Doa Simbok

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada saat menjelang bulan suci ramadhan kata ini menjadi begitu dekat dengan telinga, khususnya orang Jawa. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut: Kata “Simbok” dalam budaya Jawa merupakan panggilan yang penuh makna dan kedekatan emosional. Secara umum, “Simbok” berarti ibu, terutama dalam konteks masyarakat Jawa tradisional.

Kata “Simbok” berasal dari bahasa Jawa “mbok”, yang merupakan panggilan untuk ibu. Awalan “si-” dalam bahasa Jawa sering digunakan untuk memberi nuansa penghormatan atau keakraban, sehingga “Simbok” berarti “ibu” dengan rasa yang lebih akrab dan hormat. Dalam masyarakat Jawa lama, terutama di pedesaan, “Simbok” sering digunakan oleh anak-anak untuk memanggil ibu mereka secara langsung.

Selain itu, dalam budaya agraris Jawa, seorang ibu sering berperan sebagai pilar keluarga, baik dalam mengurus rumah tangga maupun bekerja di ladang. Oleh karena itu, panggilan “Simbok” tidak hanya merujuk pada status biologis sebagai ibu tetapi juga menggambarkan sosok perempuan yang pekerja keras dan penuh kasih sayang. Meskipun kata “Simbok” masih digunakan di daerah pedesaan dan dalam budaya tradisional, penggunaannya di perkotaan mulai berkurang, tergantikan oleh panggilan seperti “Ibu” atau “Mama”.

Secara keseluruhan, “Simbok” bukan sekadar panggilan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan, kehangatan, dan perjuangan seorang ibu. Simbok adalah simbul Surgawi bagi anak-anaknya, karena atas perkenaan doanyalah semua yang terbaik untuk anak-anaknya. Bahkan tidak salah jika ada diantara kita memberikan bahasa simbol kepada Simbok dengan kata “malaikat takbersayap” atau “malaikat pembawa rahmat” karena doanya tidak pernah putus selalu yang terbaik untuk anak-anaknya. Simbok adalah soko guru rumah tangga, jika tidak ada simbok bagi anak-anaknya; maka runtuhlah marwah keluarga itu. Tidak salah jika ada pepatah mengatakan “biarkan semua membenciku, asal tidak dari simbokku”; karena tidak mungkin simbok akan membenci anak-anaknya.

Pada saat menjelang bulan suci ini berbahagialah bagi mereka yang masih mempunyai simbok, karena masih ada syurga yang menunggu dikakinya. Bersimpuh itupun belum memberikan makna apa-apa, jika dibandingkan dengan apa yang telah beliau berikan kepada kita. Tinggal mampukah kita memaknai arti telapak kaki simbok sebagai suatu lambang keberkahan dalam kehidupan.

Pada masa punggahan seperti ini banyak diantara kita yang masih mencari Simbok untuk bersimpuh dikakinya guna meminta maaf atas segala kesalahan, salah satu bentuk penyucian diri dari segala salah dan hilaf selama ini terutama kepada kedua orang tua. Berbahagialah bagi mereka yang masih memiliki simbok, karena masih ada harap Syurga atasnya.

Namun sayangnya “simbok” setelah bermetamorfosis kealam formal menjadi “Ibu”; banyak yang berperilaku menyimpang dari kodratnya sebagai simbok yang selalu mengayomi. Justru berubah menjadi paradok, bahkan jauh dari konsep ideal. Bayangkan begitu menjadi kepala, banyak diantara mereka berubah menjadi “singa, serigala, tikus” dan atau apapun lainnya; yang mendadak berpenyakit kleptomani, yaitu mengambil milik orang lain seperti miliknya sendiri.

Sebelum mendapatkan kursinya, mereka menjadi pemain drama yang canggih; semua terlihat indah, cantik, manis dan menawan. Begitu duduk menjadi “ibu”; jalan raya yang hancur disalahkan hujan. Melihat di Ibu Kota ada bangunan yang menarik, maka pingin juga di wilayahnya ada hal yang serupa. Ada jembatan kabel-pun ingin ditiru, padahal pemukiman rakyatnya tergenang dimana-mana karena banjir melanda. Saluran mampet dibiarkan bertahun-tahun, pendangkalan sungai terjadi dibiarkan ditutup dengan janji. Kata “nanti” menjadi jawaban kunci manakala dikejar soal kapan oleh wartawan.

Sifat “kemaruk” ini membuat ibu pemimpin kehilangan sifat luhur Simbok. Menyedihkan lagi jika keluhuran simbok dibelokkan dalam menempatkan rasa sayang keluarga justru ditempatkan ke rasa sayang singgasana. Karena suami gagal mencalonkan diri jadi raja disebabkan syaratnya palsu, maka simbok maju “membela” suami dengan maju ingin menggantikan kemenangan suami. Inipun bentuk baru dari sublimasi persona diri simbok. Memang tidak ada undang-undang yang dilanggar, dan itu boleh-boleh saja; bahkan menurut sebagian pendapat justru itu namanya simbok bercibaku. Tetapi mari simbok sebelum memutuskan untuk lanjut, kita minta untuk memegang batang leher bagian belakang, apakah masih ada bulu kuduknya atau sudah dibronding. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman