Pontang-Panting Adu Hebat di Mata Sinder Kebon

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kamus Besar Indonesia menabalkan kedua kata ini sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Selanjutnya kedua kata tersebut (pontang-panting dan lintang pukang) bermakna sama. Ada temannya lagi yaitu “tunggang langgang”.

Kita tinggalkan peristilahan di atas; namun pada tulisan kali ini kita menggunakan istilah-istilah tadi untuk menggambarkan bagaimana personal-personal yang berkeinginan menjadi orang nomor satu di provinsi ini.

Boleh dikatakan semua media yang terbit di Lampung, baik online maupun konvensional, beberapa hari ini memuat bagaimana mereka berburu dukungan, rekomendasi dan entah apalagi namanya untuk mendapatkan “baju kebesaran” untuk menuju kursi Lampung Satu.

Cara yang dilakukan bermacam-macam: ada yang berupa koalisi tetapi tidak seksi, ada yang menggunakan cara sinyal-sinyal berfrekuwensi tinggi, dan masih banyak lagi. Semua itu dalam rangka untuk mendapatkan mandat maju sebagai lampung I.

Tampaknya, mereka beradu waktu untuk mendapatkan dukungan dari banyak pihak terutama dari partai besar, dan menengah. Setelah merasa pasti mengumpulkan dukungan, maka langkah akhir adalah lapor ke sinder kebon, sekaligus meyakinkan akan besarannya dukungan.

Tentu Sinder Kebon tidak mau kehilangan manisnya gula tanpa dapat jaminan apa-apa. Naluri seorang manejer, tentu saja memiliki indra kesembilan dalam menimang, memilah, terakhir memilih; mana yang akan didukung dan diusung.

Siapapun jika punya keinginan dan memenuhi syarat, boleh saja maju mencalonkan diri dalam jabatan apapun, termasuk Lampung Satu.

Tinggal bagaimana hitung-hitungannya untuk mencapai keputusan itu; diantaranya di samping pendukung, dalam hal ini partai/ atau juga perorangan.

Namun yang tidak kalah penting dan utama adalah cuan; sebab tampaknya makin ke sini akan terseleksi bagi mereka yang ber- cuan -lah yang mampu mencalonkan diri, sebab keadaan sudah berubah.

Pepatah yang mengatakan “tidak ada makan siang gratis”; tampaknya adu akal, okol, otot, dan bontot (bekal); bakal mengemuka pada pemilu kada kali ini. Turun gelanggang tampaknya harus memiliki gerbong yang panjang, satu rangkaian koneksi, dan rangkaian lainnya cuan.

Analisis politik boleh dilakukan, teori segudang boleh dikeluarkan; namun kenyataan lapanganlah yang menentukan. Pola-pola berfikir pragmatis tampaknya masih tersisa dalam persepsi masyarakat, dampak lanjut dari pemilihan umum yang baru lalu.

Saat ini masih level atas yang bergoyang, menjelang masa kampanye, akar rumput mulai berayun. Gerakan “sat-set” akan menjadi semacam jurus jitu mendekati garis finis; tinggal karung mana dibagikan kemana, diisi berapa; menjadi semacam “rukun” yang harus dilakukan.

Idealisme boleh ngomong ke langit, namun amplop berisi duwit lewat belakang terus berkait. Ancaman boleh ditebar, undang-undang boleh dicanangkan; namun main mata siapa kira, karena ibarat (maaf) kentut, ada di rasa tidak ada di rupa; warna tak akan ada begitu tercium menyesakkan dada.

Kita boleh bicara di atas panggung sampai suara parau, pamplet ditempel setiap pohon dengan isi….. “lawan politik uang”,…..”pemilu harus jurdil”……dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan “mulia”, bahkan bila perlu diadakan patroli setiap jalan, CCTV disebar delapan penjuru angin.

Namun soal serangan fajar atau serangan gerilya, banyak jagonya di mana-mana. Dari semua itu, ada yang pasti yaitu semua kita dapat “janji” soal apakah itu ditepati, jawabannya ….“apa kata saya nanti”…..

Oleh sebab itu ada ujaran wong Plembang yang mengatakan ….”jangan sampek pemilihan ini tepeleh… Mister Kagek Bae…(KGB)…..kalau itu ye jadi …kito lodak galo”…. Terjemahannya tolong Tanya tetangga sebelah.

Salam Waras (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply