Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore menjelang petang hampir dapat dipastikan bahwa lantai dasar gedung megah tempat bekerja ini, dipenuhi oleh para karyawan yang akan absen elektronik sebagai penanda waktu pulang. Ada seorang bapak yang sudah siap lebih awal, dan saat diajak berbincang dan diberi pertanyaan “mengapa tampak tergesa-gesa ingin cepat pulang”. Beliau dengan senyum sumringah menjawab “rumah tempat pulang, bukan tempat perang, maka membuat saya rindu pulang”. Jawaban itu sepintas tampak berisi gurauan, namun sejatinya jika kita mau merenungkan sejenak, jawaban itu sangat benar adanya. Untuk itu mari kita bahas dari kacamata filsafat kontemporer.
Eksistensialisme, yang berkembang kuat melalui pemikiran Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Martin Heidegger, memandang bahwa manusia tidak semata-mata “ada” dalam ruang fisik, melainkan menciptakan makna dari ruang tersebut melalui pengalaman. Heidegger dalam karyanya Building, Dwelling, Thinking membedakan antara “tinggal” (dwelling) dan sekadar “bertempat”. Menurutnya, manusia bukan hanya menempati rumah, tetapi hidup dan mengalami keberadaan di dalamnya. Rumah adalah tempat “menjadi manusia”, tempat kita mewujudkan diri secara autentik.
Namun, dalam kondisi modern seperti sekarang, rumah sering kehilangan makna eksistensial ini. Dalam banyak kasus, rumah menjadi tempat keterasingan (alienation) karena relasi antar anggotanya dibangun atas dasar dominasi, keharusan sosial, atau ekspektasi yang tidak manusiawi. Sartre menyebut ini sebagai “hidup dalam pandangan orang lain”; di mana kehadiran orang lain di rumah tidak membebaskan, tetapi menekan eksistensi kita. Maka ketika rumah menjadi tempat perang, itu mencerminkan krisis eksistensial: rumah tidak lagi menjadi ruang otentik untuk menjadi diri sendiri, melainkan medan pertempuran antara kehendak yang saling mendominasi.
Maurice Merleau-Ponty, melalui fenomenologi, menekankan pentingnya pengalaman langsung dan kesadaran embodied. Rumah bukan hanya tempat tinggal secara objektif, tetapi dialami secara mendalam oleh tubuh dan kesadaran manusia. Bagi anak-anak, misalnya, rumah adalah tempat pertama mereka memahami dunia: melalui rasa aman, kasih ibu, atau teguran ayah. Namun ketika rumah penuh dengan kekerasan, makna fenomenologis itu berubah. Tubuh merekam trauma, ketegangan, dan rasa takut sebagai bagian dari rumah. Maka, rumah tak lagi menjadi tempat kembali, melainkan tempat yang ingin dihindari. Oleh karena itu fenomenologi menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana makna rumah dibentuk dalam keseharian: apakah sebagai pelukan yang menenangkan, atau sebagai bentakan yang mematahkan. Ketika rumah kehilangan kualitas kehadiran yang menenangkan, maka manusia kehilangan tempat untuk “menjadi” secara utuh.
Sementara itu, feminisme kontemporer, terutama melalui pemikir seperti Simone de Beauvoir, Bell Hooks, dan Judith Butler, melihat rumah bukan hanya sebagai ruang privat, tetapi sebagai arena politik. Di dalam rumah, struktur patriarki sering direproduksi secara sistematis. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex menyatakan bahwa perempuan sering dijadikan “the Other” dalam hubungan rumah tangga. Mereka ditentukan oleh peran domestik yang mengikat: istri yang patuh, ibu yang mengabdi, pelayan yang tak terlihat. Oleh sebab itu dalam banyak rumah modern, “perang” yang terjadi adalah manifestasi dari ketimpangan gender: dominasi suami atas istri, eksploitasi kerja rumah tangga tanpa pengakuan, kekerasan dalam rumah tangga yang dibungkam atas nama budaya. Feminisme menolak anggapan bahwa rumah adalah ruang netral; ia adalah tempat kekuasaan bekerja dalam sunyi. Bell Hooks dalam Feminist Theory: From Margin to Center menekankan bahwa transformasi rumah hanya bisa terjadi jika struktur kekuasaan di dalamnya direkonstruksi; dari yang hierarkis menjadi egaliter. Rumah yang damai adalah rumah yang membebaskan semua penghuninya, tanpa paksaan peran yang kaku.
Dalam masyarakat modern, rumah sering kali dibebani dengan ekspektasi material: memiliki rumah besar, interior mewah, perabot mahal. Ini menjadikan rumah sebagai komoditas, bukan tempat kebermaknaan. Pertikaian dalam rumah tangga sering kali berakar dari tekanan ekonomi, tuntutan gaya hidup, atau kegagalan memenuhi standar sosial.
Marcuse berbicara tentang “one-dimensional man”, yaitu manusia yang kehilangan kapasitas kritis karena tenggelam dalam sistem. Dalam konteks rumah, anggota keluarga menjadi satu dimensi: ayah sebagai pencari nafkah, ibu sebagai pengurus rumah, anak sebagai produk pendidikan. Peran-peran ini, jika tidak dikritisi, akan melanggengkan ketegangan karena menekan keragaman potensi manusia.
Dalam dunia postmodern, identitas menjadi cair. Rumah tidak lagi menjadi pusat kehidupan yang tetap, karena mobilitas tinggi, digitalisasi, dan disintegrasi keluarga tradisional. Dalam pandangan postmodernisme (melalui pemikir seperti Jean Baudrillard dan Zygmunt Bauman), rumah bukan lagi tempat menetap, tetapi menjadi simbol simulasi; dipoles untuk media sosial, bukan untuk kenyamanan. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai “simulacra”; di mana rumah terlihat bahagia di permukaan (foto keluarga, dekorasi mewah), tetapi kosong secara emosional. Dalam realitas ini, rumah bisa menjadi tempat perang dingin: komunikasi digital menggantikan dialog, performa menggantikan keintiman.
Zygmunt Bauman malah menyebut masyarakat saat ini sebagai “liquid modernity”; di mana semua relasi menjadi rapuh dan fleksibel. Rumah bukan lagi tempat stabil, karena keluarga bisa bubar kapan saja, berpindah kota, atau terpisah ruang oleh teknologi. Dalam dunia cair ini, kita perlu lebih sadar bahwa menjaga rumah sebagai tempat pulang adalah proyek sadar, bukan sesuatu yang terjadi otomatis.
Banyak filsuf kontemporer sepakat bahwa rumah adalah proyek etis; yaitu ruang yang perlu dibangun dengan kesadaran, niat, dan nilai-nilai yang membebaskan. Emmanuel Levinas, misalnya, menekankan etika wajah: melihat yang lain (anggota keluarga) bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang harus dihormati. Kehidupan rumah tangga yang damai lahir dari interaksi etis: saling mendengarkan, tidak memaksakan kehendak, dan bersedia menerima perbedaan. Dalam rumah yang seperti ini, pulang menjadi pengalaman eksistensial yang utuh, bukan kewajiban yang melelahkan.
Pandangan kontemporer, rumah tidak dilihat secara romantis, melainkan sebagai ruang dinamis yang mencerminkan kondisi eksistensial, struktur kekuasaan, dan ideologi zaman. Ketika rumah menjadi tempat perang, itu adalah cerminan bahwa kita belum berhasil menciptakan ruang manusiawi di titik terdekat dalam hidup kita. Oleh karena itu, membangun rumah sebagai tempat pulang berarti melakukan revolusi diam-diam: mengubah pola pikir, membongkar struktur lama, dan menciptakan etika baru dalam hidup bersama. Rumah yang damai bukanlah rumah yang bebas konflik, tapi rumah di mana setiap konflik ditangani dengan cinta, kesadaran, kesabaran, dan penghargaan terhadap sesama. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Gelar Monitoring KKL-PPM di Pekon Kesugihan, Tanggamus
Turut hadir dalam agenda tersebut Wakil Rektor II Universitas Malahayati, Drs. Nirwanto, M.Kes, didampingi Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dekan Fakultas Hukum, Ketua KKL-PPM, Eka Yudha Chrisanto, S.Kep.,Ns.,M.Kep serta Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati. Kehadiran mereka disambut hangat oleh masyarakat setempat dan jajaran perangkat pekon.
Dalam kegiatan yang merupakan bagian dari monitoring dan evaluasi program KKL-PPM, hadir pula DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) Syafiq Arisandi, S.S., M.Kes bersama 21 mahasiswa kelompok 25 yang tengah melaksanakan pengabdian masyarakat di lokasi tersebut.
“Program ini bukan hanya sekadar kewajiban akademik, tetapi juga bentuk pengabdian yang diharapkan dapat memberikan manfaat langsung dan berkelanjutan bagi masyarakat,” ujarnya.
“Kami sangat berterima kasih atas kehadiran dan dukungan Universitas Malahayati. Semoga program ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Pekon Kesugihan,” ungkapnya.
1. Penekanan Stunting
Program ini difokuskan pada upaya pencegahan dan penanggulangan stunting guna mengurangi gangguan pertumbuhan anak akibat kekurangan gizi.
2. Pembentukan Kampung Konservasi TOGA (Tanaman Obat Keluarga)
Inisiatif ini bertujuan menyediakan sumber pengobatan alami yang mudah diakses, murah, dan dapat digunakan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan ringan secara mandiri.
3. Penerapan TERAS (Tempat Edukasi Ruang Sehat)
Program mingguan yang ditujukan sebagai ruang edukasi preventif, khususnya bagi anak-anak dan remaja, dalam membangun kesadaran akan gaya hidup sehat.
Universitas Malahayati Gelar Monitoring dan Evaluasi KKL-PPM di Empat Pekon Kecamatan Semaka
Kegiatan Monev kali ini mencakup empat pekon, yakni: Pekon Kanoman, Pekon Garut, Pekon Sudimoro, Pekon Tugurejo.
Dalam arahannya, Tim Monev menekankan bahwa KKL-PPM bukan hanya kegiatan wajib akademik, tetapi juga wadah bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari masyarakat sekaligus mengabdikan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Implementasi program-program unggulan diharapkan mampu menjawab kebutuhan warga, baik di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun lingkungan.
“Melalui kegiatan ini, Universitas Malahayati ingin menghadirkan kontribusi nyata sehingga kehadiran kampus benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat luas,” ujar perwakilan Tim Monev.
Dengan adanya monitoring dan evaluasi ini, diharapkan seluruh rangkaian program KKL-PPM 2025 dapat berjalan optimal, tepat sasaran, dan memberi dampak positif jangka panjang bagi masyarakat di Kecamatan Semaka khususnya, dan Kabupaten Tanggamus pada umumnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Gelar Upacara HUT RI ke-80, Rektor Ajak Sivitas Akademika Kokohkan Semangat Kebangsaan
Upacara ini dipimpin langsung oleh Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH. sebagai inspektur upacara. Di bawah terik matahari pagi, seluruh peserta tampak berbaris rapi dengan penuh rasa hormat, menyanyikan lagu kebangsaan, dan mengheningkan cipta untuk para pahlawan yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan.
“Alhamdulillah, pagi ini kita dapat bersama-sama melaksanakan Upacara Bendera memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Hari ini bukan hanya seremonial belaka, melainkan momentum untuk merenungkan perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa kita, ujar Rektor.
“Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari kerja keras, keberanian, dan pengorbanan luar biasa. Maka, tugas kita sebagai generasi penerus adalah mengisi kemerdekaan ini dengan karya, ilmu pengetahuan, dan dedikasi terbaik untuk negeri,” tegasnya.
“Semoga semangat kemerdekaan senantiasa menjadi energi positif bagi kita semua, untuk bekerja lebih keras, belajar lebih giat, dan mengabdi dengan sepenuh hati. Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Mari kita wujudkan Indonesia Emas 2045 dengan semangat kerja, kolaborasi, dan cinta tanah air,” tandasnya.
Upacara berlangsung dengan khidmat hingga penghujung acara. Para peserta, mulai dari dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, hingga tamu undangan, tampak antusias mengikuti seluruh rangkaian prosesi.
Universitas Malahayati berharap, peringatan HUT RI ke-80 ini tidak hanya menjadi agenda tahunan, tetapi juga sarana memperkuat jati diri bangsa, menumbuhkan nasionalisme di kalangan generasi muda, sekaligus mengingatkan pentingnya peran dunia pendidikan dalam menjaga persatuan dan mewujudkan cita-cita bangsa. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Benturan Ego di Daerah Penyangga Balam-Lamsel, Antara Ekspansi dan Resistensi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kala itu, ada sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Kota Bandarlampung dan ingin bergabung ke dalam wilayah kota. Edy Sutrisno—yang kini telah berpulang—masih menjadi dosen dan turut terlibat dalam tim penelitian mengenai wacana ini.
Hasil kajian waktu itu menemukan bahwa ekspansi wilayah administratif, seperti perluasan batas ibu kota daerah, bukanlah persoalan sederhana. Ia adalah isu multidimensi yang menyentuh ranah politik, ekonomi, sosial, bahkan etika.
Dari lapangan, terlihat bahwa masyarakat desa sasaran perluasan terbelah. Sebagian warga menyambut dengan alasan kemudahan akses ekonomi, infrastruktur, dan layanan publik. Namun, sebagian lain menolak karena khawatir akan kenaikan beban pajak, perubahan tata ruang, dan hilangnya identitas kultural yang telah diwariskan turun-temurun.
Ketegangan juga merambat di kalangan elite desa. Mereka yang pro-ekspansi berharap mendapatkan peluang ekonomi baru atau posisi strategis dalam struktur pemerintahan kota. Sebaliknya, pihak yang menolak khawatir kehilangan otonomi, pengaruh, dan posisi tawar mereka di lingkup lokal.
Kaca Mata Filsafat Kontemporer
Melalui lensa filsafat kontemporer—dengan merujuk pada pemikiran Michel Foucault, Hannah Arendt, Jacques Rancière, hingga Nancy Fraser—konflik ini dapat dibaca sebagai pertemuan antara kekuasaan, pengakuan, dan eksistensi komunitas.
Foucault mengajarkan bahwa kekuasaan tidak semata represif, tetapi juga produktif. Ekspansi wilayah ibu kota bisa dipandang sebagai upaya menciptakan realitas sosial-politik baru melalui penataan ruang dan pengaturan populasi. Dalam perspektif governmentality—rasionalitas pemerintahan—perluasan administratif bukanlah sekadar keputusan teknis, tetapi langkah strategis untuk membentuk tatanan baru yang lebih terukur dan lebih mudah dikendalikan.
Namun, dalam proses itu, warga desa tidak hanya diposisikan sebagai agen otonom, tetapi juga sebagai objek kebijakan. Di sinilah gesekan muncul: sebagian warga merasa terlibat dan diberdayakan, sementara sebagian lain merasa termarginalkan dan kehilangan kontrol atas masa depan komunitasnya.
Arendt memandang politik sebagai ruang publik tempat individu hadir sebagai agen politik sejati melalui tindakan dan ujaran. Politik, bagi Arendt, bukan sekadar urusan manajemen sumber daya, tetapi tentang keberadaan bersama dan pengambilan keputusan kolektif yang menghormati pluralitas.
Bila warga hanya dijadikan objek kebijakan tanpa partisipasi otentik, proses itu kehilangan makna politisnya. Kelompok yang menolak ekspansi karena takut kehilangan identitas sesungguhnya sedang mempertahankan ruang eksistensialnya. Sebaliknya, pihak yang mendukung melihat peluang untuk berperan di panggung politik lebih luas—dengan catatan, semua itu baru dapat disebut “politik” sejati jika lahir dari deliberasi terbuka, bukan sekadar logika teknokratis atau hitungan ekonomi semata.
Dua Wajah Demokrasi
Dari sini, demokrasi tampak memiliki dua wajah:
1. Partisipatif – Masyarakat dilibatkan dalam proses deliberasi, bebas menyatakan kehendak, dan membentuk keputusan bersama.
2. Instrumental – Masyarakat hanya dijadikan sarana pencapaian tujuan ekonomi, politik, atau simbolik oleh pihak-pihak tertentu.
Elite desa yang mendukung ekspansi karena pertimbangan kesejahteraan berada di persimpangan moral: di satu sisi ingin meningkatkan taraf hidup warganya, di sisi lain berpotensi dituduh memperalat komunitas demi kepentingan pribadi. Demikian pula, elite yang menolak bisa dianggap melindungi otonomi lokal, atau sebaliknya, mempertahankan privilese lama yang terancam hilang.
Prinsip Penyelesaian Konflik
Konflik seperti ini tidak cukup diurai lewat argumentasi ekonomi atau hukum saja. Diperlukan ruang deliberatif—forum setara yang memungkinkan semua pihak hadir sebagai subjek, bukan objek. Filsafat kontemporer memberi beberapa prinsip yang dapat menjadi pegangan:
1. Partisipasi Otentik – Libatkan semua warga dalam proses pengambilan keputusan yang setara, bukan sekadar sosialisasi formalitas.
2. Pengakuan Multidimensi – Pertimbangkan kebutuhan ekonomi sekaligus identitas kultural, jangan saling meniadakan.
3. Transparansi dan Akuntabilitas Elite – Baik pihak pro maupun kontra harus terbuka soal kepentingan yang diperjuangkan dan siap menerima kritik.
4. Fleksibilitas Kebijakan – Pertimbangkan alternatif, seperti status otonomi khusus, zona ekonomi campuran, atau model federatif yang adaptif.
Penutup
Kasus perluasan wilayah ibu kota yang memecah belah masyarakat desa adalah cermin bagaimana isu administratif dapat menyentuh lapisan terdalam relasi sosial dan politik. Ini bukan sekadar soal garis batas di peta, tetapi pertanyaan mendasar: siapa yang berhak menentukan masa depan komunitas, dan dengan cara apa keputusan itu diambil?
Filsafat membantu membongkar lapisan yang selama ini dianggap netral dan teknis, lalu menghidupkan kembali ruang politik sebagai tempat bersama untuk merumuskan masa depan—yang plural, setara, dan berkeadilan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswi Psikologi Universitas Malahayati Sabet Juara 1 Taekwondo Piala Menhan 2025
Kejuaraan yang mempertemukan atlet-atlet terbaik dari berbagai daerah ini menjadi ajang pembuktian mental dan fisik. Erica tampil gemilang sejak babak awal hingga final, menunjukkan teknik, kecepatan, dan strategi bertanding yang matang.
“Teruslah berlatih, sesulit dan sepahit apapun prosesnya, buktikan bahwa kita bisa,” ujarnya dengan senyum penuh semangat.
“Jangan pernah takut gagal. Setiap jatuh adalah kesempatan untuk bangkit lebih kuat. Kemenangan hanyalah bonus, yang terpenting adalah menjadi versi terbaik dari diri sendiri.”
Rektor Universitas Malahayati turut memberikan apresiasi atas prestasi tersebut dan berharap keberhasilan Erica dapat menginspirasi mahasiswa lain untuk berani berkompetisi di tingkat nasional bahkan internasional.
Prestasi ini menegaskan bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu berprestasi di kancah olahraga, mengharumkan nama almamater, daerah, dan bangsa. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Tidak Membela, Tetapi Juga Tidak Menghakimi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Selesai melakukan sidang ujian pascasarjana; mahasiswa yang juga seorang tenaga kesehatan di satu rumah sakit terkenal di daerah ini, menghadap mengajak diskusi tentang kondisi saat ini yang cenderung tidak baik-baik saja. Bagaimana seeorang dokter spesialis penyakit dalam satu rumah sakit, mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga pasien; padahal apa yang dilakukan sesuai standard prosedur.
Diskusi menjadi melebar; dan setelah berakhir yang bersangkutan ke luar ruangan. Namun, menyisakan sejumlah pertanyaan bagaimana kondisi saat ini; di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, suara-suara dibentuk oleh opini yang ekstrem dan media sosial mendorong keberpihakan tanpa refleksi, muncul kebutuhan mendesak untuk menemukan posisi yang lebih bijak dengan cara tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi.
Kalimat ini bukan sekadar sikap netral, melainkan suatu posisi etis dan reflektif yang menantang keberpihakan buta maupun penghukuman prematur. Dari sudut pandang filsafat sosial, kita dapat mengeksplorasi makna terdalam dari sikap ini dan bagaimana ia berkontribusi terhadap keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab sosial.
Perkembangan teknologi informasi dan media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi secara radikal. Masyarakat global saat ini hidup dalam apa yang disebut Zygmunt Bauman sebagai “masyarakat cair”, di mana nilai, norma, dan makna berubah cepat dan kehilangan kestabilannya. Dalam situasi ini, pertarungan opini menjadi panggung utama. Siapa yang tidak membela, dianggap pengecut; siapa yang tidak menghakimi, dianggap mendukung.
Contoh nyata yang baru saja terjadi adalah kejadian di Kota Pati Jawa Tengah. Pertanyaan tersisa: apakah setiap wacana harus ditentukan oleh keberpihakan? Apakah etika sosial menuntut kita selalu memilih pihak? Disinilah filsafat sosial mengambil peran untuk menengahi: membedah struktur kuasa, mendalami relasi antarindividu, serta meninjau bagaimana tindakan sosial dibentuk oleh prasangka, moralitas, dan ideologi.
Netralitas sering disalahpahami sebagai sikap pasif atau acuh tak acuh. Namun, dalam pemikiran filsuf seperti Jürgen Habermas, netralitas bukanlah ketidakhadiran posisi, melainkan proses deliberatif rasional yang mengedepankan dialog. Dalam Theory of Communicative Action, Habermas menekankan pentingnya ruang publik sebagai tempat diskusi rasional tanpa dominasi. Dalam ruang inilah sikap “tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi” menjadi alat kritis untuk mencegah manipulasi dan polarisasi. Dengan demikian, sikap ini menjadi refleksi dari etika diskursif: tidak buru-buru menilai, tetapi membuka ruang untuk pemahaman yang lebih dalam, berbasis argumen, bukan emosi atau prasangka.
Salah satu kunci dari tidak membela tetapi juga tidak menghakimi adalah kemampuan untuk memahami. Dalam tradisi hermeneutika, seperti yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer, pemahaman bukanlah proses pasif, tetapi aktif dan penuh refleksi. Kita tidak hanya menafsirkan tindakan orang lain, tetapi juga menafsirkan kembali diri kita dalam proses itu, dan posisi kita dalam tafsir itu dimana, serta sebagai apa.
Ketika seseorang memahami pelaku kejahatan, misalnya, banyak yang menganggapnya sebagai bentuk pembelaan. Padahal, dari perspektif filsafat sosial, pemahaman adalah jembatan menuju rekonsiliasi, transformasi sosial, dan pencegahan kekerasan struktural. Dalam pandangan Paulo Freire, edukasi yang membebaskan bukanlah menghakimi yang tertindas atau membela yang menindas, tetapi menumbuhkan kesadaran kritis terhadap struktur yang menciptakan penindasan itu sendiri.
Filsafat sosial juga menyoroti bagaimana penghakiman sering kali merupakan bentuk kekuasaan. Michel Foucault menunjukkan bahwa masyarakat modern sangat tergila-gila pada praktik pengawasan dan penghukuman, bukan demi kebenaran, tetapi demi mempertahankan struktur kuasa. Ketika kita menghakimi, kita mereproduksi relasi kuasa yang tidak selalu adil. Kondisi ini sangat kentara pada peristiwa Pati yang baru saja terjadi.
Sikap tidak menghakimi di sini bukan berarti membenarkan, tetapi menahan diri dari menggunakan moralitas sebagai alat dominasi. Ia adalah kesadaran bahwa kita tidak selalu berada pada posisi untuk menilai secara objektif. Ini adalah bentuk kerendahan hati epistemik, bahwa kebenaran sering kali lebih kompleks daripada yang tampak di permukaan.
Sikap membela dan menghakimi sering muncul dari kecenderungan berpikir biner: benar–salah, baik–buruk, korban–pelaku. Filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Jacques Derrida menolak pembacaan etika yang terlalu sederhana ini. Levinas berbicara tentang tanggung jawab terhadap “yang lain” yang tidak dapat direduksi pada kategori moral yang kaku. Derrida bahkan menyatakan bahwa keadilan sejati selalu “tertunda” karena ia menuntut dekonstruksi terhadap hukum dan norma yang ada. Bahkan kecenderungan ini dibuat ribet hanya untuk mempertahan kekuasaan, atau meneguhkan kekuasaan. Dengan demikian, “tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi” adalah pengakuan terhadap kerumitan moral.
Dunia sosial tidak bekerja secara biner, dan keadilan sejati membutuhkan kepekaan terhadap ambiguitas, konflik kepentingan, dan sejarah yang panjang. Oleh sebab itu, peran intelektual dan publik bukan menjadi juru bicara kebenaran absolut, melainkan penjaga proses dialogik dan transformasi sosial yang adil. Tentu, sikap ini tidak bebas dari kritik. Ada yang menyebutnya pengecut, ada yang menyebutnya abu-abu. Tetapi justru di situlah keberaniannya: berani mengambil posisi yang tidak populer, demi membela ruang publik yang sehat, demi keadilan yang tidak simplistik.
Namun, posisi ini juga harus terus diuji. Jangan sampai “tidak membela” menjadi alasan untuk diam dalam ketidakadilan struktural. Jangan sampai “tidak menghakimi” menjadi pembiaran terhadap kekerasan. Maka, perlu keseimbangan: antara empati dan keadilan, antara refleksi dan aksi.
“Tidak membela, tetapi juga tidak menghakimi” bukanlah sikap yang nihilistik atau relativistik. Sebaliknya, ia merupakan bentuk tertinggi dari etika sosial yang reflektif. Dalam dunia yang penuh kebisingan, serta keberpihakan instan dan penghakiman digital, sikap ini hadir sebagai ruang jeda, ruang berpikir, ruang untuk menghidupkan kembali makna dialog, keadilan, dan empati.
Filsafat sosial mengajarkan bahwa masyarakat adil tidak dibangun oleh mereka yang paling keras bersuara, tetapi oleh mereka yang paling dalam memahami. Maka, dalam menghadapi konflik sosial, perbedaan, dan ketegangan etis, marilah kita berlatih untuk tidak segera membela, tidak tergesa menghakimi, tetapi senantiasa mencari kebenaran dengan kepala dingin dan hati terbuka. Sehingga kita tetap waras sebagai manusia. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Sumpah Dokter ke-73, Rektor Universitas Malahayati Ingatkan Dokter Baru Tentang Intergritas dan Amanah Profesi
Acara ini bukan sekadar seremoni kelulusan, tetapi juga peneguhan tekad para dokter muda untuk mengemban tanggung jawab mulia, menjaga kesehatan masyarakat dengan dedikasi, keahlian, dan hati yang tulus.
“Profesi dokter adalah profesi yang mulia. Dengan bertambahnya 16 dokter baru ini, kita berharap Universitas Malahayati dapat terus berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan nasional. Ingatlah, ilmu kedokteran tanpa integritas hanya akan menjadi keterampilan kosong, dan keterampilan tanpa nilai spiritual tidak akan membawa keberkahan,” pesan Rektor.
“Hari ini adalah bukti bahwa kerja keras, disiplin, dan pengorbanan kalian tidak sia-sia. Namun ingat, perjalanan menjadi dokter sejati baru saja dimulai. Gelar ‘dr.’ bukan sekadar tambahan di depan nama kalian, tetapi amanah yang menuntut keberanian, empati, dan integritas tanpa batas,” ujar Dr. Toni.
Ia menegaskan, seorang dokter sejati tidak hanya cakap secara akademis, tetapi juga mampu menginspirasi dan memberi keteladanan. “Kalian adalah harapan. Jadilah dokter yang mampu mendengar sebelum berbicara, memahami sebelum memutuskan, dan melayani sebelum meminta,” tambahnya penuh semangat.
“Setelah masa intensif, kalian akan benar-benar merasakan tantangan dunia praktik. Ada yang memilih jalur pengabdian di daerah terpencil, ada yang melanjutkan pendidikan spesialis. Apa pun pilihan kalian, jangan lupa berdiskusi dengan senior, belajar dari pengalaman, dan terus mengasah kemampuan. Dunia kedokteran bergerak cepat—hanya mereka yang mau belajar seumur hidup yang bisa bertahan dan berkembang,” ujarnya.
Dari internal kampus, tampak hadir jajaran pimpinan Universitas Malahayati, termasuk Wakil Rektor I Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, Wakil Rektor IV Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, jajaran pimpinan Fakultas Kedokteran seperti Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM (Dekan), dr. Neno Fitriani Hasbie, M.Kes (Wakil Dekan Bidang Akademik), Dr. dr. Hidayat, Sp.PK., M.Kes (Wakil Dekan Bidang Non-Akademik), dr. Ade Utia Detty, M.Kes (Kaprodi Profesi Dokter), dan Dr. Tessa Sjahriani, dr., M.Kes (Kaprodi Pendidikan Dokter).
Acara ditutup dengan pengucapan sumpah dokter, penandatanganan berita acara, dan pelukan hangat keluarga yang menyambut para dokter baru dengan air mata bahagia. Momen ini menjadi penegas bahwa di balik setiap gelar yang tersemat, ada pengorbanan, doa, dan perjuangan panjang yang akhirnya terbayar lunas.
Dengan dikukuhkannya 16 dokter baru ini, Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati kembali menunjukkan perannya sebagai salah satu institusi pendidikan kedokteran yang konsisten melahirkan tenaga medis berkualitas, berintegritas, dan siap mengabdi untuk negeri. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Gelar Yudisium Profesi Dokter ke-73, 16 Dokter Baru Siap Mengabdi untuk Negeri
Hadir dalam acara ini jajaran pimpinan universitas, antara lain Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, Wakil Dekan, Kepala Program Studi Profesi Dokter dr. Ade Utia Detty, M.Kes., Sekretaris Program Studi, serta para dosen dari Program Profesi dan Pendidikan Dokter.
“Hari ini, kalian tidak hanya mengukuhkan gelar, tetapi juga mengemban amanah besar di tengah masyarakat. Ilmu yang kalian miliki adalah cahaya bagi yang membutuhkan. Jangan pernah berhenti belajar, dan tetaplah menjadi dokter yang rendah hati, berintegritas, serta siap melayani tanpa pamrih,” tuturnya.
Beliau juga mengingatkan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama rekan sejawat.
“Tetaplah menjalin solidaritas dengan teman-teman kalian yang masih berjuang. Dimana pun kalian berada, ingatlah bahwa kalian membawa nama besar Universitas Malahayati. Jaga etika, tunjukkan kualitas, dan buktikan bahwa dokter lulusan Malahayati adalah dokter yang unggul dan berkarakter,” tegasnya.
“Hari ini adalah bukti nyata dari perjalanan panjang penuh tantangan yang kalian lalui. Keringat, air mata, dan doa yang kalian panjatkan kini terbayar. Tapi ingat, perjuangan sesungguhnya baru dimulai. Jadilah dokter yang tidak hanya cerdas, tapi juga berhati nurani,” ujarnya dengan penuh kebanggaan.
Rumah Tempat Pulang, Bukan Tempat Perang
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore menjelang petang hampir dapat dipastikan bahwa lantai dasar gedung megah tempat bekerja ini, dipenuhi oleh para karyawan yang akan absen elektronik sebagai penanda waktu pulang. Ada seorang bapak yang sudah siap lebih awal, dan saat diajak berbincang dan diberi pertanyaan “mengapa tampak tergesa-gesa ingin cepat pulang”. Beliau dengan senyum sumringah menjawab “rumah tempat pulang, bukan tempat perang, maka membuat saya rindu pulang”. Jawaban itu sepintas tampak berisi gurauan, namun sejatinya jika kita mau merenungkan sejenak, jawaban itu sangat benar adanya. Untuk itu mari kita bahas dari kacamata filsafat kontemporer.
Eksistensialisme, yang berkembang kuat melalui pemikiran Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Martin Heidegger, memandang bahwa manusia tidak semata-mata “ada” dalam ruang fisik, melainkan menciptakan makna dari ruang tersebut melalui pengalaman. Heidegger dalam karyanya Building, Dwelling, Thinking membedakan antara “tinggal” (dwelling) dan sekadar “bertempat”. Menurutnya, manusia bukan hanya menempati rumah, tetapi hidup dan mengalami keberadaan di dalamnya. Rumah adalah tempat “menjadi manusia”, tempat kita mewujudkan diri secara autentik.
Namun, dalam kondisi modern seperti sekarang, rumah sering kehilangan makna eksistensial ini. Dalam banyak kasus, rumah menjadi tempat keterasingan (alienation) karena relasi antar anggotanya dibangun atas dasar dominasi, keharusan sosial, atau ekspektasi yang tidak manusiawi. Sartre menyebut ini sebagai “hidup dalam pandangan orang lain”; di mana kehadiran orang lain di rumah tidak membebaskan, tetapi menekan eksistensi kita. Maka ketika rumah menjadi tempat perang, itu mencerminkan krisis eksistensial: rumah tidak lagi menjadi ruang otentik untuk menjadi diri sendiri, melainkan medan pertempuran antara kehendak yang saling mendominasi.
Maurice Merleau-Ponty, melalui fenomenologi, menekankan pentingnya pengalaman langsung dan kesadaran embodied. Rumah bukan hanya tempat tinggal secara objektif, tetapi dialami secara mendalam oleh tubuh dan kesadaran manusia. Bagi anak-anak, misalnya, rumah adalah tempat pertama mereka memahami dunia: melalui rasa aman, kasih ibu, atau teguran ayah. Namun ketika rumah penuh dengan kekerasan, makna fenomenologis itu berubah. Tubuh merekam trauma, ketegangan, dan rasa takut sebagai bagian dari rumah. Maka, rumah tak lagi menjadi tempat kembali, melainkan tempat yang ingin dihindari. Oleh karena itu fenomenologi menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana makna rumah dibentuk dalam keseharian: apakah sebagai pelukan yang menenangkan, atau sebagai bentakan yang mematahkan. Ketika rumah kehilangan kualitas kehadiran yang menenangkan, maka manusia kehilangan tempat untuk “menjadi” secara utuh.
Sementara itu, feminisme kontemporer, terutama melalui pemikir seperti Simone de Beauvoir, Bell Hooks, dan Judith Butler, melihat rumah bukan hanya sebagai ruang privat, tetapi sebagai arena politik. Di dalam rumah, struktur patriarki sering direproduksi secara sistematis. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex menyatakan bahwa perempuan sering dijadikan “the Other” dalam hubungan rumah tangga. Mereka ditentukan oleh peran domestik yang mengikat: istri yang patuh, ibu yang mengabdi, pelayan yang tak terlihat. Oleh sebab itu dalam banyak rumah modern, “perang” yang terjadi adalah manifestasi dari ketimpangan gender: dominasi suami atas istri, eksploitasi kerja rumah tangga tanpa pengakuan, kekerasan dalam rumah tangga yang dibungkam atas nama budaya. Feminisme menolak anggapan bahwa rumah adalah ruang netral; ia adalah tempat kekuasaan bekerja dalam sunyi. Bell Hooks dalam Feminist Theory: From Margin to Center menekankan bahwa transformasi rumah hanya bisa terjadi jika struktur kekuasaan di dalamnya direkonstruksi; dari yang hierarkis menjadi egaliter. Rumah yang damai adalah rumah yang membebaskan semua penghuninya, tanpa paksaan peran yang kaku.
Dalam masyarakat modern, rumah sering kali dibebani dengan ekspektasi material: memiliki rumah besar, interior mewah, perabot mahal. Ini menjadikan rumah sebagai komoditas, bukan tempat kebermaknaan. Pertikaian dalam rumah tangga sering kali berakar dari tekanan ekonomi, tuntutan gaya hidup, atau kegagalan memenuhi standar sosial.
Marcuse berbicara tentang “one-dimensional man”, yaitu manusia yang kehilangan kapasitas kritis karena tenggelam dalam sistem. Dalam konteks rumah, anggota keluarga menjadi satu dimensi: ayah sebagai pencari nafkah, ibu sebagai pengurus rumah, anak sebagai produk pendidikan. Peran-peran ini, jika tidak dikritisi, akan melanggengkan ketegangan karena menekan keragaman potensi manusia.
Dalam dunia postmodern, identitas menjadi cair. Rumah tidak lagi menjadi pusat kehidupan yang tetap, karena mobilitas tinggi, digitalisasi, dan disintegrasi keluarga tradisional. Dalam pandangan postmodernisme (melalui pemikir seperti Jean Baudrillard dan Zygmunt Bauman), rumah bukan lagi tempat menetap, tetapi menjadi simbol simulasi; dipoles untuk media sosial, bukan untuk kenyamanan. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai “simulacra”; di mana rumah terlihat bahagia di permukaan (foto keluarga, dekorasi mewah), tetapi kosong secara emosional. Dalam realitas ini, rumah bisa menjadi tempat perang dingin: komunikasi digital menggantikan dialog, performa menggantikan keintiman.
Zygmunt Bauman malah menyebut masyarakat saat ini sebagai “liquid modernity”; di mana semua relasi menjadi rapuh dan fleksibel. Rumah bukan lagi tempat stabil, karena keluarga bisa bubar kapan saja, berpindah kota, atau terpisah ruang oleh teknologi. Dalam dunia cair ini, kita perlu lebih sadar bahwa menjaga rumah sebagai tempat pulang adalah proyek sadar, bukan sesuatu yang terjadi otomatis.
Banyak filsuf kontemporer sepakat bahwa rumah adalah proyek etis; yaitu ruang yang perlu dibangun dengan kesadaran, niat, dan nilai-nilai yang membebaskan. Emmanuel Levinas, misalnya, menekankan etika wajah: melihat yang lain (anggota keluarga) bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang harus dihormati. Kehidupan rumah tangga yang damai lahir dari interaksi etis: saling mendengarkan, tidak memaksakan kehendak, dan bersedia menerima perbedaan. Dalam rumah yang seperti ini, pulang menjadi pengalaman eksistensial yang utuh, bukan kewajiban yang melelahkan.
Pandangan kontemporer, rumah tidak dilihat secara romantis, melainkan sebagai ruang dinamis yang mencerminkan kondisi eksistensial, struktur kekuasaan, dan ideologi zaman. Ketika rumah menjadi tempat perang, itu adalah cerminan bahwa kita belum berhasil menciptakan ruang manusiawi di titik terdekat dalam hidup kita. Oleh karena itu, membangun rumah sebagai tempat pulang berarti melakukan revolusi diam-diam: mengubah pola pikir, membongkar struktur lama, dan menciptakan etika baru dalam hidup bersama. Rumah yang damai bukanlah rumah yang bebas konflik, tapi rumah di mana setiap konflik ditangani dengan cinta, kesadaran, kesabaran, dan penghargaan terhadap sesama. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat di SMA Yadika, Bekali Pemilih Pemula dengan Edukasi Hukum dan Kesadaran Demokrasi
Kegiatan yang dipimpin langsung oleh dosen FH Unmal, Erlina S.P., M.H, ini melibatkan sejumlah mahasiswa lintas angkatan. Dengan suasana interaktif dan penuh antusiasme, para siswa diajak memahami peran strategis pemilih pemula dalam menentukan arah masa depan bangsa.
“Pengabdian masyarakat ini bukan sekadar rutinitas akademik, tetapi wujud nyata kontribusi kami kepada masyarakat. Kami ingin menanamkan kesadaran hukum sejak dini kepada generasi muda,” ujar Dekan FH Unmal, Aditia Arief Firmanto, SH., MH.
Dalam sesi utama, para siswa mendapatkan pemaparan mendalam tentang proses pemilu, hak dan kewajiban pemilih, serta betapa berharganya satu suara. Erlina menegaskan, memilih calon legislatif—baik di tingkat nasional maupun daerah—adalah langkah menentukan arah pembangunan.
Tak hanya memberi penyuluhan hukum, FH Unmal juga memperkenalkan keunggulan Program Studi Ilmu Hukum serta peluang Beasiswa KIP Kuliah 2026. Bahkan, pihak fakultas merekomendasikan lima siswa SMA Yadika untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
“Ini bentuk dukungan kami terhadap pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Kami ingin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa berprestasi untuk melanjutkan pendidikan tinggi,” ungkap Erlina.
Kegiatan ini juga menjadi ajang pengembangan diri bagi mahasiswa FH Unmal. Mereka mendapat kesempatan melatih public speaking, komunikasi efektif, negosiasi, hingga pemecahan masalah hukum secara langsung di tengah masyarakat.
“Belajar hukum tidak cukup hanya di kelas. Mahasiswa harus terjun langsung, menghadapi audiens yang beragam, dan mampu menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami,” tambah Erlina.
Pengmas di SMA Yadika merupakan bagian dari roadshow tahunan FH Unmal ke enam sekolah tingkat SMA/sederajat di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Misi utamanya adalah menanamkan nilai-nilai hukum dan kesadaran demokrasi di kalangan pemilih pemula.
“Kami percaya, jika generasi muda memahami hukum, mereka akan lebih bijak dalam bertindak. Hukum bukan hanya untuk dipelajari, tapi juga dijalani dalam kehidupan sehari-hari,” tutup Erlina. (gil)
Editor: Gilang Agusman