Masalah yang Membuat Masalah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Masalah sering diberi makna sebagai kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Semua mahasiswa pascasarjana mesti memahami definisi atau batasan ini, terutama mereka yang sedang menulis karya ilmiah. Masalah dalam filsafat ilmu merujuk pada pertanyaan-pertanyaan mendasar dan tantangan-tantangan yang timbul dalam upaya manusia untuk memahami sifat, metode, ruang lingkup, dan batasan ilmu pengetahuan.

“Pernyataan yang menggambarkan masalah yang membuat masalah dalam filsafat” adalah frasa yang mungkin tidak jelas. Namun, jika kita bermaksud untuk bertanya tentang masalah yang mendasar dalam filsafat yang menghasilkan tantangan dan kompleksitas tambahan. Setiap masalah itu menantang cara kita memahami dunia dan memperoleh pengetahuan tentangnya, dan sering kali melibatkan refleksi mendalam tentang sifat dan batasan pengetahuan manusia.

Tentu, dalam  batasan di atas, kita semua diajak terbang tinggi pada atmosfir ilmu pengetahuan, dan hanya mereka-mereka yang mau mendalami filsafat, yang ingin terus mengepakkan sayap guna terbang untuk mencapai puncak idea.

Tampaknya kita tidak memiliki solusi definitif yang memuaskan. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah ada jawaban yang benar atau apakah kita hanya dapat mengembangkan pemahaman yang relatif tentang fenomena-fenomena ini. Oleh karena itu,  mari kita membumikan masalah, dengan tujuan utamanya adalah untuk menjadikan masalah atau konsep yang dibahas lebih relevan dan dapat dipahami oleh orang kebanyakan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ini membantu dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya masalah tersebut dan mendorong tindakan yang mungkin diperlukan untuk menyelesaikan atau mengatasi masalah.

Sedangkan sekarang yang kita banyak lihat dan rasakan adalah justru banyak orang hanya pandai membuat masalah, dan tidak menyelesaikan masalah. Justru masalah yang dibuat tadi menimbulkan masalah baru bagi orang lain. Menjadi repot lagi ada orang yang menyelesaikan masalahnya, dengan cara membuat masalah pada orang lain. Meminjam konsep dialektika, penyelesaian masalah adalah salah satu unsur terjadinya perubahan sosial. Namun,  jika masalah itu justru menjadikan masalah bagi orang lain, maka yang akan terjadi adalah destruktif sosial. Sekalipun ini juga merupakan bentuk lain dari perubahan sosial, namun ongkos sosial yang diminta menjadi sangat mahal.

Bisa dibayangkan hanya untuk menyingkirkan satu orang dalam perhelatan suatu helatan sosial harus mengeluarkan biaya yang sangat fantastis. Terkadang yang dijadikan alasan hanya suatu fatamorgana sosial, bahkan fobia sosial. Dan jika ditanyakan kepada yang bersangkutan jawabannya pun merupakan ilusi sosial. Logika yang dibangun hanya berdasar pada asumsi “jika-maka”,  tentu saja akibatnya tidak jarang membuat masalah pada orang lain, dan itu bisa jadi bentuk rudapaksa sosial pada orang lain.

Merudapaksa situasi agar dapat menuruti kehendak seseorang atau sekelompok orang dengan cara apa pun  adalah sikap keangkaramurkaan yang ditampilkan oleh Prabu Rahwana dalam pewayangan pada episode Ramayana. Karya Walmiki ratusan tahun lalu itu, ternyata sampai kini masih tetap terasa aktual.
Kelelahan fisik saja tidak mudah mengobatinya. Apalagi kelelahan sosial memerlukan waktu lama untuk mengobati, dan lebih lagi jika sampai pada tataran luka sosial. Sebab, ini akan menjadi sejarah.

Tulisan sejarah tidak bisa dihapus kecuali dengan cara licik dan pembohongan publik; sementara kelicikan dan kebohongan yang dilakukan akan menjadikan juga sejarah. Bisa dijadikan tamsil seorang tokoh ilmuwan pada saat ada pada posisi netral, mengatakan sesuatu masalah bukan masalah. Namun pada saat beliau ada pada posisi kepentingan tertentu, karena harus membela kepentingan tertentu pula, pendapatnya berbanding terbalik dengan posisi semula. Sementara saat dikonfirmasi dengan bukti jejak digital, beliau hanya angkat bahu.

Hebatnya lagi,manakala kita bicara etika yang bersifat universal, dalam arti melampaui sekat-sekat sosial yang selama ini diciptakan, dengan dalih perbedaan keyakinan, perbedaan mazab, perbedaan lainnya; ternyata disempitkan bahkan dibenturkan pada kepentingan tertentu, sehingga menafikan hakikat yang dipersoalkan. Politik adu domba tingkat tinggi dan halus ini sangat membahayakan, karena hanya mereka yang memiliki nalar sehat mampu menangkap apa yang dikehendaki.

Orang bijak mengatakan “Jika kita tidak bisa mengubah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar.”  “Ketika jalanmu terhalang, ubahlah arahmu, jangan pernah kehilangan tujuanmu.”

Selamat mengakhiri bulan suci. Semoga kita mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.

Salam waras. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply