Melalui Ramadan, Kita Gapai Kesempurnaan Iman

Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I
Dosen Agama Islam Universitas Malahayati

Islam merupakan agama yang universal. Islam memandang bahwa yang menentukan keselamatan dan kebahagiaan seseorang di dunia terlebih di akhirat tidak hanya bertumpu pada aspek Hablum Minallah (hubungan dengan Allah SWT). Namun, Hablum Minannas (hubungan dengan sesama manusia) juga ikut menentukan hal di atas.

Banyak di antara nash yang sahih, baik dalam Alquran maupun Al-Hadits menerangkan hal demikian. Allah SWT menegaskan bahwa orang yang mendustakan hari pembalasan salah satu di antara mereka adalah orang yang tidak ada kepekaan sosial. Allah SWT berfirman yang artinya: ’’Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin”. (QS. Al-Ma’un ayat 1-3).

Sayyid Thanthawi dalam Tafsirul Wasith mengatakan, manusia yang mendustakan hari pembalasan sungguh telah melampaui batas dalam keburukan dan kejelekannya.

Hal itu karena kerasnya hati sehingga tidak berbuat lemah lembut terhadap anak yatim, melainkan merendahkan, mencegah segala kebaikan kepadanya. (Thanthawi, Tafsirul Wasith, juz XV, halaman 519).

Rasulullah SAW juga mengaitkan antara keimanan dan hubungan sosial dengan tetangga, beliau bersabda yang artinya, “Demi Allah, tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya.” Rasulullah SAW ditanya: ’’Siapa yang tidak sempurna imannya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman atas kejahatannya.” (HR al-Bukhari).

Karena keimanan seorang muslim dituntut adanya At-tawazun (keseimbangan) antara hubungan vertikal/Hablum Minallah (hubungan kepada Allah) dan horizontal/Hablum Mimannas (hubungan kepada sesama manusia).

Maka melalui momentum Ramadan ini kita maksimalkan untuk melatih diri menuju keseimbangan yang itu, banyak pahala dari berpuasa pada siang hari dan Qiyamulail (salat tarawih) pada malam harinya serta amalan-amalan lain yang memiliki dimensi ta’abudiyah (penghambaan) seperti tilawah Alquran, salawat, zikir, dan lain-lain.

Namun, pada Ramadan ini kita juga tidak boleh melupakan ibadah yang berdimensi sosial yang mana ini sama-sama penting bagi kita. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”(HR. Tirmidzi).

Di dalam hadits yang lain, Nabi SAW juga bersabda yang artinya: “Dari Anas dikatakan: Wahai Rasulullah, sedekah apa yang nilainya paling utama? Rasul menjawab: Sedekah di bulan Ramadhan. (HR At-Tirmidzi).

Dan tentu masih banyak lagi dalil-dalil tentang ibadah yang berdimensi sosial pada bulan Ramadan ini. Sebagai bentuk implementasi dari itu, kita mulai membuka hati betapa banyak ladang kebaikan yang bisa kita lakukan untuk mengisi Ramadan ini.

Sebagai contoh, kita dapat memberikan makanan untuk berbuka puasa bagi para musafir (orang dalam perjalanan) atau kita bisa salurkan di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita, kita juga bisa memberi makan sahur bagi orang yang hendak berpuasa biasanya pada 10 hari terakhir Ramadan ada itikaf dan kita juga bisa berinfak pada saat salat tarawih, salat Jumat, dan salat maktubah lainnya di masjid kita.

Harapannya keluar dari madrasah Ramadan ini, kita benar-benar menggapai kesempurnaan iman sehingga kita mendapat gelar muttaqin (orang-orang yang bertakwa sebagaimana merupakan tujuan dari puasa itu sendiri. Amin. (STK)

Editor: Gilang Agusman