BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati sukses menggelar Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72. Suasana khidmat dan penuh haru menyelimuti Gedung Graha Bintang Universitas Malahayati, sebanyak 64 lulusan kedokteran resmi dikukuhkan sebagai dokter baru, menandai babak baru dalam pengabdian mereka sebagai tenaga medis profesional. Selasa (20/5/2025)
Acara ini menjadi momentum penting yang tidak hanya menegaskan keberhasilan akademik para lulusan, tetapi juga komitmen mereka dalam mengemban tanggung jawab besar untuk melayani dan melindungi kesehatan masyarakat dengan penuh integritas dan empati.
Prosesi sumpah dipimpin langsung oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM. Dalam sambutannya, Dr. Toni menyampaikan rasa bangga atas keberhasilan para lulusan dan menegaskan bahwa perjalanan menjadi dokter bukanlah akhir, melainkan awal dari pengabdian sejati.“Hari ini adalah bukti nyata dari kerja keras, ketekunan, dan dedikasi kalian. Tapi ingat, gelar ‘dr.’ di depan nama kalian bukan sekadar simbol akademik, itu adalah panggilan moral”.
“Kalian telah ditempa oleh tekanan dan waktu, dan kini siap untuk menjadi dokter yang tidak hanya cerdas, tetapi juga menginspirasi dan melayani dengan hati,” ungkap Dr. Toni dengan penuh semangat.
Mewakili Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH, hadir Wakil Rektor I Bidang Akademik, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes. Dalam sambutannya, ia memberikan pesan mendalam tentang pentingnya integritas dan sikap religius dalam praktik kedokteran.
“Dengan bertambahnya 64 dokter baru ini, semoga Universitas Malahayati dapat terus berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan nasional, khususnya di Provinsi Lampung. Bekerjalah dengan hati, jaga integritas, dan jadilah dokter yang membawa kebermanfaatan,” ujar Prof. Dessy.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan profesi dokter tidak hanya diukur dari kemampuan klinis, tetapi juga dari sikap dan perilaku yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
“Teruslah menjunjung tinggi etika religius. InsyaAllah, jika kalian menjaga perilaku dan perkataan dengan nilai-nilai religius, kalian akan selamat bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat,” pesannya disambut tepuk tangan para hadirin.
Turut hadir perwakilan IDI Wilayah Provinsi Lampung, Dr. dr. Fattah Satria Wibawa, Sp.THT-KL, yang memberikan pembekalan terkait tahapan yang akan dijalani para dokter baru pasca-sumpah. Ia menegaskan bahwa para lulusan wajib menjalani program intensif sebelum dapat mengurus Surat Izin Praktik (SIP) secara mandiri.
“Setelah kalian menyelesaikan masa intensif, kalian akan lebih memahami dunia praktik secara nyata. Kalian bisa memilih jalur pengabdian atau melanjutkan pendidikan spesialis. Apa pun pilihan kalian, konsultasikan dengan senior dan jangan berhenti belajar,” pesannya.
Dalam prosesi ini, para dokter baru juga menerima buku Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagai panduan moral dan profesional dalam menjalankan praktik kedokteran. Dr. Fattah menyampaikan analogi menarik yang menggambarkan pentingnya menjunjung tinggi sumpah dan etika dokter.
“Sumpah dokter dan kode etik adalah dua sisi dari satu mata uang. Jika hanya salah satu yang dijalankan, maka nilainya tidak sempurna. Tapi jika keduanya diamalkan dengan sungguh-sungguh, maka di situlah terletak nilai kalian sebagai dokter sejati,” tegasnya.
Universitas Malahayati tak hanya bangga melepas dokter baru, tapi juga mencatatkan prestasi membanggakan. Enam lulusan berhasil meraih nilai tertinggi dalam ujian nasional kompetensi dokter.
Top Score CBT Februari 2025: dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 79,33, dr. Dela Sartika – Skor: 78, dr. Eko M. Atiq Al Haromain – Skor: 78. Top Score OSCE Februari 2025: dr. Muhammad Basith F. – Skor: 87,79, dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 85,16, dr. Marina Ayu Ningsri – Skor: 84,31.
Prestasi ini menjadi bukti kualitas pendidikan dan pembinaan akademik yang diterapkan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
Acara ini turut dihadiri oleh berbagai tokoh dari instansi pemerintahan, rumah sakit, dan organisasi profesi. Di antaranya: Risna Intiza, M.Pd – Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Effendi, SKM., M.Kes – Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Arjuliati Syam – Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, Mulyadi, S.Sos., M.M – Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung, Dr. dr. Aila Kariyus, M.Kes, Sp.KKLP – IDI Kota Bandar Lampung, dr. Rahmawati, M.Ph – Direktur RSPBA, dr. Nia – RS Bhayangkara, Andin A., S.Kep., M.Kes – RSUD Ahmad Yani Metro.
Dari internal kampus, tampak hadir jajaran pimpinan Universitas Malahayati, termasuk: Drs. Nirwanto, M.Kes – Wakil Rektor II, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes – Wakil Rektor IV, dr. Neno Fitriani Hasbie, M.Kes – Wakil Dekan Akademik, Dr. dr. Hidayat, Sp.PK, M.Kes – Wakil Dekan Non-Akademik, Dr. dr. Tessa Sjahriani, M.Kes – Ka.Prodi S.Ked, dr. Ade Utia Detty, M.Kes – Ka.Prodi Profesi Dokter, serta dosen dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati lainnya.
Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72 ini tidak hanya menjadi selebrasi atas kelulusan, tetapi juga menjadi tonggak awal perjalanan pengabdian yang panjang dan penuh tanggung jawab. Universitas Malahayati kembali menegaskan peran sentralnya dalam mencetak dokter-dokter berkualitas, berintegritas, dan berlandaskan nilai kemanusiaan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Kukuhkan 64 Dokter Baru dalam Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72
Acara ini menjadi momentum penting yang tidak hanya menegaskan keberhasilan akademik para lulusan, tetapi juga komitmen mereka dalam mengemban tanggung jawab besar untuk melayani dan melindungi kesehatan masyarakat dengan penuh integritas dan empati.
“Kalian telah ditempa oleh tekanan dan waktu, dan kini siap untuk menjadi dokter yang tidak hanya cerdas, tetapi juga menginspirasi dan melayani dengan hati,” ungkap Dr. Toni dengan penuh semangat.
“Dengan bertambahnya 64 dokter baru ini, semoga Universitas Malahayati dapat terus berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan nasional, khususnya di Provinsi Lampung. Bekerjalah dengan hati, jaga integritas, dan jadilah dokter yang membawa kebermanfaatan,” ujar Prof. Dessy.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan profesi dokter tidak hanya diukur dari kemampuan klinis, tetapi juga dari sikap dan perilaku yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
“Teruslah menjunjung tinggi etika religius. InsyaAllah, jika kalian menjaga perilaku dan perkataan dengan nilai-nilai religius, kalian akan selamat bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat,” pesannya disambut tepuk tangan para hadirin.
“Setelah kalian menyelesaikan masa intensif, kalian akan lebih memahami dunia praktik secara nyata. Kalian bisa memilih jalur pengabdian atau melanjutkan pendidikan spesialis. Apa pun pilihan kalian, konsultasikan dengan senior dan jangan berhenti belajar,” pesannya.
Dalam prosesi ini, para dokter baru juga menerima buku Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagai panduan moral dan profesional dalam menjalankan praktik kedokteran. Dr. Fattah menyampaikan analogi menarik yang menggambarkan pentingnya menjunjung tinggi sumpah dan etika dokter.
“Sumpah dokter dan kode etik adalah dua sisi dari satu mata uang. Jika hanya salah satu yang dijalankan, maka nilainya tidak sempurna. Tapi jika keduanya diamalkan dengan sungguh-sungguh, maka di situlah terletak nilai kalian sebagai dokter sejati,” tegasnya.
Top Score CBT Februari 2025: dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 79,33, dr. Dela Sartika – Skor: 78, dr. Eko M. Atiq Al Haromain – Skor: 78. Top Score OSCE Februari 2025: dr. Muhammad Basith F. – Skor: 87,79, dr. Soelastika Megarahayu – Skor: 85,16, dr. Marina Ayu Ningsri – Skor: 84,31.
Prestasi ini menjadi bukti kualitas pendidikan dan pembinaan akademik yang diterapkan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
Dari internal kampus, tampak hadir jajaran pimpinan Universitas Malahayati, termasuk: Drs. Nirwanto, M.Kes – Wakil Rektor II, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes – Wakil Rektor IV, dr. Neno Fitriani Hasbie, M.Kes – Wakil Dekan Akademik, Dr. dr. Hidayat, Sp.PK, M.Kes – Wakil Dekan Non-Akademik, Dr. dr. Tessa Sjahriani, M.Kes – Ka.Prodi S.Ked, dr. Ade Utia Detty, M.Kes – Ka.Prodi Profesi Dokter, serta dosen dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati lainnya.
Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-72 ini tidak hanya menjadi selebrasi atas kelulusan, tetapi juga menjadi tonggak awal perjalanan pengabdian yang panjang dan penuh tanggung jawab. Universitas Malahayati kembali menegaskan peran sentralnya dalam mencetak dokter-dokter berkualitas, berintegritas, dan berlandaskan nilai kemanusiaan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
20 Mei, Hari Istimewa untuk Indonesia, Saya, dan Dunia Pendidikan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari ini, Selasa, 20 Mei 2025, adalah Hari Kebangkitan Nasional, yang ditandai lahirnya kesadaran nasionalisme dari para mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang dipelopori dr. Soetomo dan kawan-kawan di Batavia, 20 Mei 1908.
Boedi Oetomo menjadi organisasi modern pertama yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, serta terbuka bagi kaum pribumi di Indonesia yang pada masa itu masih disebut Hindia Belanda.
Walaupun Boedi Oetomo tidak secara eksplisit menyatakan perjuangan kemerdekaan, namun berdirinya organisasi ini menandai perubahan besar dalam cara berpikir dan cara berjuang bangsa Indonesia.
Boedi Oetomo menjadi simbol bangkitnya kesadaran nasional, bahwa persatuan dan pendidikan adalah kunci menuju kemerdekaan.
Nasionalisme
Kebangkitan nasional memiliki beberapa makna penting, baik secara historis maupun dalam konteks kekinian: Sebelum abad ke-20, perlawanan terhadap penjajah dilakukan secara lokal dan kedaerahan. Namun, setelah Boedi Oetomo dan organisasi-organisasi lain bermunculan, mulai tumbuh kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah satu kesatuan yang memiliki tujuan bersama: merdeka dari penjajahan.
Keberagaman suku, agama, bahasa, dan budaya yang sebelumnya menjadi hambatan untuk bersatu, mulai diatasi dengan semangat nasionalisme.
Organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Indische Partij, dan Perhimpunan Indonesia memperkuat cita-cita persatuan bangsa. Para tokoh kebangkitan nasional sangat menekankan pentingnya pendidikan.
Mereka percaya bahwa bangsa yang terdidik adalah bangsa yang kuat. Oleh sebab itu, banyak tokoh pergerakan yang berasal dari kalangan terpelajar dan berjuang melalui jalur pemikiran dan organisasi.
Hari Kebangkitan Nasional secara resmi ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Mei dipilih untuk mengenang berdirinya Boedi Oetomo sekaligus penanda Era Kebangkitan Nasional.
Penetapan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan dan nasionalisme kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama generasi muda, agar tidak melupakan sejarah panjang perjuangan bangsa.
Pendidikan
Bertepatan dengan tanggal 20 Mei 1953, penulis lahir di tengah gejolak perjuangan mempertahankan keberadaan Republik Indonesia di tengah berkecambuknya peperangan dengan bangsa sendiri yang mengatasnamakan “pemberontakan”.
Pada saat kelahiran saya, orangtua yang mantan gerilyawan perang harus memilih antara melawan pemberontak yang itu adalah bangsa sendiri akibat kebodohan atau memilih berjuang dengan cara lain.
Akhirnya, orangtua menjatuhkan pilihan berhenti jadi tentara ketimbang menembak bangsa sendiri dan memutuskan mendirikan “Sekolah Rakyat” yang muridnya kebanyakan dari anak pemberontak. Mereka dididik secara formal agar bukan memusuhi negaranya, tetapi membela bangsanya.
Jejak peritiwa 72 tahun lalu itu masih ada pada ingatan dan jiwa penulis sampai kini. Momentum 20 Mei 2025 hari ini, penulis berulang tahun. Tentu, perjalanan panjang itu, banyak onak dan duri serta riuh rendahnya gelombang kehidupan yang sudah dilalui.
Empat puluh tiga tahun berjuang di lembaga pendidikan tinggi negeri dan hari ini berjuang melalui perguruan tinggi swasta untuk tetap konsisten meneruskan cita-cita perjuangan orangtua untuk membebaskan anak negeri ini dari kebodohan.
Beruntung, di ujung usia, penulis berjumpa dengan Herman Batin Mangku (HBM), Hariwardoyo, Sudarmono, Oyos Suroso, Gino Fanoli dan masih banyak lagi yang mau bahumembahu tidak mengenal lelah untuk terus berjuang di jalan sunyi.
Jika dahulu orangtua berjuang untuk kemerdekaan negeri ini dan membebaskan dari kebodohan, kami meneruskan perjuang agar jangan dibodohbodohi.
Terimakasih teman-teman yang telah ikut menumbuhsuburkan benih nasionalisme melalui jurnalis; karena dengan media inilah penyebarluasan gagasan akan kebangkitan terus kita kawal.
Kini, tugas kita adalah menjaga dan mengisi kemerdekaan dengan semangat yang sama seperti para pelopor kebangkitan nasional.
Melalui pendidikan, persatuan, dan pengabdian kepada bangsa, kita melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya. Seperti kata Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.”
Maka dari itu, mari kita jadikan 20 Mei bukan hanya sebagai hari peringatan, tetapi sebagai hari kebangkitan kembali semangat kebangsaan di tengah tantangan zaman yang terus berubah. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Memetik Matahari Menuai Badai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang santri dalam satu pengajian personal bertanya kepada Guru Mursyidnya apa maksud dari diksi “Janganlah engkau memitik matahari, jika dirimu tidak tahan badai”; tampaknya frase itu sesuatu banget. Sang guru yang mendapatkan pertanyaan demikian dari muridnya merasa perlu menjelaskan pada posisi permukaan saja, karena jika langsung ke inti filosofinya, dikhawatirkan sang murid belum siap secara batiniah. Beliau seraya menjawab; “baiklah akan kujelaskan pengantarnya dahulu, nanti pada kesempatan lain akan dijelaskan inti pokok dari frase itu”.
Lanjut beliau, berdasarkan referensi yang saya baca memberikan informasi bahwa, setiap manusia memiliki dorongan alami untuk tumbuh, mencapai sesuatu, dan meninggalkan jejak dalam hidupnya. Dalam proses tersebut, kita menatap ke atas—kepada sesuatu yang bercahaya, besar, dan tampak menjanjikan. Kita menyebutnya “impian”, “ambisi”, atau “cita-cita”. Namun, ada satu peringatan bijak yang perlu kita renungkan bersama: “Janganlah engkau memetik matahari jika dirimu tidak tahan badai.”
Kalimat ini adalah metafora kuat yang berbicara tentang hubungan antara ambisi besar dan konsekuensi besar. Ini tidak serta-merta melarang kita bermimpi tinggi, tetapi menyadarkan kita bahwa impian besar menuntut kesiapan mental, emosional, dan moral yang besar pula. Secara simbolik, matahari melambangkan segala sesuatu yang terang, tinggi, dan berharga. Ia bisa menjadi representasi dari kesuksesan, pengakuan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, hingga pencapaian spiritual. Sementara itu, badai adalah lambang dari kesulitan, tekanan, tantangan, bahkan penderitaan yang kerap mengiringi proses pencapaian tersebut. Badai hadir sebagai bentuk konsekuensi alami dari keinginan untuk naik ke level yang lebih tinggi. Frasa ini menyampaikan pesan sederhana: jangan berani mengejar hal besar jika kamu belum siap menghadapi rintangannya.
Dalam psikologi modern, konsep ambisi sering dikaitkan dengan motivasi intrinsik dan kebutuhan aktualisasi diri, seperti yang diungkap Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan manusia. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia cenderung mengejar sesuatu yang lebih tinggi—eksistensi, prestasi, makna. Namun, para psikolog juga mengingatkan bahwa ambisi tanpa kesiapan mental justru bisa membawa pada stres kronis, burnout, atau bahkan gangguan kesehatan mental. Orang yang terlalu cepat naik tanpa fondasi ketahanan emosi akan mudah rapuh saat badai datang dalam bentuk kritik, kegagalan, tekanan sosial, atau ekspektasi berlebih. Di sinilah pentingnya resiliensi—kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam kondisi sulit. Dalam banyak studi, resiliensi menjadi kunci keberhasilan jangka panjang, bahkan lebih penting daripada IQ atau bakat alamiah.
Di era digital saat ini, banyak orang berlomba mengejar “matahari” versi masing-masing: ketenaran di media sosial, pencapaian akademik cepat, kekayaan instan, atau validasi publik. Namun, dalam prosesnya, banyak yang mengabaikan satu aspek penting: proses dan daya tahan.
Budaya instan dan citra palsu di media sosial memperkuat ilusi bahwa sukses itu mudah dan tanpa badai. Padahal kenyataannya, setiap orang sukses pasti melewati badai—hanya saja, badai itu sering tak terlihat dari layar kaca. Ketika realita tidak sesuai ekspektasi, banyak yang kemudian mengalami disonansi kognitif, bahkan menyerah pada ambisinya. Maka, penting bagi masyarakat—terutama generasi muda—untuk menanamkan kesadaran bahwa sukses itu bukan hanya soal “memetik matahari”, akan tetapi juga soal tahan uji saat badai menerjang.
Frasa ini juga bisa ditarik ke ranah etika. Ada orang yang memetik matahari dengan cara merusak, mengorbankan yang lain, atau menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, frasa tersebut bisa dimaknai sebagai: “jangan mengejar sesuatu yang besar jika caramu mencapainya akan membawa kehancuran bagi dirimu atau orang lain”. Sains tanpa etika, kekuasaan tanpa tanggung jawab, atau popularitas tanpa integritas bisa menjadi “matahari palsu” yang justru membawa badai lebih besar, bukan hanya pada pelakunya, tetapi juga lingkungannya. Bermimpilah tinggi, namun siapkan fondasi mental yang kokoh. Karena badai pasti akan datang. Dan hanya mereka yang tangguh, yang akan tetap berdiri—bahkan lebih kuat setelahnya.
Dan, pada akhirnya frasa “Janganlah Engkau Memetik Matahari Jika Dirimu Tidak Tahan Badai” adalah bentuk cinta dari kehidupan itu sendiri. Ia bukan larangan untuk bermimpi, tapi pengingat untuk bersiap. Karena dalam setiap perjalanan menuju terang, akan selalu ada gelap yang harus dilewati. Dan siapa yang ingin mencapai puncak, harus siap menghadapi angin paling kencang. Bukan soal seberapa tinggi matahari yang kau petik, tapi seberapa kuat kamu berdiri ketika badai mencoba menjatuhkanmu.
Sejurus kemudian Sang Guru menutup wedarannya dengan kalimat kunci: “Demikian muridku semoga engkau paham akan makna yang terkandung dalam frasa tadi, intinya bahwa tidak ada larangan untuk bercita-cita tinggi, namun yang lebih penting dari itu sudah siapkah dirimu menempuh badai yang menjadi halangrintangnya. Semua kembali kepada mu dan kodratmu”. Sang murid tercenung dan tidak lama kemudian undur diri, dalam hatinya berkata: “ini baru permukaan saja kepala saya sudah goyang, apalagi intinya”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Kebangkitan Nasionakl ke-117
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Tanggal 20 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), sebuah momentum bersejarah yang menandai lahirnya semangat persatuan dan kesadaran kebangsaan melalui berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Tahun ini, peringatan Harkitnas 2025 mengusung tema “Bangkit untuk Indonesia Emas”, mengajak seluruh elemen bangsa untuk memperkuat kolaborasi dan komitmen dalam membangun masa depan yang unggul, tangguh, dan berdaya saing.
Hari Kebangkitan Nasional menjadi pengingat bahwa kemajuan bangsa tidak dapat diraih tanpa semangat kolektif, kerja sama lintas sektor, dan kesadaran akan pentingnya persatuan. Dalam konteks hari ini, kebangkitan nasional tak hanya berbicara tentang perjuangan fisik, melainkan juga kebangkitan dalam menghadapi tantangan zaman: dari transformasi digital, krisis iklim, hingga pemulihan ekonomi pascapandemi.
“Hari Kebangkitan Nasional adalah momen refleksi dan afirmasi. Kita tidak boleh hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pelaku perubahan. Mari jadikan momentum ini sebagai titik tolak untuk membangkitkan optimisme, membangun karakter bangsa yang kuat, dan terus berkontribusi positif bagi Indonesia,” ujar penulis.
Penulis juga beranggapan bahwa, kebangkitan nasional bukan hanya milik masa lalu, tapi tugas kita hari ini. Melalui pendidikan, inovasi, dan karakter yang religius serta beretika, kita bisa mengantar Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani dunia.
Peringatan Harkitnas 2025 juga menjadi panggilan bagi semua pihak untuk tidak menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, namun justru menjadikannya batu loncatan untuk tumbuh lebih baik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Sukses Gelar Yudisium Profesi Dokter Ke-72, 64 Lulusan Siap Mengabdi
Acara yudisium dihadiri langsung oleh jajaran pimpinan universitas, di antaranya Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, serta Wakil Dekan, Kepala Program Studi Profesi Dokter, dr. Ade Utia Detty, M.Kes., Sekretaris Prodi, dan para dosen dari Prodi Profesi serta Pendidikan Dokter.
“Kalian bukan hanya lulus dari ruang kuliah dan bangsal rumah sakit, tapi juga telah ditempa oleh waktu, tekanan, dan pengalaman yang membentuk karakter sejati seorang dokter. Jadilah dokter yang bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menginspirasi dan melayani dengan hati,” ujarnya penuh semangat.
“Hari ini, kalian tidak hanya mengukuhkan gelar, tetapi juga mengemban tanggung jawab besar di tengah masyarakat. Semoga ilmu yang kalian bawa bisa menjadi penerang bagi mereka yang membutuhkan. Jangan pernah berhenti belajar dan teruslah jadi dokter yang rendah hati dan berintegritas,” tutur Prof. Dessy.
Ia juga mengingatkan para lulusan untuk tetap menjalin solidaritas dan memberikan dukungan kepada rekan-rekan yang masih berjuang menyelesaikan studinya.
“Saya titip, bantu adik-adik kalian yang belum lulus. Ajak mereka bangkit, beri semangat dan motivasi. Jadikan keberhasilan kalian sebagai inspirasi agar mereka juga bisa berdiri di panggung yang sama suatu hari nanti,” pesannya.
Menutup sambutannya, Prof. Dessy menekankan pentingnya menjaga nama baik almamater tercinta.
“Dimana pun kalian berada nantinya, ingatlah bahwa kalian membawa nama besar Universitas Malahayati. Jaga sikap, jaga etika, dan jadilah pribadi yang membanggakan. Biarkan dunia melihat bahwa dokter lulusan Malahayati adalah dokter yang berkualitas dan berkarakter,” tegasnya.
Acara yudisium ditutup dengan pembacaan janji dokter dan doa bersama, diikuti oleh sesi foto dan momen kebersamaan yang tak terlupakan. Yudisium ini bukan hanya sebuah seremoni, melainkan tonggak awal bagi para lulusan untuk menapaki jalan pengabdian sebagai tenaga medis profesional.
Selamat kepada 64 dokter baru. Perjalanan kalian baru dimulai, dan dunia menanti dedikasi terbaik kalian. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Berbicara dalam Diam
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang santri menjumpai gurunya dan bertanya, “Guru, apakah yang dimaksud dengan bicara dalam diam? Sementara berbicara itu berarti tidak diam, bagaimana bisa demikian Guru?”. Dengan senyuman khas, Sang Guru menatap wajah santrinya dalam-dalam. Diam-diam dia mengagumi kecerdasan santri ini yang memang senang membaca.
Guru mencoba menjawab “Baiklah muridku, akan aku coba melihat dari pandangan beberapa tokoh besar dalam agama yang kita anut mengenai persoalan ini. Hanya saja, persiapkan diri dengan mata batinmu guna merasakan perbedaan mendasar di antara mereka, dan pesanku dirimu tidak perlu memihak apalagi membenci”.
Sang Guru mulai mendedah persoalan ini demikian: Berbicara dalam diam sering dikaitkan dengan ketuhanan; oleh sebab itu lengkap kalimat itu adalah Tuhan berbicara dalam diam. Dari berbagai sumber buku yang pernah saya baca ditemukan risalah bahwa makna “Tuhan berbicara dalam diam” adalah ungkapan spiritual yang sangat dalam dan kaya akan tradisi sufisme, khususnya dalam ajaran Jalaluddin Rumi.
Berikut makna filosofis dan spiritual dari frasa itu:
Pertama, Diam adalah Bahasa Tuhan.
Dalam dunia yang penuh kebisingan pikiran, kata-kata, dan ego, diam menjadi ruang suci tempat jiwa bisa benar-benar mendengar. Rumi percaya bahwa kata-kata seringkali membatasi, sedangkan Tuhan melampaui bahasa manusia. Dalam keheningan batin, kita bisa menangkap bisikan Ilahi yang tak bisa diucapkan dengan logika. Rumi menulis: “Ada suara yang tidak bisa didengar telinga. Dengarkan dengan hatimu, karena Tuhan berbicara dalam diam.”
Kedua. Diam sebagai Meditasi dan Kesadaran.
Diam bukan sekadar tidak berbicara, tapi diam batin — bebas dari ego, keinginan, dan distraksi duniawi. Oleh sebab itu dalam diam yang hening, hati menjadi cermin. Rumi berpendapat bahwa Tuhan ‘berbicara’ dalam bentuk ilham, kesadaran, pemahaman, atau kedamaian mendalam.
Ketiga, Penderitaan Diam dan Kehadiran Tuhan.
Terkadang, seseorang mengalami luka atau kesedihan yang begitu dalam sehingga tidak terungkap oleh kata-kata. Rumi melihat rasa sakit dan keheningan batin sebagai momen paling dekat dengan Tuhan. Dan Rumi berkata : “Kesedihanmu adalah pesan dari langit. Dengarkan air matamu; ia membawa pesan cinta dari Sang Kekasih.”
Keempat. Diam dan Penyatuan (Fana).
Dalam sufisme, puncak spiritualitas adalah fana — lenyapnya ego dalam kehadiran Tuhan. Di titik ini, tak ada lagi “aku” yang berbicara, hanya ada keheningan murni, yang justru penuh makna Ilahi. Oleh sebab itu Rumi berpesan bahwa: “Tuhan berbicara dalam diam” berarti bahwa dalam keheningan terdalam jiwa — ketika pikiran tenang, hati bersih, dan ego runtuh — itulah saat suara Tuhan bisa didengar. Bukan dengan telinga, tapi dengan hati yang terbuka.
Berbeda lagi pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi perempuan besar dari abad ke-8, tentang “Tuhan berbicara dalam diam” sejalan, namun memiliki nuansa khas: penuh cinta murni (mahabbah) dan pengosongan total diri untuk Tuhan. Dalam ajarannya, diam bukan sekadar keadaan sunyi, tetapi kehadiran penuh jiwa yang sepenuhnya terarah pada Sang Kekasih, yaitu Tuhan.
Adawiyah meyakini bahwa cinta kepada Tuhan tidak membutuhkan perantara kata, karena cinta sejati adalah hadir sepenuhnya untuk-Nya, bahkan tanpa mengucap. Ucapan beliau yang terkenal sampai saat ini ialah: “Tuhanku, aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka atau rindu surga. Tetapi karena Engkaulah yang layak dicintai”. Dalam konteks itu, diam adalah bentuk tertinggi dari ibadah dan penyerahan—karena ketika cinta sudah menyala total, tak ada lagi yang perlu dikatakan.
Bagi Rabi’ah, cinta kepada Tuhan membuat jiwa mendengarkan suara Ilahi dalam keheningan batin, bukan dari telinga, tapi dari rasa yang paling halus. Tuhan tidak perlu “berkata-kata” karena hadirat-Nya bisa dirasakan dalam ketenangan, air mata, atau bahkan dalam napas paling sunyi.
Diam dalam ajaran Adawiyah juga bisa dilihat sebagai ruang kosong dari selain Tuhan, tempat jiwa bisa bersatu tanpa gangguan duniawi. Dalam diam itu, Tuhan “berbicara” lewat cahaya, rasa tenang, atau getaran cinta yang menyusup ke relung jiwa. Diam Menjadi doa yang tertinggi, sebab dalam kecintaan yang mendalam, kata-kata malah terasa tidak cukup. Maka, diam dalam cinta sufi bukan hampa, tapi justru doa yang paling dalam, karena cinta murni lebih fasih dari lisan.
Berbeda lagi pandangan Imam Al-Ghazali tentang “Tuhan berbicara dalam diam”; beliau tidak sepekat dan puitis seperti dalam ajaran Rumi atau Rabi’ah Al-Adawiyah, namun tetap mendalam dan kaya secara intelektual maupun spiritual. Sebagai seorang filsuf, teolog, dan sufi besar, Al-Ghazali memadukan akal, hati, dan wahyu dalam memahami relasi manusia dengan Tuhan.
Pandangan beliau, diam sebagai jalan ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan). Pengatahuan sejati tentang Tuhan (ma’rifah) tidak dicapai semata-mata melalui logika atau banyak bicara, tetapi lewat penyucian jiwa dan kontemplasi mendalam. Perkataan beliau yang terkenal sampai hari ini ialah: “Diam adalah kunci ibadah dan sarana keselamatan dari kesalahan lisan”. Jadi, diam di sini adalah alat untuk membersihkan hati, karena hati yang bersih adalah tempat Tuhan menanamkan cahaya-Nya.
Menurut Al-Ghazali, ketika seseorang mencapai tahapan tazkiyah (penyucian jiwa), hatinya menjadi wadah cahaya ilahi (nur). Dalam kondisi ini, bukan suara literal yang didengar, tapi ilham (bisikan kebenaran) yang datang langsung dari Tuhan ke dalam hati. Oleh karena itu beliau berpesan: “Jika hatimu suci, maka setiap bisikan baik yang muncul di sana adalah dari Tuhan.” Walaupun pesan ini sebagai keunggulan sekaligus kelemahan Ghazali; nanti pada lain kesempatan kita bicarakan secara khusus tentang ini.
Al-Ghazali sangat menekankan uzlah (menyepi dari dunia) sebagai cara mendengar kebenaran yang lebih hakiki. Dunia, dengan segala kesibukan dan suara-suara luar, bisa menutupi suara Ilahi. Dalam Misykat al-Anwar (Niche of Lights), ia membahas bahwa cahaya Tuhan hanya masuk ke hati yang bebas dari kegelapan hawa nafsu dan gangguan luar. Oleh sebab itu “diam”, bagi Al-Ghazali, adalah penutup pintu dunia agar terbuka pintu langit.
“Berbicara dalam diam” menurut Al-Ghazali berarti bahwa dalam diam yang dipenuhi dzikir, tafakur, dan penyucian jiwa, hati menjadi wadah ilham Ilahi. Bukan suara yang terdengar telinga, melainkan cahaya kebenaran yang hadir dalam batin.
Demikianlah wahai muridku, betapa “diam” merupakan pintu maksuk ke dalam keramaian “keilahian”; hanya sayang banyak manusia terjebak dalam keramaian, sebenarnya dia dalam kesunyian; dan, akhirnya dia tidak bisa “diam”. Semoga kau memahami apa makna semua itu. Sang santri tertunduk takzim mohon diri dari hadapan sang guru karena harus mengumandangakan adzhan tanda waktu shalat telah tiba. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Tuhan dan Ijazah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang seorang sohib jurnalis senior berkirim artikel tentang Tak Ada Tuhan Dalam Ijazah dari salah seorang penulis yang mumpuni. Jadilah kami berdua diskusi digital, dan terbersitlah keinginan menulis dengan judul di atas. Memang saat ini hampir semua kita menjadi “penggila ijazah”; karena selembar ini mirip dewa sebagai penanda dan penyelamat untuk segala hal; sampai-sampai banyak kita yang lupa akan “pemilik dunia dan isinya”.
Sebelum lebih jauh kita dedah dahulu menggunakan referensi digital, bagaimana hubungan keduanya yang sering membuat manusia saling menafikan. Hubungan antara Tuhan dan ijazah dalam konteks filsafat Islam dan teologi dapat dilihat dari sudut pandang integrasi antara ilmu pengetahuan (yang diwakili oleh ijazah) dan spiritualitas (yang berhubungan dengan Tuhan). Meskipun ijazah adalah simbol pengakuan terhadap pencapaian akademis dan keahlian dalam suatu bidang, dalam banyak tradisi keagamaan, ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang sebagai alat untuk meraih kesuksesan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Berikut adalah beberapa cara di mana keduanya dapat dihubungkan dalam pandangan filsafat Islam:
Banyak tokoh filsafat Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Mulla Sadra, memandang ilmu (pengetahuan) sebagai sesuatu yang bukan hanya untuk tujuan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan makna hidup. Al-Farabi dan Ibn Sina menyatakan bahwa pengetahuan rasional (seperti yang diperoleh melalui pendidikan formal atau ijazah) adalah alat untuk memahami alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Mereka percaya bahwa melalui pengetahuan dan filsafat, seseorang dapat mengetahui lebih banyak tentang penyebab pertama (Tuhan), struktur alam semesta, dan tujuan hidup manusia. Dalam konteks ini, ijazah dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pencapaian dalam perjalanan untuk lebih memahami ciptaan Tuhan, yang pada akhirnya mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan itu sendiri.
Al-Ghazali, meskipun mengkritik penggunaan akal secara berlebihan dalam filsafat, tetap mengakui bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan wahyu berperan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Ijazah dalam konteks ini adalah simbol dari pengetahuan yang diperlukan untuk berkontribusi pada kehidupan moral dan spiritual yang lebih baik. Namun, Al-Ghazali menekankan bahwa pengetahuan yang paling tinggi adalah yang mengarah pada pemahaman dan kedekatan dengan Tuhan, yang tidak bisa dicapai hanya melalui ilmu duniawi semata, tetapi juga melalui penghayatan spiritual.
Di dalam Islam, ilmu pengetahuan bukan hanya dilihat sebagai pencapaian pribadi, tetapi juga sebagai tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan ijazah memiliki dimensi spiritual, di mana seseorang yang berilmu (memiliki ijazah) diharapkan untuk menggunakan ilmunya untuk kebaikan umat manusia, dan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara berkontribusi pada masyarakat dan memperbaiki kehidupan orang lain.
Dalam pandangan ini, ijazah bisa dipandang sebagai alat untuk melaksanakan amanah yang diberikan oleh Tuhan, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara keseluruhan, baik dalam dunia materi maupun spiritual. Sebagai contoh, seseorang yang memegang ijazah di bidang kedokteran, teknik, atau pendidikan, diharapkan untuk menggunakan ilmunya demi kebaikan umat, yang juga merupakan bentuk ibadah kepada Tuhan.
Dalam ajaran Islam, semua pengetahuan pada dasarnya adalah karunia dari Tuhan. Al-Qur’an dalam beberapa ayat menyatakan bahwa hanya Tuhan yang memiliki pengetahuan yang sempurna dan hakikat segala sesuatu. Oleh karena itu, setiap bentuk pengetahuan, termasuk yang diperoleh melalui pendidikan formal (sehingga mendapatkan ijazah), pada akhirnya merupakan bagian dari rahmat Tuhan. Dengan demikian, ijazah menjadi simbol dari proses belajar yang diilhamkan oleh Tuhan. Pendidikan formal adalah cara manusia untuk mengembangkan kemampuan yang diberikan Tuhan untuk memahami dunia, namun Tuhanlah yang memberi hikmah sejati kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Tuhan adalah sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan, dan untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan (seperti yang terwujud dalam ijazah) dengan benar, seseorang harus memiliki kewaspadaan spiritual (taqwa). Pendidikan, dalam pandangan ini, harus dilihat sebagai sebuah karunia dari Tuhan, yang harus digunakan dengan penuh rasa tanggung jawab untuk menghormati Tuhan dan meningkatkan kualitas hidup spiritual serta material.
Ijazah sebagai simbol pengetahuan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan atau status sosial, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan moralitas. Sebagaimana yang diajarkan dalam ajaran Islam, ilmu yang tidak disertai dengan keimanan dan akhlak yang baik akan mengarah pada kesombongan atau penyalahgunaan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, penguasaan ilmu yang tercermin dalam ijazah harus dilengkapi dengan kesadaran akan Tuhan, untuk memastikan bahwa ilmu digunakan untuk tujuan yang benar dan sesuai dengan ajaran agama. Ibn Sina misalnya, menekankan pentingnya menggabungkan pengetahuan dengan kebajikan moral. Dalam filsafatnya, ia menjelaskan bahwa pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang membawa seseorang lebih dekat kepada kebenaran ilahi dan membantu orang tersebut untuk hidup dengan kebajikan.
Tuhan dan ijazah dapat dipandang sebagai dua hal yang saling melengkapi. Ijazah merupakan simbol pencapaian ilmu dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan, yang sering kali berfungsi untuk membantu seseorang meraih tujuan duniawi. Namun, dalam banyak tradisi spiritual, terutama dalam filsafat Islam, ilmu tersebut tidak hanya untuk pencapaian duniawi tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ilmu yang diperoleh (yang terwujud dalam ijazah) dianggap sebagai karunia dari Tuhan, dan harus digunakan untuk tujuan moral dan spiritual, untuk meningkatkan kualitas hidup baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu “Ilmu Yang Bermanfaat” adalah salah satu bekal manusia dalam melanjutkan perjalanannya di alam barzah, guna menuju Tuhan. Maka jika dalam memperoleh ijazah diperoleh dengan cara melanggar aqidah, bisa dipastikan ilmu yang diperolehpun tidak bermanfaat. Jadi tidak salah jika Hari Wardoyo berpendapat untuk meneguhkan keberadaan agama dalam diri itu melewati Iman, sedangkan untuk meneguhkan keberadaan ijazah itu adalah badai pertanyaan, termasuk mempertanyakan keabsahan ijazahnya itu sendiri. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswi Psikologi Universitas Malahayati Raih Penghargaan Top Delegate (Fully Funded Awardee) di Ajang Internasional Malaysia-Singapura
Dalam program kepemudaan berskala internasional ini, Syahra berhasil meraih penghargaan bergengsi Top Delegate – Fully Funded Awardee, mengungguli ratusan peserta muda lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan ini menjadi wadah pertukaran pemuda dalam rangka memperluas wawasan global, memperkuat jaringan internasional, dan memupuk semangat kontribusi bagi bangsa.
Rangkaian program yang berlangsung di dua negara ini mencakup sesi Presentation Youth Project, University Visit & Orientation, Company Visit, Cultural Show Malaysia, Awarding Day for IYEN Delegates.
Bangga dan Bersyukur, Ini Kata Syahra Aulia Pradani
“Alhamdulillah, saya sangat bersyukur atas kesempatan dan kepercayaan ini. Menjadi Top Delegate(Fully Funded Awardee) di program internasional ini adalah pengalaman yang luar biasa dan membuka banyak perspektif baru bagi saya, semoga langkah awal yg baik ini bisa mendatangkan kebaikan lainnya untuk saya dan juga orang sekitar” ujar Syahra penuh semangat.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada dirinya sendiri, keluarga, teman-teman, serta orang orang baik disekeliling nya.
“Semoga pencapaian ini bisa menjadi inspirasi bagi orang sekitar.
Pesan dari saya, bagi teman-teman yang sedang berjuang di jalan masing-masing, percayalah bahwa setiap proses yang kamu lalui, sekecil apa pun itu, punya makna dan akan membawamu ke tempat yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Jangan takut untuk mencoba hal baru, keluar dari zona nyaman, dan memperjuangkan mimpi mimpi itu. Kegagalan dan ragu itu wajar, tapi jangan biarkan itu menghentikan langkah kamu, karna kita semua sedang bertumbuh, dan setiap langkah adalah kemenangan kecil yang patut dirayakan.”
tambahnya.
Pencapaian Syahra Aulia Pradani menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati memiliki kapasitas untuk tampil dan berprestasi di kancah internasional. Semoga semangat dan dedikasi Syahra dapat menjadi pemantik semangat bagi generasi muda lainnya untuk terus berkarya dan membawa nama baik Indonesia di mata dunia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Penghargaan Emas dari DJP Lewat Program Relawan Pajak RENJANI
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali diraih oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Tujuh mahasiswa Program Studi Akuntansi sukses meraih Piagam Penghargaan Emas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas kontribusi aktif mereka dalam program Relawan Pajak RENJANI (Relawan Pajak Jejaring Nusantara Indonesia).
Ketujuh mahasiswa tersebut adalah Denila Geraldine (23210058), Endang Sri Suketi (23210081), Elsa Fitriandini (23210079), Muhammad Lutfi (23210029), Nabillah Putri Nazahwa (23210136), Raden Ayu Ellen Isma Fransiska (23210052), dan Choirunnisa Ramadhani (l23210245).
Mereka tidak hanya menjalankan tugas di lingkungan kampus, tetapi juga aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Natar dan KPP Madya Bandar Lampung.Melalui program ini, para mahasiswa terlibat langsung dalam membantu wajib pajak mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan, serta memberikan edukasi tentang pentingnya kepatuhan pajak.
Hardini Ariningrum, S.E., M.Ak., CFRS, Ketua Tax Center Universitas Malahayati, menyampaikan apresiasi atas dedikasi para mahasiswa.
“Kami sangat bangga melihat antusiasme dan semangat yang ditunjukkan. Lewat kegiatan ini, mereka tidak hanya belajar secara praktis, tetapi juga berkontribusi nyata dalam meningkatkan kesadaran pajak di masyarakat. Ini adalah pengalaman yang luar biasa untuk mendukung kesiapan mereka di dunia kerja,” ujarnya.
Para mahasiswa pun membagikan pengalaman berharga mereka:
Denia Geraldine berujar, “Bergabung dengan Program Relawan Pajak (Renjani) merupakan pengalaman berharga yang mempertemukan kamu dengan masyarakat dan dunia perpajakan.”
Nabillah Putri Nazahwa mengatakan, “Kegiatan ini memberikan pemahaman mendalam tentang pengisian SPT serta perbedaan antara SPT pribadi dan badan. Saya merasa jauh lebih percaya diri menghadapi dunia perpajakan ke depan.”
Endang Sri Suketi menambahkan, “Sebagai mahasiswa akuntansi, kami akhirnya bisa mempraktikkan ilmu kelas dalam dunia nyata. Ini kesempatan emas untuk belajar langsung dan membantu masyarakat secara langsung.”
Elsa Fitriandini berbagi, “Kami dilatih untuk menjelaskan konsep pajak dengan cara sederhana dan mudah dipahami. Kegiatan ini mengasah kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah kami.”
Raden Ayu Ellen Isma Fransiska mengungkapkan, “Kami belajar tentang pentingnya etika kerja dan ketelitian dalam mengisi data perpajakan. Ini pelajaran yang sangat penting untuk karier kami ke depan.”
Muhammad Lutfi menilai, “Program ini mengasah keterampilan teknis dan sosial kami. Sangat relevan dengan kebutuhan dunia kerja.”
Sementara itu, Choirunnisa Ramadhani menyampaikan, “Saya jadi lebih memahami peran vital pajak dalam pembangunan. Ini membuat saya lebih sadar akan tanggung jawab sosial sebagai warga negara.”
Selama tiga bulan, dari 3 Februari 2025 sampai 30 April 2025, ketujuh mahasiswa ini telah memberikan dedikasi dan berkomitmen penuh kepada masyarakat. Kegiatan RENJANI ini menjadi bukti nyata komitmen Universitas Malahayati dalam mendorong mahasiswa untuk terlibat langsung dalam isu-isu penting di masyarakat. Tak hanya meningkatkan keterampilan akademik dan praktikal, tetapi juga membentuk karakter generasi muda yang peduli, tanggap, dan siap menjadi agen perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Spirit Mengubah Diri Sesuai Pandangan Illahi
SPIRIT MENGUBAH DIRI SESUAI PANDANGAN ILLAHI
Muslih, S.H.I., M.H
Dosen Agama dan Dosen Ilmu hukum Universitas Malahayati
Spirit atau semangat adalah energi, gairah, antusiasme, atau kekuatan batin yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks umum, semangat bisa berarti semangat jiwa, antusiasme, gairah, gelora, atau energi. Dalam Islam, spirit atau semangat (bahasa Arab: روح, ruh) memiliki berbagai makna dan peran, mulai dari semangat beragama, semangat hijrah, hingga semangat keadilan dan kemanusiaan. Spirit dalam Islam juga sering dihubungkan dengan kekuatan rohani dan jiwa yang mendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan menolak kemungkaran. Semangat untuk mengubah diri memiliki dasar kuat dalam Al-Quran tentang perubahan diri adalah Al-Quran Surat Ar-Rad ayat 11 yang berbunyi:
… إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهمْ وَإِذَآ أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلَا مَرَدَّ لَةً وَمَا لهُم مِن دُونِهِ مِن وَالِ ١١
11. …Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan nasib atau keadaan seseorang tidak akan terjadi secara otomatis, tetapi harus dimulai dari perubahan diri sendiri. Ayat ini menekankan pentingnya usaha dan perubahan positif pada diri sendiri sebagai prasyarat untuk mendapatkan perubahan positif dari Allah SWT. Perubahan diri di sini tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga mencakup perubahan dalam sikap, perilaku, kebiasaan, dan pemikiran.
Meskipun manusia harus berusaha dan mengubah diri, perubahan tetap merupakan anugerah dari Allah SWT. Ayat ini menekankan pentingnya berdoa dan meminta pertolongan Allah SWT dalam setiap perubahan.
Implementasi dari contoh Perubahan diri bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti semangat belajar, semangat beribadah, segera bertaubat, semangat merubah kebiasaan buruk, dan berusaha lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan.
Semangat perubahan letaknya terdapat pada bagian hati, sebagaimana Dalil kekuatan hati dalam Islam dapat ditemukan di berbagai ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya menjaga hati, mengingat Allah, dan merawat hati dari penyakit dan keburukan. Sumber hati dari Al-Quran Surah Al-Fath ayat 4,
هُوَ ٱلَّذِيَ أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوَاْ إِيمَنَّا مَعَ إِيمَنِهِمٌّ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمّوّتِ وَالْأَرْض وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمَا حَكِيمَا ٤
4. Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Wahai Allah yang maha membulak balikan hati, dengan Upaya dan ikhtiar semangat perubahan jika bukan atas ijinmu maka tidak mungkin dapat melakukan perubahan maka kekuatan darimu ya rabb yang merubahnya hal in tergambar secara nyata dalam Al-Quran Al-Baqarah ayat 74,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِنْ بَعْدٍ ذَلِكَ فَهِيَ كَٱلْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدٌ قَسْوَةٌ وَإِنَّ مِنَ ٱلْحِجَارَةٍ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَرُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَقَقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ ٱلْمَآءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللهُ بِغَفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ٧٤
74. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Ditengah hiruk pikuk dunia, semakin banyak ujian dan tantangan dari jaman modern, media, teknologi, kemegahan, yang menyebabkan hati lalai terhadap Allah yang menyebabkan hati keras, bahkan lebih keras dari pada batu (Assaddu Koswah) hal in sebagaimana dalam Al-Quran Al -Maidah Ayat 13,
فَبِمَا نَقُضِهِمْ مِيئُقَهُمْ لَعَنَّهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَسِيَةٌ يُحَرَفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَوَاضِعِةٍ وَنَسُواْ حَظَّا مِمَّا ذُكِّرُواْ بِةّ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمَّ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَٱصْفَحُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ ١٣
13. (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Esensi untuk memiliki semagat perubahan pada diri tercermin pada dasar hadis nabi pentingnya perubahan diri, seperti hadis tentang “barang siapa yang ingin diubah keadaan baiknya, maka hendaklah dia mengubah kebiasaan buruknya”.
Pada akhirnya kita dapat memahami tentang spirit merubah diri dari Dalil-dalil tersebut mengajarkan bahwa perubahan diri adalah kunci utama untuk meraih perubahan nasib dan keadaan yang lebih baik. Manusia harus berusaha dan mengubah diri ke arah yang lebih positif, serta berdoa dan meminta pertolongan Allah SWT dalam setiap perubahan. Perubahan itu akan semakin bersar jika masing masing diri memperbaiki yang akhirnya keluarga juga semakin baik, pada Masyarakat semakin baik bahkan pada tatanan regional dan negara sekalipun akan lebih baik dengan memulai dari perubahan diri pribadi. (Msl)
Editor: Gilang Agusman