Abu Nawas Dengan Si Tidak Tahu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada artikel yang lalu ada seorang guru besar mengomentari bahwa dirinya pernah diajari untuk menjawab “tidak tahu” oleh promotornya saat mengambil gelar akademik tertinggi di salah satu perguruan tinggi terkenal kelas dunia, tentu saja dengan moment kapan harus menjawab “tahu” dan kapan harus menjawab “tidak tahu”. Komentar dari Sang Profesor tadi menggelitik semakin semangat untuk membaca naskah-naskah tentang Abu Nawas, baik secara digital maupun konvensional. Ternyata perburuan itu berhasil. Lengkap naskahnya sebagai berikut, tentu saja setelah diedit di sana-sini.

Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan seorang pria yang terkenal karena kebiasaannya selalu menjawab, “Saya tidak tahu,” untuk segala pertanyaan. Orang ini berpikir bahwa dengan selalu menjawab seperti itu, ia terlihat rendah hati dan bijaksana. Namun, sikapnya sering membuat orang lain kesal. Abu Nawas, penasaran dengan sikap pria itu, memutuskan untuk mengajarinya suatu pelajaran yang lucu, tapi bermakna. Ia mendatangi pria tersebut dan memulai percakapan.

Abu Nawas: “Wahai sahabatku, apakah benar kau selalu menjawab ‘tidak tahu’ untuk semua pertanyaan?”. Pria itu menjawab: “Ya, benar.”

Abu Nawas melanjutkan pembicaraannya: “Oh, jadi kau tahu bahwa kau selalu menjawab ‘tidak tahu’?”. Jawab Pria tadi: “Tentu saja.”.

Abu Nawas mulai mengeluarkan jurusnya: “Tunggu sebentar, kau tahu kau selalu menjawab ‘tidak tahu,’ tapi kau tetap menjawabnya? Apakah kau benar-benar tahu atau tidak tahu?”

Pria itu bingung mendengar logika Abu Nawas. Ia mencoba menjawab, tetapi terjebak dalam kebingungannya sendiri. Melihat pria itu diam dan tampak kebingungan, Abu Nawas tersenyum dan melanjutkan, “Sahabatku, mengetahui kapan kita tahu dan kapan kita tidak tahu adalah tanda kebijaksanaan. Jika kau terus-menerus menjawab ‘tidak tahu,’ bagaimana kau belajar untuk tahu? Sebaliknya jika kamu menjawab selalu tahu sekalipun kamu tidak tahu, itu menunjukkan kebodohanmu sendiri.”

Pria itu akhirnya menyadari bahwa kebiasaannya hanya membuatnya terlihat bodoh, bukan rendah hati atau bijaksana. Ia berterima kasih kepada Abu Nawas atas pelajaran yang diberikan dan mulai mengubah cara berpikirnya, yaitu dia akan bersikap kapan menjawab tidak tahu dan kapan harus menjawab tahu. Karena kedua-duanya jawaban tadi benar dan baik jika kita pandai menempatkannya, dan itulah disebut dengan bijaksana.

Hikmah Cerita Kisah Abu Nawas pada bab ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan bukan hanya tentang rendah hati, tetapi juga tentang keberanian untuk belajar dan menerima pengetahuan. Menjawab “tidak tahu” itu baik jika kita sungguh-sungguh tidak tahu, tetapi jangan sampai itu menjadi penghalang untuk berpikir atau mencari tahu.

Filosofi jawaban “tahu” dan “tidak tahu” berkaitan dengan kesadaran atas batas pengetahuan seseorang dan kebijaksanaan dalam merespons. Filosofi ini sering dijadikan pedoman untuk menghindari sikap arogan dan mengembangkan kerendahan hati serta keterbukaan terhadap pembelajaran.

Hasil penelusuran referensi digital ditemukan pemahaman lebih dalam
hakikat jawaban “tahu” adalah : Pertama, kesadaran akan pengetahuan. Mengakui bahwa kita mengetahui sesuatu bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga memahami sejauh mana pengetahuan kita relevan dan bermanfaat.

Kedua, tanggung jawab dalam pengetahuan. Ketika menjawab “tahu,” kita harus memastikan bahwa informasi tersebut benar, dapat dipercaya, dan tidak menyesatkan.

Ketiga, keberanian memberi jawaban. Menjawab “tahu” membutuhkan kepercayaan diri, terutama jika konteksnya menantang atau rumit.

Hakikat jawaban “tidak tahu” adalah : Pertama, kerendahan hati. Mengakui bahwa kita tidak tahu adalah tanda kebijaksanaan, bukan kelemahan. Ini menunjukkan kejujuran atas keterbatasan kita.

Kedua, pintu untuk belajar. Dengan mengatakan “tidak tahu,” kita membuka ruang untuk mencari tahu dan memperdalam pemahaman kita.

Ketiga, menghindari kesalahan. Daripada memberikan jawaban yang salah, lebih baik mengakui ketidaktahuan untuk menghindari konsekuensi negatif.

Dalam tradisi filsafat, seperti yang diajarkan oleh Socrates, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu” adalah dasar dari kebijaksanaan. Kesadaran akan keterbatasan pengetahuan mendorong kita untuk terus belajar dan mencari kebenaran. Ini juga relevan dalam konsep Sandi Tomo Kawedar yang pernah diuraikan oleh penulis pada tahun lalu, dimana kearifan lokal mengajarkan pentingnya kebijaksanaan dalam berbicara dan bertindak. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman