Kangsa Adu Jago
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dinukil dari beberapa sumber, serita wayang purwa dengan lakon “Kangsa Adu Jago” sangat terkenal pada komunitas penggemar wayang, utamanya wayang kulit dan wayang orang. Adapun ringkas ceritanya sebagai berikut: Prabu Basudewa adalah seorang raja yang berkuasa di negeri Mandura. Dalam menjalankan pemerintahan, dia dibantu oleh dua orang adiknya, yakni Ugrasena dan Rukma.
Dia memiliki seorang anak laki-laki bernama Kangsa. Anak laki-lakinya inilah yang kelak akan membawa bencana bagi Basudewa. Kangsa ini sejak awal memang sudah bermasalah. Sejatinya, dia bukanlah anak kandung dari Basudewa. Dulu ketika Basudewa sedang pergi, ada seorang raja bernama Prabu Gorawangsa yang datang ke Istana Mandura dengan menyamar sebagai Basudewa. Dia kemudian menemui istri Basudewa yang bernama Dewi Maerah. Terjadilah sesuatu yang tidak dikehendaki. Akibatnya, lahirlah si Kangsa.
Setelah dewasa, Kangsa menjadi adipati di wilayah Sengkapura. Namun, tingkah laku Kangsa ini tidak baik. Sementara itu, Basudewa memiliki putra-putri dari istrinya yang lain. Kakrasana adalah seorang pemuda berkulit bule. Sementara itu, Narayana seorang pemuda cerdas dan sakti yang berkulit hitam, dan Sembadra adalah seorang gadis hitam manis. Mereka dididik di padepokan Widara kandang oleh Demang Sagopa.
Setelah dewasa, Kangsa memiliki nafsu untuk menguasai kerajaan Mandura. Dia tahu bahwa Prabu Basudewa memiliki anak lain sehingga timbullah pikiran jahatnya, dia ingin merebut kekuasaan dan membunuh Kakrasana dan Narayana.
Suatu hari, dia datang ke Istana Basudewa. Dia mengusulkan rencana adu jago alias pertandingan kesaktian. Sebenarnya, tujuannya adalah untuk menemukan dan membunuh Kakrasana dan Narayana. Prabu Basudewa terpaksa menyetujui permintaan Kangsa. Namun, dia juga mengirim utusan kepada Pandawa Lima untuk meminta bantuan. Maka disetujui Bima akan maju sebagai jago mewakili Mandura. Adik sang Bima, yakni Arjuna, lalu mandampingi. Tidak lupa dia membawa panah saktinya yang bernama Pasopati dan keris Pulanggeni. Jadilah perang itu dan Kangsa mati ditangan Bima sebagai Jago nya Basudewa.
Ada yang esensial dari cerita itu. Ialah bahwa ternyata kekuasaan itu selalu harus diperebutkan dengan melalui “pertarungan”. Apa pun bentuk pertarungannya, itu kebudayaan yang memprosesnya. Semula harus dengan kekuatan otot, termasuk dengan cara-cara gladiator. Siapa yang kuat itu yang menang. Seiring perjalanan waktu dan berprosesnya kehidupan melalui yang panjang dan itu adalah budaya, maka tumbuh kembang sistem, salah satu dari sistem itu dengan sistem electoral. Tentu saja ini terus berevolusi dari waktu kewaktu, termasuk di negeri ini.
Gelanggang adu jago model Kangsa di atas, berubah menjadi debat antarkandidat. Segala kemampuan strategi dan taktik, yang semula berkaitan dengan adu fisik, berubah menjadi adu gagasan antarpetarung. Semua ditonton oleh banyak orang. Jika dulu harus datang langsung mengelilingi gelanggang, sekarang bisa sambil santai di rumah minum kopi, menikmati piranti gaget dan langsung berkomentar terhadap yang dilihat.
Jika dulu yang hadir terbatas pada cakupan daerah,s sekarang bisa tanpa batas. Sejauh masih ada sinyal internet menjangkau, maka di sana bisa kita nikmati apa saj. Termasuk Kangsa Adu Jago versi modern yang sedang berlangsung di panggung politik Indonesia. Layaknya pertarungan, pasti terjadi keberpihakan dengan manisfestasi pendukung. Justru serunya pertandingan bukan ada di atas panggung, tetapi kenyinyiran penikmat dan pendukung dengan berbagai komentar.
Kebebasan ini sekarang sedang dinikmati oleh hampir seluruh warga negara negeri ini; namun layaknya suatu pertandingan apapun namanya; pasti ada kelompok tiga; pertama, kelompok pendukung, kedua, kelompok penantang, dan yang satu ini kelompok penikmat. Kelompok yang terakhir ini sekarang secara diam-diam sering mengambil keuntungan dari setiap moment. Kelompok ini orang Palembang menyebutnya “melok menang bae”; dan jargon-jargon ini sekarang bertebaran di media sosial baik menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa ibu.
Namun fenomena itu adalah hal yang biasa dalam perilaku sosial menurut ilmu dinamika kelompok’ yang terpenting berhadapan dengan situasi seperti ini, yang akan terus berulang setiap lima tahun adalah: Gunakan hak mu dengan tidak mengganggu hak orang lain, tunaikan kewajibanmu dengan tidak melanggar hak orang lain. Kita tidak perlu berkelahi karena beda dukungan, yakinlah siapa pun yang menang kita tetap harus bekerja untuk menghidupi keluarga.
Selamat menikmati pesta demokrasi. (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!