Pembenaran yang Tidak Benar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sebenarnya badan ini belum begitu sehat, namun pikiran dan diskusi batin tidak bisa dihindari manakala melihat perilaku para petinggi daerah ini dalam menghadapi persoalan-persoalan warga. Seolah-olah masalahnya akan selesai jika mereka datang dengan membawa sedikit bantuan untuk hari itu, dan paling untuk jangka pendek. Sementara pokok H yang menjadi biangnya tidak pernah tersentuh. Akhirnya pikiran ini berkelana ke alam filsafat untuk mencari tahu tempat “gantungan” berpikir guna menemukenali perilaku mereka. Bisa dibayangkan ucapan janji kampanye saat “mengemis” kepada rakyat untuk dipilih, setelah dipilih mereka seolah mengidap amnesia. Dari alur inilah maka tulisan ini diberi “tetenger” seperti di atas.

Berdasarkan penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa filsafat pembenaran yang tidak benar merujuk pada upaya memberikan alasan atau argumen untuk sesuatu yang pada dasarnya salah atau keliru, baik dari segi fakta, logika, maupun moral. Dalam filsafat, konsep ini bisa dikaji dari beberapa perspektif.

Pertama, Rasionalisasi. Adalah proses menciptakan pembenaran logis untuk tindakan atau kepercayaan yang sebenarnya didasarkan pada motif atau alasan lain, sering kali tidak rasional. Orang yang merasionalisasi sering kali tidak menyadari bahwa pembenarannya tidak sahih. Contohnya, statemen ini: “saya korupsi karena atasan saya juga korupsi.”

Kedua, Ad Populum (Bandwagon Fallacy), yaitu, suatu kesalahan logika yang membenarkan sesuatu hanya karena banyak orang setuju dengannya. Dalam filsafat, ini dikenal sebagai fallacy. Contoh kalimatnya: “semua orang melakukannya, maka itu pasti benar; padahal bisa jadi itu adalah salah.”

Ketiga, Relativisme Moral yang Tidak Tepat. Dalam relativisme moral, pembenaran sering kali muncul berdasarkan budaya atau konteks individu. Namun, ini menjadi problematik jika digunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar nilai universal. Contoh: “Di budaya saya, korupsi adalah bagian dari tradisi, jadi tidak ada yang salah dengan itu.”

Keempat, Kesesatan Logika (Logical Fallacies). Banyak bentuk pembenaran yang salah timbul dari penggunaan kesesatan logika, seperti ini bentuknya berupa (1). Straw Man Argument : menggambarkan argumen lawan secara keliru untuk lebih mudah diserang. (2). Appeal to Emotion : menggunakan emosi, bukan fakta, untuk membenarkan sesuatu.

Kelima, Perspektif Nietzschean. Friedrich Nietzsche menyoroti bagaimana manusia sering menciptakan “kebenaran” untuk menutupi kenyataan yang tidak menyenangkan. Ia menyebut ini sebagai upaya untuk mempertahankan ilusi demi kenyamanan psikologis. Oleh sebab itu beliau mengatakan bahwa “Kebenaran adalah ilusi yang telah kita lupakan bahwa itu adalah ilusi.”

Keenam, Kritik dari Filsafat Postmodern. Postmodernisme, seperti yang disampaikan oleh Jean-François Lyotard, menolak klaim kebenaran universal dan menyoroti bagaimana narasi besar sering kali digunakan untuk membenarkan ketidakadilan atau kesalahan. Namun, kritik terhadap postmodernisme adalah bahwa relativisme ekstrem dapat membingungkan antara benar dan salah.
Atas dasar sejumlah aliran pemikiran filsafat di atas, maka kita akan menemukan dasar berpijak jika menjumpai pemimpin yang “lupa” akan janjinya saat kampanye dahulu. Mereka banyak tidak menyadari bahwa jejak digital mereka masih tersimpan di dunia maya, dan kapanpun bisa diunduh ulang. Namun dengan bersandar dari salah satu saja aliran filsafat di atas; maka seolah-olah mereka terbebas dari ucapannya dahulu.

Lebih sistemik lagi pembenarannya berkedok agama; dengan cara memberikan fasilitas khusus untuk melaksanakan kegiatan peribadatan. Padahal azaz kebermanfaatannya lebih pada personal, sementara kebutuhan umat yang lebih besar dan mendasar diabaikan. Perilaku seperti ini menjadikan pembenaran yang tidak benar menjadi semakin sempurna; sebab banyak pihak merasa sungkan untuk mempersoalkan, padahal dana itu bukan milik pribadi tetapi milik rakyat banyak dengan berlabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Keperuntukkannya harus berskala prioritas untuk kemaslahatan umat yang lebih besar kebermanfaatannya.

Kondisi ini dikamuflase lagi dengan bantuan sarana-prasarana (termasuk pendidikan), yang seyogyanya bersifat personal, dibuat massal. Akibatnya kualitas tidak memenuhi syarat, bahkan tidak layak; sehingga yang terjadi di lapangan ukuran hanya ada tiga kategori, dan perlengkapan prasarana bermutu rendah. Semua berakhir pada kehancuran material karena tidak layak guna; tetapi karena berlindung pada salah satu filsafat di atas; maka pembenaran yang tidak benar menjadi sempurna adanya. Dengan kata lain “pencuri berbaju dermawan”; karena begitu rapinya sistem dibangun dan “hukuman” diberlakukan kepada anak buah yang bersuara “miring”.

Upaya “akal-akalan” seperti ini sudah seharusnya dihentikan; mari kembali kepada khittah sebagai pemimpin umat, bukan golongan atau kelompok. Kepedulian untuk sesama, terutama mereka yang kurang beruntung, adalah skala prioritas negara untuk hadir dengan direpresentasikan oleh pemimpin guna mengentaskan mereka dari kepapaan. Jangan pula membantu yang kurang beruntung tetapi dengan cara membuntungkan pihak lain; karena perbuatan ini juga terkategori dholim. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman