi dan memenuhi standar internasional.

Dengan semangat kolaborasi dan peningkatan mutu akademik, acara ini diharapkan menjadi batu loncatan penting bagi para dosen dan peneliti di Lampung dalam menghasilkan karya ilmiah berkualitas dan memperkuat posisi jurnal lokal di kancah nasional dan internasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 2 di Kejurnas Lampung Kungfu Championship 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Aulia Sandaisma Putri, mahasiswi Program Studi S1 Manajemen angkatan 2023 (NPM 23220077), berhasil meraih Juara 2 pada dua kategori sekaligus dalam ajang Kejuaraan Nasional Lampung Kungfu Championship 2025 yang digelar di GOR Sumpah Pemuda, Wayhalim, Bandar Lampung, pada 17–18 Mei 2025.

Aulia menyabet posisi juara pada kategori Senjata Pendek Tradisional dan Senjata Pendek Perguruan, sebuah pencapaian yang mencerminkan dedikasi dan kerja kerasnya dalam mengembangkan kemampuan bela diri tradisional, khususnya Kungfu.

Dalam pernyataannya, Aulia menyampaikan bahwa keberhasilannya ini bukan semata-mata karena latihan fisik, melainkan juga karena mental dan dukungan spiritual yang kuat.

“Jangan takut untuk memulai hal baru, karena kerja keras itu akan membuahkan hasil. Dan yang paling penting, jangan lupa meminta restu orang tua,” ujar Aulia dengan penuh semangat.

Ia juga menambahkan bahwa ajang ini merupakan batu loncatan penting dalam perjalanan karier bela dirinya.

“Dengan mengikuti perlombaan seperti ini, saya bisa menambah pengalaman dan memperluas jenjang kompetisi, dari tingkat daerah hingga nasional bahkan internasional. Alhamdulillah, saya bisa mempersembahkan dua gelar juara 2 untuk Universitas Malahayati tercinta.”

Prestasi ini tidak hanya membawa kebanggaan bagi Aulia secara pribadi, tetapi juga mengharumkan nama Universitas Malahayati di kancah olahraga nasional, khususnya dalam bidang seni bela diri Kungfu.

Pencapaian Aulia menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati mampu berprestasi tidak hanya di bidang akademik, tetapi juga di panggung olahraga nasional. Semoga keberhasilan ini dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berani mencoba hal baru, berlatih dengan giat, dan membawa nama baik almamater ke tingkat yang lebih tinggi.

Selamat dan sukses selalu untuk Aulia Sandaisma Putri! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Peneliti Universitas Malahayati Jalin Kolaborasi Riset Internasional dengan Industri Taiwan: Eksplorasi Ekstrak Daun Eucalyptus untuk Teknologi Ramah Lingkungan

Taiwan (malahayati.ac.id): Sebagai bagian dari upaya memperluas kolaborasi riset internasional di bidang sains terapan dan teknologi berbasis bahan alam, Universitas Malahayati kembali mencatatkan langkah penting di kancah global. Dwi Marlina Syukri, S.Si., M.BSc., PhD., dosen sekaligus peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, bersama salah satu mahasiswanya, Yessi Indriyani, telah melaksanakan kegiatan Academic Research Collaboration dengan perusahaan manufaktur teknologi presisi asal Taiwan, Hong Sheng Precision Co., Ltd.

Kolaborasi yang berlangsung selama delapan hari, sejak 10 hingga 17 Mei 2025 ini, berfokus pada eksplorasi dan pemanfaatan ekstrak daun Eucalyptus. Penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan material ramah lingkungan dan bioaktif yang dapat diterapkan dalam sistem pelapisan antimikroba serta pelindung korosi, khususnya pada komponen logam presisi yang menjadi spesialisasi utama perusahaan mitra.

Dalam kegiatan riset ini, Dwi Marlina Syukri, PhD memimpin penyusunan desain penelitian serta analisis kimia dari bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak Eucalyptus. Sementara itu, Yessi Indriyani, mahasiswa Fakultas Kedokteran, berperan aktif dalam proses ekstraksi, karakterisasi senyawa, serta pengujian aktivitas biofungsional dari ekstrak tersebut terhadap berbagai jenis substrat logam.

“Kolaborasi ini menjembatani ilmu bahan alam khas Indonesia dengan teknologi manufaktur modern yang dikembangkan di Taiwan. Ini adalah sinergi yang sangat strategis dalam menciptakan inovasi berbasis green technology,” ujar Dwi Marlina Syukri, PhD di sela kegiatan riset.

Selain memberikan kontribusi ilmiah, kegiatan ini juga menjadi sarana pembelajaran langsung bagi mahasiswa untuk terlibat dalam lingkungan riset industri internasional. Pengalaman ini memperluas wawasan mereka dalam bidang fitokimia terapan serta memperkuat kompetensi dalam riset berorientasi industri dan keberlanjutan.

Ke depan, hasil dari kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan luaran berupa publikasi ilmiah bersama, potensi paten teknologi berbasis Eucalyptus, serta penguatan jejaring kerja sama antara institusi akademik Indonesia dengan mitra industri luar negeri.

Kolaborasi ini juga menjadi langkah konkret Universitas Malahayati dalam mendukung pengembangan teknologi berkelanjutan berbasis sumber daya alam tropis, serta membuktikan bahwa hasil riset perguruan tinggi Indonesia mampu bersaing dan berkontribusi di tingkat internasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Ndherek Kersane Gusti

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kabupaten Pesawaran baru saja menyelesaikan pemungutan suara ulang pemilihan kepala daerah 2025. Setidaknya ada tiga kejadian menarik dalam proses Pilkada ulang di Pesawaran:  pertama, saat pemilihan serentak ada kandidat yang juga ketua partai memenangkan kontestasi pemilihan, harus menerima pil pahit karena digugat atas keabsahan ijazah yang dimiliki. Persidangan pembuktian hukum ditemukan sangkaan itu benar adanya sehingga  yang bersangkutan kemenagannya dibatalkan.

Kedua, pesaing yang kalah maju menjadi peserta saat pemilihan ulang  berhadapan dengan wakil dari pemenang yang dianulir. Anehnya, calon yang dianulir mendukung bekas rival saat pemilihan pertama; sampai-sampai yang bersangkutan diberi sanksi oleh dewan pusat partai karena tidak mendukung kader. Bahkan diwartakan bahwa yang bersangkutan hanya membawa gerbong kosong.

Ketiga, berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga survai ternyata calon yang kalah waktu pemilihan pertama, menjadi pemenang saat pemilihan ulang. Terlepas dari “upaya” dan kerja-kerja team pemenang yang siang malam bertungkuslumus di lapangan; ternyata hasil berbalik; semula kalah sekarang menang. Semua itu ternyata merupakan hasil “campur tangan Tuhan” dalam menunjukkan kuasa atas makhluknya. Kita sebagai makhluk hanya bisa berkata  dalam ungkapan orang Jawa ndherek kersane Gusti.

Masyarakat Jawa dikenal sebagai kelompok etnis yang memiliki pandangan hidup yang kaya akan nilai-nilai filosofis, spiritualitas, dan keselarasan antara manusia dan alam. Salah satu ungkapan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa adalah Ndherek kersane Gusti, yang secara harfiah berarti “mengikuti kehendak Tuhan.” Ungkapan ini bukan hanya sekadar ucapan, melainkan sebuah prinsip hidup yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kerendahan hati, dan kesadaran akan keterbatasan manusia.

Secara linguistik, ungkapan ndherek kersane Gusti  terdiri dari tiga kata: “ndherek” yang berarti ikut atau mengikuti, “kersane” yang berarti kehendak-Nya, dan “Gusti” yang berarti Tuhan. Dalam konteks budaya Jawa, “Gusti” sering digunakan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap hormat dan penuh takzim kepada Sang Pencipta.

Ungkapan ini merefleksikan sikap tunduk dan pasrah terhadap kehendak Tuhan, namun tidak dalam arti menyerah tanpa usaha. Sebaliknya, ungkapan ini digunakan setelah seseorang melakukan segala upaya yang mungkin, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Hal ini sejalan dengan prinsip manunggaling kawula lan Gusti, yaitu bersatunya kehendak manusia dengan kehendak Tuhan dalam kesadaran spiritual yang tinggi.

Dalam falsafah hidup orang Jawa, terdapat konsep yang dikenal dengan nrimo ing pandum atau menerima bagian (nasib) yang telah ditentukan. Ndherek kersane Gusti merupakan manifestasi dari konsep ini. Orang Jawa meyakini bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan oleh manusia. Ada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu kehendak Tuhan, yang mengatur jalan hidup setiap individu.

Ungkapan ndherek kersane Gusti juga adalah salah satu cerminan kearifan lokal masyarakat Jawa yang mengandung makna spiritual dan filosofi hidup yang mendalam. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya usaha, kesabaran, keikhlasan, dan ketundukan terhadap kehendak Tuhan.

Dalam dunia yang terus berubah, nilai ini tetap relevan sebagai pedoman untuk menjaga ketenangan batin dan keseimbangan hidup. Mewariskan makna ini kepada generasi selanjutnya bukan hanya menjaga budaya, tetapi juga membentuk manusia yang lebih bijaksana dan rendah hati dalam menghadapi dinamika kehidupan.

Hasil akhir sudah di dapat, kemenangan sudah diperoleh; Tuhan menunjukkan kehendak-Nya. Tinggal yang tersisa: mampukah si pemenang menjaga maruwahnya untuk tetap istiqomah memenuhi janjinya kepada masyarakat? Tagihan akan janji itu bukan hanya di dunia, namun sampai di “alam sana” kelak di hadapan Tuhan.

Demikian halnya tugas para “radio canting” alias tim sukses sudah berakhir, tinggal menepi untuk memberi jalan pada kandidat menunaikan janjinya kepada masyarakat. Jangan lagi pemenang “direcoki” oleh hal-hal yang tidak penting. Kita doakan lima tahun ke depan daerah ini menjadi lebih baik lagi. Semoga tidak ada lagi bangunan pemerintah runtuh hanya karena salah merancang dan merawatnya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Remuk Njero

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Malam mendekati larut di komplek perumahan yang asri itu, tampak dari kejauhan seorang kakek sedang duduk sendiri di teras rumahnya. Beliau memandang jauh ke depan, entah apa yang dilihatnya. Sejurus kemudian penulis menghampiri beliau dan menegur sang kakek, “Bapak belum tidur, tumben biasanya hari begini sudah gelap rumah”. Kakek menjawab tampak sekenanya “Entah kenapa beberapa malam ini aku sulit tidur”. Akhirnya kami berbincang, karena beliau dikenal warga sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, maka bahasa yang digunakanpun menggunakan “kromo inggil”; yaitu tataran bahasa jawa halus yang dipakai untuk lapisan masyarakat tertentu.

Dari hasil perbincangan yang panjang lebar itu, ternyata sang kakek ini sebenarnya sedang “remuk njero”, dan beliau menutup perbincangan dengan kalimat “Saya tinggal menunggu akhir dari perjalanan takdir”. Saat bubar berbincang, jadi ingat istilah remuk njero dalam percaturan keseharian orang Jawa.

Dalam budaya Jawa, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga cermin dari perasaan, nilai, dan cara pandang hidup. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa sering kali sarat makna dan mengandung filosofi yang dalam. Salah satu ungkapan yang memiliki daya ungkap emosional luar biasa adalah remuk njero, yang secara harfiah berarti “hancur di dalam.” Ungkapan ini menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami luka batin, penderitaan emosional yang dalam, namun tidak ditampakkan secara lahiriah.

Ungkapan remuk njero seringkali digunakan untuk menyatakan perasaan kecewa, sedih, atau terluka secara psikologis dan emosional, namun tetap menjaga ketenangan di permukaan. Hal ini mencerminkan nilai budaya Jawa yang menjunjung tinggi sikap ngempet (menahan diri), sabar, dan tata krama dalam menyikapi masalah. Orang Jawa diajarkan untuk tidak mudah menumpahkan emosi, apalagi di hadapan umum. Mereka lebih memilih untuk menyembunyikan luka dan kesedihan mereka, menjaga harmoni sosial dan menghindari konflik langsung. Namun di balik sikap yang terlihat tenang itu, ada kemungkinan besar seseorang sedang menanggung beban emosional yang sangat berat. Itulah yang disebut dengan remuk njero. Seseorang bisa saja tersenyum, bersikap ramah, bahkan tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, padahal di dalam dirinya sedang terjadi kehancuran emosional yang tidak kasatmata.

Dari sudut pandang psikologi, kondisi remuk njero bisa dikaitkan dengan fenomena emotional suppression atau penekanan emosi. Seseorang yang terlalu sering memendam perasaan, terutama perasaan negatif seperti marah, kecewa, dan sedih, dapat mengalami tekanan batin yang sangat berat. Jika dibiarkan tanpa saluran ekspresi yang sehat, kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, bahkan trauma.

Di sinilah pentingnya pemahaman terhadap kesehatan mental dalam budaya yang menekankan ketenangan dan ketertiban. Ketika seseorang merasa bahwa menunjukkan kesedihan atau penderitaan dianggap sebagai kelemahan, ia akan memilih untuk menyimpan semuanya di dalam hati. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengolah emosi yang kuat secara mandiri. Banyak dari mereka akhirnya merasa terjebak, kesepian, dan tak berdaya.

Remuk njero bisa menjadi titik balik atau alarm bahwa seseorang membutuhkan perhatian lebih. Ini bukan tentang kelemahan atau ketidakmampuan mengatasi masalah, melainkan tentang pentingnya memiliki ruang untuk berbicara, untuk didengar, dan untuk sembuh. Dalam masyarakat yang semakin terbuka terhadap isu kesehatan mental, penting bagi kita untuk menciptakan ruang yang aman bagi siapa pun yang sedang mengalami kondisi ini.

Budaya Jawa yang penuh dengan nuansa kesantunan dan harmoni telah membentuk karakter masyarakat yang kuat dalam menghadapi kesulitan. Namun, kekuatan tersebut kadang menjadi pedang bermata dua. Sikap menahan perasaan atau ngempet sering kali menyebabkan seseorang merasa sendirian dalam penderitaannya. Orang-orang sekitar pun tidak menyadari bahwa seseorang yang tampak baik-baik saja sebenarnya sedang berjuang keras melawan luka batinnya.

Dalam konteks ini, ungkapan remuk njero seharusnya menjadi pengingat bahwa tidak semua penderitaan terlihat di permukaan. Kita perlu lebih peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Terkadang, satu senyuman yang kita lihat bukanlah tanda kebahagiaan, tetapi cara seseorang menyembunyikan kesedihannya. Kita juga perlu merefleksikan bagaimana budaya bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Menjaga tata krama dan kesopanan tetap penting, tetapi mengungkapkan perasaan secara sehat juga tak kalah pentingnya. Budaya harus menjadi alat untuk membebaskan, bukan mengekang. Maka, saat seseorang merasa remuk njero, seharusnya ada ruang bagi mereka untuk bicara, untuk didengarkan, dan untuk ditolong.

Remuk njero bukan hanya ungkapan yang menggambarkan kesedihan, melainkan juga mencerminkan sisi terdalam dari jiwa manusia. Dalam budaya Jawa, ungkapan ini menjadi simbol kekuatan dalam kelembutan, keteguhan dalam diam. Marilah kita lebih peka, lebih peduli, dan lebih terbuka terhadap penderitaan yang tidak kasatmata seperti ini. Karena bisa jadi, orang yang paling sering tersenyum adalah orang yang hatinya paling remuk njero. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman