Prof Taruna Ikrar Paparkan Orasi Ilmiah, Pemimpin Saat Ini dan Neuroleadership


BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id) :
Indonesia merupakan negara yang sangat besar dan terdiri dari lebih 17ribuan pulau, dan didiami oleh ratusan etnis atau suku yang berbicara dalam banyak bahasa yang berbeda-beda. Bahkan Indonesia memiliki kemajuan ekonomi yang luarbiasa, dalam semua sektor kemajuan tersebut ditentukan oleh kepemimpinan.

Menurut, Prof. Dr. Taruna Ikrar dalam orasi ilmiahnya di depan wisudawan Universitas Malahayati periode ke-33 tahun 2022 mengatakan, kepemimpinan diharapkan berasal dari kampus, karena kampus melahirkan para sarjana, para master, doctor yang maha terpelajar. Untuk menggapai kemajuan pesat tersebut dibutuhkan pemimpin yang hebat berasal dari kampus dan universitas.

“Artinya para pemimpin yang hebat ini, karena dilandasi kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi dan profesionalisme, serta ketulusan dalam mengawal pembangunan, menggapai Indonesia yang dicita-citakan. Kepemimpinan Inovator Nasional tersebut, dapat dilihat dalam perpektif neurosains yang disebut Neuroleadership,” kata Prof. Taruna.

Kemudian, Growth Mindset menurut Prof. Taruna atau pola pikir bertumbuh haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menghadapi tantangan. Karena, seorang pemimpin harus dapat mengakselerasi perubahan dan perkembangan tanpa batas.

“Mereka adalah orang-orang yang optimis melihat masa depan, karena yakin bahwa masa depan yang lebih baik bisa diperjuangkan bersama. Disinilah mental seorang pemimpin itu tercipta dari pengalaman, pendidikan, sejarah hidup, dan lingkungan,” ucapnya.

Sebenarnya dalam diri setiap manusia terdapat baik kecenderungan untuk tak mau berubah maupun kecenderungan untuk berubah. Ini menyangkut baik sikap mental maupun cara berpikir (mindset).

“Tapi pada saat yang sama kita menyadari bahwa mentalitas dan pola pikir bertumbuhlah yang akan membawa kita pada realitas baru yang kita impikan, yakni realitas baru Indonesia maju. Di sanalah terletak tugas seorang pemimpin untuk mampu menyadarkan orang tentang perlunya hijrah dari fixed mindset menuju growth mindset, dan harus mampu memimpin hijrah itu sendiri,” papar Prof. Taruna.

Ketika mengambil keputusan atau merespon sesuatu, pertama-tama yang akan muncul adalah logika emosinya. Ketika harus memilih makanan, minuman, teman, pasangan hidup, bahkan pilihan politik, pertimbangan yang pertama muncul adalah manakah yang menyenangkan hati.

“Mana yang lebih memuaskan, proses pemilihan lebih didasarkan pada faktor suka atau tidak suka. Alasan rasional biasanya baru menyusul kemudian, lebih sebagai alat pembenaran,” ujarnya.

Modernitas Berpikir sebagai Budaya, karena kata kunci dalam neuroleadership adalah hijrah. Pada kesempatan pertama neuroleadership bukan soal bagaimana seorang pemimpin mengubah mereka yang dipimpin, melainkan mengubah dirinya sendiri.

“Neuroleadership harus berangkat dari kesadaran bahwa dia sendirilah yang harus lebih dulu melakukan hijrah atau transformasi. Dia harus terlebih dulu bersikap kritis terhadap mentalitas dan pola pikirnya. Dia harus menyadari sejauh mana dia masih berpola pikir fixed, dan sejauh mana sudah berpola pikir growth,” ucap Prof. Taruna.

“Dia juga harus mulai mengenali diri sendiri, sejauh mana reptilian brain masih membelenggunya, dan sejauh mana hidupnya sudah dipimpin oleh kesadaran dan sistem nilai.

Hanya ketika sudah mampu mentransformasi diri, seorang pemimpin berpeluang untuk membantu tribe-nya untuk juga bertransformasi, untuk meninggalkan pola pikir fixed dan mengadopsi pola pikir growth. Untuk hijrah dari reptilian brain ke human brain, dari otak emosi ke otak sadar, dari kecenderungan impulsif ke kerelaan berkontemplasi,” tambahnya.


Prof.Taruna memaparkan NeuroLeadership merupakan ilmu yang menggabungkan kepemimpinan dan fungsi otak. Seperti halnya otak yang tercipta sebagai penentu kebijakan, seperti itu pula otak akan dimintai pertanggungjawaban. Leadership membentuk tanggung jawab dari proses pengambilan keputusan.

Dalam proses pengambilan keputusan, terjadi berbagai gejolak emosi merupakan proses interaksi yang amat menarik di otak. Tentu ada risiko baik dan buruk, namun yang lebih penting dari itu adalah ke mana kepemimpinan itu bermuara. Pada akhirnya kepemimpinan adalah bentuk pertanggung jawaban dunia dan akhirat.

“Untuk itu seorang pemimpin memerlukan pengalaman yang panjang dan pengetahuan yang luas. Semakin panjang pengalamannya dan semakin luas pengetahuannya, maka semakin mampu ia mengaitkan dan menghubungkan saraf-saraf otak dan batinnya untuk menyatu dalam mengambil keputusan. Sehingga keputusannya pun menjadi akurat,” ujar Prof. Taruna.

Jadi, seorang pemimpin berbasis NeuroLeadership diharapkan mampu menemukan harapan rakyat, bukan yang menakut-nakuti rakyat dengan berbagai ancaman. Semakin besar harapan yang ditumbuhkan akan membuat kepemimpinannya berlaku efektif. Walau memang terkadang banyak sekali godaan untuk menebar ancaman yang secara neurosains sangat kuat di otak.

“Neuroleadership adalah paradigma baru. Dari situ muncul pendekatan baru yang dapat melihat perilaku manusia berdasarkan struktur otaknya, bahkan untuk melihat kecenderungan politik seseorang berdasarkan karakter dasar partai atau calon yang dipilih,” terangnya.

Sementara itu, bicara otak tak akan lepas dari dua hal yakni bentuk fisik dan non fisik. Bentuk fisik dapat disebut sebagai struktur otak, sedangkan bentuk non fisik disebut juga jiwa yang tak terlihat.

Neuroleadership merupakan istilah pembaruan dari bagaimana pemimpin menggunakan akal dan pikirannya, yaitu tentang cara seorang pemimpin mengutamakan akalnya dari semua bentuk emosi, egoisme, keberpihakan sempit, ekstremisme, dan lain-lain. Disiplin keilmuan ini hendaknya dilihat dari empat sudut kebenaran, mulai dari kebenaran filosofis, kebenaran sosiologis, kebenaran yuridis, dan kebenaran kultural. NeuroLeadership membahasakan kebenaran dengan bahasa akademik dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Ke depan, dunia dihadapkan pada sesuatu yang tidak pasti, berubah-ubah, kompleks, dan ambigu. Di situlah peran NeuroLeadership menjaga kewarasan dan ketenangan kondisi Indonesia. Tentu semua bermula dari individu yang telah dicerdaskan otak (emosi)nya,” ujar Prof. Taruna.

“Jadi, Pemimpin Indonesia adalah pemimpin yang memiliki kapasitas yang komprehensif, sehingga berani mengambil risiko serta bertanggung jawab. Untuk itu perlu kiranya kita memilih pemimpin yang tepat. Tepat di sini artinya pemimpin tersebut adalah seorang yang berpola pikir bertumbuh (growth) dan transformasional,” tambahnya. (***)humasmalahayatinews

1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply