BUYUT

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari Raya Idulfitri kali ini mengharubiru rasa sebagai manusia manakala kita dapat larut didalamnya, dan sekaligus mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Saat berkumpul dengan sebagian keluarga besar; tentu saja disertai dengan bertanya tentang keluarga, dan tidak dinyana ternyata penulis sudah menjadi “buyut” pada garis turun dari Abang tertua; dengan katalengkap status buyut kemenakan sudah resmi disandang.

Usia yang terus merangkak naik seiring dengan menurunnya jatah hidup di dunia; menjadikan diri semakin teguh ada pada jalur untuk kembali. Sementara yang membanggakan adalah garis turun yang dalam istilah Jawa terus “ngremboko” (terjemahan bebasnya berkembang meluas), semua tidak dapat dipungkiri.

Namun dari semua di atas menyisakan pemikiran, ternyata Buyut bisa dimaknai sebagai “buyut biologis” atau “buyut ideologis”. Sebab bisa saja terjadi buyut secara biologis, belum tentu buyut secara ideologis. Atau sebaliknya, buyut secara ideologis tidak harus berasal dari buyut biologis. Pada tataran ini menyisakan kajian sejarah ideol ogis yang perlu dicermati. “Makna buyut ideologis” bisa merujuk pada pemahaman tentang bagaimana ideologi-ideologi yang dipeluk oleh nenek moyang atau leluhur kita mempengaruhi pemikiran, nilai, dan tindakan kita saat ini. Ini dapat mencakup pemahaman tentang bagaimana ideologi-ideologi tersebut memengaruhi keputusan politik, sosial, budaya, dan ekonomi dalam sejarah keluarga atau komunitas tertentu.

Dengan memahami makna buyut ideologis, seseorang dapat lebih memahami akar dari nilai-nilai dan keyakinan yang membentuk identitas keluarga atau kelompok kemudian menjadi bangsa, serta bagaimana pengaruh tersebut masih memainkan peran dalam kehidupan sampai saat ini.

Berpijak pada pemikiran itu, seyogyanya bangsa ini sudah mencapai tataran buyut ideologis untuk Pancasila, bahkan mungkin sudah sampai pada garis turun “Canggah” menuju “udeg-udeg dan Gantung siwur”. Tentu saja dengan tuntutan yang berbeda guna menuntun mereka memahami akar budaya dan nilai-nilai kebangsaannya.

Sayangnya penanaman ideology ini pada tataran “buyut” belum sesuai dengan yang diharapkan; bahkan banyak hal justru menyimpang dari “angger-angger” atau tatanilai yang telah ditetapkan oleh para pendahulu kita. Akibatnya generasi buyut tidak begitu memahami implementasi nilai pandangan hidup bangsanya. Sebagai negara yang besar dan memiliki beragam kaum didalamnya, sangat memerlukan pengikat ideologis yang bersifat permanen, agar tidak bercerai berai pada saat berada level Udeg Udeg, dan Gantung Siwur.

Manakala negeri ini tidak melakukan upaya pelanggengan ideology bangsanya, maka kita sama-sama membuat sejarah kehancuran secara sistimatis bagi negeri ini. Peneruslestarian ideology yang selama sepuluh tahun terakhir ini hanya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal, sudah sangat mendesak untuk ditinjau kembali. Kita masih memerlukan cara-cara masif terencana guna menanamkan ideology bangsa ini kepada generasi penerus. Kita sudah tidak memerlukan lagi slogan, akan tetapi yang kita perlukan adalah tindakan nyata, terencana, terukur sebagai bangsa.

Pancasila sebagai ideology bangsa tidak cukup hanya dihafal karena tuntutan pembelajaran, akan tetapi lebih kepada aplikasi dalam kehidupan nyata. Makin kemari tampaknya kesenjangan itu makin terasa, indikasi yang dapat kita jadikan tolok ukur adalah banyaknya penyimpangan moral yang semula bersifat individual, sekarang berubah menjadi berjamaah.

Kemudahan teknologi masa kini dapat menjadi pisau bermata dua; manakala kita tidak bijak dan berhati-hati dalam bertindak; maka media masa menjadi media ampuh memviralkannya. Dan, ini berarti dapat membunuh siapa saja, termasuk kita karena perbuatan kita dikuliti oleh nitizen sebagai “warga baru” di dunia sosial. Banyak contoh sudah terjadi dimana-mana; karena masa kini tidak bisa lagi sertamerta kita menutub aib manakala sudah berurusan dengan warga maya ini.

Tampaknya sudah semakin mendesak agar pendidikan Pancasila sebagai pedoman bernegara dan pandangan hidup berbangsa untuk direvitalisasi methode pembelajarannya, agar sesuai dengan tuntutan jaman. Pola-pola indoktrinasi seperti dulu, harus sudah diganti dengan pola “ngemong”, dan pemberian contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari; agar generasi Buyut, kemudian, Udeg-Udeg, diteruskan Gantung Siwur, dan seterusnya ; tidak kehilangan arah.

Salam waras (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply