Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Di banyak media sering kita mendapatkan informasi informasi bagaimana “rakus”nya manusia dalam mengarungi kehidupan ini. Bukan hanya nasi yang dimakan, tetapi bisa saja aspal, semen, pasir, batu koral, besi; bahkan tenaga sesama teman. Menyedihkan lagi ditemukan informasi pasangan pasutripun berperilaku demikian. Semula mereka diikat oleh cinta yang luhur; namun seiring perjalanan waktu justru berubah menjadi saling mengekploitir satu sama lain. Jika dahulu ada pemeo “ada uang abang sayang”; sekarang hal itu nyata adanya, dan berubah menjadi lebih dahsyat; “jika ada uang kau abangku, jika miskin tinggalkan aku”. Oleh sebab itu sekarang ungkapan “Butuh uangnya, tidak orangnya” mulai sering sayup-sayup terdengar di berbagai lini kehidupan masyarakat, terutama dalam percakapan sehari-hari yang berkaitan dengan relasi kerja, bantuan sosial, pinjam-meminjam, bahkan hubungan keluarga. Pernyataan ini terdengar sinis namun jujur, menunjukkan fenomena bahwa manusia hari ini cenderung lebih menghargai apa yang dimiliki seseorang, terutama secara finansial; daripada siapa sejatinya orang itu.
Di tengah era digital yang memacu produktivitas, kompetisi, dan efisiensi, manusia perlahan-lahan menjelma menjadi alat, bukan lagi subjek. Dalam berbagai ruang sosial, keberadaan individu tak lagi bernilai jika tidak memberikan manfaat ekonomi. Hubungan personal pun tereduksi menjadi transaksional: siapa yang bisa memberi, dialah yang dicari; siapa yang tidak berguna secara finansial, cepat atau lambat akan disingkirkan dari lingkaran sosial yang ada.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kita sedang berada dalam krisis kemanusiaan yang dibungkus rapi oleh kemajuan peradaban. Maka, sebenarnya penting untuk membongkar ulang kenyataan ini; bukan hanya untuk mengkritisi budaya yang terbentuk saja, akan tetapi juga untuk memulihkan nilai-nilai dasar dalam interaksi sosial: penghargaan terhadap martabat manusia, empati, dan solidaritas.
Berbicara tentang uang; secara sosiologis, uang pada awalnya adalah instrumen tukar-menukar, diciptakan untuk mempermudah distribusi sumber daya. Namun dalam perjalanan waktu, uang mengalami transfigurasi peran: dari sekadar alat menjadi simbol kekuasaan, status, bahkan nilai diri. Seseorang yang memiliki banyak uang sering kali lebih dihormati, bahkan tanpa perlu mempertontonkan kualitas moral atau intelektualnya. Sementara yang miskin, meskipun berintegritas, kerap kali dipinggirkan. Dalam relasi personal maupun institusional, seseorang bisa menjadi “berharga” hanya karena kemampuan ekonominya. Inilah yang melahirkan fenomena “butuh uangnya, tidak orangnya” wujud dari sebuah mentalitas yang mereduksi manusia menjadi angka di rekening atau aset yang bisa dimanfaatkan.
Di media sosial, kita sering melihat konten tentang hubungan antarmanusia yang diukur dari seberapa besar pasangan “berinvestasi”: apakah ia memberi hadiah mahal, menanggung biaya hidup, atau mentransfer saldo harian. Narasi ini menjadi begitu populer hingga membentuk standar sosial baru. Bahkan, tidak jarang seseorang mengakhiri hubungan karena pihak lain dianggap “tidak bercuan”.
Fenomena ini juga melanda wilayah pertemanan, seseorang akan lebih mudah diterima jika memiliki “manfaat”: bisa mencarikan pekerjaan, punya koneksi, atau bisa “mentraktir kapan saja”. Maka tidak mengherankan jika orang mulai membangun relasi dengan tujuan yang sangat pragmatis, bukan lagi emosional atau ideologis. Akibatnya hubungan sosial menjadi sejenis investasi: harus menghasilkan return. Jika tidak ada keuntungan, maka relasi dianggap sia-sia.
Tampaknya kapitalisme modern sudah bertriwikrama bukan hanya sekedar sistem ekonomi; akan tetapi berubah; ia adalah sistem nilai yang membentuk cara berpikir manusia. Dalam logika kapitalisme, segalanya harus produktif, efisien, dan mendatangkan keuntungan. Empati, solidaritas, dan ketulusan menjadi nilai yang kalah pamor karena tidak bisa “dikapitalisasi”. Dalam iklim seperti ini, manusia lebih mencintai keuntungan dari pada mencintai sesama. Ironisnya lagi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi “tenaga kerja kompetitif”, bukan warga negara yang peduli. Kita perlahan tetapi pasti akan menjadi manusia yang kering: hidup dalam lingkungan yang penuh transaksi tapi minim interaksi sejati.
Relasi darah yang semestinya jadi tempat terakhir manusia menemukan cinta tanpa syarat, kini pun tak luput dari krisis. Berapa banyak konflik keluarga yang berakar pada sumber keuangan, warisan, tanggungan jawab finansial, hingga utang-piutang sering kali membuat hubungan keluarga renggang bahkan hancur berkeping-keping. Lebih mengerikan lagi ada anak yang menilai orang tuanya berdasarkan jumlah harta yang diwariskan. Begitu pula sebaliknya, orang tua yang memperlakukan anak sebagai “investasi masa depan” demi menjamin kehidupan di hari tua. Cinta dan kasih sayang pun berubah menjadi perhitungan untung rugi, dan akhirnya menjadikan keluarga kehilangan fungsi emosionalnya. Kita tidak lagi menemukan kehangatan kemanusiaan didalamnya.
Di titik ini, kita mesti bertanya ulang: apakah kita bekerja untuk bertumbuh sebagai manusia, atau sekadar menjadi mesin ekonomi. Kemajuan teknologi, terutama media sosial, turut memperkuat kecenderungan relasi materialistic ini. Di saat yang sama, manusia menjadi lebih kesepian. Relasi yang dijalin lewat layar sering kali superficial. Kita lebih mengenal dompet digital seseorang daripada isi hatinya. Hubungan menjadi lebih instan, dangkal, dan tidak berumur panjang. Ternyata teknologi disamping memberi kecepatan, tetapi juga sekaligus mencuri kedalaman dalam relasi manusia.
“Butuh uangnya, tidak orangnya” bukan sekadar guyonan semata; ini adalah cermin atau tanda jaman. Ungkapan ini mencerminkan dunia yang lebih menghargai kapital daripada karakter, lebih menghormati rekening bank daripada rekam jejak moral, dan lebih mengejar untung daripada hubungan. Apakah ini tanda-tanda akhir jaman, entahlah…. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Negeri “Jegog” (Antara Lelah, Pasrah, dan Salah)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Entah kenapa sore itu rasa kantuk menyerang begitu hebat. Menunggu datangnya waktu isya’-pun terasa begitu berat. Sepulang dari musala sebelah rumah, langsung ngglosor di kursi panjang rebahan. Di arasy setengah sadar, ada terasa yang membawa pergi bersama rombongan tour ke suatu tempat. Anehnya ketua rombongan dan supir pembawa kendaraan semua bermuka “jegog”. Saya pakai sebutan jegog untuk suatu benda hidup hanya untuk menghindari sarkasme. Jegog adalah kata dalam Bahasa Jawa yang artinya gonggong.
Kami rombongan bersepuluh yang tidak saling kenal satu sama lain, menaiki kendaraan itu dan masuklah ke suatu wilayah. Di tempat tujuan, kami disambut dengan meriah oleh warganya yang semua bermuka jegog.
Selamat datang di Negeri Jegog terpampang jelas di pintu gerbang kota dengan tulisan berhuruf arkrilik berwarna keemasan. Negeri ini konon katanya gemah ripah loh jinawi, tempat di mana air tumpah bisa jadi kolam renang, dan tanah subur cukup ditanam doa langsung panen harapan. Negeri yang katanya punya budaya luhur, masyarakat ramah, dan pemerintahan bijaksana. Dan, itu tertulis jelas semua dalam brosur pariwisata. Pada kenyataannya, Negeri Jegog adalah tempat di mana akal sehat sering digadaikan demi jabatan, dan logika dikorbankan hanya mengejar konten viral. Jangan salah, negeri ini sangat demokratis karena semua orang boleh bicara apa saja, asal suaranya tidak mengganggu para penguasa.
Salah satu keajaiban Negeri Jegog adalah sistem hukumnya yang sangat “mengasyikkan”. Di negeri ini, hukum itu seperti karet: bisa melar dan mengecil tergantung siapa yang memegang. Kalau rakyat kecil mencuri singkong sebatang, hukum datang dengan sirine dan borgol. Tapi kalau pejabat mencuri uang negara triliunan, hukum datang dengan undangan makan malam dan diskon hukuman secara besar-besaran bagai bazar.
Setiap lima tahun sekali, Negeri Jegog menggelar festival yang disebut Pemilu, yaitu “Pesta Elit Menipu Umat.” Rakyat diberi panggung sejenak untuk merasa penting; dirindu puja walau berdusta, diberi air mata palsu, dan yang tidak kalah seru dikasih goyang gemoy.
Mereka disodori janji manis seperti “akan ada banyak lapangan kerja disediakan”, “semua harga akan diturunkan”, “makan siang gratis untuk anak sekolah”, “semua sekolah gratis”, dan yang dihiperbolakan “korupsi diberantas”. Namun setelah kotak suara ditutup, janji itu dibungkus rapi dan disimpan sebagai koleksi. Hebatnya lagi, pemimpin yang pernah masuk penjara karena korupsi, bisa dengan bangga mencalonkan diri lagi untuk menjadi apapun. Anehnya rakyat, Entah karena amnesia massal atau efek kebanyakan nonton sinetron, seringkali memilih kembali; dengan alasan demi stabilitas, padahal yang stabil itu cuma penderitaan tanpa akhir.
Di Negeri Jegog, media berubah fungsi menjadi alat propaganda dan pengalihan isu. Berita korupsi disisipkan di antara gosip artis dan viralnya jegog berjoget. Ketika rakyat marah soal kenaikan harga, media akan menampilkan berita: “Menteri Bagi-Bagi Sembako Sambil Tersenyum.” Di Negeri Jegog, berita buruk bukan direspon untuk perbaikan, akan tetapi untuk ditutupi.
Menarik lagi di negeri Jegog ini, sebab pulau bisa berubah penguasanya dalam tempo sesaat; hari ini dikelola oleh penguasa A; besok mendadak dikelola penguasa B. Pola kepemimpinan simsalabim adalah hal yang biasa. Jika rakyatnya teriak, buru-buru mereka meralat dengan satu kata “kesalahan komunikasi”; karena komunikasi tidak bisa dipenjarakan, didenda atau dihukum mati.
Lebih seru lagi di Negeri Jegog, hutan lindung yang merupakan hutan larangan, ternyata sudah terbit sertifikat hak milik untuk ratusan orang. Begitu terbuka persoalannya kepermukaan, mereka ramai-ramai saling tuding untuk menyalahkan. Namun setelah waktu berlalu, kasus didiamkan, maka amanlah semua. Akhirnya anak cucu mereka nanti akan diwarisi gurun gundul yang membuat banjir dimana-mana. Hebatnya mereka berkata bagai koor paduan suara “Gimana nanti aja itu urusan yang lahir belakangan”. Di Negeri Jegog bisa terjadi “orang waras di tuduh gila, orang gila dipuja-puja”; dasar Negeri Jegog semua itu dianggap biasa-biasa saja.
Sayup-sayup terdengar suara “Pak..pak..bangun…bangun jangan tidur di sini, nanti lehernya sakit…pindah kekamar sana”. Ya Allah ternyata semua itu tadi mimpi; karena tidur di kursi tamu yang posisinya tidak sempurna. Sambil berbenah, terpaksa pindah tidur ke kamar utama dengan doa “semoga tidak mimpi lagi”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara Harapan 3 Solo Dance di National Art Competition 2025
Kompetisi tingkat nasional ini menjadi ajang bergengsi bagi para pelaku seni muda dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk menunjukkan bakat dan kreativitas mereka di bidang seni tari. Persaingan yang ketat tidak menyurutkan semangat Elsa untuk tampil maksimal dan memukau para juri serta penonton dengan penampilannya yang energik, ekspresif, dan penuh penghayatan.
Elsa mengungkapkan bahwa ini adalah kali keduanya mengikuti kompetisi NAC. “Bisa kembali mengikuti NAC Vol. 2 dan meraih juara merupakan kebanggaan tersendiri. Dari sekian banyak peserta, saya merasa bersyukur bisa terpilih menjadi salah satu pemenang,” ujar Elsa penuh semangat.
Lebih lanjut, ia memberikan pesan inspiratif kepada para mahasiswa dan generasi muda lainnya, “Jangan takut untuk menunjukkan bakat. Menang atau kalah hanyalah bonus, yang terpenting adalah kita sudah berani tampil, menunjukkan kemampuan kita secara maksimal, dan membuat orang lain terpukau.”
Pencapaian ini tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi bagi Elsa, tetapi juga menjadi motivasi bagi sivitas akademika Universitas Malahayati untuk terus mendukung mahasiswa dalam menyalurkan minat dan bakatnya, baik di bidang akademik maupun non-akademik.
Selamat kepada Elsa Blezinsky atas prestasi gemilangnya. Teruslah berkarya dan menginspirasi! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dukung Remaja Penyandang Disabilitas, Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Gelar Edukasi Gizi dan Kesehatan Reproduksi
Kegiatan yang berlangsung pada 7 Mei 2025 ini merupakan implementasi langsung dari mata kuliah Rapid Survey, Epidemiologi Gizi, dan Epidemiologi Kesehatan Reproduksi. Dalam praktiknya, mahasiswa tidak hanya menerapkan ilmu yang telah didapatkan di bangku kuliah, tetapi juga turut berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup kelompok rentan.
Bentuk kegiatan yang dilakukan sangat variatif dan edukatif, meliputi: Penyuluhan dengan media video edukasi tentang gizi seimbang dan kesehatan reproduksi remaja, permainan edukatif seputar makanan sehat untuk meningkatkan pemahaman peserta dengan cara menyenangkan, praktik langsung perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), seperti mencuci tangan yang benar dan menjaga kebersihan diri.
Ketua tim pengabdian masyarakat, Fitri Eka Sari, SKM., M.Kes, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian sosial sekaligus media pembelajaran kontekstual bagi mahasiswa.
“Kami ingin menanamkan kesadaran kepada mahasiswa bahwa ilmu kesehatan masyarakat tidak hanya dipelajari, tapi harus diturunkan kepada masyarakat, terutama kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi kesehatan yang mudah dipahami dan aplikatif,” ujar Fitri.
Ia menambahkan, edukasi ini dirancang dengan pendekatan inklusif dan komunikatif, agar para peserta dapat berpartisipasi aktif dan merasa dihargai.
Kegiatan ini turut didampingi oleh dua dosen pendamping, yaitu Agung Aji Perdana, M.Epid. dan Dr. Wayan Aryawati, SKM., M.Kes. Keduanya menekankan pentingnya keterlibatan mahasiswa dalam pengabdian lapangan untuk menumbuhkan empati dan memperkuat keterampilan komunikasi publik yang adaptif.
“Mahasiswa belajar tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga bagaimana berkomunikasi efektif dengan peserta yang memiliki kebutuhan khusus. Ini adalah pengalaman yang tak ternilai bagi mereka,” tandasnya.
Melalui kegiatan ini, Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati kembali menunjukkan bahwa pendidikan tinggi tidak hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga berdaya guna secara sosial, membawa manfaat nyata bagi masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dilihat Marah, Tidak Dilihat Murka (Sebuah Tinjauan Filsafat Manusia)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dampak adanya media sosial digital, semua individu bebas mengekspresikan keadaan dirinya melalui media ini. Termasuk diantaranya saat yang bersangkutan marah, gembira dan atau keadaan apapun. Tentu dengan tujuan sesuai dari keinginan individu pelaku. Hal ini terjadi karena manusia bukan hanya makhluk yang berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang merasakan, menyimpan, dan mengekspresikan emosi.
Dari seluruh spektrum emosi, amarah adalah salah satu yang paling kuat dan paling mudah dikenali. Namun, di balik amarah yang tampak, sering tersembunyi sesuatu yang lebih dalam dan lebih berbahaya, yaitu murka. Marah dapat dilihat melalui raut wajah, suara, atau tindakan. sedangkan murka, sering tidak terlihat, sebab ia bersembunyi di ruang terdalam kesadaran manusia.
Bersumber dari berbagai referensi konvensional, serta ditelusuri melalui penjejak digital, ditemukan informasi bahwa dalam filsafat manusia, istilah “dilihat marah, tidak dilihat murka” membuka medan refleksi yang luas.
Marah sebagai ekspresi fenomenal sering kali dianggap destruktif, tetapi murka yang tidak terungkap dapat menjadi lebih membahayakan bagi individu maupun masyarakat. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan maruwah atau martabat suatu kaum, maka sangat membahayakan bagi keberlangsungan kebersamaan yang selama ini dirawat dan dipelihara.
Sementara itu dalam pendekatan fenomenologi, emosi dipahami bukan hanya sebagai reaksi psikologis, melainkan sebagai bagian dari cara manusia mengalami dunia secara utuh. Marah tampak sebagai ekspresi yang keluar sebagai fenomena. Kita bisa melihat seseorang marah: alis mengerut, suara meninggi, tangan mengepal. Namun, murka bersifat laten. Ia adalah emosi yang ditahan, dipendam, dan tidak selalu punya ekspresi fisik. Ia bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan menjadi bagian dari karakter seseorang. Dalam konteks ini, murka adalah eksistensi yang ditahan untuk tidak mewujud, dan oleh k arena itu, ia menumpuk, mengendap, dan bisa meledak tanpa peringatan.
Berbeda lagi dalam filsafat eksistensialisme, seperti pada pemikiran Sartre atau Heidegger, manusia adalah makhluk yang “dilemparkan ke dunia” dan dipanggil untuk mengafirmasi keberadaannya dengan kebebasan dan tanggung jawab. Ketika manusia mengalami peristiwa yang menyakitkan seperti: pengkhianatan, ketidakadilan, penindasan; Dia bisa memilih untuk marah sebagai bentuk perlawanan eksistensial. Namun, jika ia tidak mampu atau tidak berani mengungkapkan amarah itu, maka yang muncul adalah murka. Dengan kata lain murka adalah bentuk dari “eksistensi yang terpenjara”; terpenjara dalam luka yang tidak disuarakan. Murka bukan sekadar reaksi emosional, tapi bisa menjadi bentuk eksistensial dari kehilangan makna dan kehilangan kendali terhadap hidup sendiri.
Dalam etika Aristotelian, marah itu sah, bahkan perlu, selama berada dalam proporsi yang tepat. Aristoteles menekankan bahwa menjadi marah tidak salah, tetapi harus marah pada hal yang tepat, dalam kadar yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Dengan kata lain, marah adalah bagian dari kehormatan dan keberanian moral jika diarahkan dengan benar. Sedangkan murka, sebaliknya, adalah emosi yang kehilangan orientasi etis. Ia tidak mempedulikan keadilan atau kebaikan, hanya ingin membalas atau menyakiti. Ia bisa menjadi akar dari dendam, kekerasan, atau pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Pada budaya Indonesia, mengekspresikan kemarahan secara terbuka sering dianggap tidak sopan atau tidak dewasa. Ini menghasilkan budaya di mana banyak orang menahan emosi, memendam, dan memilih diam hanya demi menjaga harmoni semu. Dalam jangka pendek, ini mungkin dapat menciptakan stabilitas sosial. Namun dalam jangka panjang, budaya ini melahirkan generasi yang tidak mampu mengelola emosi secara sehat, dan akhirnya menyimpan murka dalam diam.
Inilah yang dikhawatirkan untuk kasus empat pulau di Aceh. Bisa jadi jangka pendek itu bisa diselesaikan dengan cara patgulipat; namun jangka panjang ada murka kolektif yang tertanam pada generasi berikut. Di sini, kita harus jujur melihat bagaimana murka tidak hanya menjadi urusan personal, tetapi juga kolegial. Ia menyebar sebagai trauma kolektif, kekecewaan massal, dan apatisme sosial yang membeku.
“Dilihat marah, tidak dilihat murka” adalah lensa yang tajam untuk membaca kondisi manusia; baik secara personal maupun kolektif.
Dalam konteks Indonesia hari ini, ia bukan sekadar metafora, tapi kenyataan politik, sosial, dan eksistensial. Oleh sebab itu tidak salah bila orang bijak mengatakan demokrasi sejati bukan hanya tentang hak suara, tapi juga tentang kemampuan kolektif untuk menyatakan luka, menyembuhkan murka, dan membangun masa depan yang lebih baik secara jujur dan adil. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Malahayati Raih Juara 1 Nasional di Bidang Matematika
Kejuaraan Sains Nasional merupakan ajang bergengsi yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ajang ini menjadi wadah pengembangan potensi akademik mahasiswa di berbagai bidang ilmu, termasuk Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan lainnya.
Yang menarik, Defa yang berasal dari jurusan Ilmu Hukum, justru berhasil menorehkan prestasi gemilang di bidang Matematika—bidang yang umumnya didominasi oleh mahasiswa sains dan teknik. Keberhasilannya ini tidak hanya membanggakan Universitas Malahayati, tetapi juga membuktikan bahwa minat dan kemampuan lintas disiplin bisa melahirkan capaian luar biasa.
Dalam wawancara singkat, Defa mengungkapkan bahwa pencapaiannya adalah hasil dari ketekunan dan semangat untuk terus belajar. “Pengalaman ini sangat berharga bagi saya. Selain menambah wawasan dan keterampilan, saya belajar banyak hal tentang bagaimana berpikir logis, sistematis, dan analitis,” ujar Defa.
Ia juga membagikan pesan inspiratif kepada rekan-rekan mahasiswa lainnya, “Jangan mudah menyerah saat menghadapi kegagalan. Karena dari kegagalan kita belajar. Proses itu penting, dan setiap langkah adalah bagian dari perjalanan menuju keberhasilan.”
Keberhasilan Defa Azzah Dianti ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu bersaing di kancah nasional di luar disiplin ilmunya. Pihak kampus pun turut mengapresiasi prestasi Defa dan berharap pencapaiannya dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus mengembangkan potensi diri. Selamat dan sukses untuk Defa Azzah Dianti! Teruslah berkarya dan menginspirasi. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Ucapkan Dirgahayu ke-343 untuk Kota Bandar Lampung
Dengan mengusung tema “Bandar Lampung Gemilang, Sinergi Potensi Lokal Menuju Kota yang Sehat, Cerdas, Berbudaya, Nyaman, Unggul, dan Berdaya Saing”, Universitas Malahayati meyakini bahwa kolaborasi lintas sektor – termasuk dunia pendidikan, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam mewujudkan visi besar tersebut.
Sebagai institusi pendidikan tinggi yang berada di jantung Kota Bandar Lampung, Universitas Malahayati siap bersinergi dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul dan berkontribusi nyata terhadap pembangunan kota yang sehat, cerdas, dan berbudaya.
Selama lebih dari dua dekade berdiri di Bandar Lampung, Universitas Malahayati telah menjadi bagian penting dalam ekosistem pendidikan dan pengembangan masyarakat. Berbagai program Tri Dharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat secara aktif dijalankan demi mendukung kemajuan Kota Bandar Lampung.
Universitas Malahayati mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus menjaga semangat gotong royong, memperkuat identitas budaya lokal, dan bersama-sama melangkah menuju Bandar Lampung yang lebih gemilang.
Dirgahayu ke-343 Kota Bandar Lampung! Terus maju dan bersinar untuk Indonesia yang lebih baik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Butuh Uangnya, Tidak Orangnya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Di banyak media sering kita mendapatkan informasi informasi bagaimana “rakus”nya manusia dalam mengarungi kehidupan ini. Bukan hanya nasi yang dimakan, tetapi bisa saja aspal, semen, pasir, batu koral, besi; bahkan tenaga sesama teman. Menyedihkan lagi ditemukan informasi pasangan pasutripun berperilaku demikian. Semula mereka diikat oleh cinta yang luhur; namun seiring perjalanan waktu justru berubah menjadi saling mengekploitir satu sama lain. Jika dahulu ada pemeo “ada uang abang sayang”; sekarang hal itu nyata adanya, dan berubah menjadi lebih dahsyat; “jika ada uang kau abangku, jika miskin tinggalkan aku”. Oleh sebab itu sekarang ungkapan “Butuh uangnya, tidak orangnya” mulai sering sayup-sayup terdengar di berbagai lini kehidupan masyarakat, terutama dalam percakapan sehari-hari yang berkaitan dengan relasi kerja, bantuan sosial, pinjam-meminjam, bahkan hubungan keluarga. Pernyataan ini terdengar sinis namun jujur, menunjukkan fenomena bahwa manusia hari ini cenderung lebih menghargai apa yang dimiliki seseorang, terutama secara finansial; daripada siapa sejatinya orang itu.
Di tengah era digital yang memacu produktivitas, kompetisi, dan efisiensi, manusia perlahan-lahan menjelma menjadi alat, bukan lagi subjek. Dalam berbagai ruang sosial, keberadaan individu tak lagi bernilai jika tidak memberikan manfaat ekonomi. Hubungan personal pun tereduksi menjadi transaksional: siapa yang bisa memberi, dialah yang dicari; siapa yang tidak berguna secara finansial, cepat atau lambat akan disingkirkan dari lingkaran sosial yang ada.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kita sedang berada dalam krisis kemanusiaan yang dibungkus rapi oleh kemajuan peradaban. Maka, sebenarnya penting untuk membongkar ulang kenyataan ini; bukan hanya untuk mengkritisi budaya yang terbentuk saja, akan tetapi juga untuk memulihkan nilai-nilai dasar dalam interaksi sosial: penghargaan terhadap martabat manusia, empati, dan solidaritas.
Berbicara tentang uang; secara sosiologis, uang pada awalnya adalah instrumen tukar-menukar, diciptakan untuk mempermudah distribusi sumber daya. Namun dalam perjalanan waktu, uang mengalami transfigurasi peran: dari sekadar alat menjadi simbol kekuasaan, status, bahkan nilai diri. Seseorang yang memiliki banyak uang sering kali lebih dihormati, bahkan tanpa perlu mempertontonkan kualitas moral atau intelektualnya. Sementara yang miskin, meskipun berintegritas, kerap kali dipinggirkan. Dalam relasi personal maupun institusional, seseorang bisa menjadi “berharga” hanya karena kemampuan ekonominya. Inilah yang melahirkan fenomena “butuh uangnya, tidak orangnya” wujud dari sebuah mentalitas yang mereduksi manusia menjadi angka di rekening atau aset yang bisa dimanfaatkan.
Di media sosial, kita sering melihat konten tentang hubungan antarmanusia yang diukur dari seberapa besar pasangan “berinvestasi”: apakah ia memberi hadiah mahal, menanggung biaya hidup, atau mentransfer saldo harian. Narasi ini menjadi begitu populer hingga membentuk standar sosial baru. Bahkan, tidak jarang seseorang mengakhiri hubungan karena pihak lain dianggap “tidak bercuan”.
Fenomena ini juga melanda wilayah pertemanan, seseorang akan lebih mudah diterima jika memiliki “manfaat”: bisa mencarikan pekerjaan, punya koneksi, atau bisa “mentraktir kapan saja”. Maka tidak mengherankan jika orang mulai membangun relasi dengan tujuan yang sangat pragmatis, bukan lagi emosional atau ideologis. Akibatnya hubungan sosial menjadi sejenis investasi: harus menghasilkan return. Jika tidak ada keuntungan, maka relasi dianggap sia-sia.
Tampaknya kapitalisme modern sudah bertriwikrama bukan hanya sekedar sistem ekonomi; akan tetapi berubah; ia adalah sistem nilai yang membentuk cara berpikir manusia. Dalam logika kapitalisme, segalanya harus produktif, efisien, dan mendatangkan keuntungan. Empati, solidaritas, dan ketulusan menjadi nilai yang kalah pamor karena tidak bisa “dikapitalisasi”. Dalam iklim seperti ini, manusia lebih mencintai keuntungan dari pada mencintai sesama. Ironisnya lagi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi “tenaga kerja kompetitif”, bukan warga negara yang peduli. Kita perlahan tetapi pasti akan menjadi manusia yang kering: hidup dalam lingkungan yang penuh transaksi tapi minim interaksi sejati.
Relasi darah yang semestinya jadi tempat terakhir manusia menemukan cinta tanpa syarat, kini pun tak luput dari krisis. Berapa banyak konflik keluarga yang berakar pada sumber keuangan, warisan, tanggungan jawab finansial, hingga utang-piutang sering kali membuat hubungan keluarga renggang bahkan hancur berkeping-keping. Lebih mengerikan lagi ada anak yang menilai orang tuanya berdasarkan jumlah harta yang diwariskan. Begitu pula sebaliknya, orang tua yang memperlakukan anak sebagai “investasi masa depan” demi menjamin kehidupan di hari tua. Cinta dan kasih sayang pun berubah menjadi perhitungan untung rugi, dan akhirnya menjadikan keluarga kehilangan fungsi emosionalnya. Kita tidak lagi menemukan kehangatan kemanusiaan didalamnya.
Di titik ini, kita mesti bertanya ulang: apakah kita bekerja untuk bertumbuh sebagai manusia, atau sekadar menjadi mesin ekonomi. Kemajuan teknologi, terutama media sosial, turut memperkuat kecenderungan relasi materialistic ini. Di saat yang sama, manusia menjadi lebih kesepian. Relasi yang dijalin lewat layar sering kali superficial. Kita lebih mengenal dompet digital seseorang daripada isi hatinya. Hubungan menjadi lebih instan, dangkal, dan tidak berumur panjang. Ternyata teknologi disamping memberi kecepatan, tetapi juga sekaligus mencuri kedalaman dalam relasi manusia.
“Butuh uangnya, tidak orangnya” bukan sekadar guyonan semata; ini adalah cermin atau tanda jaman. Ungkapan ini mencerminkan dunia yang lebih menghargai kapital daripada karakter, lebih menghormati rekening bank daripada rekam jejak moral, dan lebih mengejar untung daripada hubungan. Apakah ini tanda-tanda akhir jaman, entahlah…. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kegaduhan Aceh vs Medan, Belajar dari Penelitian Desa Tertukar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kegaduhan eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat belum reda, muncul kehebohan empat pulau milik Aceh beralih ke Sumatera Utara. Bendera Palam Peudeung kembali berkibar di Tanah Rencong. Aceh bergejolak atas putusan Mendagri Tito Karnavian.
Terkait kehebohan tersebut, seorang sahabat lulusan perguruan tinggi ternama luar negeri yang pernah menjadi kuasa penelitian perguruan tinggi terkenal daerah ini mengingatkan penulis pernah meneliti desa “tertukar” di wilayah perbatasan.
Teringat, kebijakan pemekaran wilayah merupakan upaya pemerataan pembangunan dan pelayanan publik agar secara administrasi dekat dengan masyarakat serta pembangunan yang lebih merata.
Namun, dalam praktiknya, pemekaran wilayah tidak selalu berjalan mulus. Salah satu fenomena yang muncul akibat pemekaran adalah kasus “desa yang tertukar” akibat kesalahan penempatan administrasi desa.
Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak administratif, sosial, dan hukum yang cukup kompleks akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah induk, dan daerah pemekaran.
Dalam beberapa kasus, peta batas wilayah yang digunakan masih mengacu pada peta lama yang belum diperbarui, atau bahkan hanya menggunakan patokan alami seperti sungai atau bukit yang telah berubah.
Akibatnya, satu atau lebih desa bisa “terseret” ke wilayah administratif yang salah. Demikian juga halnya dengan keberadaan, pulau bisa jadi menjadi korban dari kebijaksanaan yang carut marut ini.
Contoh, satu desa yang sebelumnya berada di Kabupaten A, setelah pemekaran justru tercatat masuk ke Kabupaten B. Padahal secara geografis, budaya, bahkan sosial-ekonomi, desa tersebut lebih dekat dan memiliki keterkaitan erat dengan Kabupaten A.
Hal ini bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga berdampak pada jati diri desa dan keabsahan administrasi pemerintahan desa itu sendiri. Dan, beberapa tahun lalu saat penelitian dilakukan, juga ditemukan di lapangan hal seperti ini.
Dampak paling nyata dari desa yang tertukar adalah kebingungan administratif. Warga desa menghadapi kesulitan saat mengurus dokumen seperti KTP, KK, akta lahir, maupun surat kepemilikan tanah.
Selain itu, layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial pun terhambat karena tumpang tindih data kependudukan. Pemerintah daerah yang merasa tidak memiliki tanggung jawab atas desa tersebut sering enggan mengalokasikan anggaran pembangunan.
Di sisi lain, daerah asal desa merasa kehilangan hak pengelolaan terhadap wilayah yang sejak lama menjadi bagian dari mereka.
Selain itu, konflik sosial juga dapat muncul. Warga desa mungkin merasa “dipaksa pindah” secara administrati bisa menimbulkan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah serta melemahkan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan yang ada.
Belajar dari kasus yang ada, maka sebaiknya antara Aceh, Sumatera Utara, bersama Pemerintah Pusat menyelesaikan masalah dengan cara melakukan verifikasi ulang batas wilayah secara partisipatif, melibatkan masyarakat, tokoh adat, dan pemangku kepentingan lokal.
Teknologi pemetaan digital dan sistem informasi geografis (GIS) menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan harus disertai dengan ketelitian administratif dan partisipasi publik yang memadai.
Tanpa itu, niat baik pemerataan pembangunan bisa berubah menjadi sumber masalah baru.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu belajar dari kasus ini agar ke depan setiap kebijakan pemekaran tidak hanya bersifat formalitas administratif, tetapi benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal.
Mempertahankan Aceh agar tetap menjadi satu kesatuan dengan negara kesatuan republic tidaklah mudah dan murah. Banyak darah dan air mata tumpah di sana; jangan hanya karena ambisi sesaat atau kepentingan sesaat dari generasi penerus- yang tidak paham sejarah, semua menjadi berantakan.
Tulisan ini bukan bermaksud menggurui, apalagi mengajari buaya berenang; akan tetapi hanya sekedar mengingatkan demi keutuhkan negeri ini, hanya karena kelalaian atau pendiaman dari mereka yang paham. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Tetirah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menghubungi seorang sohib jurnalis senior untuk berbagi kabar, ternyata beliau sedang melakukan “tetirah” di tempat keluarga yang kebetulan tidak jauh dari tanah kelahiran beliau. Diksi ini sudah lama sekali tidak terdengar di telinga penulis, mungkin sudah lebih dari satu dekade, karena istilah ini untuk telinga orang yang berbudaya Jawa memiliki makna magis tersendiri.
Berdasarkan penelusuran literatur digital ditemukan definisi operasional dalam konsep filosofi Jawa, menjelaskan bahwa “tetirah” memiliki makna yang cukup dalam, tidak hanya secara harfiah tetapi juga secara simbolik dan spiritual.
Secara harfiah, tetirah berarti beristirahat sejenak atau menyepi, biasanya dengan tujuan untuk memulihkan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Dalam konteks modern, tetirah sering digunakan untuk menyebut rehat dari rutinitas atau menjauh dari keramaian demi mencari ketenangan.
Sementara dalam falsafah Jawa, tetirah mencerminkan proses introspeksi dan penjernihan batin. Ini sejalan dengan nilai-nilai spiritualitas Jawa yang menghargai kontemplasi (merenung), laku prihatin (hidup sederhana dan menahan diri), manembah (mendekatkan diri pada Tuhan). Pada pandangan filsafat Jawa, tetirah adalah momen ketika seseorang “munggah kawruh” (menaikkan pengetahuan dan kesadaran), dengan cara menarik diri sejenak dari dunia luar untuk mendengar suara batinnya sendiri.
Dalam praktiknya, tetirah bisa berupa retret ke alam (gunung, hutan, tempat sepi), tapa brata (sejenis meditasi atau lelaku spiritual), menepi ke padepokan atau pesantren, atau sekadar diam di rumah dan mengurangi interaksi sosial. Adapun tujuan utama dari tetirah dalam budaya Jawa adalah mencapai harmoni antara jagad cilik (diri) dan jagad gede (alam/semesta), menemukan jati diri sejati (sangkan paraning dumadi), menjernihkan hati dari hawa nafsu, ego, dan kegaduhan duniawi.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dikejar target, manusia kerap terjebak dalam pusaran aktivitas yang seolah-olah tanpa henti. Waktu terasa sempit, ruang terasa penuh, dan pikiran terus bergerak bahkan saat tubuh diam. Kita hidup dalam era produktivitas, di mana diam sering kali dianggap malas, dan rehat dinilai sebagai kelemahan. Namun dalam filosofi Jawa laku tetirah adalah jawabannya. Tetirah bukan sekadar istirahat akan tetapi adalah rehat yang penuh kesadaran batin; sebuah keputusan untuk menepi, bukan karena kalah atau lelah, melainkan karena sadar bahwa diri ini butuh ruang untuk kembali utuh. Dalam budaya Jawa, tetirah adalah bentuk laku proses spiritual dan emosional untuk menyelami diri, menenangkan batin, dan menemukan kembali arah hidup yang sejati.
Hari-hari kita dipenuhi dengan kebisingan: suara mesin, notifikasi dari gawai, percakapan yang tak putus, dan tekanan dari ekspektasi luar. Kita terus bergerak, berpacu dengan waktu, mengejar target, dan memenuhi peran sebagai pekerja, anak, orang tua, pasangan, teman. Namun, pertanyaan kemudian muncul kapan terakhir kali kita duduk dalam diam dan benar-benar mendengar suara hati kita sendiri?.
Tetirah muncul sebagai bentuk jawaban atas kerinduan akan sunyi. Ia bukan eskapisme, bukan pelarian dari tanggung jawab, tapi bentuk keberanian untuk mengambil jarak. Jarak dari rutinitas, dari tekanan sosial, bahkan dari ego diri sendiri. Dalam tetirah, kita memberi waktu bagi batin untuk kembali jernih karena kita sadar, kadang justru dalam diam kita bisa melangkah paling jauh. Menggunakan istilah teman tadi “sedang reloading”; sehingga seolah-olah kita sedang mereduksi file kehidupan yang tidak terpakai.
Dalam kehidupan yang terus mendorong kita untuk bergerak lebih cepat, tetirah mengajarkan nilai yang kontras, tetapi sangat relevan: berhenti bukan berarti kalah, dan diam bukan berarti tak berjalan. Justru dalam rehat yang sadar itulah, kita bisa menemukan kembali arah, energi, dan makna untuk melangkah lebih jauh dengan hati yang lebih tenang dan jiwa yang lebih utuh.
Semoga sohib yang sedang tetirah mendapatkan ketenangan batin, dan menemukan kembali jati dirinya. Oleh karena itu tetirah bukan berarti berlama-lama menjauh dari dunia; sebab kita harus sadar bahwa kita masih ada di dunia. Kita masih perlu dunia untuk menjadikannya ladang amal; kita masih di dunia karena untuk meneruskan perjalanan abadi kelak, justru kita harus melewati dunia ini. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Kuliah Umum Kewirausahaan: Dorong Mahasiswa Jadi Wirausahawan Muda yang Kreatif, Inovatif, dan Berkelanjutan
Dibuka langsung oleh Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si., kuliah umum ini menekankan pentingnya menanamkan karakter wirausaha sejak di bangku kuliah. Dalam sambutannya, ia menggarisbawahi peran strategis koperasi dan UMKM sebagai pilar ekonomi bangsa yang mampu membuka peluang usaha baru, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Wirausaha bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal karakter dan keberanian untuk mencipta. Melalui koperasi dan UMKM, kita bisa membentuk ekosistem usaha yang lebih inklusif, kolaboratif, dan berkelanjutan,” ujar Dr. Febrianty di hadapan lebih dari 100 mahasiswa Konsentrasi Kewirausahaan.
Suasana acara berlangsung hangat dan penuh antusiasme. Dipandu oleh moderator energik, Septa Putri Yanti, para peserta tampak aktif berdiskusi, bertanya, bahkan berbagi ide-ide kreatif mereka seputar dunia usaha.
Para narasumber juga membagikan tips praktis membangun usaha, mulai dari mengenali pasar, mengembangkan ide produk, hingga membangun tim yang solid. Diskusi interaktif pun menjadi momen penting bagi mahasiswa untuk menggali lebih dalam wawasan yang disampaikan, menciptakan ruang tukar gagasan yang membangun.
“Kuliah umum ini sangat membuka pikiran saya. Ternyata, menjadi wirausahawan itu tidak harus menunggu lulus, tapi bisa dimulai dari sekarang dengan langkah-langkah kecil,” ungkap salah satu peserta seminar.
Sebagai kampus yang terus berkomitmen mencetak generasi muda yang mandiri dan berdampak, Universitas Malahayati melalui Program Studi Manajemen akan terus menghadirkan ruang-ruang pembelajaran seperti ini. Karena setiap langkah kecil bisa menjadi awal dari perubahan besar. Mari terus bergerak, mencipta, dan berdampak! (gil)
Editor: Gilang Agusman