Menelusuri Sejarah Batik Sebagai Simbol Budaya yang Mendunia

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sahabat Unmal, pemerintah telah menetapkan 2 Oktober 2024 sebagai Hari Batik Nasional! Tapi tahukah kamu bagaimana sejarahnya sehingga 2 Oktober dipilih sebagai Hari Batik Nasional? Yuk, kita telusuri perjalanan batik sebagai warisan budaya Indonesia hingga diakui dunia oleh UNESCO.

Batik telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 dan berkembang pesat di pulau Jawa, khususnya di wilayah Solo dan Yogyakarta. Pada masa itu, batik menjadi bagian dari budaya keraton dan dikenakan oleh bangsawan. Proses pembuatan batik menggunakan canting dan malam, menghasilkan beragam motif yang memiliki makna filosofis, seperti motif parang, mega mendung, sidomukti, dan lain-lain. Masing-masing motif menggambarkan nilai kehidupan, status sosial, hingga doa dan harapan.

Pada masa penjajahan Belanda, batik mulai dikenal oleh masyarakat Eropa dan memperoleh perhatian internasional. Motif-motif batik mengalami perkembangan, terutama setelah masyarakat Tionghoa dan Belanda juga mulai mengadopsi teknik membatik dan menciptakan motif-motif baru. Pada masa ini, batik menjadi simbol kebanggaan budaya lokal di tengah penjajahan.

Setelah Indonesia merdeka, batik tidak hanya sekadar kain, tetapi juga simbol identitas nasional. Batik menjadi bagian dari pakaian resmi dalam acara kenegaraan, bahkan digunakan oleh Presiden Soekarno dalam pertemuan-pertemuan penting. Batik mulai dianggap sebagai simbol persatuan dan identitas bangsa Indonesia.

Perjuangan untuk menjadikan batik sebagai warisan dunia dimulai ketika batik diusulkan oleh pemerintah Indonesia kepada UNESCO pada tahun 2008 untuk diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda. Pengajuan ini didukung oleh fakta bahwa batik memiliki nilai budaya yang tinggi, proses pembuatan yang kompleks, serta makna filosofis yang dalam di setiap motifnya.

Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO secara resmi mengakui batik sebagai Warisan Budaya Takbenda. Pengakuan ini diberikan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, dalam sidang UNESCO yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai negara. Pengakuan ini menjadikan batik sebagai salah satu warisan budaya dunia, diakui karena nilai historis, keindahan, serta kontribusi terhadap peradaban manusia.

Sebagai bentuk penghormatan atas pengakuan internasional tersebut, pemerintah Indonesia, melalui Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2009, menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Peringatan ini bertujuan untuk:

– Menghargai batik sebagai warisan budaya bangsa.

– Mendorong masyarakat Indonesia untuk terus melestarikan batik.

– Mempromosikan batik kepada dunia internasional sebagai simbol kebanggaan Indonesia.

Pada 2 Oktober setiap tahunnya, masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan, termasuk aparatur negara, sekolah, dan perusahaan, diimbau untuk mengenakan pakaian batik. Acara-acara khusus, seperti pameran batik, seminar, dan lokakarya, sering kali diselenggarakan untuk memperingati hari ini.

Setelah pengakuan dari UNESCO, batik semakin mendapat perhatian dunia. Batik Indonesia mulai digunakan di berbagai acara internasional, termasuk dalam dunia mode. Banyak desainer dalam dan luar negeri yang mengadaptasi batik dalam karya-karya mereka, memperkenalkan batik sebagai tren fesyen global.

Hari Batik Nasional menjadi simbol kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya di tengah arus globalisasi. Di samping nilai artistiknya, batik menyatukan Indonesia dalam satu identitas kebudayaan yang diterima secara global. Oleh karena itu, Hari Batik Nasional tidak hanya menjadi peringatan, tetapi juga bentuk upaya kolektif untuk menjaga warisan leluhur.

Hari Batik Nasional juga mengingatkan bahwa batik bukan sekadar kain, melainkan simbol yang mengandung sejarah panjang, filosofi, dan jati diri bangsa Indonesia di tingkat Mancanegara. (*)

Terjebak Situasi Tanpa Solusi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang di ruang kerja, kedatangan tamu seorang karyawan senior di lembaga tempat bertugas. Beliau adalah salah seorang yang suka mencermati situasi sekitar, termasuk menjadi pembaca setia semua artikel tulisan penulis yang terbit di media. Hari itu beliau menanyakan satu konsep budaya Jawa berkaitan dengan istilah “pulung” yang sering dikaitkan dengan kepemimpinan negara, raja atau apapun namanya. Tentu saja pertanyaan ini cukup berat mengingat situasi negeri ini sedang mempesiapkan prosesi pergantian kepemimpinan, serta maraknya akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah; seolah-olah kita (baca: rakyat) dihadapkan dengan jebakan situasi tanpa solusi. Karena satu sisi, pimpinan paling atas sudah kehilangan pulung, kepemimpinan di bawah ramai-ramai mencari pulung.

Sebelum lebih jauh membahas tentang pulung; maka kita telusuri terlebih dahulu makna pulung kepemimpinan. Pulung kepemimpinan dalam budaya Jawa adalah konsep mistis yang berhubungan dengan kharisma dan legitimasi seseorang sebagai pemimpin. Pulung secara harfiah berarti berkah, pemberian, atau wahyu yang turun dari “langit”, dan sering kali dipandang sebagai tanda atau simbol ilahi yang menunjukkan bahwa seseorang telah terpilih untuk memimpin. Dalam budaya Jawa, konsep ini berperan penting dalam memahami bagaimana kekuasaan dan kepemimpinan diterima, dijalankan, dan diwariskan.

Pulung juga diyakini sebagai pemberian dari Tuhan atau kekuatan Ilahi. Orang yang menerima pulung dianggap sebagai pemimpin yang diakui oleh alam semesta dan kekuatan spiritual. Konsep ini sering kali muncul dalam cerita rakyat dan sejarah kerajaan Jawa, dimana seorang raja atau pemimpin besar dipilih berdasarkan pulung yang diterimanya.

Pulung ini bukan hanya simbol fisik, tetapi lebih merupakan wahyu atau tanda batin yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang tertentu atau melalui pertanda alam (seperti cahaya dari langit atau bintang jatuh dan atau lainnya).
Orang yang memiliki pulung dalam dirinya diyakini memiliki kharisma alami dan legitimasi spiritual untuk memimpin. Kepemimpinan yang dimiliki tidak hanya diakui oleh rakyatnya secara sosial, tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan alam dan spiritual yang mendukungnya.

Kepemimpinan dalam budaya Jawa bukan hanya tentang kemampuan administratif atau politik, tetapi juga tentang kemampuan seseorang untuk membawa keseimbangan dan keharmonisan antara dunia material dan spiritual. Seorang pemimpin yang memiliki pulung diyakini bisa membawa kemakmuran, ketenangan, dan keselamatan bagi rakyatnya.

Dalam filsafat Jawa juga beranggapan, seorang pemimpin yang menerima pulung harus menunjukkan sikap bijaksana, adil, dan moral tinggi. Konsep ini mengandung harapan bahwa seorang pemimpin yang dipilih oleh kekuatan ilahi harus memimpin dengan sifat-sifat luhur seperti adil, arif, tepa selira (tenggang rasa), dan narimo ing pandum (ikhlas menerima takdir).

Kepemimpinan bukanlah kekuasaan yang dipaksakan, tetapi sesuatu yang alami dan diterima karena sikap dan tindakan yang benar. Jika seorang pemimpin melanggar nilai-nilai moral, diyakini bahwa pulung tersebut dapat hilang, dan ia kehilangan legitimasi untuk memimpin.

Pulung sering digambarkan sebagai cahaya atau sinar yang turun dari langit, yang mungkin hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki penglihatan spiritual atau oleh orang-orang yang memiliki koneksi kuat dengan dunia “langit”. Ada berbagai cerita rakyat yang menggambarkan pulung sebagai “bola cahaya” yang turun ke seseorang, atau sebagai tanda-tanda tertentu di alam seperti fenomena alam, suara, atau mimpi yang dianggap sebagai pertanda Ilahi. Fenomena pulung juga seringkali dijelaskan dengan tanda-tanda alam yang tidak biasa, seperti munculnya bintang jatuh atau cahaya yang terlihat di atas tempat tertentu.

Dalam tradisi kerajaan dan kepemimpinan Jawa, konsep pulung menjadi salah satu dasar untuk menentukan apakah seseorang layak menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, pemimpin tidak hanya dipilih berdasarkan garis keturunan, tetapi juga karena mereka dianggap menerima pulung dari kekuatan Ilahi. Hal ini menciptakan hubungan yang erat antara kekuasaan politik dan spiritualitas, dimana seorang pemimpin yang baik harus bisa menjaga harmoni antara dunia material dan dunia spiritual.

Pada kehidupan masyarakat Jawa, pulung masih diyakini sebagai elemen penting dalam memilih pemimpin, baik dalam skala kecil seperti desa hingga dalam skala besar seperti kerajaan atau negara. Pemimpin yang memiliki pulung dianggap mampu memimpin dengan lebih bijaksana, adil, dan membawa kesejahteraan bagi orang-orang di bawah kepemimpinannya.

Semua di atas menyisakan satu pemikiran bahwa kecenderungan kehilangan pulung atau berpindahnya pulung kepada orang lain; itu bukan wilayah manusia, tetapi lebih pada wilayah keilahian. Oleh karena itu sebagai rakyat kebanyakan tidak harus terjebak dalam situasi yang tanpa solusi; karena manakala kita memaksakan diri terhadap sesuatu, itu menunjukkan kita tidak mengakui kodrat yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu mari kita bersama menyadari bahwa menjadi pemimpin itu tidak cukup berbekal jumlah suara yang dikumpulkan saat pemilihan saja, akan tetapi ada Yang Maha Berkehendak untuk menjadikan kita sesuatu di muka bumi ini. Tidak ada peristiwa yang kebetulan karena skenario itu ditulis sebelum kita lahir di alam ini. Soal bagaimana-pun caranya kita tidak akan mengetahui, karena ketentuan berikut cara itu satu paket dengan ketentuan takdir-Nya. Kita harus yakin bahwa pemimpin yang akan dilantik untuk memimpin negeri ini memang ada dalam garis kodrat yang sudah ditentukan, serta akan membawa kebermanfaatan bagi kita semua; tinggal dari sudut padang mana yang akan kita ambil. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Katalog buku Asi dan Motivasi

Buku : Asi dan Motivasi

Penulis :

  1. Aryanti Wardiyah.,Ns.M.Kep.Sp.Kep.,Mat
  2. Neneng Siti Latifah, SST., M.Kes
  3. Nova Nurwindasari.,Ns, M.Kep
  4. Miranti, Ns.,M.Kep

Sinopsis: Buku ini membahas tentang ASI dan Motivasi ASI. Penulisan buku ini merupakan ide dan gagasan atas pemenuhan penulis dalam melaksanakan tugas sebagai dosen dalam menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, dari penelitian, pengabdian Masyarakat, dan Pengajaran. Buku ini membahas tentang TREND DAN ISSUE MASALAH MENYUSUI, KONSEP ASI,PATOFISIOLOGI KELUARNYA ASI,MANFAAT ASI hingga TIPS-TIPS MENYUSUI YANG ASIK.

Inovasi Dosen Universitas Malahayati: Program Pendampingan UMKM Biqa Batik Tingkatkan Daya Saing dan Ciptakan Strategi Digital Marketing

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id) : Peningkatan omset UMKM kini semakin terdengar tantangannya, salah satunya melalui pemanfaatan Digital Marketing. Selain itu, peran pendampingan dari para pengajar juga menjadi kunci penting dalam membantu UMKM naik kelas. Dosen Universitas Malahayati, Dr. Febrianty, SE, M.Si., bersama tim Lestari Wuryanti, SE, MM, dan Rezania Agramanisti Azdy, S.Kom., M.Cs., telah memainkan peran penting dalam meningkatkan omset UMKM di wilayah Lampung , terutama melalui pemanfaatan Digital Marketing. Melalui Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) dari DRTPM Kemdikbudristek, mereka menawarkan solusi komprehensif yang membantu UMKM naik kelas.

Program ini didanai oleh DRTPM Kemdikbudristek dengan Nomor: 065/E5/PG.02.00/PM.BATCH.2/2024, Tanggal 01 Agustus 2024, serta melalui kontrak turunan antara LLDIKTI Wilayah II dengan Universitas Malahayati Nomor 959/LL2/AL.04/ PM/2024 tanggal 8 Agustus 2024. Pendanaan ini memungkinkan terlaksananya berbagai pelatihan dan pendampingan yang berdampak positif pada UMKM mitra Biqa Batik Lampung.

“UMKM Biqa Batik kini lebih mudah menyajikan produk Batik Cap Motif Lampung melalui branding dan pemasaran digital,” ujar Dr. Febrianty, SE, M.Si. Program ini tidak hanya membantu memperkenalkan produk mitra secara lebih luas, tetapi juga meningkatkan daya saing melalui strategi pemasaran digital.

Dalam program ini, tim PKM juga memberikan bantuan berupa alat produksi seperti 2 buah gawangan kayu, 3 panci pelorodan, 1 bak celup knockdown yang sudah dimodifikasi secara khusus, dan 4 buah canting cap motif. “Kami juga melaksanakan pelatihan langsung selama 8 bulan terkait penggunaan aplikasi e-inventory dan e-katalog Biqa Batik, yang dapat diakses melalui website (biqabatiklampung.com). Pengembangan aplikasi ini memakan waktu 2 bulan,” tambah Febrianty.

Keberhasilan program ini ditandai dengan beberapa indikator, seperti peningkatan daya saing, penerapan teknologi tepat guna (TTG), serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan mitra dalam manajemen usaha dan strategi pemasaran. “Hasil kunjungan dan pendampingan menunjukkan adanya peningkatan omset sebesar 30%, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan manajemen usaha hingga 80%. Mitra kini telah menggunakan aplikasi e-inventory untuk pengelolaan persediaan dan e-katalog untuk memasarkan atau mempromosikan produk Batik Cap Motif Lampung,” jelas Febrianty.

Lebih lanjut, prosedur kerja PKM ini meliputi tahapan analisis situasi mitra, sosialisasi, pelatihan, pendampingan, hingga evaluasi. “Peningkatan signifikan terjadi pada aspek manajemen usaha sebesar 90%, pemasaran 87%, dan penerapan IPTEK mencapai 85%,” tutupnya.

Dengan dukungan Program PKM Direktorat Akademik Pendidikan Tinggi Vokasi, UMKM Biqa Batik diharapkan dapat terus berkembang dan bersaing di pasar yang lebih luas, meningkatkan omset usaha, serta memperkuat branding melalui pemanfaatan teknologi digital. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Selamat kepada Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., dilantik sebagai Anggota DPR RI Periode 2024-2029

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Civitas Akademika Universitas Malahayati Bandar Lampung mengucapkan selamat dan sukses kepada Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H. atas pelantikannya sebagai Anggota DPR RI Periode 2024 – 2029 dari Daerah Pemilihan Lampung I. Pelantikan tersebut dilaksanakan pada 1 Oktober 2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Pelantikan ini menandai periode kedua Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H. sebagai Anggota DPR RI, setelah sebelumnya menjabat pada periode 2019-2024. Keberhasilannya kembali terpilih merupakan bukti nyata kepercayaan yang diberikan masyarakat Lampung atas dedikasi dan perjuangan yang konsisten dalam menyuarakan aspirasi daerah.

Dalam kesempatan ini, Civitas Akademika Universitas Malahayati berharap agar amanah yang kembali dipercayakan kepada Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H. dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Semoga keberadaannya di parlemen dapat terus membawa perubahan positif serta kemajuan bagi bangsa dan negara, khususnya bagi masyarakat Lampung. (*)

Membersihkan Jalan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang itu begitu terik dan baru bisa masuk kekampus setelah menghadiri upacara pelantikan organisasi profesi guru terbesar di negeri ini.  Tentu saja dengan bercucuran keringat harus mencapai lantai lima tempat berkantor.  Dalam perjalan mencapai ruang kerja melihat ke bawah nun jauh di sana tampak petugas kebersihan sedang membersihkan jalan. Mereka tidak peduli dengan teriknya matahari tampak raut wajah ihlas dalam melakoni kehidupannya dengan penuh kesungguhan.

Merenungkan kejadian itu melihat tukang pembersih jalan yang mengerjakan pekerjaannya dengan melangkah mundur, bukan maju. Ternyata jika dipahami secara mendalam peristiwa itu mengandung maksud bahwa semua didunia ini kejadiannya selalu merupakan “pembersihan jalan untuk dilalui oleh peristiwa lainnya”. Hal ini menbuat pertanyaan banyak orang karena berpersepsi peristiwa yang lalu itu sering di posisikan baik dan tidak baik. Jelas ini adalah jalan berfikir yang keliru; yang benar adalah peristiwa kemudian itu selalu menjadi pengkoreksi atau pelengkap, bisa jadi berkesinambungan dari peristiwa sebelumnya. Sama halnya tukang sapu yang selalu berjalan mundur karena beliau harus menyisihkan, menghimpun semua hal yang dianggap kotor atau diposisikan kotor.

Agar lebih paham, maka kita bisa menelisiknya dari ranah filsafat ; ungkapan “membersihkan jalan” dapat memiliki makna yang mendalam dan simbolis. Filsafat sering dianggap sebagai disiplin yang berupaya menggali dan mengklarifikasi konsep-konsep, asumsi, dan cara berpikir yang tersembunyi atau tidak disadari. Berikut adalah beberapa cara bagaimana makna “membersihkan jalan” bisa dipahami dalam filsafat:

Pertama, Membersihkan Jalan dari Prasangka dan Dogma: Salah satu fungsi utama filsafat adalah mempertanyakan asumsi dasar yang sering diterima begitu saja oleh masyarakat atau individu. “Membersihkan jalan” dalam konteks ini berarti menghilangkan prasangka, kepercayaan dogmatis, atau keyakinan tanpa dasar yang menghalangi jalan menuju pemikiran kritis dan independen. Seorang filsuf, seperti Descartes, dalam metode keraguannya, mencoba “membersihkan” segala asumsi yang tidak bisa dipastikan agar bisa menemukan dasar kebenaran yang lebih kuat.

Kedua, Menyederhanakan Kerumitan: Filsafat sering kali berurusan dengan masalah yang rumit dan kompleks. “Membersihkan jalan” bisa berarti memecah masalah yang rumit menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana dan bisa dipahami. Melalui proses analisis, filsafat membersihkan jalan menuju pemahaman yang lebih baik, tanpa tersesat dalam kerumitan yang tidak perlu.

Ketiga, Mengeliminasi Kontradiksi dan Kekacauan Konseptual: Dalam filsafat analitik, misalnya, “membersihkan jalan” bisa berarti menjernihkan konsep-konsep yang tidak jelas atau bertentangan. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa argumen-argumen dibangun di atas dasar yang logis dan konsisten. Filosof seperti Ludwig Wittgenstein berfokus pada membersihkan bahasa dan pemahaman dari kekacauan konseptual yang dapat menghalangi pemahaman tentang dunia.

Keempat, Persiapan Menuju Pemahaman yang Lebih Tinggi: “Membersihkan jalan” juga bisa dimaknai sebagai tindakan persiapan mental dan intelektual. Sebelum mencapai pencerahan atau pemahaman mendalam, seseorang harus melewati tahap di mana jalan yang menuju kebenaran dibersihkan dari gangguan, kebingungan, atau asumsi yang salah. Dalam tradisi filsafat Timur, seperti Zen, membersihkan pikiran dari pemikiran yang terikat ego adalah bagian penting dari perjalanan spiritual menuju pencerahan.

Kelima, Memfasilitasi Dialog Filosofis yang Terbuka: Filsafat juga melibatkan dialog yang jujur dan terbuka. “Membersihkan jalan” dalam konteks ini dapat berarti membangun ruang bagi percakapan yang tidak terhalang oleh kesalahpahaman, manipulasi, atau argumen yang tidak jujur. Filosof berusaha membersihkan komunikasi untuk memungkinkan pertukaran ide yang murni dan berbobot.

Dalam semua konteks ini, “membersihkan jalan” dalam filsafat pada dasarnya mengacu pada upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mencegah seseorang mencapai pengetahuan yang lebih jelas, kebijaksanaan, atau pencerahan moral dan intelektual. Sementara dalam filsafat Islam yang dimaksud dengan “membersihkan jalan” dapat dipahami dalam konteks pencerahan intelektual dan spiritual yang memberikan panduan bagi seseorang untuk menjalani hidup sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan kebenaran. Dalam filsafat Islam, “membersihkan jalan” bisa merujuk pada proses pemurnian hati, pikiran, dan perilaku melalui pengetahuan, logika, dan ajaran moral yang berdasarkan pada wahyu Ilahi dan pemikiran rasional.

Beberapa pemikir dalam tradisi filsafat Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Al-Ghazali, menekankan pentingnya pengetahuan sebagai sarana untuk mencapai kebijaksanaan dan kebenaran. Pengetahuan ini berfungsi untuk “membersihkan” pikiran dari kesalahan atau pandangan yang salah, serta membimbing seseorang menuju kehidupan yang lebih etis dan harmonis dengan tujuan hidup yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan.

Secara spiritual, “membersihkan jalan” juga bisa dikaitkan dengan konsep tasawuf (sufisme), di mana pembersihan hati dan jiwa dari hasrat duniawi adalah langkah penting menuju kedekatan dengan Tuhan. Dalam konteks ini, filsafat Islam berperan sebagai panduan intelektual dan spiritual dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan kata lain, filsafat Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan dan kebenaran sejati, seseorang perlu membersihkan jalannya—baik melalui peningkatan pemahaman rasional maupun melalui disiplin spiritual. Jadi, secara filosofis, “membersihkan jalan” bukan sekadar tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai ketekunan, kejelasan, tanggung jawab, dan kesadaran diri dalam menjalani kehidupan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Titip Asa, Jangan Bus Harapan Jaya Lebih Pasti dari Harapan Pilkada

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Minggu lalu, saya “berpetualang” menjadi relawan untuk mengedukasi para orangtua siswa kelas sepuluh (SMA) tentang bagaimana mendampingi anak-anak remaja yang sedang tumbuh di perbatasan Lampung-Sumatera Selatan.

Betul-betul berpetualang, isteri yang setia membantu mengemudikan kendaran menyelusuri jalan provinsi yang hancur lebur. Bayangkan, jalan 30 km harus ditempuh 1,5 jam dengan mobil tahun 2022.

Rasanya, tak pantas jalan provinsi itu disebut jalan, saya melihat dan merasakan lebih tepat jalan tersebut disebut sungai yang mengering. Jika berpapasan dengan truk, terpaksa minggir tak bisa bersamaan.

Perjuangan kami sampai di lokasi akhirnya terbayar dengan antusiasme orangtua siswa yang begitu tinggi. Mereka tidak beranjak sama sekali dari tempat pertemuan kurang lebih dua jam.

Selesai acara, kami meninggalkan lokasi melalui jalan lain yang menurut informasi tidak lebih baik dari jalan sebelumnya. Dasar jiwa aponturir, tak perlu berpikir, kami berdua memilih jalan alternatif dengan menyiapkan mental.

Benar saja jalan itu tidak lebih baik dari jalan kami datang. Bahkan, untuk beberapa lokasi, lebih parah lagi. Saat jeda selesai menunaikan Salat Jumat, kami berdua membuka dialog dengan warga yang topiknya jalan.

Berdasarkan informasi yang kami terima, dua periode kepemimpinan gubernur, jalan tersebut belum tersentuh pembangunan.

Sementara dana desa yang mereka miliki tidak dapat digunakan untuk perbaikan, akhirnya dengan gotong royong seadanya mereka menambal jalan yang amat parah.

Sepulang dari lokasi melalui piranti sosial melakukan pemetaan keadaan jalan dengan informannya mantan mahasiswa pasca yang sekarang tersebar di banyak daerah perbatasan.

Semua mereka menginformasikan hancurnya sarana jalan, bahkan ada diantara mereka untuk mencapai tempat tugas harus masuk dari provinsi tetangga. Pertanyaannya apa yang sudah dikerjakan wahai pemimpin negeri ini.

Saya ingatkan kepada calon kepala daerah janganlah dekati rakyat manakala Anda berhasrat saja. Jika selesai hajat, rakyatpun Anda babat. Perilaku seperti itu adalah zolim dalam ukuran moral dan etika.

Belajar dari Penjabar Gubernur Lampung Samsudin yang hanya memerintah seumur jagung, namun sudah banyak yang diukir oleh Beliau tanpa banyak janji, tetapi lebih mengedepankan bukti.

Siapapun Anda yang akan mendapatkan amanah memimpin daerah ini, titip pesan dengarkan suara batin dari kami rakyat jelata. Kami tak muluk-muluk tolong perhatikan jalan daerah kami, karena kamipun rakyat Anda dan akan memilih Anda.

Kami tidak perlu janji, akan tetapi bukti; jangan pula kami diintimidasi hanya karena Anda tidak sanggup memenuhi harapan kami. Bukan kami mengadili dari yang sudah terjadi, namun kami mengingatkan kembali tugas pemimpin negeri yang terpilih nanti.

Kami-pun paham PAD daerah ini tidak besar, berbeda dengan provinsi tetangga. Namun skala prioritas pada jalan agar terjadi mobilitas, yang akhirnya akan terjadi “efek menetes ke bawah” insya Allah akan terjadi.

Kami tidak ingin mengkuliahi, apalagi mengajari; karena kami sadar siapa diri. Namun jika harap-pun sudah tak boleh, buat apa lagi Anda berharap dihadapan kami.

Pemilukada harus ada, tetapi setelah ada jangan pula menjadi tiada.
Kami juga tidak meminta Anda untuk berjanji, tetapi kami berharap Anda mau memberi.

Jangan sampai terjadi anak muda bilang “menunggu datangnya Bus Harapan Jaya itu lebih pasti dari pada menanti harapan hampa dari Pilkada. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Pengumuman Penting UTS bagi Mahasiswa Angkatan 2018-2023!

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Halo Sahabat Unmal..Universitas Malahayati mengumumkan ketentuan pelaksanaan Ujian Tengah Semester (UTS) bagi mahasiswa angkatan 2018-2023. Mahasiswa diwajibkan untuk mempersiapkan diri dengan baik dan memastikan semua syarat administrasi telah terpenuhi. Yuk cek disini ketentuan dan pengumuman pengambilan kartu uts angkatan lama

Editor: Gilang Agusman

Bersih Diri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Bulan September adalah bulan mengenangkan sejarah tragedi berdarah yang terjadi di negeri ini; yaitu adanya peristiwa Pemberontakan yang bernama Gerakan 30 September, yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia di tahun 1965. Saat itu korbannya adalah para jenderal terbaik negeri ini yang dibunuh secara keji di Lubang Buaya. Luka sejarah ini menjadi catatan kelam bangsa yang tidak dapat dilupakan kapanpun, terlepas dari perbedaan sudut pandang dalam melihat peristiwa.

Peristiwa itu juga meninggalkan jejak sejarah lainnya, yaitu pemerintah pada waktu itu mensyaratkan kepada siapapun di negeri ini, jika ingin menjadi pegawai pemerintah, tentara, dan kepolisian atau pejabat apapun dia; harus mengantongi surat “bersih diri”, yaitu surat yang menerangkan bahwa diri dan keluarganya, ayah dan ibu, tidak terkontaminasi dengan ajaran komunis. Bahkan untuk tentara dan kepolisian dan beberapa instansi lain lebih ketat lagi harus ada juga surat “bersih lingkungan” yaitu surat yang menyatakan keluarga besar yang bersangkutan tiga generasi ke atas, tiga generasi ke bawah, tiga ke kiri dan kanan (paman, mertua, saudara ipar, sepupu dll) tidak terindikasi ajaran komunis.

Terlepas dari implikasi atau konsekuensi dari aturan itu, tulisan ini tidak membahasnya, akan tetapi fokus pada masalah konsep “bersih diri” dari makna yang lebih dalam lagi, yaitu kajian filsafat manusia. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi, konsep “bersih diri” dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, seperti etika, spiritualitas, dan eksistensialisme.

Berikut beberapa pandangan yang berkaitan dengan konsep ini: Pertama, Etika dan Moralitas. Dalam konteks etika, “bersih diri” sering dikaitkan dengan kesucian moral, di mana seseorang dianggap bersih jika mereka hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang baik. Dalam hal ini, kebersihan diri bukan hanya menyangkut fisik, tetapi juga sikap, pikiran, dan tindakan yang bebas dari korupsi, kejahatan, atau niat jahat. Filosof seperti Immanuel Kant menekankan pentingnya niat baik dalam tindakan, di mana kebersihan moral tercermin dari tindakan yang didorong oleh rasa kewajiban dan penghargaan terhadap orang lain sebagai tujuan, bukan sarana.

Kedua, Spiritualitas. Dalam banyak tradisi agama dan filsafat spiritual, konsep kebersihan diri sering dikaitkan dengan kesucian jiwa. Tradisi Sufisme dalam Islam, misalnya, berbicara tentang pentingnya penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) sebagai jalan menuju kedekatan dengan Tuhan.

Ketiga, Eksistensialisme. Dalam filsafat eksistensialisme, seperti yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre, “bersih diri” mungkin tidak secara langsung dibahas dalam hal moralitas atau spiritualitas, tetapi lebih sebagai kondisi eksistensial seseorang. Menurut eksistensialisme, manusia bertanggung jawab atas kebebasan mereka untuk menentukan makna dan arah hidup. Kebersihan diri bisa diartikan sebagai kejujuran radikal terhadap diri sendiri—otentisitas. Dalam hal ini, seseorang dianggap “bersih” ketika ia hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dipilihnya sendiri dan tidak hidup dalam ketidakotentikan atau penyangkalan diri.

Keempat, Fenomenologi dan Kesadaran Diri. Edmund Husserl dan pengikutnya dalam aliran fenomenologi membahas kebersihan diri dalam konteks kesadaran dan niat (intentionality). Kebersihan diri dalam konteks ini berkaitan dengan kejernihan dalam pengalaman dan persepsi manusia terhadap dunia di sekitar mereka. Pengalaman manusia haruslah murni dari prasangka, interpretasi yang kabur, atau ilusi, sehingga memungkinkan seseorang melihat realitas dengan lebih jelas.

Kelima, Konsep Dualisme dalam Pikiran dan Tubuh. Filsuf seperti René Descartes yang berargumen tentang dualisme pikiran dan tubuh, melihat kebersihan diri dalam hal pikiran yang jernih. Kebersihan pikiran, bagi Descartes, adalah kunci untuk mencapai kebenaran, di mana seseorang harus membersihkan pikirannya dari segala keraguan dan prasangka agar dapat mencapai pengetahuan yang pasti.

Keenam, Praktik Sosial dan Politis. Dalam konteks sosial dan politik, kebersihan diri bisa dihubungkan dengan integritas dan tanggung jawab sosial. Filsuf seperti John Stuart Mill berbicara tentang pentingnya kemerdekaan moral individu di dalam masyarakat yang berfungsi baik. Kebersihan diri dalam konteks ini berkaitan dengan tidak memanipulasi, tidak menciderai hak orang lain, dan hidup dengan etika publik yang bersih.

Secara keseluruhan, konsep “bersih diri” dalam filsafat manusia melibatkan dimensi moral, spiritual, eksistensial, dan kesadaran, dengan fokus pada bagaimana individu menjaga kebersihan batiniah, moralitas, dan integritas mereka dalam berhubungan dengan diri sendiri, masyarakat, dan dunia. Semua ini mudah di tulis dan diucapkan, namun pada tataran implementasi sangat sulit dilakukan karena dituntut kesadaran diri dan mawas diri yang lebih tinggi sangat diperlukan. Tidak salah jika orang bijak berpesan “sejauh manusia masih memijakkan kakinya di bumi, maka salah dan alpa merupakan pakaian hidupnya”.

Pokok utamanya adalah setelah kita menyadari akan kesalahan dan kealpaan, segeralah meminta maaf dan bertaubat, karena kesempatan itu tidak akan terulang dua kali. Selagi nyawa masih dikandung badan maka bersegeralah dalam kebaikan, karena dengan pahala, salah, dan dosa-lah Tuhan meneguhkan keberadaan kita sebagai manusia ciptaan-NYA. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Lewat Jalan Sebelah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu atas dasar panggilan kepedulian terhadap dunia pendidikan, maka pagi menjelang siang melakukan edukasi kepada masyarakat bagaimana pentingnya memperhatikan pendidikan siswa kelas sepuluh di Sekolah Lanjutan Atas pada wilayah perbatasan provinsi. Oleh karena ini menyangkut aspek pemahaman dan pendampingan dari orang tua, maka sasaran edukasi adalah orang tua siswa, yang rata-rata mereka banyak belum memahami bagaimana karakteristik anak-anaknya. Peran serta mereka untuk berpartisipasi baik material maupun non-material kepada keberlangsungan pendidikan sangat diperlukan.

Bisa dibayangkan satu Sekolah Menengah Atas yang seorang siswa ditanggung oleh negara hanya satu koma lima juta, sementara pemerintah sendiri menetapkan bahwa per-siswa diperlukan alokasi dana sebesar lima koma empat juta untuk biaya pendidikan; kemudian upaya sisanya diserahkan kepada sekolah bersama masyarakat. Bersamaan dengan itu pemerintah sendiri mencanangkan pendidikan gratis.

Tentu ini membuat kepala sekolah dan komite harus putar otak bahkan main akrobat; satu sisi pendidikan dituntut harus bermutu, disisi lain tidak boleh memungut biaya; padahal biaya standard pemerintah sendiri menetapkan. Kekurangannya pemerintah angkat tangan bahkan cenderung tutup mata. Belum lagi ada aturan dari kementerian lainnya yang melarang penggunaan dana bantuan untuk keperluan kesejahteraan. Ironisnya lagi jika meminta bantuan partisipasi masyarakat orang tidak paham menjadi sok paham dan akhirnya gagal paham.

Sebelum acara inti dimulai, maka ada semacam pertemuan informal dengan para guru; tidak sengaja pertemuan itu menjadi acara reuni kecil pascasarjana, sebab hampir semua mereka adalah alumni pascasarjana yang pernah menjadi asuhan penulis. Ada yang menarik dari mereka adalah, ada diantara mereka saat menuju ketempat tugas di sekolah wilayah perbatasan, ternyata untuk mencapai lokasi harus pergi terlebih dahulu ke provinsi tetangga, kemudian baru masuk ke wilayah tugasnya. Waktu dikonfirmasi mengapa harus melakukan itu, ternyata jalan provinsi yang masuk ke wilayah kerjanya hancur. Selama yang bersangkutan dinas di wilayah itu belum pernah ada pihak provinsi yang mengunjungi apalagi untuk memperbaiki. Lebih parah lagi jika kondisi itu musim hujan, maka perjuangan semakin berat. Waktu didesak dengan pertanyaan apakah selama pergantian gubernur berkali-kali tidak ada perhatian sama sekali dengan infrastruktur jalan; yang bersangkutan tidak menjawab dengan kata akan tetapi dengan senyum khas dengan seribu makna.

Dalam konteks filsafat, “jalan sebelah” bisa merepresentasikan metode atau perspektif yang kurang konvensional atau kurang umum dibandingkan dengan yang biasa diambil oleh orang-orang pada umumnya. Filsafat sering kali menantang kita untuk memikirkan hal-hal dari sudut pandang yang berbeda, menemukan makna di luar yang terlihat jelas.

Ternyata aplikasi mata kuliah Filsafat Ilmu pada konteks berkarya pada masyarakat sangat membantu untuk mengambil sudut pandang cara berfikir. Beberapa hal menjadi semacam panduan berfikir praksis keilmuan yang muncul, diantaranya: Pertama, pendekatan non-konvensional, yaitu menghadapi kehidupan dengan cara yang berbeda dari norma atau tradisi umum. Misalnya, seseorang mungkin memilih jalur kehidupan yang tidak mengikuti standar sosial biasa (seperti karier tradisional, gaya hidup mapan, dll.), tetapi tetap menemukan makna dan kebahagiaan dengan cara mereka sendiri.

Kedua, pikiran terbuka, yaitu menerima banyak perspektif dan tidak terpaku pada satu cara berpikir. “Lewat jalan sebelah” bisa berarti membuka diri terhadap filosofi, ideologi, atau pandangan hidup yang mungkin berbeda atau asing bagi mayoritas orang. Ketiga, fleksibilitas dan adaptasi. Ini juga bisa berarti cara pandang yang fleksibel, di mana seseorang siap untuk berubah dan menyesuaikan diri tergantung pada situasi yang dihadapi. Alih-alih memaksa diri melalui jalan utama yang mungkin penuh tantangan, seseorang memilih jalan lain yang lebih sesuai dengan keadaan dan tujuan mereka.

Keempat, kreativitas dalam pemecahan masalah hidup. Kadang-kadang, “jalan sebelah” bisa menggambarkan solusi yang lebih kreatif atau out of the box. Dalam menghadapi kesulitan hidup, individu mungkin menemukan cara-cara baru untuk mengatasi masalah, yang pada akhirnya membentuk pandangan hidup yang lebih dinamis.

Pandangan seperti ini mengajarkan bahwa hidup tidak selalu harus dihadapi dengan cara yang sudah ditetapkan, melainkan ada banyak “jalan” yang bisa diambil, dan setiap jalan menawarkan pandangan yang unik. Termasuk Pak Guru dan Ibu Guru yang nun jauh diperbatasan sana; mereka berjuang mendidik anak-anak bangsa ini dengan segala macam keterbatasan, baik dalam pengertian sarana-prasarana, juga keterbatasan pemahaman orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Mereka bekerja dalam sepi tetapi mengabdi dalam kekhusukan, berterima akan rezeki dengan kelapangan. Mereka tidak butuh akan pujian, apalagi sanjungan, tetapi mereka bekerja tetap dalam ketulusan. Oleh karena itu jika kita dalami secara filsafat maka filosofi bekerja dalam sepi menekankan pada konsep bekerja dengan fokus, tekun, dan tidak mencari pengakuan atau perhatian dari orang lain. Ada beberapa makna mendalam yang terkandung dalam filosofi ini: Pertama, fokus pada proses, bukan hasil. Orang yang bekerja dalam sepi cenderung lebih menghargai proses daripada hasil akhirnya. Mereka mengerjakan tugas-tugas dengan sepenuh hati tanpa terlalu banyak mengejar pengakuan eksternal, karena bagi mereka, kepuasan batin datang dari kesempurnaan usaha, bukan dari pujian.

Kedua, kesederhanaan dan keikhlasan. Bekerja dalam sepi mencerminkan kesederhanaan dalam bertindak dan ketulusan dalam bekerja. Tidak ada dorongan untuk menonjolkan diri atau menunjukkan hasil kerja secara demonstratif. Hal ini mengajarkan bahwa pekerjaan yang baik tidak selalu perlu dipublikasikan, tapi cukup dinikmati secara pribadi atau dalam lingkup yang terbatas.

Ketiga, ketenangan batin dan disiplin. Dengan bekerja dalam sepi, seseorang belajar untuk tetap tenang dan fokus meskipun tanpa pengawasan atau pujian. Ini mengembangkan disiplin diri, di mana motivasi berasal dari dalam diri, bukan dari dorongan eksternal.

Keempat, peningkatan kualitas diri. Bekerja dalam sepi juga sering dikaitkan dengan pengembangan diri yang mendalam. Karena tanpa gangguan dari luar, seseorang lebih mampu untuk merenung dan memahami dirinya sendiri. Ini memberikan kesempatan untuk terus belajar dan memperbaiki kualitas pekerjaan serta karakter diri.

Kelima, kebijaksanaan dan keteguhan. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan sering kali lahir dari kesunyian, dari ruang untuk berpikir dan mendalami makna pekerjaan. Keteguhan hati untuk bekerja meskipun tidak ada sorotan melatih ketangguhan mental dan ketekunan.

Bekerja dalam sepi mengajarkan nilai bahwa hasil terbaik sering kali lahir dari upaya yang tulus, konsisten, dan tidak bergantung pada validasi eksternal. Sekalipun harus melewati jalan sebelah dalam pengertian wilayah orang lain, tetapi karena dorongan kemulyaan pekerjaan yang dipandang sebagai ibadah, maka keberkahan akan menanti dari setiap langkah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman