Seminar Farmasi Digital Universitas Malahayati, Siapkan Mahasiswa Hadapi Revolusi Layanan Kefarmasian

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Berkembangnya arus transformasi digital yang melaju pesat, dunia kefarmasian ikut bergerak menuju era baru. Digitalisasi bukan hanya menghadirkan efisiensi, tetapi juga membuka akses yang lebih luas terhadap layanan kefarmasian, baik bagi tenaga profesional maupun masyarakat umum. Untuk menjawab tantangan ini, keterlibatan generasi muda terutama mahasiswa farmasi menjadi kunci penting.

Menjawab kebutuhan tersebut, Program Studi Farmasi Universitas Malahayati menggelar Seminar Farmasi Digital pada Selasa, 27 Mei 2025. Mengusung tema “Meningkatkan Akses dan Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Era Digital”, acara ini menghadirkan dua pembicara inspiratif: apt. Gusti Rai Ayu Saputri, M.Si., seorang dosen sekaligus apoteker dan entrepreneur, serta apt. Arviyanti, S.Farm., praktisi Digital Marketing dari Dexa Medica.

Seminar dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya adaptasi di tengah perubahan zaman.

“Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, dunia kefarmasian dituntut untuk terus bertransformasi agar mampu memberikan pelayanan yang lebih efektif, efisien, dan inklusif,” ujarnya.

Sementara itu, Kaprodi Farmasi, apt. Ade Maria Ulfa, M.Kes., menambahkan bahwa transformasi digital dalam dunia farmasi bukan sekadar tren, melainkan sebuah keniscayaan.

“Teknologi berkembang begitu cepat, termasuk dalam bidang farmasi. Digitalisasi bukan pilihan lagi, tapi kebutuhan yang harus direspons dengan inovasi,” tegasnya.

Melalui seminar ini, para mahasiswa diajak untuk mengeksplorasi berbagai teknologi mutakhir yang tengah merevolusi dunia farmasi. Mulai dari sistem informasi farmasi, telefarmasi, kecerdasan buatan (AI), hingga aplikasi mobile, semua dikupas secara mendalam. Beragam inovasi tersebut diyakini mampu mempercepat layanan, meningkatkan akurasi terapi, serta memperluas jangkauan pelayanan kefarmasian, terutama ke wilayah terpencil.

Tak hanya membahas teknologi, seminar ini juga menyoroti tantangan dan peluang profesi farmasi di era digital. Para narasumber membagikan wawasan strategis seputar kebijakan, penerapan teknologi di dunia kerja, hingga pentingnya etika profesional dalam pelayanan farmasi berbasis digital.

Melalui kegiatan ini, diharapkan mahasiswa tidak hanya memahami konsep digitalisasi, tetapi juga termotivasi untuk menjadi agen perubahan—merancang solusi inovatif demi terciptanya layanan kefarmasian yang lebih merata, aman, dan berkualitas.

Karena masa depan pelayanan kesehatan ada di tangan generasi muda, mari ambil bagian dalam transformasi digital kefarmasian. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Si Pandir dan Pendusta Gabung, Intelektualitas Tumbuh Moralitas Mundur

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu, seorang sohib jurnalis senior Lampung yang kami sering panggil HRW mengirimkan satu tulisan yang jadi inspirasi penulisan opini ini. Selain. respon terhadap keprihatinan banyak pihak yang peduli terhadap pendidikan tingg daerah ini yang banyak area abu-abu.

Area abu-abu tersebut yang kadang terkesan sengaja diciptakan agar yang bukan circle nya tidak betah dan ingin keluar dari ketidaknyamanan area tersebut. Untuk circlenya, area abu-abu itu yang bisa “dimainkan” buat keuntungan gengnya.

Salah satu eksesnya, berdasarkan penyelusuran informasi dan literature digital ditemukan informasi bahwa di tengah harapan besar akan pendidikan sebagai pencerah peradaban malah berhadapan dengan kenyataan pahit.

Kenyataan pahit, bagaimana kebohongan semakin canggih, sistematis, dan sering kali datang dari mereka yang bergelar tinggi. Mereka menjelma jadi penipu dan manipulator bersertifikat doktoral, pendusta berseragam institusi, dll.

Mereka bicara dengan tenang, penuh data, bahkan dengan referensi ilmiah. Tapi, di balik semua itu, kebohongan tetaplah kebohongan. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.

Sistem pendidikan kita banyak mengajarkan apa yang harus dipahami, tapi jarang menyentuh mengapa kita perlu bertanggung jawab secara etis. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.

Tak heran, kita melihat orang-orang dengan gelar akademik tinggi justru menjadi bagian dari jaringan korupsi, pembenaran kebijakan zalim, atau promotor disinformasi. Mereka tidak bodoh—justru terlalu pintar.

Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.

Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Dan karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.

Inilah dunia kita sekarang: saat kebodohan diejek, tapi kebohongan dimaklumi. Ketika rakyat tertipu, kita menyalahkan mereka karena tak cukup kritis. Tapi ketika pemimpin atau pejabat berbohong dengan rapi, kita memujinya sebagai “pandai bersiasat”.

Citra telah mengalahkan isi. Gelar lebih dipercaya daripada hati nurani. Dan semakin canggih seseorang, semakin besar potensi ia menjadi pendusta yang tak terdeteksi.
Kita saat ini butuh pendidikan yang bukan hanya mencetak ahli, tapi juga manusia.

Yang mengajarkan cara berpikir, bukan hanya cara menjawab soal. Yang mendorong keberanian bertanya, bukan hanya ketundukan pada otoritas. Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang jujur.

Dalam masyarakat yang sehat, orang semacam itu harusnya yang paling kita percayai. Ada yang salah dengan cara kita mendefinisikan “orang pintar”. Kita menganggap cerdas itu cukup dengan menguasai teori, bisa menjawab soal ujian, atau berbicara fasih di forum.

Kita lupa bahwa kecerdasan tanpa karakter hanyalah pisau tajam tanpa gagang—mudah melukai, sulit dikendalikan.
Sistem pendidikan kita, baik formal maupun informal, masih terlalu fokus pada kemampuan kognitif.

Nilai ujian lebih dihargai daripada keberanian mengakui kesalahan. Siswa yang patuh lebih dipuji daripada yang kritis. Dalam jangka panjang, sistem ini membentuk generasi yang pintar memanipulasi sistem, tapi gagap ketika diminta jujur atau bertanggung jawab.

Tak heran jika banyak dari lulusan terbaik justru terjebak dalam praktik curang, baik dalam riset akademik, pelayanan publik, hingga politik. Mereka tidak bodoh. Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Tapi karena tidak diajarkan untuk peduli pada kebenaran, mereka menganggap kebohongan hanyalah bagian dari strategi bertahan.

Solusi dari semua ini bukan sekadar memperbanyak kelas logika atau debat. Kita butuh pendidikan yang mengakar pada nilai, pada integritas, pada keberanian berkata “saya salah”. Kita perlu ruang belajar yang menghargai pertanyaan jujur lebih dari jawaban sempurna.

Tak ada yang salah dengan menjadi pintar. Dunia memang butuh orang-orang cerdas untuk menyelesaikan masalah kompleks.

Tapi jika kecerdasan hanya digunakan untuk menipu, merugikan orang lain, dan menyelamatkan diri sendiri, maka itu bukan prestasi—itu pengkhianatan.

Maka, sebelum kita memuji seseorang karena gelarnya, tanyakan dulu: apa yang ia perbuat dengan kecerdasannya? Apakah ia memperbaiki hidup orang banyak, atau sekadar memperkaya dirinya sendiri? Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang masih jujur.

Tampaknya si pandir dan pendusta berkerja makin mesra sampai mereka lupa bahwa jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja. Bisa jadi perilaku sekarang adalah sambungan dari jilid yang kemarin, hanya beda orang dan waktu, tetapi kelakuan persis sama.Guru Besar Universitas Malahayati Lampung. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kolaborasi Prodi Kesmas Unmal, YSC Indonesia, dan YKWS Gelar Pelatihan Fasilitator Muda untuk Perubahan Sosial

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam upaya mencetak agen-agen perubahan di tingkat masyarakat, Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati berkolaborasi dengan YSC Indonesia dan Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) menyelenggarakan Pelatihan Dasar Fasilitasi Masyarakat. Kegiatan ini menjadi wujud nyata komitmen ketiga lembaga dalam membangun kapasitas pemuda sebagai fasilitator yang mampu merancang dan memimpin proses partisipatif di tengah masyarakat.

Pelatihan ini resmi dibuka oleh Ketua Prodi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Universitas Malahayati (Unmal), Nurul Aryastuti, SST., MKM, pada 26 Mei 2025, dan berlangsung selama dua hari hingga 27 Mei. Sebanyak 30 peserta yang terdiri dari mahasiswa Program Based Learning (PBL) II serta perwakilan dari YSC dan YKWS mengikuti pelatihan ini dengan antusias.

Mengusung pendekatan partisipatif, interaktif, dan berbasis praktik langsung, pelatihan ini dirancang untuk memperkuat pemahaman peserta tentang paradigma pembangunan kesehatan lingkungan. Selain itu, peserta juga dibekali keterampilan dalam merancang dan memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat yang efektif dan berkelanjutan.

“Semoga pelatihan ini menjadi ruang pembelajaran yang inspiratif dan mampu melahirkan fasilitator handal yang dapat mendorong perbaikan kesehatan lingkungan di masyarakat,” ujar Nurul Aryastuti dalam sambutannya.

Pelatihan ini menghadirkan Bambang Pujiatmoko sebagai fasilitator utama. Ia adalah pembina YKWS sekaligus pakar dalam bidang capacity building masyarakat, dengan pengalaman lebih dari 30 tahun di tingkat lokal maupun nasional. Materi yang diberikan mencakup berbagai aspek penting, mulai dari konsep dasar pembangunan kesehatan lingkungan, strategi partisipasi, prinsip pendidikan orang dewasa, teknik fasilitasi, hingga komunikasi efektif untuk advokasi dan perubahan perilaku.

Pada hari kedua, peserta melakukan praktik fasilitasi secara langsung melalui simulasi terhadap berbagai kelompok masyarakat. Mereka mempresentasikan rencana dan mensimulasikan proses fasilitasi yang mencakup warga umum, aparat kelurahan, pemangku kebijakan, hingga kelompok pemuda.

Direktur Eksekutif YSC Indonesia, Iffah Rachmi, S.I.Kom., M.Si, menyampaikan bahwa pelatihan ini merupakan bagian dari upaya jangka panjang dalam mencetak fasilitator muda yang mampu menjadi agen perubahan di komunitas masing-masing. “Kunci dari proses fasilitasi yang efektif adalah pendekatan yang partisipatif dan berbasis empati. Selain itu, fasilitator juga harus memiliki kemampuan refleksi diri dan komunikasi yang kuat,” jelasnya.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif YKWS, Febrilia Ekawati, menilai kegiatan ini sebagai bukti bahwa kolaborasi lintas sektor—antara perguruan tinggi, organisasi pemuda, dan lembaga masyarakat sipil—dapat melahirkan inisiatif nyata yang berdampak langsung bagi masyarakat.

Dengan semangat kolaboratif dan pembelajaran aktif, pelatihan ini diharapkan menjadi langkah awal terbentuknya jaringan fasilitator muda yang siap menjadi ujung tombak dalam menggerakkan perubahan perilaku dan meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan di berbagai wilayah. (gil)

Editor: Gilang Agusman

“Nglangut” (Sebuah Kontemplasi Psikologis)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Malam terasa dingin, hujan turun sejak sore; Pak Kasdi tinggal berdua bersama istrinya yang juga sudah tidak muda lagi. Istrinya sudah tidur lelap sejak sore selepas isya, itu merupakan kebiasaan lamanya. Rumah sederhana mereka di pojok desa menjadi tempat tinggal yang asri. Hanya disinari lampu listik redup, dan ditemani pesawat televisi tua yang masih bisa menangkap siaran beberapa stasiun. Di meja kecil pojok ruang yang berfungsi serba guna itu ada satu gelas kopi yang sudah mulai dingin, serta goreng pisang yang juga sudah dingin.

Selepas isya, biasanya Pak Kasdi langsung tidur agar bisa bangun di sepertiga malam untuk melakukan khiyamullail, tetapi entah mengapa, untuk malam ini Pak Kasdi tidak bisa memejamkan mata. Kelebat bayangan lima anaknya yang sedang berjuang di tengah kehidupan, datang dan pergi dalam angannya.

Sebenarnya, anak-anaknya sudah dewasa, semua sudah berkeluarga, memiliki rumah sendiri-sendiri, tetapi beberapa malam ini bayang mereka silih berganti menghampiri ingatan; membuat pikirannya menjadi nglangut.

Di budaya Jawa, “nglangut” bukan sekadar melamun atau merasa sedih. Itu adalah ekspresi batiniah yang kompleks—perpaduan antara sepi, kegalauan, kekosongan, dan perenungan yang mendalam. Nglangut adalah saat dimana pikiran dan rasa larut dalam diam, menyeberangi batas antara kenyataan dan kenangan. Dan malam itu Pak Kasdi nglangut memikirkan nasib anak-anaknya yang kini hidup di zaman yang berbeda jauh dari masa mudanya dulu.

Pak Kasdi sebenarnya pria yang ramah dalam bicara, tetapi sejak muda, ia terbiasa menunjukkan cinta dengan kerja keras, bukan dengan kalimat manis. Ia bukan tipe bapak yang memeluk atau memuji anaknya secara langsung. Namun, setiap pagi, ia bangun sebelum ayam jantan berkokok untuk menyiapkan cangkul, berangkat ke sawah, dan pulang sore hari dengan tubuh lelah, tapi hati tenang. Semua itu ia lakukan demi satu hal: masa depan anak-anaknya.

Anak-anaknya pun dibekali pendidikan agama secukupnya, dia juga selalu berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak meninggalkan kewajiban agama lima waktu walau sesibuk apapun. Kini, ketika rambutnya mulai memutih dan tenaganya tak sekuat dulu, ia duduk sendiri seperti itu, memikirkan kemana arah hidup anak-anak yang pernah ia timang. Semuanya tampak sibuk, tetapi di matanya, mereka juga tampak lelah, terombang-ambing oleh zaman yang tak pasti.

Pak Kasdi menyadari, dunia anak-anaknya kini penuh dengan persaingan dan berbeda dengan dunianya. Gelar sarjana yang mereka sandang bukan jaminan bisa langsung bekerja dan hidup enak. Hidup di kota bukan berarti mereka pasti lebih baik, karena mereka harus berlomba, harus cepat, harus berani. Dan di tengah semua itu, Pak Kasdi tahu: mereka juga lelah, meski tak pernah mengungkapkannya. Sejurus Pak Kasdi bertanya dalam hati: “Apa aku sudah cukup menjadi Bapak yang baik? Apakah perjuanganku selama ini cukup menjadikan bekal untuk mereka?”.

Kekhawatiran itu tumbuh dalam diam. Pak Kasdi tidak bisa memaksa anak-anaknya untuk tetap bersamanya atau untuk hidup seperti dirinya. Namun, ia juga takut mereka tersesat di dunia yang terlalu cepat berubah. Dunia yang kadang kejam pada orang baik, dan memuja keberhasilan instan tanpa nilai, bahkan hampa; namun anehnya banyak yang menjadi pengikut.

Dalam pikirannya, Pak Kasdi ingin bicara, ingin bertanya: “Apa kalian bahagia Anak-Anakku? Apa yang bisa Bapak bantu?” tetapi lidahnya kelu. Di usia senjanya, Pak Kasdi lebih memilih diam, karena ia tahu, anak-anaknya pun punya beban yang tidak ringan. Dan dia tidak ingin menambah beban itu dengan keluh kesahnya sebagai orang tua.

Rasa nglangut Pak Kasdi bukan semata karena sedih. Di dalamnya ada cinta yang tak bisa ia ungkapkan. Setiap helaan napasnya malam itu adalah doa yang tak bersuara. Ia memandangi langit mendung, seolah berbicara dengan Tuhan: “Ya Tuhan, tunjukkan anak-anak jalan, beri keteguhan, dan beri tempat di dunia yang tak ramah ini”. Ia tidak meminta mereka menjadi orang kaya, tidak pula harus berhasil dalam arti duniawi. Ia hanya ingin anak-anaknya tetap menjadi manusia yang tahu diri, tahu asal, dan tahu arah pulang. Pak Kasdi bukan tipe orang yang meminta-minta. Ia hanya berharap, dan dalam harapan itu ia larut nglangut dalam kesunyian yang tak bisa dijelaskan, kecuali oleh mereka yang pernah menjadi orang tua.

Pak Kasdi hanyalah satu dari ribuan bapak di penjuru negeri ini yang nglangut dalam diam. Mereka bukan tidak bangga, bukan tidak percaya pada anak-anaknya, mereka hanya sedang menata rasa, menyesuaikan diri dengan dunia yang tidak lagi seperti dulu.

Nglangut, bagi seorang bapak, adalah bentuk cinta paling jujur. Ia tidak meledak, tidak mewah, tidak diunggah di media sosial. Namun ia nyata—mengalir dalam diam -, seperti sungai yang tetap setia mengalir meski tak pernah diperhatikan, tetap terus menembus rongga bumi menuju pantai.

Di bawah langit yang sedang murung itu, Pak Kasdi masih duduk. Matanya menatap jauh, tapi hatinya tetap dekat. Dekat dengan harapan, dekat dengan doa, dekat dengan anak-anaknya yang ia cintai sepenuh jiwa. Mulutnya bersuara lirih “Semoga anak-anakku selalu ingat jalan pulang”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi Kebidanan Universitas Malahayati Gelar Kuliah Pakar Bertajuk “STECU” Diikuti 366 Peserta

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Kebidanan Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kompetensi dan wawasan mahasiswa melalui penyelenggaraan Kuliah Pakar bertajuk “STECU: Siat Terapkan Community Terbaru Berbasis Integrasi Layanan Primer”. Kegiatan ini diadakan secara luring (offline) di Gedung Graha Bintang Amin dan diikuti oleh 366 peserta dari tiga jenjang pendidikan, yakni mahasiswa S1 Kebidanan, D3 Kebidanan, dan Profesi Bidan. Rabu (28/5/2025).

Kuliah Pakar ini dirancang sebagai ruang ilmiah yang bertujuan untuk menggali pemikiran, berbagi pengalaman, serta merumuskan solusi terkait integrasi layanan primer—mulai dari sisi kebijakan, pelaksanaan di lapangan, hingga tantangan dan inovasi yang terus berkembang, khususnya dalam pelayanan kebidanan di tingkat komunitas.

Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber kompeten di bidang kesehatan masyarakat dan kebidanan komunitas:
1. Dr. Wayan Aryawati, SKM., M.Kes, yang membahas tentang Integrasi Layanan Primer Bagi Bidan di fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, pustu, dan posyandu. Dalam paparannya, beliau menekankan pentingnya sinergi antar lini layanan primer untuk meningkatkan efektivitas promotif dan preventif kesehatan ibu dan anak.
2. Afrilliyanti, SKM., MKM, menyampaikan materi tentang Skrining Bayi Baru Lahir sebagai bentuk deteksi dini terhadap kelainan bawaan. Ia menyoroti peran vital bidan dalam proses skrining awal dan edukasi kepada orang tua sebagai bagian dari layanan primer berkelanjutan.
3. Fijri Rachmawati, SST., M.Keb, memaparkan tentang Persalinan Komunitas, dengan fokus pada keamanan, keberdayaan masyarakat, serta penguatan sistem rujukan dan kesiapsiagaan dalam mendukung ibu bersalin di lingkungan komunitas.

Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif Program Studi Kebidanan dalam menggelar kegiatan akademik yang berdampak langsung pada peningkatan mutu lulusan.

“Kuliah Pakar ini adalah wujud nyata dari visi Universitas Malahayati untuk mencetak tenaga kesehatan yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga adaptif terhadap dinamika sistem layanan kesehatan nasional. Tema STECU sangat relevan dengan arah pembangunan kesehatan berbasis layanan primer, dan kami berharap mahasiswa mampu menyerap wawasan ini dengan baik untuk diterapkan dalam praktik nyata di lapangan,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Khoidar Amiris, SKM., M.Kes, menekankan bahwa kegiatan ini juga menjadi bagian dari penguatan kurikulum berbasis praktik lapangan yang integratif.

“Kami ingin mahasiswa kebidanan tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu melihat praktik terbaik dari para ahli di lapangan. Integrasi layanan primer tidak hanya soal kerja teknis, tetapi juga membangun jejaring, komunikasi efektif, serta kesadaran akan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pelayanan kesehatan,” paparnya.

Acara ini turut dihadiri oleh Ketua Program Studi S1 Kebidanan, Ketua Prodi D3 Kebidanan, Ketua Prodi Profesi Bidan, serta seluruh dosen kebidanan dan tamu undangan lainnya. Kehadiran para pimpinan prodi dan dosen menunjukkan dukungan penuh terhadap upaya pengembangan kompetensi mahasiswa melalui kegiatan di luar perkuliahan rutin.

Para peserta menyambut kuliah pakar ini dengan antusias. Banyak dari mereka menyampaikan bahwa kuliah ini membuka wawasan baru tentang pentingnya integrasi layanan primer, serta peran strategis bidan dalam memastikan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Dengan hadirnya kegiatan ini, diharapkan mahasiswa kebidanan Universitas Malahayati semakin siap menghadapi tantangan dunia kerja dan mampu berkontribusi secara aktif dalam sistem kesehatan nasional, khususnya dalam penguatan layanan primer berbasis komunitas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Membeli Masa Depan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat libur bersama, waktu dihabiskan untuk berkontemplasi dalam diam di rumah kopel yang mungil, namun serasa luas. Meja kerja yang mini-pun serasa lapangan bola guna berselancar dengan angan dan idea yang silih berganti muncul merekonstruksi berfikir, untuk kemudian dituangkan dalam deret huruf yang terkadang sulit untuk dicernah karena tidak seiringnya tekanan huruf dengan idea yang mengalir. Hari itu mendapatkan pembelajaran dari Satuan Pengamanan komplek yang mengatakan bahwa pendapayannya di luar gaji, ditabung melalui sistem piranti perangkat lunak modern sekarang. Beliau yang tidak tamat sekolah lanjutan sudah mampu membeli masa depannya dengan piranti genggam yang ada. Generasi Lanjut Usia sudah harus mengakui akan keterbelakangannya di bidang teknologi rekayasa masa depan. Harus bersiap menjadi korban atau dikorbankan oleh waktu yang berjalan begitu cepat dalam menyongsong masa depan.

Dunia yang bergerak begitu cepat dan didorong oleh teknologi canggih, frasa “membeli masa depan” menjadi semakin relevan, baik dalam percakapan sehari-hari. Namun, jauh di balik makna literalnya, terdapat dimensi filosofis yang dalam dan kompleks. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “membeli masa depan”? Apakah masa depan sesuatu yang bisa dimiliki, diprediksi, atau bahkan diperjualbelikan? Dan bagaimana sikap manusia terhadap masa depan mencerminkan pandangan eksistensialnya terhadap waktu, pilihan, dan harapan.

Batasan pengertian paling sederhana, membeli masa depan dapat dimaknai sebagai tindakan berinvestasi hari ini demi memperoleh hasil di masa yang akan datang. Pendidikan adalah contoh paling jelas: seseorang menempuh pendidikan bukan untuk manfaat langsung, melainkan karena percaya bahwa ilmu dan keterampilan yang diperoleh akan membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik. Demikian pula dengan menabung, membeli asuransi, atau bahkan menjaga kesehatan—semua adalah bentuk ‘pembelian’ terhadap masa depan. Tindakan-tindakan ini dilandasi oleh harapan bahwa dunia esok hari akan memberi ruang dari hasil jerih payah hari ini. Dari sudut pandang ini, membeli masa depan adalah bentuk optimisme rasional. Ia adalah perwujudan keyakinan bahwa masa depan, meski tak pasti, namun bisa diarahkan.

Dalam masyarakat kapitalis modern, konsep masa depan sering kali dikomodifikasi. Perusahaan menjual “masa depan” dalam bentuk kontrak jangka panjang, pinjaman pendidikan, investasi saham, dan teknologi ramalan. Bahkan dalam dunia kerja, individu sering terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir demi “masa depan yang lebih baik”, tanpa pernah benar-benar hidup di masa kini. Filsuf seperti Herbert Marcuse dan Jean Baudrillard telah mengkritik bagaimana kapitalisme modern menciptakan “fetisisme masa depan”. Dalam sistem ini, masa depan dijadikan komoditas, dan manusia kehilangan kendali atas kehidupannya sendiri. Alih-alih menjadi subjek yang aktif membentuk masa depan, manusia menjadi objek dari janji-janji yang dikendalikan pasar dan teknologi.

Berbeda dengan Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang ditentukan oleh pilihannya. Dalam konteks ini, membeli masa depan bukanlah tindakan konsumtif, tetapi tindakan eksistensial. Setiap pilihan yang kita ambil hari ini merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap masa depan kita sendiri. Pandangan ini seolah menafikan takdir. Semua masa depan bisa dirancang hari ini, dan tergantung manusia membaca peluang. Tampaknya pandangan ini lebih menafikan agama, terutama agama-agama langit.

Oleh sebab itu dalam banyak tradisi spiritual, masa depan dipandang bukan sebagai sesuatu yang bisa “dibeli” atau “dimiliki”, tetapi sebagai bagian dari aliran waktu yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya. Contohnya dalam ajaran Sufi, masa depan tidak dimiliki oleh manusia, tetapi oleh Tuhan. Oleh karena itu, membeli masa depan bukan soal mengendalikan, tetapi tentang berserah dan bertindak dengan niat yang benar di masa kini untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Dari sini kita belajar bahwa konsep “membeli masa depan” bisa menjadi jebakan ego jika tidak dibarengi dengan kesadaran spiritual. Terlalu terpaku pada masa depan dapat membuat kita kehilangan makna kehidupan saat ini. Oleh karena itu secara filosofis, masa depan adalah entitas yang belum eksis. Ia belum nyata, belum terjadi, dan karena itu bersifat maya. Kita tidak bisa menyentuhnya, mengukurnya, apalagi memilikinya. Maka pertanyaannya: bagaimana kita bisa “membeli” sesuatu yang belum ada?

Martin Heidegger, dalam karya besarnya Being and Time, menyatakan bahwa keberadaan manusia (Dasein) selalu diarahkan ke masa depan. Eksistensi kita bukan berada di masa kini yang statis, melainkan terus bergerak menuju yang akan datang. Dalam pengertian ini, “membeli masa depan” adalah bentuk kepedulian manusia terhadap eksistensinya sendiri di waktu yang akan datang. Karena masa depan itu tidak pasti, tindakan ini selalu disertai dengan kecemasan (anxiety). Kecemasan itu bukan kelemahan, melainkan bagian dari kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia. Tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa secara filosofis, masa depan bukan sesuatu yang bisa dibeli dalam pengertian literal. Masa depan adalah ruang kemungkinan, bukan barang dagangan. Ketika kita berbicara tentang membeli masa depan, yang sebenarnya kita lakukan adalah menciptakan masa depan melalui tindakan, pilihan, dan nilai-nilai kita hari ini. Dalam dunia yang semakin tergoda oleh kepastian semu dan janji instan, renungan filosofis ini mengingatkan kita untuk tetap sadar bahwa masa depan tidak dijamin oleh uang, teknologi, atau kekuasaan. Masa depan adalah milik mereka yang berani bertindak hari ini dengan bijak, bertanggung jawab, dan penuh kesadaran akan keterbatasan manusia.

Oleh sebab itu sangat salah jika kita membeli masa depan dengan cara merusak hari ini. Masa depan harus jadi impian yang diwujudkan tetapi tetap ada pada jalur-jalur normative dan konstitusional dengan cara menatanya dari hari ini; bukan dengan menabrak aturan, apalagi sampai berkomplot tega berbuat jahat hanya karena ingin bahagia sesaat. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Hanya Waktu dan Keadilan yang Menjawab

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang hari itu, penulis berdiskusi dengan seorang calon doktor yang membidangi hukum, dan beliau sangat mumpuni dalam bidang filsafat, terutama Filsafat Hukum. Dalil-dalil keilmuan dan keagamaan sering menghias uraian dalam mengomentari tulisan yang dikirim ke hadapan beliau. Topik diskusi kali ini adalah bagaimana suatu lembaga akademik bergengsi bisa kehilangan maruwahnya hanya karena segelintir orang di dalamnya yang memiliki mental terabas dalam mencapai suatu jenjang akademik tertinggi. Kami berdua sepakat pelanggaran moral akademik memang sulit dibuktikan, karena itu menyangkut norma, etika dan kepatutan yang terkadang ukurannya sangat subyektif.

Pengalaman hidup yang penulis lampaui, tidak jarang niat memperingatkan berujung menjadi ketidaksukaan, bahkan menjadi kebencian yang amat sangat. Benar orang-orang suci pada zamannya yang berkata bahwa “Memperingatkan orang pandai itu jauh lebih sulit dari pada memperingatkan orang awam”.

Dalam hidup, kita semua pernah merasa diperlakukan tidak adil. Mungkin kita pernah difitnah, disalahpahami, atau bahkan dijatuhkan oleh orang yang dulu kita percaya. Rasanya seperti dunia tidak berpihak, seolah-olah kejujuran dan kebaikan itu sia-sia. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang perlu kita yakini, “Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab”. Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, bahkan klise, tetapi jika kita renungkan lebih dalam, ada kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya. Kekuatan untuk tetap tenang, tetap berdiri, dan tetap berjalan meski dunia seperti menolak kehadiran kita. Waktu adalah teman yang setia. Ia tidak pernah berpihak, tapi juga tidak pernah memihak yang salah. Dalam diamnya, waktu merekam segalanya—ucapan, tindakan, bahkan niat di balik setiap perbuatan. Kadang, kebenaran memang tidak langsung terlihat. Ia tersembunyi di balik kabut opini, gosip, dan prasangka. Tapi seiring berjalannya waktu, kabut itu perlahan menghilang, dan satu per satu fakta akan muncul ke permukaan.

Banyak dari kita ingin membuktikan bahwa kita benar, secepat mungkin. Kita ingin membersihkan nama, membela diri, dan membuat orang tahu bahwa mereka telah salah menilai. Namun, hidup tidak bekerja seperti itu. Ada hal-hal yang hanya bisa dijelaskan oleh waktu. Dan saat waktunya tiba, orang-orang akan melihat sendiri siapa yang jujur dan siapa yang hanya pandai bersandiwara, siapa yang tulus dan siapa yang berpura-pura.

Kita sering merasa bahwa keadilan lambat. Bahkan kadang kita bertanya-tanya: “Apakah keadilan itu benar-benar ada?” Di dunia yang penuh kepentingan dan tipu muslihat, wajar bila kita merasa kecewa, tetapi sejarah menunjukkan bahwa pada akhirnya, kebenaran selalu menemukan jalannya. Tidak selalu cepat, tidak selalu nyaman, tapi pasti.

Keadilan mungkin tidak datang dengan sorotan kamera atau tepuk tangan. Ia bisa datang diam-diam, di waktu yang tak terduga. Mungkin melalui sebuah pengakuan, sebuah keputusan, atau bahkan melalui karma yang bekerja dengan caranya sendiri, yang penting, kita tetap berpegang pada prinsip. Jangan biarkan luka membuat kita menjadi seperti orang yang melukai kita.

Ada kalanya, diam adalah bentuk perlawanan yang paling kuat. Diam bukan berarti kita lemah, atau menyerah. Tapi diam bisa berarti kita percaya bahwa waktu dan keadilan sedang bekerja. Ketika semua orang berteriak, terkadang suara paling jujur justru datang dari mereka yang memilih untuk tidak membalas.

Dalam proses ini, kita juga perlu belajar satu hal: tidak semua orang perlu diyakinkan. Tidak semua orang akan percaya pada versi kebenaran kita, bahkan jika kita telah berteriak sekuat tenaga. Dan itu tidak apa-apa. Tugas kita bukan untuk membuat semua orang setuju, tetapi untuk tetap menjadi diri sendiri. Ada orang-orang yang akan tetap percaya, meski kita diam. Ada juga yang tetap mencurigai, meski bukti sudah jelas. Fokuslah pada mereka yang tulus. Mereka yang mengenal hati kita akan tetap tinggal, bahkan saat dunia menjauh.

Kebaikan tidak selalu dibalas kebaikan. Dan itu fakta pahit yang harus kita terima. Namun, bukan berarti kita harus berhenti menjadi baik. Kita baik bukan karena orang lain selalu baik, tetapi karena kita tahu itu adalah hal yang benar. Bahkan ketika kebaikan kita tidak dihargai, jangan biarkan itu mengubah siapa kita. Orang yang tulus tidak akan kehilangan nilainya hanya karena difitnah. Sebaliknya, orang yang menipu tidak akan selamanya bisa bersembunyi di balik topeng. Waktu akan membuka semuanya, satu per satu.

Hidup tidak selalu tentang membuktikan siapa yang benar, tapi tentang siapa yang tetap bisa tenang saat disalahkan. Tentang siapa yang tetap bisa jujur saat dicurigai. Dan tentang siapa yang tetap bisa tersenyum meski hatinya penuh luka. Ketika kamu merasa dikhianati, disalahpahami, atau dijatuhkan, tarik napas dalam-dalam. Jangan buru-buru membalas. Jangan biarkan amarah menenggelamkan kamu dalam hal-hal yang kamu sesali di kemudian hari. Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab karena pada akhirnya, kebenaran tidak butuh pembelaan keras—ia hanya butuh waktu. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari ini, seluruh bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, tonggak penting dalam sejarah perjalanan bangsa yang menjadi dasar dan panduan dalam kehidupan bernegara.

Peringatan Hari Lahir Pancasila merujuk pada pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidatonya, Bung Karno untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep dasar negara yang kemudian dikenal dengan nama Pancasila.

Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini mengusung tema nasional “Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”, yang mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu, memperkuat persaudaraan, dan bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa menuju satu abad Indonesia merdeka.

“Pancasila bukan sekadar warisan sejarah, tetapi pedoman hidup bangsa. Di era modern ini, semangat gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila harus terus kita hidupkan. Mari kita jadikan Hari Lahir Pancasila sebagai momentum memperkuat semangat kebangsaan dan komitmen bersama membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan beradab.” Penulis.

Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025. Mari kita jaga semangat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman untuk Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Gelar Yudisium, Tujuh Mahasiswa Siap Masuki Tahap Pendidikan Profesi

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati kembali mengukir momen penting dalam perjalanan akademiknya. Sebanyak tujuh mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter resmi diyudisium pada acara yang digelar di ruang 1.13 Gedung Rektorat Universitas Malahayati, Selasa (27/5/2025).

Acara yudisium ini dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas dan fakultas, di antaranya Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, Ka.Prodi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Syahrini, dr., M.Kes, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Ka.Prodi Profesi Dokter serta Sekretaris Prodi Pendidikan Dokter,

Dalam sambutannya, Prof. Dessy Hermawan menyampaikan apresiasi dan rasa bangganya kepada para peserta yudisium. Ia menekankan bahwa pencapaian hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang yang patut disyukuri. “Selamat kepada seluruh mahasiswa yang telah sampai di titik ini. Ini bukan hanya akhir dari satu fase, tetapi awal dari perjuangan baru di dunia profesi”.

“Teruslah belajar, jaga integritas, dan bangun karakter sebagai dokter yang berkompeten dan beretika,” ujar Prof. Dessy.

Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dalam sambutannya juga mengucapkan selamat kepada para mahasiswa yang telah berhasil menyelesaikan fase akademik dan siap memasuki tahap berikutnya dalam pendidikan dokter, yaitu pendidikan profesi.

“Selamat atas yudisium yang dilaksanakan hari ini. Satu tahap sudah selesai, dan berikutnya adalah tahap kedua, yakni pendidikan profesi,” ujar Dr. Toni.

Lebih lanjut, Dr. Toni menjelaskan bahwa tahap pendidikan profesi merupakan masa magang yang akan berlangsung selama dua tahun. Ia menekankan pentingnya pemanfaatan waktu dengan bijak agar para mahasiswa bisa memperoleh pengalaman klinis sebanyak-banyaknya sekaligus mempersiapkan diri menghadapi Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD).

“Ada waktu dua tahun untuk melaksanakan magang. Gali ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya, serta persiapkan diri kalian untuk UKMPPD. Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, kalian harus pintar-pintar dalam menjalani proses magang ini. Semoga bisa selesai tepat waktu,” pesannya.

Ia juga mengingatkan bahwa selama masa magang, mahasiswa dianggap telah menguasai teori dasar, sehingga tidak lagi ditoleransi untuk bertanya hal-hal mendasar yang seharusnya sudah dipahami di bangku kuliah.

Sementara itu, Ketua Program Studi Pendidikan Dokter, Dr. Tessa Syahrini, dr., M.Kes., menekankan pentingnya menjaga etika profesi dan kedisiplinan dalam menjalankan tugas di dunia medis.

“Suatu saat nanti, kalian akan duduk sebagai pejabat dan memberikan kebanggaan bagi orang tua serta almamater. Tetap jaga etika kedokteran dan selalu disiplin dalam bertugas,” pesan Dr. Tessa.

Acara yudisium berlangsung khidmat dan penuh makna. Bagi ketujuh mahasiswa yang diyudisium, momen ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan mereka menuju gelar dokter. Dengan semangat baru, mereka kini bersiap untuk menapaki fase pendidikan profesi dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab, demi menjadi dokter yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berjiwa pelayanan dan menjunjung tinggi etika kedokteran. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Melepas dan Menerima

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Cuaca hari itu cukup sejuk karena mendung dari pagi sampai siang hari; sementara suasana di ruang kerja kantor agak sedikit menghangat karena sedang diskusi dengan beberapa teman selepas sholat dhuhur. Persoalan utama yang dibahas adalah kebersediaan orang untuk melepas dan menerima keadaan; sekalipun keadaan itu tidak mengenakkan. Pilihan untuk melepas dan menerima merupakan dinamika kehidupan; namun pada kenyataannya untuk bersikab berterima dengan apapun hasil dari suatu proses, tidak mudah untuk melakukan. Dalam kehidupan manusia, situasi kehilangan, kegagalan, dan perubahan seringkali menimbulkan tekanan emosional yang signifikan. Dua konsep penting yang sering dikaitkan dengan pemulihan psikologis dari kondisi tersebut adalah “melepas” (letting go) dan “menerima” (acceptance).

Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari pengalaman kehilangan, penolakan, atau perubahan drastis yang menguji ketahanan mental dan emosional. Dalam konteks tersebut, kemampuan untuk “melepas” dan “menerima” menjadi kunci penting dalam mencapai kesejahteraan psikologis. Meskipun kedua konsep ini sering muncul dalam narasi populer, secara akademik keduanya memiliki basis teoretis yang kuat, khususnya dalam pendekatan psikologi positif dan terapi berbasis mindfulness.

Selepas dari itu saat kembali keruang kerja ingat beberapa puluhtahun lalu waktu masih bekerja di kota empek-empek; ada peristiwa yang membekas sampai sekarang berkaitan dengan cerita perjalanan hidup seorang anggota pengamanan suatu lembaga. Namanya Pak No, begitu kami memanggil. Pada waktu itu usia sudah paruh baya. Rambutnya sudah dipenuhi uban, tapi tubuhnya masih tegap. Ia bekerja sebagai satpam di sebuah kantor swasta sudah selama hampir 15 tahun. Ia dikenal ramah, rajin shalat, dan tak pernah absen datang lebih awal dari jadwal baik ditempat bekerja, apalagi di musholah. Setiap pagi, ia berdiri di gerbang sambil memberi salam dan senyuman kepada para karyawan yang lewat. Ucapan renyahnya Pak No yang selalu menjadi ingatan semua orang:

“Assalamu’alaikum, Bu,”

“Selamat pagi, Pak. Semoga sehat selalu ya!”

Tak semua orang membalas. Tapi ia tak pernah berhenti memberi salam. Dalam hati, ia selalu berkata, “Memberi salam itu bagian dari sedekah. Mungkin dari sini rezeki saya diluaskan.”

Tapi hari itu berbeda. Setelah shalat Dzuhur di musholla kantor, ia dipanggil ke ruangan HRD. Seorang pria muda, manajer baru, menyampaikan kabar yang menampar hatinya:

“Mohon maaf Pak No.… Karena efisiensi perusahaan, posisi Bapak sebagai satpam tidak diperpanjang lagi kontraknya mulai akhir bulan ini.”

Pak No diam seribu bahas; dia menunduk, berusaha menahan air mata. Bukan karena malu, tapi karena bingung harus dengan apa memberi makan keluarganya bulan depan.

Pak No hanya berkata lirih, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Baik, Pak. Saya terima.”

Malam itu, di rumah kecil kontrakannya di pinggiran stasiun Kertapati, Pak No duduk bersama istrinya, Bu sholeha. Ia cerita dengan tenang, tanpa melebih-lebihkan. “Kalau memang Allah ingin aku berhenti sampai di sini, mungkin memang sudah waktunya,” ucapnya. Istrinya menggenggam tangannya seraya berkata. “Allah tidak pernah salah dalam menulis takdir untuk mahlukNYA. Kita tinggal sabar menunggu kelanjutannya.” Jawaban istri Pak No membuat sejuk dihati dan membuat dirinya lebih tegar dalam mengarungi hidup.

Hari-hari berikutnya gelombang ujian mulai datang. Uang pesangon habis untuk bayar kontrakan dan membeli kebutuhan pokok. Pak No sempat melamar pekerjaan di beberapa tempat, tidak memilih bekerja apa saja yang penting mendapatkan gaji halal; tetapi tidak ada panggilan untuknya.

Namun, ia tetap bangun pagi, shalat tahajud tidak pernah dia tinggalkan, juga shalat dhuha, lalu keluar rumah bukan untuk bekerja, tapi mencari peluang. Ia sempat jadi tukang parkir, lalu bantu bersih-bersih masjid, membersihkan selokan rumah tetangga; menyikat kamar mandi tetangga yang minta bantuan, mencuci mobil tetangga, bahkan reparasi payung-pun dijabanin; tak sekalipun ia mengeluh. Semua dilakoni dengan ihlas.

Suatu hari Jumat, setelah shalat di masjid, Pak No melihat seorang anak kecil berdiri di luar gerbang. Pakaiannya kotor dan ia menatap kotak infak masjid dari kejauhan. Pak No tidak berfikiran negatif; justru beliau bertanya:. “Mau infak, Nak?”. Anak itu mengangguk pelan. “Tapi uangnya tinggal seribu. Ini buat beli roti…”. Pak No tersenyum. Ia keluarkan uang dua ribu dari saku celananya—uang satu-satunya yang tersisa hari itu. Ia sodorkan ke anak itu sambil berkata: “Ambil ini, beli roti dua. Satu buat kamu, satu buat temenmu. Lain kali, kalau mau infak, kasih doa juga ya.”. Anak itu memeluk Pak No sejenak, lalu pergi sambil tersenyum lebar. Pak No menatapnya dengan haru. “Ya Allah, aku tidak punya apa-apa hari ini. Tapi semoga ini cukup sebagai bentuk syukurku kepada-Mu.”

Tiga hari kemudian, Pak No dicari oleh seorang yang tak dikenalnya. Suaranya sopan, memperkenalkan diri sebagai ustaz dari sebuah pesantren wakaf di luar daerah, dan berkata:“Kami sedang butuh penjaga keamanan untuk lingkungan pondok, yang bisa juga membimbing anak-anak santri tentang adab dan shalat. Kami dapat nama Bapak dari rekomendasi seorang warga masjid. Apakah Bapak bersedia?”

Pak No terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Subhanallah… tentu saya bersedia, Pak.”

Mulailah babak baru dalam hidup Pak No. Ia tinggal di rumah kecil milik pondok bersama istri tercinta, diberi gaji cukup, makan dari dapur pondok, dan lebih penting lagi: ia kembali merasa dibutuhkan. Pak No sering berucap “Ya Allah, terima kasih karena Engkau ajarkan aku melepas dunia, dan menerima takdir-Mu dengan ridha. Ternyata, apa yang terlihat buruk di awal, bisa jadi jalan pulang menuju kebaikan yang lebih besar.”

Melepas bukan berarti kalah, dan menerima bukan berarti lemah. Dalam Islam, kita diajarkan untuk ikhlas atas apa yang Allah ambil, dan bersyukur atas apa yang Allah beri. Bahkan jika satu pintu tertutup, Allah bisa membuka pintu-pintu lain yang lebih berkah—asal kita tetap sabar dan percaya pada-Nya.

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengelola dan merespons pengalaman emosional secara adaptif. Dalam banyak studi, kemampuan untuk melepaskan dan menerima telah terbukti berperan penting dalam proses regulasi emosi. Melepas dapat mengurangi intensitas emosi negatif yang bersumber dari keterikatan pada masa lalu, sedangkan penerimaan memungkinkan individu untuk tidak terjebak dalam siklus penolakan terhadap kenyataan. Dalam studi longitudinal oleh Shallcross, ditemukan bahwa individu yang mampu menerima emosi negatifnya secara sadar dan terbuka menunjukkan gejala depresi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menolak atau menghindari perasaan tersebut.

Menariknya, banyak penelitian menunjukkan bahwa individu yang berhasil melalui fase “melepas dan menerima” justru mengalami pertumbuhan pribadi yang signifikan. Konsep post-traumatic growth (PTG) menjelaskan bahwa setelah mengalami peristiwa menyakitkan, banyak orang menemukan makna baru dalam hidup, memperkuat hubungan interpersonal, dan membangun kembali identitas diri yang lebih sehat. Dalam hal ini, proses pelepasan dan penerimaan tidak hanya menjadi alat bertahan, tetapi juga menjadi jembatan menuju transformasi psikologis yang lebih mendalam. Semoga kita mampu mengambil hikmah dari semua peristiwa yang kita alami selama hidup di dunia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman