Kewenangan yang Sewenang-Wenang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kewenangan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan keadilan. Ketika dijalankan secara sewenang-wenang, hal itu tidak hanya menghancurkan individu atau kelompok yang terdampak, tetapi juga merusak nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial yang lebih luas; demikian sekelumit refleksi yang dikutip dari referensi digital. Kewenangan, secara filosofis, merujuk pada hak atau kuasa yang dimiliki seseorang atau lembaga untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam suatu konteks tertentu. Makna kewenangan memiliki dimensi yang mendalam, tergantung pada perspektif etika, politik, sosial, dan spiritual, yang dijadikan sudut pandang dalam membahasnya.

Dengan kata lain, kewenangan adalah lebih dari sekadar kuasa untuk bertindak; ia adalah manifestasi dari tanggung jawab, legitimasi, dan kebijaksanaan. Penggunaan kewenangan yang benar menciptakan keadilan dan harmoni, sedangkan penyalahgunaannya membawa ketidakadilan dan konflik. Oleh karena itu, kewenangan selalu terikat pada nilai-nilai moral dan etis yang lebih besar.

Sementara itu hakekat sewenang-wenang dalam filsafat menunjukkan penyalahgunaan kebebasan atau kekuasaan yang tidak diimbangi oleh moralitas, rasionalitas, atau aturan yang adil. Kajian ini mengingatkan manusia akan pentingnya batasan dalam tindakan dan kehendak, sehingga tercipta tatanan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan bersama. Dalam perspektif filsafat, konsep ini sering dikaji dalam konteks etika, politik, dan metafisika. Berikut adalah beberapa penjelasan terkait hakekat sewenang-wenang yang bersumber dari berbagai referensi digital:

Pertama, Etika dan Moralitas. Dalam etika, sewenang-wenang sering dikaitkan dengan tindakan yang tidak didasarkan pada prinsip moral atau keadilan. Misalnya, Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan manusia harus didasarkan pada prinsip universal yang bisa diterima oleh semua orang (categorical imperative). Sebaliknya, tindakan yang sewenang-wenang bertentangan dengan prinsip ini karena didorong oleh kehendak pribadi atau egoisme tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain.

Kedua, Kekuasaan dan Politik. Dalam kajian filsafat politik, sewenang-wenang kerap disoroti sebagai ciri dari pemerintahan tirani. Filsuf seperti John Locke dan Montesquieu memperingatkan bahaya kekuasaan absolut tanpa kontrol hukum atau mekanisme pengawasan, yang memungkinkan penguasa bertindak sesuai kehendaknya tanpa mempertimbangkan keadilan atau kebaikan bersama. Locke menyebut bahwa kekuasaan harus didasarkan pada hukum alam dan kontrak sosial, bukan kehendak individual semata. Montesquieu mengusulkan pembagian kekuasaan untuk mencegah tindakan arbitrary.

Ketiga, Kebebasan dan Tanggung Jawab. Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme menekankan kebebasan manusia sebagai hakikat eksistensi, tetapi kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab. Kebebasan yang digunakan secara sewenang-wenang akan menimbulkan kekacauan dan hilangnya otentisitas dalam kehidupan manusia.

Keempat, Metafisika Kehendak. Dalam pandangan metafisik, Friedrich Nietzsche misalnya, mendefinisikan kehendak sebagai pendorong utama manusia (will to power). Namun, jika kehendak ini dijalankan tanpa moralitas atau nilai yang lebih tinggi, ia dapat menjadi bentuk sewenang-wenang yang bersifat destruktif.

Implikasi pada Kehidupan Sosial; Tindakan sewenang-wenang menimbulkan ketidakadilan, konflik, dan kerusakan harmoni sosial. Oleh sebab itu, banyak filsuf menekankan pentingnya rasionalitas, hukum, dan dialog dalam menghindari perilaku semacam ini. Pertanyaannya sekarang bagaimana potret kehidupan nyata di negeri ini.

Bisa dibayangkan jika kewenangan tanpa diberi solusi, maka yang terjadilah kesewenang-wenangan itu yang dikhawatirkan oleh semua aliran filsaffat di atas. Sebagai contoh, Tempat Pembuangan Sampah Akhir langsung ditutup sebagai kewenangan pusat, tetapi tidak ada penawaran solusi bersama melalui mekanisme duduk bersama guna kesejahteraan rakyat bersama. Kesewenang-wenangan ini dipertontonkan dimuka rakyat yang pernah dulu diminta bahkan sampai mengemis untuk supaya memilih saat pemilihan. Sementara membuang sampah untuk daerah perkotaan adalah urusan yang tidak mudah, kalau tidak dikatakan sulit, bahkan dapat dikategorikan fital. Belum lagi persoalan hukum, mereka yang diduga belum ada bukti-pun bisa ditersangkakan hanya karena memiliki kewenangan.

Dapat ditarik kesimpulan sementara dari sudut pandang aliran filsafat manapun, kewenangan yang dijalankan dengan ke-sewenang-wenang-an itu akan menjadikan tirani. Korbannya adalah rakyat kebanyakan yang tidak mempunyai kewenangan sedikitpun untuk menolak kesewenang-wenangan tadi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Jalan Berubah Menjadi Jalan-Jalan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu setelah shalat subuh berbincang dengan istri untuk melakukan ziarah kubur ke makan orang tua yang berjarak sekitar hampir dua ratus kilo meter. Diputuskan segera berangkat mumpung ada kesempatan, karena waktu libur begini sering masih padat kesibukan. Setelah dipersiapkan minimal, maka perjalanan dimulai dengan mengisi bahan bakar kendaraan dan sedikit isi kartu jalan bebas hambatan. Dua setengah jam kemudian sampai di tujuan dan melakukan ziarah makam keluarga yang bersih dan asri itu; muncul persoalan setelah rangkaian acara selesai, mau mengerjakan apa. Ide baru muncul untuk pergi ke wilayah barat menikmati pemandangan pegunungan dari puncak bukit yang bermasjid, maka perjalanan hari itu berubah menjadi jalan-jalan.

Persoalan baru muncul lagi, setelah pulang bagaimana kalau kita putar haluan ke utara menuju kota “King Stone”. Niat dibulatkan kendaraan dipacu santai menuju kota yang banyak sekali buah durian. Sampai di sana cuaca sangat mendukung, perundingan dimulai, diputuskan perjalanan dilanjutkan ke “Kota Nanas” yang sudah tidak pernah panen lagi. Walaupun pakaian yang dibawa hanya yang melekat di badan, namun karena tekad yang nekad perjalanan yang berubah menjadi jalan-jalan itu dilanjutkan. Mengandalkan piranti google sebagai pemandu, pedal gas mulai ditekan, ternyata halang-rintang mulai muncul karena lebar jalan yang tidak mendukung semetara kendaraan besar dan panjang lalu lalang.

Sekedar info bahwa memang jalan ini dahulunya milik perusahaan pengeboran minyak Indonesia terkemuka yang digunakan untuk membawa peralatan berat. Saat Gubernur Sumatera Selatan dijabat oleh Asnawi Mangku Alam, jalan ini dialihkan menjadi jalan provinsi dan bisa dilalui kendaraan pribadi secara terbatas. Saat ini justru menjadi jalan utama antarprovinsi yang begitu ramai dan padat.

Karena kesulitan dengan penglihatan, maklum sudah tidak muda lagi, maka begitu tiba waktu magrib, dicarilah masjid yang ada di tepi jalan. Memasuki masjid ini agak aneh, karena letak posisi imam tidak pada tempat yang disediakan, akan tetapi bergeser ke kanan yang cukup signifikan. Niat diluruskan kain dikenakan, shalat dijalankan. Kendala baru muncul saa malam sudah tiba, hari makin gelap, mata makin rabun. Maka perjalanan merayap bagai siput dimulai, yang penting selamat sampai tujuan di tempat keluarga yang dituju. Memang ada usulan dari penumpang cantik satu-satunya ini ingin menggantikan posisi pengemudi, namun apa kata dunia seolah suami tidak ada rasa tanggung jawab pada istri, maka permintaan itu ditolak dengan rasa sayang. Alhamdullilah sampai juga silahturahmi ini ditempat keluarga pada waktu selepas isya’.

Keesok harinya rasanya sayang kalau mau pulang kembali ke jalan awal, maka diputuskan singgah walau sebentar di kota empek-empek. Maka dirancang shalat zuhur dilaksanakan di Masjid Agung kebanggaan Wong Plembang dan makan khas martabak di seberangnya. Tepat pukul 15.00 WIB, semua rangkaian sudah diselesaikan, maka jalan pulang dimulai untuk menelusuri jalan bebas hambatan untuk memacu si putih kuda besi yang kami gunakan. Sempurnalah acara kali ini jalan yang berubah menjadi jalan-jalan bagi kami berdua.

Lalu makna apa yang didapat dari semua itu? Ternyata makna hakiki dari perubahan semula “ingin jalan” menjadi “jalan-jalan” dapat ditinjau sebagai transisi dari niat atau kebutuhan menuju ekspresi yang lebih santai atau menyenangkan. Dibantu oleh beberapa referensi pada media digital maka berikut analisisnya : “ingin jalan” mengacu pada keinginan awal untuk bergerak, melangkah, atau melakukan perjalanan. Ini sering kali didorong oleh tujuan atau kebutuhan tertentu, misalnya mencapai sesuatu.

Sedangkan “jalan-jalan” merujuk pada aktivitas yang lebih ringan, santai, dan cenderung rekreatif. Dalam konteks ini, “jalan-jalan” lebih sering dianggap sebagai aktivitas untuk menikmati waktu, menjelajah, atau sekadar mencari hiburan tanpa tekanan dan target tertentu.

Dengan kata lain perubahan dari “ingin jalan” ke “jalan-jalan” menunjukkan pergeseran dari niat serius ke aktivitas santai. Awalnya ada dorongan kuat atau tujuan jelas, tetapi kemudian menjadi pengalaman ringan tanpa beban. Dari kebutuhan ke rekreasi. Hal yang tadinya dipandang sebagai “harus dilakukan” menjadi sesuatu yang dilakukan dengan sukacita. Dari tujuan ke proses, fokusnya bergeser dari hasil akhir (misalnya sampai di suatu tempat) menjadi menikmati perjalanan itu sendiri.

Hikmah filosofis dari semua itu adalah perubahan ini dapat menggambarkan pola pikir yang lebih santai, menikmati setiap langkah kehidupan, tanpa terlalu terpaku pada hasil akhir. Hidup bukan sekadar mencapai tujuan, tetapi juga tentang menghargai proses perjalanan, yang sering kali justru memberi kebahagiaan tersendiri. Semoga akhir tahun dan menuju awal tahun baru juga merupakan proses “jalan” yang juga di dalamnya ada “jalan-jalan”; sehingga hidup ini bukan diburu akan tetapi dinikmati. Salam Waras (gil)

Editor: Gilang Agusman

Abu Nawas dan Gembok

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ditemukan dalam nukilan digital; suatu hari, Sultan Harun Al-Rasyid memanggil Abu Nawas ke istananya. Sultan yang terkenal sering menguji kecerdikan Abu Nawas dengan teka-teki yang sulit. Kali ini, Sultan memberikan sebuah gembok besar kepada Abu Nawas tanpa kunci. Sambil tersenyum penuh tantangan, Sultan berkata, “Abu Nawas, aku ingin kau membuka gembok ini tanpa merusaknya. Kau hanya diberi waktu tiga hari. Jika tidak berhasil, kau akan menerima hukuman.”

Abu Nawas mengamati gembok itu dengan saksama. Setelah itu, dia membawa gembok tersebut pulang sambil berpikir keras mencari cara untuk menyelesaikan tantangan Sultan. Di rumah, Abu Nawas tidak mencoba membuka gembok itu dengan alat apa pun. Sebaliknya, dia hanya menyimpan gembok tersebut di tempat yang aman. Selama tiga hari, dia hidup seperti biasa tanpa terlihat panik.

Pada hari yang telah ditentukan, Abu Nawas kembali ke istana dengan membawa gembok itu. Sultan, yang penasaran, bertanya, “Jadi, apakah kau berhasil membuka gemboknya?” Abu Nawas dengan santai menjawab, “Wahai Paduka, gembok ini tidak memiliki kunci. Jika demikian, bagaimana mungkin aku membuka sesuatu yang tidak terkunci sejak awal?”

Sultan terkejut, tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak. “Kau memang benar-benar cerdik, Abu Nawas! Gembok itu memang tidak terkunci sejak awal. Aku hanya ingin menguji kecerdasanmu.” Abu Nawas tersenyum dan berkata, “Paduka, gembok adalah simbol masalah. Kadang-kadang kita menganggapnya rumit, padahal solusinya sangat sederhana.” Sang Raja tersenyum bangga akan kecerdasan Abu Nawas.

Ternyata sampai hari ini “kunci dan gembok” selalu menjadi persoalan, bahkan terkadang menjadi serius, karena ada “satu gembok tetapi memiliki banyak anak kunci”. Akibatnya siapa saja bisa membukanya, tentu ini menjadi sangat berbahaya karena bisa melakukan “buka gembok” dengan cara berjamaah. Beda lagi “satu anak kunci untuk banyak gembok”. Inipun menjadi persoalan serius karena bisa jadi pemegang “anak kunci” menjadi semena-mena membuka gembok sekalipun itu bukan hak dan kewajibannya. Dengan “anak kunci istimewa” tadi bisa menuduh orang melakukan pelanggaran sekalipun itu baru angan-angannya; atau halusinasinya terhadap apa yang didapat oleh orang lain.

Persoalan-persoalan hukum menjadi berkelindan antara “gembok dan anak kunci”; karena bisa jadi aturan hukum yang mengatur gembok dan kunci belum ada, atau ada dan banyak, akibatnya gembok semakin jauh dari anak kunci. Bisa juga aturan hanya berlaku untuk gembok tetapi tidak untuk anak kunci. Sebaliknya bisa terjadi berlaku hanya untuk anak kunci tetapi tidak pada gembok.

Silogisme “gembok dan anak kunci” ini bisa banyak ragam kita peroleh, baik persamaan maupun perbedaan. Bahkan algoritma dapat kita gunakan untuk menafikkan anak kunci, tetapi tidak untuk gemboknya. Bisa juga algoritma mampu menafikkan gembok dan kunci sekaligus. Kemampuan imajinatif untuk ini tampaknya diperlukan, sehingga “persamaan tersamar” bisa digandengkan dengan “perbedaan tersamar”. Hal inilah yang mendasari filsafat logika bahwa diantara perbedaan itu karena ada kesamaan, dan diantara kesamaan itu karena ada perbedaan.

Tidak salah jika orang bijak mengatakan bahwa keduanya, secara metaforis, dapat digunakan untuk menjelaskan banyak aspek kehidupan, seperti rahasia, perlindungan, dan keterbukaan terhadap peluang. Sekaligus juga teori gembok dan kunci mengajarkan pentingnya keseimbangan antara pembatasan dan kebebasan untuk mencapai tujuan tertentu.

Teori gembok dan kunci dalam konteks teori sosial dapat dianalisis sebagai metafora yang menggambarkan hubungan antara struktur (gembok) dan agensi (kunci). Struktur merujuk pada sistem, norma, dan institusi yang mengatur kehidupan sosial, sementara agensi adalah kemampuan individu atau kelompok untuk bertindak dan membuat keputusan dalam kerangka struktur tersebut.

Dengan kata lain pemikiran Abu Nawas jika dilihat dari perpektif Teori Sosial; metafora gembok dan kunci menggambarkan hubungan yang kompleks antara struktur dan agensi. Dalam beberapa pendekatan, hubungan ini cenderung hierarkis atau deterministik (struktur lebih dominan), sementara pendekatan lain melihatnya sebagai sesuatu yang lebih dinamis dan saling mempengaruhi. Interpretasi hubungan ini dapat bervariasi tergantung pada sudut pandang teori yang digunakan.

Pertanyaannya ialah mampukah kita mengenali perbedaan perspektif saat melihat persoalan dalam konteks waktu masa lalu, kini dan yang akan datang. Untuk sampai ketataran ini memang tidak mudah, tetapi sudah seharusnya kita jadikan tujuan sehingga kita tidak “terkejut” melihat semua perbedaan, karena yakin di dalamnya ada unsur kesamaan. Oleh sebab itu tidak salah jika orang bijak mengatakan “baik buruknya kita itu tergantung siapa yang cerita”. Tokoh yang bercerita dan pembuat cerita tentu dasarnya dari sudut pandangnya, sementara akan menjadi berbeda manakala tokohnya berganti dan sudut pandangpun berubah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Tambah Guru Besar Baru, Prof. Dr. Dessy Hermawan Resmi Dapatkan Gelar Profesor

PALEMBANG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandarlampung kembali mencatatkan prestasi gemilang dengan penambahan satu lagi guru besar baru, yakni Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes. Penyerahan Surat Keputusan (SK) pengangkatan guru besar tersebut dilakukan secara resmi di Kantor LLDIKTI Wilayah 2 Palembang, pada Selasa (24/12/2024).

Berdasarkan Surat Keputusan MENTERI PENDIDIKAN TINGGI, SAINS, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN TINGGI, SAINS, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 136639/M/07/2024 yang ditetapkan di Jakarta pada 22 November 2024.

Acara serah terima SK dihadiri oleh sejumlah pejabat penting dari Universitas Malahayati, diantaranya Wakil Rektor 4 Universitas Malahayati, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, yang turut memberikan ucapan selamat atas pencapaian luar biasa ini. Turut hadir pula Kepala Bagian Humas dan Protokol Emil Tanhar, S.Kom, yang mendampingi dalam momen bersejarah tersebut.

Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., dalam kesempatan tersebut menyampaikan rasa bangga dan apresiasi yang tinggi terhadap Prof. Dr. Dessy Hermawan yang kini resmi menyandang gelar profesor. “Kami sangat bangga dengan pencapaian ini. Semoga Prof. Dr. Dessy dapat terus memberikan kontribusi yang luar biasa di bidang akademik, serta membawa nama baik Universitas Malahayati ke tingkat yang lebih tinggi,” ungkapnya penuh haru.

Dengan penambahan gelar profesor ini, Universitas Malahayati semakin mengukuhkan komitmennya dalam mencetak akademisi dan profesional berkualitas, yang diharapkan dapat memperkuat peran kampus dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Selamat dan sukses kepada Prof. Dr. Dessy Hermawan yang terus menginspirasi, baik dalam dunia akademik maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Kedokteran Dasar: Fisiologi dan Kesehatan/Keperawatan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Abu Nawas dan Ulama

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Dalam nukilan sejarah yang ditemukan pada jejak digital ditemukan cerita tentang Abunawas yang berdebat dengan seorang Ulama; diceritakan suatu hari, seorang ulama terkenal datang ke istana Raja Harun Al-Rasyid untuk berbicara tentang ilmu pengetahuan dan agama. Sang Raja yang menyukai perdebatan cerdas memanggil Abunawas untuk ikut serta dalam diskusi. Ia ingin melihat bagaimana kecerdasan Abunawas menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dari sang ulama. Harun Al-Rasyid berkata, “Abunawas, hari ini engkau akan diuji oleh seorang ulama besar. Aku ingin tahu apakah engkau bisa menjawab pertanyaannya dengan baik.”

Abunawas, yang terkenal dengan kecerdikannya, menjawab, “Tentu, Baginda. Tetapi izinkan saya menjawab dengan cara saya sendiri, mohon Baginda untuk tidak ikut campur dengan cara saya menjawab.” Raja dan ulama itu setuju. Maka, dimulailah perdebatan tersebut.

Pertanyaan pertama:”Apa yang paling dekat dengan manusia?” Ulama membuka bertanya dengan serius, “Menurutmu, Abunawas, apa yang paling dekat dengan manusia di dunia ini?”. Abunawas tersenyum dan menjawab, “Kematian, Karena ia bisa datang kapan saja tanpa kita sadari tuan.”. Ulama terkejut mendengar jawaban itu karena sangat benar dan bijak. Lalu disusul dengan pertanyaan kedua: “Apa yang paling berat di dunia ini?” ; lanjut Ulama melanjutkan,. Abunawas berpikir sejenak lalu menjawab: “Tanggung jawab, Tuan. Karena hanya sedikit orang yang mampu memikulnya dengan benar”.

Jawaban itu membuat Raja dan semua orang di istana terpana dan mengangguk-angguk tanda setuju. Sejurus kemudian dengan penuh keyakinan, ulama bertanya untuk yang ketiga kali, ” menurutmu, apa yang paling tajam di dunia ini?”. Abunawas dengan santai menjawab, “Lidah, Tuan. Karena lidah bisa melukai hati lebih dalam daripada pedang.”. Ulama kembali terdiam karena jawaban Abunawas benar semua dan membuatnya kagum.

Ulama itu akhirnya mengakui kecerdasan Abunawas, dan berkata kepada Raja, “Baginda, Abunawas bukan hanya cerdas, tetapi juga bijak. Jawaban-jawabannya sederhana namun penuh makna.”. Raja pun tertawa dan berkata, “Abunawas memang unik. Itulah mengapa aku suka mengujinya.”

“Nanti dulu” sergah Abunawas, “ijinkan saya melengkapi pertanyaan yang keempat Baginda kepada yang hadir di majelis ini semua”. Raja Harus Al-Rasyid terkejut dan berkata “ Apa pertanyaannya wahai Abunawas?”. Abunawas berkata “Apa yang paling jauh di dunia ini”. Tentu semua hadirin menjadi riuh karena masing-masing mengemukakan pendapatnya, ada yang menjawab Kota Basrah, ada yang menjawab Madinah dan lain sebagainya. Terakhir Baginda Raja berkata “Apa menurutmu yang paling jauh wahai orang pandai”. Dengan santai dan percaya diri Abunawas menjawab “Masjid”. Semua orang terperangah, sebelum ada yang berkata Abunawas menimpali “coba perhatikan saat kumandang Adzan di Masjid banyak diantara kita yang tidak peduli, padahal itu panggilan dari Allah yang menciptakan bumi dan isinya termasuk kita; apalagi saat adzan Subuh banyak diantara kita yang memilih pura-pura tidak mendengar dan menutup telinga dengan bantal, bukan bersegera untuk mendatangi Masjid atau Musholah;”. Semua yang hadir saat itu terdiam karena seperti ditampar mukanya oleh Abunawas.

Kisah ini mengajarkan bahwa jawaban atas pertanyaan besar dalam hidup sering kali sederhana, tetapi membutuhkan pemikiran mendalam untuk menemukannya. Abunawas menunjukkan bahwa kecerdasan dan kebijaksanaan bisa datang dari siapa saja, tidak hanya dari ulama atau orang berilmu. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana secara keseluruhan, cerita Abu Nawas dan ulama adalah cermin kehidupan yang mengajarkan kita untuk hidup dengan kebijaksanaan, humor, dan kesalehan yang seimbang.

Ternyata benar apa yang dikatakan oleh para pendahulu bahwa kesalehan itu tidak melekat kepada status jabatan atau pangkat, akan tetapi lebih kepada kondisi di mana seseorang tidak hanya memperhatikan ritual formal, tetapi juga benar-benar menjalankan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ia dekat dengan kejujuran, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Dengan kata lain kesalehan lebih dekat kepada hubungan yang harmonis antara hati, pikiran, dan tindakan dalam menjalani nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama dan kemanusiaan. Kesalehan mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial, yang saling berhubungan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Filsafat Moral Kumbakarna

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menelusuri kisah ini melalui laman digital yang panjang dan melelahkan, ditemukan nukilan yang sangat berharga untuk dijadikan bahan renungan atau kontemplasi diri dalam memaknai kehidupan, yaitu epos Ramayana yang bermula dari kelahiran angkaramurka di dunia ini dengan lahirnya Rahwana.

Namun demikian, orang bijak mengatakan bahwa ditengah keburukan itu jika dicermati secara jeli ada secercah kebaikan di sana. Salah satu wakil dari kebaikan itu adalah diwujudkan oleh tokoh bernama Kumbakarna. Kumbakarna lahir dari pasangan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi, menjadikannya saudara kandung Rahwana, Wibisana, dan Sarpakenaka. Mereka adalah keturunan raksasa yang berasal dari keluarga Alengka.

Kumbakarna adalah seorang raksasa berwujud besar dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, akan tetapi berbeda dari kebanyakan raksasa pada umumnya, ia memiliki sifat yang bijaksana, cinta damai, dan cenderung mengikuti ajaran luhur tentang kebenaran. Sebagai adik Rahwana, Kumbakarna selalu menunjukkan kesetiaan kepada keluarganya. Namun, ia tidak mendukung tindakan Rahwana menculik Shinta.

Ia pernah menasihati Rahwana untuk mengembalikan Shinta kepada Rama dan menghindari perang. Sayangnya, nasihatnya tidak didengar. Bahkan Rahwana murka dan memaksa Kumbakarna untuk maju perang melawan prajurit Ramawijaya yang berupa kera.

Kumbakarna memutuskan untuk bertarung demi membela tanah air dan rakyat Alengka, meskipun ia tidak menyetujui alasan perang tersebut. Baginya, tanggung jawab terhadap negeri lebih besar daripada konflik moral yang ia rasakan. Dialog dengan Rahwana sebagai abang tertuanya saat beliau bertapa tidur jika dideskripsikan secara imajinatif adalah sebagai berikut:
Dasamuka dengan wajah tegang, bergegas masuk ke tempat Kumbakarna bertapa, seraya berteriak, “Kumbakarna, bangunlah, adikku! Negeri Alengka sedang dalam bahaya besar. Engkau harus bangun dan mendengar seruanku!”.

Kumbakarna dengan mata yang masih tertutup, bersuara berat dan lelah beliau berkata: “Siapa yang berani mengganggu tidur panjangku? Tidur ini adalah hakku setelah tapaku… Apakah engkau Kakanda Rahwana? Apa yang begitu mendesak hingga engkau membangunkanku dari ketenangan ini?”.

Dasamuka bersuara keras sambil menahan jengkel, berseru, “Adikku, Alengka sedang dalam bahaya besar! Pasukan Rama sudah mengepung negeri kita. Mereka telah membangun jembatan menuju Alengka. Hanoman, si kera putih, telah membakar istana. Aku membutuhkanmu untuk menghadapi para musuh ini!”.

Kumbakarna bangun dan berdiri perlahan, tubuhnya besar dan penuh wibawa berucap, “Kakanda, apa yang telah aku peringatkan kepadamu dahulu ini terbukti kejadiannya. Jika pada waktu itu Dewi Shinta kau kembalikan kepada Rama, maka tidak akan ada kejadian ini. Ini adalah akibat dari engkau telah bertindak melampaui batas?”.

Dasamuka tidak mau terima dengan ucapan adiknya tadi, seraya berteriak, “Semua ini demi Shinta, wanita yang kupuja dan kucintai! Rama tidak memiliki hak atas dirinya. Aku mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!”

Kumbakarna menatap Dasamuka dengan sorot tajam, penuh kecewa dan berucap yang juga tidak kalah serunya dari Rahwana, “Kakanda, engkau telah membangunkanku untuk sesuatu yang memalukan. Engkau merusak kehormatan Alengka dengan nafsu dan keserakahanmu! Bagaimana mungkin aku bertempur demi tujuan yang tidak benar?”.

Dasamuka sangat murka mendengar ucapan adiknya itu sejurus kemudian dia berteriak lantang, “Adikku, jangan menasehatiku seperti orang suci! Engkau adalah bagian dari keluargaku, dan ini adalah tanggung jawabmu untuk melindungi negeri kita, apa pun alasannya!”.

Kumbakarna menarik napas panjang, dengan suara berat dia berkata, “Aku adalah seorang ksatria, Kakanda. Aku tidak akan membela tindakanmu yang salah. Namun, Alengka adalah tanah kelahiranku. Demi rakyat yang tak berdosa, aku akan maju ke medan perang. Bukan untuk dirimu, tetapi untuk negeri ini!”.

Dasamuka menukas sambil tersenyum licik berkata, “Begitu saja sudah cukup, adikku. Pergilah dan tunjukkan kekuatanmu. Engkau adalah harapan terakhir Alengka. Engkau adalah panglimanya negeri ini”.

Dengan langkah berani Kumbakarna mengambil senjatanya, bersiap pergi dan bersalaman dengan abangnya itu sambil berucap, “Doakan aku, Kakanda. Karena perang ini mungkin akan menjadi akhir dari hidupku.”

Dialog ini menggambarkan dilema moral Kumbakarna, kesetiaannya pada tanah air, serta perasaan kecewanya terhadap kakaknya, Dasamuka, yang sering bertindak semena-mena. Lalu apa yang dapat kita petik dari peristiwa di atas. Tindakan Kumbakarna adalah contoh nilai ksatria sejati yang penuh dengan kebijaksanaan, keberanian, dan pengabdian tanpa pamrih. Dalam tradisi pewayangan, ia dipandang sebagai simbol manusia ideal yang mendahulukan kewajiban dan kehormatan di atas kepentingan pribadi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat dan Sukses Program Studi Teknik Sipil Raih Akreditasi “Baik Sekali”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi S1 Teknik Sipil Universitas Malahayati berhasil meraih akreditasi dengan Predikat “BAIK SEKALI” dari Lembaga Akreditasi Mandiri Program Studi Keteknikan (LAM-Teknik) Badan Tetap Akreditasi Program Keteknikan Persatuan Insinyur Indonesia. Keberhasilan ini dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 0696/SK/LAM-Teknik/AS/XII/2024.

Dekan Fakultas Teknik Universitas Malahayati, Dr. Weka Indra Dharmawan, ST., MT mengucapkan rasa syukur dan bangga atas raihan ini. “Alhamdulillah, kami bersyukur atas prestasi Program Studi Teknik Sipil Universitas Malahayati (PSTS Unmal) yang berhasil mempertahankan akreditasi dengan predikat “Baik Sekali” dari LAM TEKNIK. Ini merupakan hasil kerja keras seluruh civitas akademika, tenaga pendidik, mahasiswa, dan alumni yang berkomitmen memberikan yang terbaik bagi institusi kita”.

Namun, pencapaian ini bukan akhir, melainkan motivasi untuk terus maju. “Kami memiliki target yang lebih tinggi: meraih akreditasi “Unggul” yang akan memperkokoh posisi Universitas Malahayati sebagai perguruan tinggi berkualitas di tingkat nasional dan internasional,” tambahnya.

Untuk itu, saya mengajak seluruh civitas akademika, termasuk dosen, staf, dan mahasiswa, untuk terus meningkatkan kolaborasi, inovasi, serta profesionalisme dalam setiap aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Kami juga akan fokus pada pengembangan kurikulum berbasis teknologi dan digitalisasi, agar lulusan kami siap bersaing di era industri 4.0 yang penuh tantangan,” ungkapnya.

Kami berharap dukungan penuh dari semua pihak, termasuk Yayasan dan Universitas, dalam mempersiapkan langkah strategis menuju akreditasi “Unggul”. “Terima kasih atas dedikasi dan kerja keras semua pihak. Semoga semangat kebersamaan ini terus membawa PSTS Unmal dan Universitas Malahayati menuju masa depan yang lebih gemilang,” tutupnya. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Abu Nawas dan Neraka

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seperti pernah disinggung pada tulisan tanggal 14 Desember lalu tentang riwayat hidup Abu Nawas pada salah satu media. Beliau dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik, ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Salah satu nukilannya sebagai berikut : Disuatu siang, tingkah Abu Nawas menggegerkan penghuni Baghdad. Mereka heran, bagaimana bisa orang secerdas Abu Nawas berjalan di siang hari ketika sinar matahari menyorot sambil membawa lampu?.

“Abu Nawas mulai gila,” kata salah seorang warga Baghdad yang tengah memperhatikan Abu Nawas. Walaupun begitu, Abu Nawas tidak peduli. Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini lebih pagi sambil tetap membawa lampu minyak. Tanpa bersuara, Abu Nawas menoleh ke kanan dan kiri. Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Abu Nawas lantas salah seorang diantaranya bertanya kepada Abu Nawas, “Apa yang sebenarnya engkau cari di siang hari dengan lampu di tanganmu itu?”. Abu Nawas menjawab, “Saya sedang mencari neraka.”

Dari situlah, para warga mulai berpikiran bahwa Abu Nawas gila. Bahkan, di hari ketiga ia masih melakukan hal yang sama dan membawa lampu minyak yang kali ini digoyang-goyangkan cara membawanya. Warga Baghdad yang tidak sabar akan perilaku Abu Nawas, lantas menangkapnya. Di Baghdad pada saat itu ada sebuah undang-undang yang melarang orang gila berkeliaran.

Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid justru gembira melihat Abu Nawas ditangkap. Mereka menganggap ketidakwarasan Abu Nawas bisa dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan wibawa sang khalifah.

Malu bukan main atas perilaku Abu Nawas, Khalifah Harun Al-Rasyid memanggil Abu Nawas dan bertanya dengan nada tinggi, “Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang hari begini?”

“Hamba mencari neraka, Paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas lancar, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya gila. Harun Al-Rasyid berteriak, “Kamu gila, Abu Nawas. Kamu gila!”. Sontak Abunawas menjawab, “Tidak paduka, merekalah yang gila.”

“Siapa mereka yang kau maksud Abu Nawas?” hardik Harun Al-Rasyid. Abu Nawas menjawab, “Mereka yang menangkap saya kemudian membawa ke muka paduka”. Guna melakukan klarifikasi, Abu Nawas meminta kepada Harun Al-Rasyid agar orang-orang yang tadi menangkap dan menggiringnya menuju istana untuk dikumpulkan.

Setelah berkumpul di depan istana, Abu Nawas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka. “Wahai kalian orang yang mengaku waras, apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?” tanya Abu Nawas kepada mereka yang sudah berkumpul. “Benar!” jawab orang-orang itu yang berjumlah ribuan.

Abu Nawas melanjutkan pertanyaannya, “Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?”. Orang yang hadir itu serentak berkata, “Betul, dasar sesat!”. Abu Nawas mengejar lagi dengan pertanyaan, “Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?”. Sontak bergemuruh orang-orang tadi menjawab, “Orang munafik pasti mereka masuk neraka! Dasar munafik, kamu!”

Mendengar itu, Abu Nawas kembali menimpali sambil tersenyum khas, “Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?”. Saat berucap demikian, Abu Nawas mengangkat tinggi-tinggi lampu di tangannya. Ini dilakukan seakan-akan dirinya sedang mencari sesuatu.

Jawaban Abu Nawas membuat orang-orang yang berada di depan khalifah Harun habis kesabaran. Mereka merasa diejek dengan mimik Abu Nawas. Dengan geram mereka berkata, “Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?”.

Dengan takzim, Abu Nawas menghadapkan muka ke Harun Al-Rasyid sambil berkata, “Paduka, mohon maaf. Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menghakimi dan menentukan orang lain masuk neraka?” tanya Abu Nawas. “Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah atau panitia penentu mana manusia yang masuk neraka dan mana yang masuk surga? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?” lanjutnya.

Ucapan Abu Nawas membuat khalifah Harun Al-Rasyid tertawa. Sungguh jenaka sosok Abu Nawas di mata khalifah, ia lalu berkata sambil masih tergelak, “Abu Nawas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya”.

Dari nukilan cerita di atas, mari kita lihat sekeliling kita, banyak kita jumpai saudara-saudara kita yang seolah menjadi petugas pengadilan Tuhan. Dengan ringan mulut mengucapkan “Si Anu itu bakal masuk neraka jahanam”, tidak jarang itu diucapkan melalui mimbar yang seharusnya bernuansa teduh, ngayomi dan memberikan pencerahan, bukan penghakiman. Padahal sudah diingatkan oleh para alim ulama jauh-jauh hari, bahwa seseorang yang memperoleh surga-Nya Allah bukanlah karena amal perbuatannya tetapi semata-mata karena Rahmat dan izin Allah semata. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat dan Sukses Atas Capaian Universitas Malahayati Raih “Klaster Utama” Klasterisasi Perguruan Tinggi Tahun 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat dan Sukses atas capaian Universitas Malahayati yang telah berhasil mencapai “Klaster Utama” Klasterisasi Perguruan Tinggi Tahun 2025 Berdasarkan Keputusan Direktur Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat Nomor 1114/E5/PG.02.00/2024 tanggal 4 Desember 2024 tentang Penetapan Klasterisasi Perguruan Tinggi berdasarkan Kinerja Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Klasterisasi perguruan tinggi tahun 2025 didasarkan pada hasil olahan data kinerja perguruan tinggi berbasis SINTA dalam periode tahun 2021 hingga 2023. Data kinerja yang diperhitungkan merupakan data yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh verifikator Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Perguruan Tinggi meliputi data penulis (author), afiliasi (affiliation), artikel (article), penelitian (research), pengabdian kepada masyarakat (community service), kekayaan intelektual (intellectual property rights), dan buku (book).

Prof. Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D. selaku Kepala LPPM Universitas Malahayati, mengucapkan rasa syukur dan bangga atas pencapaian ini, “MasyaAllah Tabarakallah, prestasi kita semua, terdapat peningkatan yang signifikan dari kinerja penelitian dan pengmas dosen periode tahun 2021-2023, serta penerimaan hibah penelitian dan pengmas juga Alhamdulillah meningkat, “.

Prof Erna menambahkan, dengan adanya pelatihan penulisan buku maupun penulisan artikel ilmiah jurnal bereputasi internasional , serta penulisan proposal hibah penelitian dan pengmas yang LPPM selenggarakan, “Semoga kedepannya dengan adanya pengumuman kenaikan klaster ke utama ini menjadikan dosen dosen Unmal tambah termotivasi utk terus berkarya baik di bidang penelitian maupun pengmas”.

Lebih lanjut Prof. Erna menekankan agar tim LPPM juga selalu tetep solid sehingga dapat terus memotivasi dan memfasilitasi dosen-dosen di Universitas Malahayati agar dapat berkarya di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Sehingga semua hasil kinerja dosen akan dapat juga divalidasi oleh LPPM dan bermanfaat untuk masyarakat Indonesia. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Gelar Sosialisasi dan Skrining TB HIV, Langkah Konkrit Menjaga Kesehatan Generasi Muda

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam rangka meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan, HPU (Health Promoting University) Universitas Malahayati bekerja sama dengan Inisiatif Lampung Sehat dan Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung menggelar kegiatan sosialisasi dan skrining TB HIV, dan diikuti 110 Mahasiswa dari 15 Program Studi.

Kegiatan ini berlangsung di Gedung MCC Universitas Malahayati, dan dibuka secara resmi oleh Ketua HPU Universitas Malahayati, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes. Kamis (19/12/2024).

Dr. Lolita Sary menjelaskan bahwa skrining kesehatan, seperti yang dilakukan dalam kegiatan ini, adalah salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mendeteksi dini masalah kesehatan pada mahasiswa. Kegiatan ini bukan hanya untuk mendeteksi TB HIV, namun juga sebagai upaya untuk memberikan pencegahan sejak dini dan menyediakan data penting mengenai perkembangan kesehatan mahasiswa. “Mahasiswa adalah generasi muda yang merupakan harapan bangsa, yang diharapkan menjadi agen perubahan menuju kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera,” ujar Dr. Lolita Sary.

Dalam kesempatan tersebut, Dr. Lolita Sary juga menekankan bahwa masalah kesehatan remaja, terutama penyakit menular seperti TB HIV dan penyakit tidak menular, menjadi tantangan besar. “Melalui kegiatan ini, kami ingin meningkatkan kesadaran mahasiswa mengenai pentingnya menjaga pola hidup sehat, memberikan pengetahuan tentang TB HIV, serta mendorong mereka untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin agar dapat terdeteksi dini apabila ada masalah kesehatan,” tambahnya.

Kegiatan ini diharapkan dapat memberi dampak positif, yaitu meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang cara mencegah penyakit tidak menular dan mempermudah akses mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih holistik dan terpadu. Harapannya, melalui sosialisasi dan skrining ini, mahasiswa Universitas Malahayati dapat lebih peduli terhadap kesehatan mereka dan berperan aktif dalam menciptakan generasi sehat yang mampu berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa. (gil)

Editor: Gilang Agusman