Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi di Hari Kebangkitan Nasional itu L, saya kedatangan tamu seorang dosen muda yang bergelar doktor. Di samping mengucapkan selamat ultah ternyata beliau mengajak diskusi. Topik pagi itu adalah mengomentari satu artikel yang dikirim oleh teman lama waktu ditempat kerja dulu yang dimuat oleh harian digital ternama di negeri ini, bertema beban kerja dosen yang mirip pekerja rodi, sesuai judul yang dimuat “Dosen Kerja Seperti Kuda”. Diskusi melebar dengan melacak pendapatan pekerja profesional di negeri ini dibandingkan dengan jam kerja dan tanggungjawab yang diemban oleh masing-masing profesi.
Ternyata ditemukan indikasi pendapatan dosen itu pada level golongan tertentu sama dan sebangun dengan pendapatan Supir Bus Malam eksekutif di Jawa, bahkan bisa dibawah yaitu setara kondektur atau malah kernetnya. Kami berdua tertawa dan akhirnya diskusi menjadi menarik, dan jika disaripatikan hasilnya sebagai berikut: Dalam dunia profesional yang terus berubah dengan cepat, tuntutan akan produktivitas, efisiensi, dan dedikasi kian meningkat. Kalimat “Bertempur tanpa mengenal kata libur” bukan sekadar ungkapan semangat, melainkan mencerminkan sebuah filosofi hidup dan kerja yang mendalam. Ungkapan ini tidak berarti seseorang harus bekerja tanpa henti secara fisik, tetapi lebih pada sikap mental: komitmen tanpa jeda untuk terus berkembang, menghadapi tantangan, dan menyelesaikan tanggung jawab dengan tekad penuh, tanpa melihat pendapatannya berapa.
Diksi yang sering dipakai oleh para supir Bus Malam AnatarProvinsi ini memiliki makna filosofis sebagai Perjuangan Tak Kenal Henti. Secara harfiah, kata “bertempur” merujuk pada pertempuran atau peperangan. Namun, dalam konteks pekerjaan, maknanya meluas menjadi upaya terus-menerus untuk mengatasi tantangan, memenuhi target, menjaga profesionalisme, dan menciptakan nilai.
Sementara itu, frasa “tanpa mengenal kata libur” bukan ajakan untuk mengabaikan istirahat, tetapi gambaran semangat juang yang konsisten, bahkan ketika banyak orang memilih untuk berhenti. Filosofi ini juga menekankan bahwa perjuangan dalam bekerja adalah bagian dari proses hidup. Dalam dunia kerja, musuh yang dihadapi bukan musuh fisik, tetapi bisa berupa kemalasan, rasa puas diri, tekanan deadline, persaingan, maupun krisis moral.
Di berbagai sektor industri, karyawan, pengusaha, dosen, maupun pemimpin dihadapkan pada tekanan yang luar biasa. Tenggat waktu, target, inovasi, pelayanan, dan ketahanan terhadap krisis menuntut semua pihak untuk selalu siaga dan tanggap. Dalam situasi seperti ini, filosofi “bertempur tanpa mengenal kata libur” menjadi relevan sebagai sikap mental untuk: “Tidak cepat puas dengan pencapaian sementara”. Seseorang yang menghidupkan prinsip ini dalam pekerjaan akan menunjukkan etos kerja tinggi yang melampaui sekadar bekerja untuk menggugurkan kewajiban.
Dalam dunia kerja modern, etos kerja menjadi indikator utama keberhasilan seseorang. Etos kerja meliputi ketekunan, tanggung jawab, kejujuran, disiplin, dan daya tahan mental. Filosofi bertempur tanpa libur menyatu dalam semangat ini, karena mencerminkan kesediaan untuk terus berkontribusi dan bertahan, bahkan ketika kondisi tidak ideal seperti halnya saat covid-19 kemarin.
Seorang profesional yang menghayati prinsip ini tidak akan menyerah saat menghadapi tekanan. Ia akan terus berpikir solutif, memperbaiki kesalahan, dan berinovasi, karena dalam benaknya tidak ada ruang untuk berhenti. Libur fisik mungkin ada, tetapi mentalitasnya tetap menyala. Banyak orang-orang sukses yang memulai dari nol. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, tanpa akhir pekan, karena menyadari bahwa membangun karier membutuhkan dedikasi penuh. Kegagalan demi kegagalan menjadi bagian dari perjuangan mereka, namun semangat pantang menyerah membuat mereka bertahan. Seorang pendidik sejati tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga mempersiapkan materi, membimbing mahasiswanya, bahkan di luar jam kerja.
Mereka terus belajar, menyesuaikan metode dengan zaman, dan menjadi contoh hidup dari prinsip perjuangan berkelanjutan.
Penting untuk memahami bahwa filosofi ini tidak berarti mengabaikan kesehatan mental dan fisik. Justru, dengan mentalitas bertempur tanpa libur, seseorang belajar mengelola waktu, energi, dan emosi dengan baik. Istirahat tetap diperlukan, namun bukan sebagai bentuk pelarian, melainkan sebagai strategi pemulihan agar bisa bertempur lebih baik esok hari. Dalam dunia kerja, terlalu memaksakan diri hingga kelelahan dapat menimbulkan burnout. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara “kerja keras” dan “kerja cerdas”. Filosofi ini mendorong kita untuk terus berjuang, tapi juga mengembangkan strategi agar tetap sehat dan produktif dalam jangka panjang.
Sikap mental yang siap “bertempur” membuat seseorang memandang tantangan sebagai pembelajaran, bukan sebagai hambatan. Setiap krisis menjadi peluang untuk tumbuh. Setiap kesalahan menjadi ruang refleksi. Dengan begitu, dunia kerja bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga arena untuk mengembangkan potensi diri secara utuh.
Oleh karena itu, mereka yang ada pada posisi ini memandang tempat mereka bekerja adalah rumah kedua dalam kehidupannya.
“Bertempur tanpa mengenal kata libur” adalah filosofi yang relevan di tengah dinamika dunia kerja saat ini. Ia mengajarkan kita untuk konsisten, tangguh, dan berdedikasi. Slogan ini bukan ajakan untuk mengorbankan diri secara buta, tetapi panggilan untuk bekerja dengan semangat pantang menyerah, mengabdi dengan hati, dan terus berkembang sebagai pribadi. Dalam dunia kerja, mereka yang berhasil bukan hanya yang pintar, tetapi juga yang gigih. Karena pada akhirnya, kesuksesan adalah milik mereka yang memilih untuk terus “bertempur”, bahkan ketika jalan terlihat berat. Terlepas akan penghargaan rupiah terhadap profesi, namun hikmah yang terkandung bernilai ibadah, adalah sesuatu yang mulia dihadap Tuhan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Peneliti Universitas Malahayati Jalin Kolaborasi Riset Internasional dengan Industri Taiwan: Eksplorasi Ekstrak Daun Eucalyptus untuk Teknologi Ramah Lingkungan
Kolaborasi yang berlangsung selama delapan hari, sejak 10 hingga 17 Mei 2025 ini, berfokus pada eksplorasi dan pemanfaatan ekstrak daun Eucalyptus. Penelitian ini diarahkan untuk mengembangkan material ramah lingkungan dan bioaktif yang dapat diterapkan dalam sistem pelapisan antimikroba serta pelindung korosi, khususnya pada komponen logam presisi yang menjadi spesialisasi utama perusahaan mitra.
Dalam kegiatan riset ini, Dwi Marlina Syukri, PhD memimpin penyusunan desain penelitian serta analisis kimia dari bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak Eucalyptus. Sementara itu, Yessi Indriyani, mahasiswa Fakultas Kedokteran, berperan aktif dalam proses ekstraksi, karakterisasi senyawa, serta pengujian aktivitas biofungsional dari ekstrak tersebut terhadap berbagai jenis substrat logam.
Selain memberikan kontribusi ilmiah, kegiatan ini juga menjadi sarana pembelajaran langsung bagi mahasiswa untuk terlibat dalam lingkungan riset industri internasional. Pengalaman ini memperluas wawasan mereka dalam bidang fitokimia terapan serta memperkuat kompetensi dalam riset berorientasi industri dan keberlanjutan.
Ke depan, hasil dari kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan luaran berupa publikasi ilmiah bersama, potensi paten teknologi berbasis Eucalyptus, serta penguatan jejaring kerja sama antara institusi akademik Indonesia dengan mitra industri luar negeri.
Kolaborasi ini juga menjadi langkah konkret Universitas Malahayati dalam mendukung pengembangan teknologi berkelanjutan berbasis sumber daya alam tropis, serta membuktikan bahwa hasil riset perguruan tinggi Indonesia mampu bersaing dan berkontribusi di tingkat internasional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Ndherek Kersane Gusti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kabupaten Pesawaran baru saja menyelesaikan pemungutan suara ulang pemilihan kepala daerah 2025. Setidaknya ada tiga kejadian menarik dalam proses Pilkada ulang di Pesawaran: pertama, saat pemilihan serentak ada kandidat yang juga ketua partai memenangkan kontestasi pemilihan, harus menerima pil pahit karena digugat atas keabsahan ijazah yang dimiliki. Persidangan pembuktian hukum ditemukan sangkaan itu benar adanya sehingga yang bersangkutan kemenagannya dibatalkan.
Kedua, pesaing yang kalah maju menjadi peserta saat pemilihan ulang berhadapan dengan wakil dari pemenang yang dianulir. Anehnya, calon yang dianulir mendukung bekas rival saat pemilihan pertama; sampai-sampai yang bersangkutan diberi sanksi oleh dewan pusat partai karena tidak mendukung kader. Bahkan diwartakan bahwa yang bersangkutan hanya membawa gerbong kosong.
Ketiga, berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga survai ternyata calon yang kalah waktu pemilihan pertama, menjadi pemenang saat pemilihan ulang. Terlepas dari “upaya” dan kerja-kerja team pemenang yang siang malam bertungkuslumus di lapangan; ternyata hasil berbalik; semula kalah sekarang menang. Semua itu ternyata merupakan hasil “campur tangan Tuhan” dalam menunjukkan kuasa atas makhluknya. Kita sebagai makhluk hanya bisa berkata dalam ungkapan orang Jawa ndherek kersane Gusti.
Masyarakat Jawa dikenal sebagai kelompok etnis yang memiliki pandangan hidup yang kaya akan nilai-nilai filosofis, spiritualitas, dan keselarasan antara manusia dan alam. Salah satu ungkapan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa adalah Ndherek kersane Gusti, yang secara harfiah berarti “mengikuti kehendak Tuhan.” Ungkapan ini bukan hanya sekadar ucapan, melainkan sebuah prinsip hidup yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kerendahan hati, dan kesadaran akan keterbatasan manusia.
Secara linguistik, ungkapan ndherek kersane Gusti terdiri dari tiga kata: “ndherek” yang berarti ikut atau mengikuti, “kersane” yang berarti kehendak-Nya, dan “Gusti” yang berarti Tuhan. Dalam konteks budaya Jawa, “Gusti” sering digunakan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap hormat dan penuh takzim kepada Sang Pencipta.
Ungkapan ini merefleksikan sikap tunduk dan pasrah terhadap kehendak Tuhan, namun tidak dalam arti menyerah tanpa usaha. Sebaliknya, ungkapan ini digunakan setelah seseorang melakukan segala upaya yang mungkin, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Hal ini sejalan dengan prinsip manunggaling kawula lan Gusti, yaitu bersatunya kehendak manusia dengan kehendak Tuhan dalam kesadaran spiritual yang tinggi.
Dalam falsafah hidup orang Jawa, terdapat konsep yang dikenal dengan nrimo ing pandum atau menerima bagian (nasib) yang telah ditentukan. Ndherek kersane Gusti merupakan manifestasi dari konsep ini. Orang Jawa meyakini bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan oleh manusia. Ada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu kehendak Tuhan, yang mengatur jalan hidup setiap individu.
Ungkapan ndherek kersane Gusti juga adalah salah satu cerminan kearifan lokal masyarakat Jawa yang mengandung makna spiritual dan filosofi hidup yang mendalam. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya usaha, kesabaran, keikhlasan, dan ketundukan terhadap kehendak Tuhan.
Dalam dunia yang terus berubah, nilai ini tetap relevan sebagai pedoman untuk menjaga ketenangan batin dan keseimbangan hidup. Mewariskan makna ini kepada generasi selanjutnya bukan hanya menjaga budaya, tetapi juga membentuk manusia yang lebih bijaksana dan rendah hati dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Hasil akhir sudah di dapat, kemenangan sudah diperoleh; Tuhan menunjukkan kehendak-Nya. Tinggal yang tersisa: mampukah si pemenang menjaga maruwahnya untuk tetap istiqomah memenuhi janjinya kepada masyarakat? Tagihan akan janji itu bukan hanya di dunia, namun sampai di “alam sana” kelak di hadapan Tuhan.
Demikian halnya tugas para “radio canting” alias tim sukses sudah berakhir, tinggal menepi untuk memberi jalan pada kandidat menunaikan janjinya kepada masyarakat. Jangan lagi pemenang “direcoki” oleh hal-hal yang tidak penting. Kita doakan lima tahun ke depan daerah ini menjadi lebih baik lagi. Semoga tidak ada lagi bangunan pemerintah runtuh hanya karena salah merancang dan merawatnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Remuk Njero
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Malam mendekati larut di komplek perumahan yang asri itu, tampak dari kejauhan seorang kakek sedang duduk sendiri di teras rumahnya. Beliau memandang jauh ke depan, entah apa yang dilihatnya. Sejurus kemudian penulis menghampiri beliau dan menegur sang kakek, “Bapak belum tidur, tumben biasanya hari begini sudah gelap rumah”. Kakek menjawab tampak sekenanya “Entah kenapa beberapa malam ini aku sulit tidur”. Akhirnya kami berbincang, karena beliau dikenal warga sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, maka bahasa yang digunakanpun menggunakan “kromo inggil”; yaitu tataran bahasa jawa halus yang dipakai untuk lapisan masyarakat tertentu.
Dari hasil perbincangan yang panjang lebar itu, ternyata sang kakek ini sebenarnya sedang “remuk njero”, dan beliau menutup perbincangan dengan kalimat “Saya tinggal menunggu akhir dari perjalanan takdir”. Saat bubar berbincang, jadi ingat istilah remuk njero dalam percaturan keseharian orang Jawa.
Dalam budaya Jawa, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga cermin dari perasaan, nilai, dan cara pandang hidup. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa sering kali sarat makna dan mengandung filosofi yang dalam. Salah satu ungkapan yang memiliki daya ungkap emosional luar biasa adalah remuk njero, yang secara harfiah berarti “hancur di dalam.” Ungkapan ini menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami luka batin, penderitaan emosional yang dalam, namun tidak ditampakkan secara lahiriah.
Ungkapan remuk njero seringkali digunakan untuk menyatakan perasaan kecewa, sedih, atau terluka secara psikologis dan emosional, namun tetap menjaga ketenangan di permukaan. Hal ini mencerminkan nilai budaya Jawa yang menjunjung tinggi sikap ngempet (menahan diri), sabar, dan tata krama dalam menyikapi masalah. Orang Jawa diajarkan untuk tidak mudah menumpahkan emosi, apalagi di hadapan umum. Mereka lebih memilih untuk menyembunyikan luka dan kesedihan mereka, menjaga harmoni sosial dan menghindari konflik langsung. Namun di balik sikap yang terlihat tenang itu, ada kemungkinan besar seseorang sedang menanggung beban emosional yang sangat berat. Itulah yang disebut dengan remuk njero. Seseorang bisa saja tersenyum, bersikap ramah, bahkan tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, padahal di dalam dirinya sedang terjadi kehancuran emosional yang tidak kasatmata.
Dari sudut pandang psikologi, kondisi remuk njero bisa dikaitkan dengan fenomena emotional suppression atau penekanan emosi. Seseorang yang terlalu sering memendam perasaan, terutama perasaan negatif seperti marah, kecewa, dan sedih, dapat mengalami tekanan batin yang sangat berat. Jika dibiarkan tanpa saluran ekspresi yang sehat, kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, bahkan trauma.
Di sinilah pentingnya pemahaman terhadap kesehatan mental dalam budaya yang menekankan ketenangan dan ketertiban. Ketika seseorang merasa bahwa menunjukkan kesedihan atau penderitaan dianggap sebagai kelemahan, ia akan memilih untuk menyimpan semuanya di dalam hati. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengolah emosi yang kuat secara mandiri. Banyak dari mereka akhirnya merasa terjebak, kesepian, dan tak berdaya.
Remuk njero bisa menjadi titik balik atau alarm bahwa seseorang membutuhkan perhatian lebih. Ini bukan tentang kelemahan atau ketidakmampuan mengatasi masalah, melainkan tentang pentingnya memiliki ruang untuk berbicara, untuk didengar, dan untuk sembuh. Dalam masyarakat yang semakin terbuka terhadap isu kesehatan mental, penting bagi kita untuk menciptakan ruang yang aman bagi siapa pun yang sedang mengalami kondisi ini.
Budaya Jawa yang penuh dengan nuansa kesantunan dan harmoni telah membentuk karakter masyarakat yang kuat dalam menghadapi kesulitan. Namun, kekuatan tersebut kadang menjadi pedang bermata dua. Sikap menahan perasaan atau ngempet sering kali menyebabkan seseorang merasa sendirian dalam penderitaannya. Orang-orang sekitar pun tidak menyadari bahwa seseorang yang tampak baik-baik saja sebenarnya sedang berjuang keras melawan luka batinnya.
Dalam konteks ini, ungkapan remuk njero seharusnya menjadi pengingat bahwa tidak semua penderitaan terlihat di permukaan. Kita perlu lebih peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Terkadang, satu senyuman yang kita lihat bukanlah tanda kebahagiaan, tetapi cara seseorang menyembunyikan kesedihannya. Kita juga perlu merefleksikan bagaimana budaya bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Menjaga tata krama dan kesopanan tetap penting, tetapi mengungkapkan perasaan secara sehat juga tak kalah pentingnya. Budaya harus menjadi alat untuk membebaskan, bukan mengekang. Maka, saat seseorang merasa remuk njero, seharusnya ada ruang bagi mereka untuk bicara, untuk didengarkan, dan untuk ditolong.
Remuk njero bukan hanya ungkapan yang menggambarkan kesedihan, melainkan juga mencerminkan sisi terdalam dari jiwa manusia. Dalam budaya Jawa, ungkapan ini menjadi simbol kekuatan dalam kelembutan, keteguhan dalam diam. Marilah kita lebih peka, lebih peduli, dan lebih terbuka terhadap penderitaan yang tidak kasatmata seperti ini. Karena bisa jadi, orang yang paling sering tersenyum adalah orang yang hatinya paling remuk njero. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Jalani Alurnya, Syukuri Hasilnya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Suatu hari seorang santri mendatangi gurunya, dan berkata “Guru saya sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menjalani hidup ini sesuai syariat dan ajaran dari guru; tetapi mengapa semua upaya saya itu tampak berjalan lamban sekali, bahkan cenderung terhenti. Pertanyaannya apakah ada yang salah ya guru, dan apakah semua itu kodrat saya”. Sang guru memandang santrinya tadi dalam-dalam, dan sejurus kemudian beliau menghela nafas, seraya memberi nasihat yang ringkasannya sebagai berikut:
Di tengah derasnya arus kehidupan sekarang yang menuntut hasil instan, kesuksesan cepat, dan pencapaian tinggi, sering kali manusia tersesat dalam pusaran ambisi dan kecemasan. Banyak orang terjebak dalam tekanan untuk “menang” dalam hidup, sehingga lupa bahwa hidup adalah perjalanan, bukan perlombaan. Dalam konteks inilah, ungkapan sederhana namun dalam makna seperti “Jalanni alurnya, syukuri hasilnya” muncul sebagai pengingat yang menenangkan: bahwa hidup bukan sekadar soal hasil akhir, melainkan tentang bagaimana kita menjalaninya dan menerima hasilnya dengan penuh syukur.
Dalam kehidupan nyata, “alur” bisa bermakna berbagai hal: perjalanan karier, hubungan pribadi, pendidikan, atau bahkan dinamika batin. Masing-masing orang memiliki alur hidup yang unik, dengan tantangan, harapan, dan waktu yang berbeda. Menjalani alurnya berarti menerima kenyataan hidup apa adanya, tanpa terlalu membandingkan diri dengan orang lain atau terburu-buru mencapai garis akhir.
Namun, “menjalani” di sini bukanlah sikap pasif atau menyerah pada nasib. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan untuk hadir secara penuh dalam setiap langkah hidup. Kita diminta untuk menerima realitas dengan kesadaran, namun tetap melangkah dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dalam bertindak kita harus selalu selaras dengan alam dan tidak memaksakan kehendak. Ini bukan berarti tidak melakukan apa-apa, melainkan melakukan dengan tanpa paksaan, tanpa ego, dan dalam harmoni dengan alur kehidupan. Bahwa manusia hanya memiliki kendali atas tindakan dan respons mereka, bukan atas hasil dari tindakan itu. Oleh karena itu, seseorang yang bijak akan fokus pada proses—yakni cara ia bertindak, berpikir, dan merespons—bukan pada apakah dunia memberikan balasan sesuai harapannya atau tidak.
Hasil dari sebuah usaha tidak selalu sesuai ekspektasi. Terkadang kita telah bekerja keras, namun hasilnya tidak seperti yang kita harapkan. Di sinilah konsep syukur menjadi penting, oleh sebab itu syukur bukanlah sekadar menerima atau puas secara pasif. Syukur adalah sikap batin yang aktif dalam mengenali dan menghargai apa yang dimiliki saat ini. Orang yang bersyukur bukan berarti ia berhenti berusaha, melainkan ia tidak menggantungkan kebahagiaan dan ketenangan pada hasil yang belum tentu bisa dikendalikan. Ia belajar untuk menemukan makna dan pelajaran dalam setiap hasil, baik yang menyenangkan maupun tidak.
Dalam tradisi Islam, syukur adalah salah satu pilar penting dalam kehidupan spiritual. Ini menunjukkan bahwa syukur adalah kunci kelimpahan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam ketenangan batin dan keberkahan hidup.
Bersyukur atas hasil juga menunjukkan kedewasaan emosional dan mental. Dalam dunia yang sangat kompetitif dan penuh ekspektasi seperti sekarang, tidak mudah untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan. Namun, orang yang mampu bersyukur dalam situasi apapun menunjukkan bahwa ia memiliki penguasaan diri dan kebijaksanaan hidup.
Ungkapan “Jalanni alurnya, syukuri hasilnya” pada akhirnya adalah ajakan untuk hidup dalam keseimbangan: antara usaha dan penerimaan, antara niat dan pasrah, antara bergerak dan berhenti sejenak untuk merenung. Hidup bukan soal menang atau kalah, sukses atau gagal. Hidup adalah tentang mengalami, merasakan, belajar, dan tumbuh. Terkadang kita terlalu fokus pada hasil: nilai ujian, angka penghasilan, status sosial, atau pengakuan orang lain. Padahal, makna sejati dari hidup sering kali tersembunyi dalam proses: dalam malam-malam gelisah saat belajar, dalam kegagalan yang membentuk karakter, dalam doa yang diam-diam, atau dalam peluh yang tak terlihat.
Ketika kita menjalani alur hidup dengan penuh kesadaran, kita tidak lagi terburu-buru atau merasa tertinggal. Kita belajar untuk percaya bahwa setiap orang memiliki waktu dan tempatnya sendiri. Dan ketika kita mampu bersyukur atas apapun hasilnya, kita membebaskan diri dari jerat kekecewaan dan luka yang tak perlu.
Ungkapan “Jalanni alurnya, syukuri hasilnya” mungkin terdengar sederhana. Namun dalam kesederhanaannya, ia menyimpan filosofi hidup yang dalam dan luas. Ia mengajarkan kita untuk hadir secara penuh dalam perjalanan hidup, menerima proses dengan hati terbuka, dan menyambut hasil dengan rasa syukur. Ia mengajak kita untuk melepaskan kontrol yang berlebihan dan menggantinya dengan kepercayaan pada waktu, proses, dan kehendak Ilahi. Tidak salah untuk diingat ucapan dari orang suci pada jamannya yang mengatakan “Nikmati seadanya, jangan meniru mereka yang punya segalanya”.
Mendengar itu santri tadi merasa diri bersalah karena masih kurang bersyukur dari apa yang telah Tuhan berikan; linangan air matanya membulir dipipi dan sejurus kemudian mohon diri kepada Sang Guru untuk terus mengasah diri agar tidak terjebak pada rasa ujub akan dunia. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Psikologi Universitas Malahayati Gelar Sharing Keilmuan Psikologi Forensik Bersama Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia
Kegiatan ini turut dihadiri oleh Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dr. Lolita Sary, S.K.M., M.Kes., Ketua HIMPSI Wilayah Lampung, Sinta Mayasari, M.Psi., Psikolog, serta perwakilan dari UIN Raden Intan dan Universitas Muhammadiyah Lampung. Acara berlangsung dengan penuh antusiasme dari mahasiswa, dosen, serta tamu undangan yang hadir, menciptakan suasana akademik yang hidup dan interaktif.
“Psikologi forensik bukan hanya tentang ilmu, tapi juga tentang tanggung jawab terhadap kebenaran dan keadilan. Mahasiswa psikologi perlu memahami bahwa peran mereka sangat vital dalam membantu proses hukum berjalan secara objektif,” ujar Nathanael dalam sesi tanya jawab.
“Kegiatan ini menjadi salah satu upaya prodi untuk menghadirkan expert atau ahli di bidang psikologi forensik, di mana mahasiswa tidak hanya mendapat pemahaman teoritis, tetapi juga wawasan tentang kasus-kasus aktual dan posisi strategis sarjana psikologi dalam sistem peradilan,” jelas Octa Reni.
Melalui kegiatan ini, diharapkan mahasiswa tidak hanya menambah pengetahuan akademik, tetapi juga memiliki gambaran yang lebih konkret mengenai prospek karier dan kontribusi keilmuan psikologi dalam sistem hukum dan sosial di Indonesia.
Acara ini pun menjadi wadah strategis untuk memperkuat jejaring antar institusi serta mendorong kolaborasi dalam pengembangan kajian psikologi forensik di tingkat lokal maupun nasional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Manajemen Universitas Malahayati Gelar General Stadium Bertajuk “Holistik Management” Hadirkan 5 Pakar Bidang Bisnis
Acara ini merupakan bagian dari implementasi kurikulum Outcome-Based Education (OBE), yang secara nyata mengintegrasikan berbagai konsentrasi dalam ilmu manajemen yakni; Manajemen Keuangan, Sumber Daya Manusia, Pemasaran, Kewirausahaan, dan Komunikasi Bisnis ke dalam satu forum ilmiah terbuka yang inspiratif dan edukatif. Hadir pula, Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati, beserta tamu undangan.
“Saya mengapresiasi kegiatan ini, karena menjadi bentuk nyata dari implementasi OBE yang sangat kita dorong di Universitas Malahayati,” ujarnya.
Kegiatan seperti ini akan memberikan dampak positif, tidak hanya untuk mahasiswa, tapi juga bagi kampus dan masyarakat luas. “Terima kasih kepada Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Ketua Prodi Manajemen, narasumber, dosen, dan seluruh mahasiswa yang saya banggakan,” tandasnya.
“Kami menghadirkan lima pemateri terbaik dari berbagai bidang manajemen. Melalui diskusi dan paparan para narasumber, kami berharap mahasiswa bisa memperluas wawasan dan mendapatkan insight yang relevan dengan dunia kerja dan industri,” tutur Dr. Febrianti.
Acara yang dibagi menjadi dua sesi ini diikuti dengan antusias oleh total 1.077 peserta, terdiri dari 637 peserta pada sesi pagi (07.30–12.00 WIB) dan 440 peserta pada sesi siang (13.00–16.00 WIB).
“General Stadium ini tidak hanya menyampaikan teori, tetapi juga menyuguhkan pengalaman dan sudut pandang nyata dari para pelaku industri yang sesuai dengan bidang yang dipelajari mahasiswa. Kami berharap ini menjadi pengalaman berharga yang membawa manfaat dan semangat baru bagi para peserta,” ungkap Hiro.
Kegiatan ini dipandu oleh dua moderator dosen Prodi Manajemen yang berpengalaman, yaitu Dr. Yopita, SE., MM dan Euis Mufahamah, SE., M.Ak. Sementara para narasumber yang hadir di antaranya: Hani Siti Soleha, S.Tr.Keb., MM – Business Communicatio, Yussi Asih Faurini, SH – Business Development, Moch. Rifky Berlian, S.Kom – Marketing Digital, Syahda Raihana Prayitno, S.Psi – Human Resources, Muhammad Shofa, SE – Finance
Kelima narasumber membagikan pengalaman praktis, strategi bisnis terkini, dan tantangan dunia profesional yang memberikan warna baru dalam pemahaman manajemen holistik.
Acara ini menjadi salah satu wujud nyata dari sinergi antara akademik dan dunia industri yang diharapkan dapat terus berlanjut dan ditingkatkan di masa depan. Seluruh peserta mengikuti kegiatan ini dengan penuh semangat, antusias, dan interaktif, menciptakan suasana akademik yang dinamis dan inspiratif. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Malahayati Raih Juara 2 Kejurda Hapkido se-Provinsi Lampung
Ahmad Yoga tampil impresif sepanjang pertandingan, menunjukkan teknik dan semangat juang tinggi yang membawanya hingga babak final. Dalam kategori yang cukup kompetitif ini, ia berhasil mengalahkan sejumlah atlet tangguh dari berbagai daerah di Provinsi Lampung.
“Alhamdulillah, dengan kemenangan di kejuaraan Hapkido ini saya belajar bahwa usaha yang tekun tidak akan mengkhianati hasil. Beberapa kali latihan yang keras akhirnya membuahkan hasil. Semangat, terus berdoa, dan yang terpenting bisa membanggakan keluarga, Fakultas Hukum, serta mengharumkan nama Universitas Malahayati,” ungkap Ahmad Yoga penuh rasa syukur.
Ia juga menambahkan, “Prestasi ini menjadi motivasi besar bagi saya untuk terus berkembang, tidak hanya dalam bidang akademik tetapi juga di dunia olahraga. Saya berharap pencapaian ini dapat memicu semangat teman-teman mahasiswa lain untuk terus berprestasi di bidangnya masing-masing.”
Universitas Malahayati melalui Fakultas Hukum turut menyampaikan apresiasi atas pencapaian ini. Prestasi Ahmad Yoga menjadi bukti bahwa mahasiswa tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu bersaing di kancah olahraga daerah, membawa nama baik kampus ke tingkat yang lebih luas.
Selamat kepada Ahmad Yoga atas prestasi gemilang ini! Semoga menjadi langkah awal untuk pencapaian-pencapaian lebih besar kedepannya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Bertempur tanpa Kata Libur
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi di Hari Kebangkitan Nasional itu L, saya kedatangan tamu seorang dosen muda yang bergelar doktor. Di samping mengucapkan selamat ultah ternyata beliau mengajak diskusi. Topik pagi itu adalah mengomentari satu artikel yang dikirim oleh teman lama waktu ditempat kerja dulu yang dimuat oleh harian digital ternama di negeri ini, bertema beban kerja dosen yang mirip pekerja rodi, sesuai judul yang dimuat “Dosen Kerja Seperti Kuda”. Diskusi melebar dengan melacak pendapatan pekerja profesional di negeri ini dibandingkan dengan jam kerja dan tanggungjawab yang diemban oleh masing-masing profesi.
Ternyata ditemukan indikasi pendapatan dosen itu pada level golongan tertentu sama dan sebangun dengan pendapatan Supir Bus Malam eksekutif di Jawa, bahkan bisa dibawah yaitu setara kondektur atau malah kernetnya. Kami berdua tertawa dan akhirnya diskusi menjadi menarik, dan jika disaripatikan hasilnya sebagai berikut: Dalam dunia profesional yang terus berubah dengan cepat, tuntutan akan produktivitas, efisiensi, dan dedikasi kian meningkat. Kalimat “Bertempur tanpa mengenal kata libur” bukan sekadar ungkapan semangat, melainkan mencerminkan sebuah filosofi hidup dan kerja yang mendalam. Ungkapan ini tidak berarti seseorang harus bekerja tanpa henti secara fisik, tetapi lebih pada sikap mental: komitmen tanpa jeda untuk terus berkembang, menghadapi tantangan, dan menyelesaikan tanggung jawab dengan tekad penuh, tanpa melihat pendapatannya berapa.
Diksi yang sering dipakai oleh para supir Bus Malam AnatarProvinsi ini memiliki makna filosofis sebagai Perjuangan Tak Kenal Henti. Secara harfiah, kata “bertempur” merujuk pada pertempuran atau peperangan. Namun, dalam konteks pekerjaan, maknanya meluas menjadi upaya terus-menerus untuk mengatasi tantangan, memenuhi target, menjaga profesionalisme, dan menciptakan nilai.
Sementara itu, frasa “tanpa mengenal kata libur” bukan ajakan untuk mengabaikan istirahat, tetapi gambaran semangat juang yang konsisten, bahkan ketika banyak orang memilih untuk berhenti. Filosofi ini juga menekankan bahwa perjuangan dalam bekerja adalah bagian dari proses hidup. Dalam dunia kerja, musuh yang dihadapi bukan musuh fisik, tetapi bisa berupa kemalasan, rasa puas diri, tekanan deadline, persaingan, maupun krisis moral.
Di berbagai sektor industri, karyawan, pengusaha, dosen, maupun pemimpin dihadapkan pada tekanan yang luar biasa. Tenggat waktu, target, inovasi, pelayanan, dan ketahanan terhadap krisis menuntut semua pihak untuk selalu siaga dan tanggap. Dalam situasi seperti ini, filosofi “bertempur tanpa mengenal kata libur” menjadi relevan sebagai sikap mental untuk: “Tidak cepat puas dengan pencapaian sementara”. Seseorang yang menghidupkan prinsip ini dalam pekerjaan akan menunjukkan etos kerja tinggi yang melampaui sekadar bekerja untuk menggugurkan kewajiban.
Dalam dunia kerja modern, etos kerja menjadi indikator utama keberhasilan seseorang. Etos kerja meliputi ketekunan, tanggung jawab, kejujuran, disiplin, dan daya tahan mental. Filosofi bertempur tanpa libur menyatu dalam semangat ini, karena mencerminkan kesediaan untuk terus berkontribusi dan bertahan, bahkan ketika kondisi tidak ideal seperti halnya saat covid-19 kemarin.
Seorang profesional yang menghayati prinsip ini tidak akan menyerah saat menghadapi tekanan. Ia akan terus berpikir solutif, memperbaiki kesalahan, dan berinovasi, karena dalam benaknya tidak ada ruang untuk berhenti. Libur fisik mungkin ada, tetapi mentalitasnya tetap menyala. Banyak orang-orang sukses yang memulai dari nol. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, tanpa akhir pekan, karena menyadari bahwa membangun karier membutuhkan dedikasi penuh. Kegagalan demi kegagalan menjadi bagian dari perjuangan mereka, namun semangat pantang menyerah membuat mereka bertahan. Seorang pendidik sejati tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga mempersiapkan materi, membimbing mahasiswanya, bahkan di luar jam kerja.
Mereka terus belajar, menyesuaikan metode dengan zaman, dan menjadi contoh hidup dari prinsip perjuangan berkelanjutan.
Penting untuk memahami bahwa filosofi ini tidak berarti mengabaikan kesehatan mental dan fisik. Justru, dengan mentalitas bertempur tanpa libur, seseorang belajar mengelola waktu, energi, dan emosi dengan baik. Istirahat tetap diperlukan, namun bukan sebagai bentuk pelarian, melainkan sebagai strategi pemulihan agar bisa bertempur lebih baik esok hari. Dalam dunia kerja, terlalu memaksakan diri hingga kelelahan dapat menimbulkan burnout. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara “kerja keras” dan “kerja cerdas”. Filosofi ini mendorong kita untuk terus berjuang, tapi juga mengembangkan strategi agar tetap sehat dan produktif dalam jangka panjang.
Sikap mental yang siap “bertempur” membuat seseorang memandang tantangan sebagai pembelajaran, bukan sebagai hambatan. Setiap krisis menjadi peluang untuk tumbuh. Setiap kesalahan menjadi ruang refleksi. Dengan begitu, dunia kerja bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga arena untuk mengembangkan potensi diri secara utuh.
Oleh karena itu, mereka yang ada pada posisi ini memandang tempat mereka bekerja adalah rumah kedua dalam kehidupannya.
“Bertempur tanpa mengenal kata libur” adalah filosofi yang relevan di tengah dinamika dunia kerja saat ini. Ia mengajarkan kita untuk konsisten, tangguh, dan berdedikasi. Slogan ini bukan ajakan untuk mengorbankan diri secara buta, tetapi panggilan untuk bekerja dengan semangat pantang menyerah, mengabdi dengan hati, dan terus berkembang sebagai pribadi. Dalam dunia kerja, mereka yang berhasil bukan hanya yang pintar, tetapi juga yang gigih. Karena pada akhirnya, kesuksesan adalah milik mereka yang memilih untuk terus “bertempur”, bahkan ketika jalan terlihat berat. Terlepas akan penghargaan rupiah terhadap profesi, namun hikmah yang terkandung bernilai ibadah, adalah sesuatu yang mulia dihadap Tuhan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Hadiri Halal Bihalal dan Rapat Kerja APTISI Wilayah II-B Lampung
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, S.T., MM, hadir dalam acara Halal Bi Halal dan Rapat Kerja Aptisi wilayah IIB Lampung. Ketua APTISI Pusat, Prof. Dr. Ir. M. Budi Djatmoko, M.Si. M.E.I., juga hadir melalui link zoom dalam acara tersebut.
Dalam sambutannya, Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, S.T., MM, menyampaikan saat ini 68 persen penduduk Lampung berada dalam usia produktif (15–65 tahun), menjadikan Provinsi Lampung berpotensi lebih cepat menikmati bonus demografi tersebut, bahkan sebelum tahun 2028. Gubernur Mirza mengkhawatirkan bahwa potensi tersebut akan menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing tenaga kerja.
“Bonus demografi bisa menjadi peluang besar, tapi kalau kualitas SDM kita masih rendah, maka yang menikmati kemajuan bukan masyarakat Lampung,”ujarnya.
Lebih lanjut, Kiai Mirza, biasa disapa, mengungkapkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung masih tergolong rendah, yakni peringkat terakhir di Sumatera dan ke-20 secara nasional dimana rendahnya angka tersebut didorong oleh kualitas pendidikan yang belum memadai.
“Hanya 21–22 persen lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi, dan hanya sekitar 62 persen lulusan SMP yang masuk ke SMA dan kondisi ini terus terjadi setiap tahun dan menghambat peningkatan IPM Lampung,”ungkapnya.
Dalam forum tersebut, dibahas berbagai strategi penguatan kelembagaan, peningkatan mutu akademik, serta sinergi program yang mendukung pengembangan kapasitas dosen dan institusi. Keaktifan Universitas Malahayati dalam forum ini mempertegas peran strategisnya sebagai salah satu perguruan tinggi swasta yang terus berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.
Kegiatan Halal Bihalal dan Raker ini juga menjadi momen refleksi bersama, dengan harapan membawa semangat baru dalam membangun dunia pendidikan yang unggul, bermutu, dan berdaya saing tinggi. (gil)
Editor: Gilang Agusman
UKM Mahapala Universitas Malahayati Gelar Mahapala Orienteering and Climbing Competition 2025
Gelaran MOCC3 diawali dengan kegiatan bazar yang menghadirkan beragam produk UMKM mahasiswa dan mitra, yang berlangsung meriah di area kampus Universitas Malahayati. Suasana semakin hangat menjelang kompetisi inti yaitu lomba wall climbing dan orientering yang digelar dari tanggal 19 hingga 24 Mei 2025. Acara akan ditutup dengan festival musik yang menghadirkan musisi lokal dan nasional, sekaligus menjadi momen pelepas lelah bagi seluruh peserta dan panitia.
“Kegiatan seperti ini bukan hanya ajang adu keterampilan, tapi juga bentuk nyata pembinaan karakter mahasiswa. Ada nilai keberanian, ketangguhan, dan solidaritas di dalamnya. Saya berharap MOCC3 dapat terus menjadi ruang pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bagi seluruh peserta,” ujar Dr. Rina.
“Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini karena mampu mengangkat potensi olahraga di Lampung sekaligus memperkuat karakter generasi muda,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Umum UKM Mahapala, Panji Gani Alif (20110023), menyambut para peserta dengan semangat tinggi. “Selamat datang di MOCC3. Kami bangga menyambut teman-teman dari berbagai kampus dan komunitas. Semoga ajang ini menjadi ruang bertemu yang hangat, sehat, dan kompetitif,” katanya.
Acara ini juga dihadiri oleh berbagai tokoh dan instansi penting di Lampung, antara lain: Wakil Rektor IV Universitas Malahayati, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, Ketua Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Dr. Hi. Yanuar Irawan, S.E., M.M, Kasubdit Gatsum Ditsamapta Polda Lampung, AKBP Nelson Manik, S.H, Perwakilan Dispora Provinsi Lampung, Pasman Syairi, S.Sos., M.M, Ketua FPTI Provinsi Lampung, Rudi Antoni, S.H., M.H, Ketua FONI Provinsi Lampung, Erma Danu, S.Kom.
Dengan kehadiran tokoh-tokoh tersebut, MOCC3 kian mengukuhkan eksistensinya sebagai ajang bergengsi yang bukan hanya membangun fisik, tapi juga jejaring, solidaritas, dan kecintaan pada lingkungan hidup.
Festival MOCC3 tahun ini diharapkan tidak hanya meninggalkan jejak prestasi, tetapi juga inspirasi yang membekas di hati para peserta. Mahapala Universitas Malahayati membuktikan bahwa semangat petualang, solidaritas, dan sportivitas bisa berpadu dalam satu panggung kebersamaan. Salam Lestari! (gil)
Editor: Gilang Agusman