271 (Dua Ratus Tujuh Puluh Satu)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dua ratus tujuh puluh satu itu jika dibagi dengan angka dua puluh satu, maka akan diperoleh angka dua belas koma sembilan. Jika dibulatkan ke atas menjadi 13. Angka itu tidak bermakna apa-apa bagi mereka yang baru belajar berhitung ditingkat Sekolah Dasar. Juga tidak bermakna apa-apa untuk anak pelajar Sekolah Lanjutan Pertama saat mengerjakan soal Matematika di kelas satu. Baru sedikit bermakna jika ada di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas saat mengerjakan soal Matematika, atau Akuntansi di Sekolah Kejuruan. Demikian halnya saat ada di Perguruan Tinggi pada Program Studi Akuntansi. Angka itu bisa jadi hasil dari perhitungan audit dari satu perusahaan yang menjadi kasus saat dijadikan bahan ujian oleh dosen.
Lalu dimana letak istimewanya angka itu? Ternyata angka itu menjadi begitu fantastis manakala diberi pengali menjadi triliun. Triliun itu angka nolnya dua belas, quadriliun angka nolnya lima belas, quintriliun itu nol nya delapan belas, sextiliun angka nolnya duapuluh satu, septiliun angka nolnya duapuluh empat, octiliun angka nolnya duapuluh tujuh, dan noniliun angka nolnya tiga puluh; tinggal menganti berapa angka nol dengan bilangan genap atau ganjil untuk menjadi lebih seru, terserah kita yang mau menikmatinya.
Kejadian penambahan nol dua belas itu ada di negeri ini, dan sangat fantastis karena dibagi untuk dua puluh satu orang yang berbeda peran, diantaranya ditengarai dari artis, sampai konon pemilik maskapai penerbangan, serta diduga juga ada pensiunan berbintang dipundaknya juga ikut menikmati. Dan, itu adalah hasil korupsi di bidang pertambangan timah; betapa besarnya angka itu; apalagi jika dibandingkan dengan anggaran pemerintah daerah tingkat dua. Berati orang dua puluh satu tadi menyedot anggaran dua puluh satu kabupaten-Kabupaten tertinggal di negeri ini.
Jika rata-rata jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal dua ratus lima puluh ribu jiwa, maka mereka rata-rata dapat lima juta per-orang. Jika satu keluarga terdiri dari lima orang maka keluarga itu dapat duapuluh lima juta. Andai kata uang itu digunakan untuk modal usaha berarti roda perekonomian daerah itu terbantu sangat signifikan.
Andai pelaku korupsi tadi dimiskinkan, tidak disertai pemiskinan keluarga, maka mereka tetap bisa hidup tujuh turunan. Sekali lagi andai kata mereka dihukum mati tanpa disita seluruh harta kekayaannya, maka keluarganya masih bisa hidup untuk sampai generasi cicit, sekaligus menebus dosa si mati dengan membuat amal sholeh atas namanya. Kelakuan seperti ini sah-sah saja karena tidak ada aturan dilarang bersedekah. Berbeda jika dari kacamata agama, karena sebaik-baik sedekah itu dari rejeki yang halalan toyibah.
Andai kata dana sebesar itu didepositokan untuk dana abadi beasiswa pendidikan, dengan catatan tidak dikorupsi dalam perjalanannya, maka berapa banyak anak-anak negeri ini yang kurang beruntung tetapi kaya prestasi dapat terbantu untuk mewujudkan impiannya tentang pendidikan terbaik untuk diri dan negaranya.
Sayangnya semua dinegeri ini hanya berhenti di “andai” jika berkaitan dengan kemaslahatan umat. Sementara menjadi nyata jika berhubungan dengan kesejahteraan pribadi atau golongan, bahkan partai. Menggebu di awal dan melempem di akhir, seolah sudah menjadi cerita hidup, manakala berurusan dengan penegakan aturan. Sementara menggebu jika itu berkaitan dengan mencari salah orang kecil yang buta aturan. Akan berbeda jika berurusan dengan mereka yang berpunya.
Atas nama aturan, mereka yang terpidana baik koruptor maupun tukang palak sopir truk, pada waktu-waktu tertentu selalu mendapatkan remisi atau pengurangan tahanan. Bagi tukang palak tidak ada pekerjaan lain kecuali kembali kejalan untuk memalak. Sementara koruptor keluar penjara bisa tetap makan enak tidur nyenyak, dan pada waktunya bisa mencalonkan diri menjadi anggota dewan terhormat di negeri ini, atau menjadi petugas partai untuk mencuci diri agar kembali tampak “suci”.
Dua ratus tujuh puluh satu triliun sedang berjalan entah menyasar kemana; kita tidak bisa menduga apakah masalah ini akan hilang ditelan ombak selatan, karena sudah menjadi kebiasaan pola penanganan kasus mengunakan lagu Bengawan Solo.
Bisa dibayangkan jelas-jelas terbukti korupsi menerima suap, penyuapnya mengakui memberikan suap karena diminta; dan hukuman sudah dijatuhkan, masih punya muka untuk minta peninjauan kembali karena merasa tidak bersalah. Dan, yang menyedihkan lagi mereka ini berpendidikan tinggi berpenampilan alim bergelar akademik tertinggi. Selama di penjara ternyata bukan tobat tetapi malah kumat.
Salam waras (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!