
Bandar Lampung (Malahayati.ac.id): Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda menyelenggarakan acara Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di kalangan pemuda, di Aula MCC Universitas Malahayati, Bandar Lampung, Kamis, 17 Oktober 2024. Acara tersebut dibuka oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, yang sekaligus menjadi keynote speaker.
Rektor Universitas Malahayati sekaligus Anggota DPR RI Komisi X periode 2024-2029, Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan pandangan mendalam tentang pentingnya toleransi, kolaborasi, dan networking bagi generasi muda. Dr. H. Muhammad Kadafi menyoroti posisi Provinsi Lampung sebagai miniatur Indonesia, terutama karena sejarahnya sebagai daerah transmigrasi tertua di Indonesia.
“Lampung itu adalah miniatur Indonesia. Jika kita berkunjung ke wilayah Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Timur, kita akan menemukan pemukiman masyarakat Bali yang membuat suasananya hampir seperti di Bali. Sepanjang jalan, kita bisa melihat pura dan budaya yang mencerminkan kehidupan masyarakat Bali,” ujar Rektor Kadafi.
Selain itu, Rektor Kadafi menekankan keberagaman masyarakat di Lampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Menurutnya, generasi muda harus mampu hadir dengan memberikan toleransi yang luar biasa serta mampu berkolaborasi dalam memberikan kontribusi baik dari segi pemikiran maupun kerja keras untuk bangsa dan negara.
Di tengah arus globalisasi yang bergerak cepat, Rektor Kadafi menekankan pentingnya kolaborasi. “Dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi menjadi sangat intens dan mudah dilakukan. Kita harus berpikir cerdas, bagaimana kita bisa maju bersama melalui kolaborasi,” ungkapnya.
Menurut Rektor Kadafi, moderasi beragama juga menjadi isu yang sangat penting di era ini. Ia mencontohkan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini lebih terbuka untuk berkolaborasi dengan masyarakat global. “Generasi muda harus membangun networking yang kuat, karena dari situ kita bisa menemukan peluang dan mengatasi tantangan di masa depan,” tambahnya.
Kadafi juga menyoroti sektor pariwisata Lampung yang sedang berkembang pesat, menjadi arus ekonomi baru di provinsi tersebut. Berdasarkan target Kementerian Pariwisata, Lampung diproyeksikan akan menerima wisatawan hingga dua kali lipat jumlah penduduknya. “Jumlah penduduk Lampung sekitar 10 juta, sementara target wisatawan tahun ini mencapai 23 juta. Ini artinya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampung dua kali lipat dari jumlah penduduknya,” jelas Kadafi. Ia mengajak generasi muda untuk menyambut keberagaman para wisatawan dengan sikap terbuka dan menjadikan keberagaman sebagai kekuatan yang luar biasa.
Menutup sambutannya, Rektor Kadafi mengajak para pemuda untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada, baik itu di bidang kewirausahaan maupun pendidikan. “Hari ini kita duduk bersama dalam acara ini, kita berbagi pengalaman, peluang, dan kesempatan. Ini adalah momentum luar biasa untuk memperluas networking kita. Dengan jaringan yang kuat, kita tidak hanya akan tumbuh dalam hard skill, tetapi juga akan berkembang dalam soft skill yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan,” pungkas Kadafi.
Sedangkan, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA., selaku Keynote Spekaer menekankan pentingnya membangun cara pandang yang inklusif untuk menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan budaya di era globalisasi. Menurutnya, menjadi besar dan berpengaruh tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan harus melalui upaya membangun relasi kehidupan yang terbuka dan kolaboratif.
“Jika kita membangun relasi dari awal dengan cara yang kompetitif, protektif, bahkan reaktif, kita justru akan cenderung menutup diri. Setiap ada hal baru, kita merasa terancam, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan. Padahal, kita harus membongkar cara pandang eksklusif ini dan menggantinya dengan inklusivitas, sebagai prasyarat penting untuk kehidupan yang plural dan beragam,” ujar Asrorun.
Ia mengingatkan peserta bahwa dunia saat ini semakin “borderless” atau tanpa batas, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Hal ini terlihat dari bagaimana negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini membuka diri untuk berkolaborasi dengan dunia internasional. “Generasi muda harus menyadari bahwa kolaborasi, bukan kompetisi, adalah kunci sukses di masa depan. Negara-negara yang membuka diri justru akan lebih maju,” tambahnya.
Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, Asrorun menjelaskan bahwa tantangan utama bagi generasi muda saat ini adalah mengubah mindset atau cara berpikir mereka. Dengan waktu yang terbatas—hanya sekitar 21 tahun lagi menuju tahun 2045—generasi muda harus mulai mempersiapkan diri dari sekarang.
“Jika sekarang kalian berusia 20 tahun, maka pada saat Indonesia mencapai 100 tahun kemerdekaannya, usia kalian akan 41 tahun. Lihatlah contoh Dr. Muhammad Kadafi, Rektor Universitas Malahayati, yang sudah menjadi anggota DPR dan memimpin kampus sebesar ini pada usia yang masih muda. Apa yang kalian persiapkan untuk menyambut Indonesia Emas?” tanyanya kepada peserta.
Asrorun juga menjelaskan bahwa peta jalan untuk mencapai Indonesia Emas sudah ditetapkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) hingga tahun 2045. Namun, posisi generasi muda dalam peta itu sangat tergantung pada cara pandang mereka terhadap perubahan yang terjadi saat ini.
“Mindset kalian menentukan posisi kalian di masa depan. Apakah kalian akan menjadi pelopor dan trendsetter? Atau hanya akan menjadi pengikut dan bahkan penghalang kemajuan? Jika kita hanya menjadi penonton, kapan kita akan menjadi subjek perubahan?” kata Asrorun, mengajak generasi muda untuk berani mengambil peran aktif.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam era yang semakin kompetitif ini, pendekatan kolaboratif harus lebih diutamakan daripada bersaing secara sempit. Asrorun mencontohkan bagaimana dalam perdagangan global, produk yang dibuat di Vietnam hari ini, bisa berada di meja makan kita esok hari. Dalam dunia yang serba terbuka, kolaborasi menjadi faktor kunci untuk bertahan dan sukses.
Prof. Dr. Asrorun juga menjelaskan bahwa dalam relasi sosial yang terus berubah, inklusivitas menjadi syarat utama untuk tetap relevan. Ia menyoroti pentingnya generasi muda membangun jejaring yang luas dan membuka diri terhadap ide-ide baru.
“Kita hidup di dunia yang terhubung. Relasi sosial dan ekonomi sudah melewati batas negara. Kita tidak bisa lagi berlindung di balik tembok proteksi, melainkan harus siap bersaing secara terbuka dan berkolaborasi,” jelasnya.
Menurut Asrorun, generasi muda tidak boleh hanya fokus pada kompetisi semata, tetapi harus memahami bahwa kolaborasi adalah jalan untuk maju di era global ini. “Mindset kolaboratif ini harus menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan masa depan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya,” pungkasnya.
Para panelis memberikan perspektif beragam terkait moderasi beragama. KH. Hasan Errezha, Ketua Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Lampung, membahas peran pesantren dalam penguatan moderasi beragama. Hasintya Saraswati, Staf Khusus Menpora Bidang Percepatan Inovasi Pemuda dan Olahraga, menekankan pentingnya pemuda dalam menjaga keseimbangan dan harmoni dalam beragama.
Sedangkan, Riski Gunawan, MPd, Fasilitator Nasional PMB Lampung, menutup sesi diskusi dengan menyampaikan definisi dan kebijakan terkait moderasi beragama yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. (*)
Editor : Asyihin
Lima Dosen Universitas Malahayati Ikuti Sosialisasi Pencegahan Pelanggaran HKI
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Lima dosen Universitas Malahayati mengikuti Sosialisasi Pencegahan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Pelaku Usaha Tahun 2024 di Swissbel Hotel Lampung, Senin, 21 Oktober 2024.
Acara ini diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Lampung.
Kelima dosen tersebut adalah Tyan Tasa, M.Kom, Rissa Afni Martinouva, SH., MH., Natalina, ST., M.Si., Dewi Lutfianawati, M.Psl., Psikolog, dan Apip Alansori, SE., M.Ak., CAPM.
Mereka berpartisipasi dalam kegiatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan pelaku usaha dan akademisi terkait cara mencegah serta menindaklanjuti pelanggaran HKI.
Kepala HKI Universitas Malahayati, Tyan Tasa, M.Kom, menjelaskan pentingnya acara ini bagi perguruan tinggi dan pelaku usaha.
“Acara ini memberikan wawasan tentang strategi pencegahan pelanggaran HKI, yang sangat penting bagi pelaku usaha dan juga perguruan tinggi, mengingat besarnya peran intelektual dalam pengembangan ekonomi saat ini,” ujar Tyan.
Sosialisasi berlangsung dalam bentuk diskusi panel, dengan materi utama mengenai peran pemerintah dan pelaku usaha dalam pencegahan pelanggaran HKI di Provinsi Lampung.
Selain itu, peserta juga mendapatkan pemaparan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual terkait langkah-langkah preventif dan tindak lanjut pelanggaran HKI.
Acara ditutup dengan diskusi dan tanya jawab melibatkan seluruh peserta.(*)
Editor: Asyihin
Kebutuhan dan Kepentingan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Siang menjelang sore, saya kedatangan seorang teman kerja. Iamemohon bantuan karena sesuatu “kebutuhan”. Selesai urusan dengannya, ada mahasiswa yang telah menunggu untuk berjumpa karena suatu “kepentingan” kaitannya dengan penyelesaian studi.
Karena waktu sudah senja, begitu selesai semua urusan, saya berkemas-kemas untuk pulang. Sampai di tempat parkir kendaraan, terbayang kembali wajah dari mereka berdua; wajah “kebutuhan” dan wajah “kepentingan” yang keduanya memerlukan penangan segera.
Kebutuhan lebih berorientasi pada hajat hidup yang harus segera dipenuhi, sementara kepentingan lebih pada jangka panjang dalam suatu proses “menuju” atau “menjadi”.
Jika kita telusuri keduanya secara filosofis memang berbeda, dari referensi digital diperoleh informasi sebagai berikut:
Dalam filsafat, kebutuhan dan kepentingan memiliki perbedaan konseptual yang mendalam, meskipun dalam kehidupan sehari-hari keduanya sering kali digunakan secara bergantian. Berikut ini adalah beberapa perbedaan utama dari perspektif filosofis:
1. Kebutuhan (Needs)
Definisi: Kebutuhan mengacu pada sesuatu yang esensial atau mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup, kesejahteraan, dan fungsi dasar manusia. Kebutuhan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang universal, berlaku untuk semua manusia di berbagai konteks dan waktu. Contoh: Makanan, air, tempat tinggal, dan udara untuk bernapas adalah contoh kebutuhan dasar manusia. Dalam konteks psikologis, kebutuhan seperti rasa aman, cinta, dan harga diri juga dapat dianggap esensial untuk kesejahteraan individu. Sifatnya: Objektif dan mendasar. Kebutuhan sering dilihat sebagai sesuatu yang ha rus dipenuhi agar individu dapat bertahan hidup atau mencapai tingkat kesejahteraan dasar.
Aspek Filosofis: Filosof Immanuel Kant membedakan kebutuhan yang bersifat empiris (muncul dari pengalaman) dari kebutuhan rasional (muncul dari akal). Dalam filsafat eksistensialisme, kebutuhan sering kali dikaitkan dengan eksistensi manusia yang otentik dan keseimbangan antara keberadaan dan esensi.
2. Kepentingan (Interests)
Definisi: Kepentingan mengacu pada keinginan, preferensi, atau hal-hal yang dianggap berharga atau penting oleh individu atau kelompok. Kepentingan bisa sangat subjektif dan bervariasi antara orang, budaya, atau situasi tertentu. Contoh: Seseorang mungkin memiliki kepentingan dalam politik, seni, atau karier tertentu. Kepentingan ini tidak selalu mendasar bagi kelangsungan hidup, tetapi sangat penting bagi pengembangan diri atau pencapaian tujuan individu. Sifatnya: Subjektif dan kontekstual. Kepentingan dipengaruhi oleh budaya, pendidikan, pengalaman, dan nilai-nilai pribadi. Mereka bisa berubah seiring waktu dan situasi.
Aspek Filosofis: Dalam teori filsafat utilitarianisme (seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill), kepentingan individu dihitung dalam upaya memaksimalkan kebahagiaan atau utilitas bagi masyarakat. Kepentingan juga sering dijelaskan dalam konteks politik oleh filsuf seperti John Rawls, yang membahas konsep keadilan sebagai keseimbangan kepentingan individu dalam masyarakat.
3. Dimensi Moral dan Etis
Kebutuhan: Secara moral, kebutuhan sering dianggap lebih mendesak dan lebih dasar daripada kepentingan. Tidak memenuhi kebutuhan dasar seseorang (misalnya, hak atas makanan atau air, gaji atau pendapatan) biasanya dianggap sebagai pelanggaran etis atau ketidakadilan.
Kepentingan: Kepentingan, di sisi lain, lebih fleksibel dan dapat diperdebatkan. Meskipun penting, kepentingan mungkin harus dinegosiasikan atau diimbangi dengan kepentingan orang lain dalam konteks sosial.
4. Peran dalam Kehidupan Sosial
Kebutuhan: Dianggap sebagai hal mendasar yang harus dipenuhi oleh individu atau masyarakat agar tercapai kesejahteraan dasar. Pemenuhan kebutuhan sering menjadi dasar dari hak-hak sosial dan ekonomi.
Kepentingan: Lebih terkait dengan preferensi dan ambisi individu atau kelompok yang bisa berbeda-beda. Dalam politik, kepentingan sering kali menjadi dasar bagi pengambilan keputusan dan perdebatan, serta untuk menentukan arah kebijakan.
Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah: Secara filsafat, kebutuhan mencerminkan sesuatu yang lebih objektif dan fundamental, yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Kepentingan, sebaliknya, bersifat subjektif dan terkait dengan preferensi individu atau kelompok. Meskipun keduanya penting, kebutuhan cenderung memiliki prioritas moral yang lebih tinggi dalam banyak sistem etika dan filsafat manusia. Menjadi persoalan baru lagi manakala satu pihak menganggap itu kebutuhannya, sementara pihak lain menganggap itu kepentingannya; maka yang akan terjadi adalah konflik nilai atau konflik moral. Meskipun istilah khusus untuk konflik ini bisa bervariasi, secara umum ada beberapa konsep atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan pertentangan antara kebutuhan dan kepentingan dalam filsafat dan etika:
1. Konflik Nilai (Value Conflict)
Definisi: Konflik nilai muncul ketika kebutuhan dasar (seperti hak hidup, hak atas kesehatan, atau hak mendapatkan perlindungan) bertentangan dengan kepentingan individu atau kelompok (misalnya kepentingan ekonomi, politik, atau pribadi). Ini adalah istilah umum untuk pertentangan antara dua atau lebih nilai yang dianggap penting. Contoh: Misalnya, kebijakan pemerintah yang fokus pada pembangunan ekonomi (kepentingan) bisa bertentangan dengan kebutuhan dasar masyarakat miskin yang membutuhkan akses terhadap makanan atau kesehatan.
2. Konflik Moral (Moral Conflict)
Definisi: Konflik moral terjadi ketika seseorang dihadapkan pada pilihan di mana memenuhi satu kebutuhan atau kepentingan berarti mengorbankan yang lain. Ini bisa melibatkan situasi di mana keputusan yang diambil akan memengaruhi kesejahteraan orang lain atau melibatkan prinsip moral yang berbeda. Contoh: Sebuah perusahaan mungkin memiliki kepentingan untuk meningkatkan keuntungan (kepentingan ekonomi), tetapi keputusan untuk mengurangi biaya dengan cara mengurangi upah pekerja bisa mengorbankan kebutuhan dasar pekerja (seperti kebutuhan akan upah yang layak).
3. Konflik Hak (Rights Conflict)
Definisi: Konflik hak terjadi ketika hak-hak individu atau kelompok tertentu (yang biasanya berkaitan dengan kebutuhan) berbenturan dengan kepentingan atau hak kelompok lain. Ini sering kali muncul dalam konteks hukum, politik, dan etika. Contoh: Hak atas kebebasan berekspresi (kepentingan) bisa bertentangan dengan hak orang lain untuk hidup tanpa pelecehan atau penghinaan (kebutuhan akan keamanan emosional dan sosial).
4. Konflik Etis (Ethical Conflict)
Definisi: Konflik etis terjadi ketika individu atau kelompok dihadapkan pada keputusan yang melibatkan perbedaan antara apa yang benar (memenuhi kebutuhan dasar) dan apa yang dianggap menguntungkan atau penting (kepentingan). Ini sering muncul dalam dilema-dilema moral di mana tindakan yang memenuhi kebutuhan seseorang bisa mengorbankan kepentingan pihak lain, atau sebaliknya. Contoh: Dalam etika bisnis, perusahaan mungkin menghadapi dilema antara memaksimalkan keuntungan (kepentingan) dan memastikan kesejahteraan pekerja (kebutuhan).
5. Konflik Kepentingan (Conflict of Interest)
Definisi: Dalam beberapa kasus, istilah konflik kepentingan digunakan, terutama dalam konteks profesional atau politik, di mana ada benturan antara kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dengan kebutuhan atau kepentingan publik. Contoh: Seorang pejabat publik mungkin memiliki kepentingan pribadi (misalnya keuntungan finansial dari suatu keputusan) yang berbenturan dengan kebutuhan masyarakat luas.
6. Dilema Sosial (Social Dilemma)
Definisi: Dalam konteks yang lebih luas, dilema sosial terjadi ketika ada konflik antara kepentingan individu atau kelompok dan kesejahteraan bersama atau kebutuhan publik. Situasi ini sering kali muncul dalam kebijakan publik, di mana kepentingan individu bertentangan dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Contoh: Penggunaan sumber daya alam secara berlebihan demi keuntungan ekonomi jangka pendek (kepentingan) bisa merugikan lingkungan dan merusak kebutuhan generasi mendatang untuk mendapatkan sumber daya yang sama.
Dengan kata lain tidak ada satu istilah tunggal yang secara khusus dan eksplisit digunakan untuk merujuk pada konflik antara kebutuhan dan kepentingan, tetapi berbagai istilah di atas—seperti konflik nilai, konflik moral, dan konflik etis—sering digunakan dalam konteks yang melibatkan pertentangan antara apa yang dianggap sebagai kebutuhan dasar dan kepentingan tertentu.
Kondisi seperti ini bisa terjadi disemua lini kehidupan manusia, baik dia pejabat maupun rakyat, semua memiliki peluang untuk berada pada kedua posisi tadi. Sementara pihak ketiga tidak bisa berbuat banyak kecuali pernyataan saja yaitu “menyesalkan”, paling jauh dengan satu kata “turut prihatin”; atau komentar yang tidak menyelesaikan masalah, justru terkadang membuat masalah baru. Ketidakpahaman akan sesuatu yang seharusnya dipahami, juga memberikan peluang untuk terjadinya konflik antara kebutuhan dan kepentingan. Oleh sebab itu tidak salah jika ada adagium dari bahasa Jawa yang berkata “Sing waras ngalah”; terjemahan bebasnya Yang Waras mengalah, makna filosofisnya yang mereka memiliki jiwa besar akan ngalah, yang bukan berarti kalah, sebab ngalah pada konsep ini adalah sikap menang dengan caranya sendiri. Mereka yang bersikap seperti ini pada umumnya karena memiliki analisis kebutuhan dan analisis kepentingan yang matang dan terukur. Dan, tidak gegabah sertamerta bertindak jika hanya untuk kepentingan sesaat. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kawal Terus HBM, Jangan Sampai Pak Guru Gabut Karena Warisan Cucuk Cabut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Semula, saya membaca berita di media yang kita baca ini tentang pencabutan hibah tanah kepada satu organisasi Islam. Awalnya, biasa-biasa saja, tidak menimbulkan “greget” untuk menyimaknya.
Namun, setelah pimrednya, HBM memilih kosakata judul untuk kebijakan hibah tanah itu dengan istilah “cucuk cabut”, saya akhirnya tertarik untuk mengkajinya. Ada apa gerangan?
Kilas balik sedikit, “kelakuan” pejabat kita yang terhormat kadang membuat sakit perut. Bagaimana tidak, ketika Kota Baru digagas dan dimulai pembangunannya era kepemimpinan Sjacroedin ZP.
Begitu pergantian kepala daerah estafet dari Sjachroedin ZP ke M. Ridho Ficardo langsung mangkrak hingga masa kepemimpinannya lima tahun. Bangunan-bangunan kantor rusak dan halamannya memblukar.
Begitu Ridho lengser digantikan Arinal Djunaidi yang “dekat” dengan Sjachroedin, alih-alih dilanjutkan pembangunannya, Kota Baru kembali tidur panjang dan makin menjadi bak Kota hantu.
Bahkan, ketika Covid-19, korban awal wabah tersebut dimakamkan di kawasan Kota Baru.
Sekarang, muncul ternyata lahan kota baru yang sudah dikapling-kapling era M. Ridho Ficardo buat stakeholder, termasuk ormas Islam terbesar, yakni NU, dicabut di era Arinal Djunaidi.
Ketika viral, petinggi yang berwenang berkilah kebijakan pencabutan bertujuan “penataan ulang”. Ada yang aneh, kenapa organisasi itu saja. Yang lain, Unila yang pernah memberikan gelar doktor kepada Arinal Djunaidi lancar jaya mendapatkan hibah tanah.
Kami sebagai rakyat menjadi bingung, bagaimana negeri ini mau maju jika dikelola dengan cara “menafikan yang dahulu”, dengan kata lain yang lalu biarkan berlalu, sekarang kita buat baru.
Pertanyaannya untuk apa ada lembaga Badan Perencanaan Daerah jika setiap pergantian pejabat selalu memutar film “Biarkan Musim Berganti” karya sutradara Wim Umboh.
Sementara jargon maju berkelanjutan tinggal di lapangan saat latihan baris berbaris.
Sedangkan Samsudin, pejabat gubernur saat ini yang ditunjuk dengan tugas utamanya adalah mempersiapkan pemilihan kepala daerah dapat warisan mengurus mengurus pekerjaan yang “salah urus”.
Pj gubernur yang seorang guru mau tak mau akan memanggil semua “siswa-siswanya” untuk dimintai keterangan guna menemukenali persoalan. Tentu saja, sang guru harus tetap mengedepankan urat sabarnya.
Dengan kepemimpinan yang seumur jagung, sang guru tentu tidak dapat mengurai semua persoalan yang telah bertahun kusut masai. Namun, terlihat, walau tak lama, Samsudin paling tidak telah berusaha agar akhiri masa tugasnya kelak ada torehan sejarah yang dibuat untuk daerah yang pernah membesarkannya.
Tinggal kami rakyat apakah juga akan menonton “Drama Korea” atau “Film India” ini? Entahlah, kami tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah berakhirnya masa tugas Samsudin dan digantikan kepala daerah definitif.
Namun, sebagai rakyat, kami hanya sangat berharap siappun pemenangnya dan apapun partainya, bagi kami yang penting jangan membuat kekusutan baru di atas kekusutan yang sudah ada.
Prioritaskanlah pembangunan jalan provinsi yang menjadi penghubung antarwilayah. Kami sudah capek melalui jalan kubangan, kami sudah capek dengan janji. Kami hanya perlu bukti akankah hari esok akan lebih baik dari hari ini.
Bisa dibayangkan pemimpinnya sibuk pindah ruang dan kursi untuk rapat dari hari kehari, sementara kami harus menari-nari setiap pergi diatas jalan yang lubang dan selokan sudah tidak ada pembeda lagi.
Terkadang, kami harus menahan malu dengan daerah sebelah yang pemimpinnya menjadi “raja jalanan” untuk memuluskan jalan antardaerahnya.
Sementara kami hanya melihat sang pemimpin terlihat peduli rakyat saat kampanye saja untuk kemudian setelah terpilih tak pernah muncul lagi.
Menyedihkan lagi, turun dari kursi kekuasaannya yang bersih hanya mejanya, sementara pekerjaannya disisakan untuk pengganti.
Hubungan antara “cucuk-cabut” dan “benang kusut” dari hasil penelusuran digital ditemukan informasi, meskipun kedua istilah ini tidak secara langsung terkait, dalam beberapa konteks, gaya kerja “cucuk cabut” bisa memperburuk situasi yang “benang kusut”.
Misalnya, pekerjaan yang dilakukan secara serampangan (cucuk cabut) dapat meninggalkan masalah yang belum selesai atau kurang terselesaikan dengan baik, sehingga menciptakan kekacauan yang sulit diatasi (benang kusut).
Selanjutnya keputusan cepat tanpa perencanaan matang bisa berakibat pada masalah yang semakin rumit di masa depan, seperti kebingungan dalam koordinasi atau konflik di tim.
Sebaliknya, “benang kusut” juga bisa menyebabkan seseorang bekerja dengan pola “cucuk cabut” sebagai upaya untuk keluar dari situasi yang membingungkan.
Kedua istilah ini bisa menjadi cerminan dari tantangan dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari, baik terkait gaya kerja yang kurang terstruktur maupun masalah yang kompleks dan sulit dipecahkan atau sengaja dibuat sulit untuk agar tidak mudah dipecahkan.
Semoga Pak Guru PJ Gubernur Samsudin diberi kesehatan untuk mengurai benang kusut dan kerja cucuk cabut yang diwariskan kepadanya.
Semoga dengan waktu yang tersisa paling tidak bisa memberikan solusi yang solutif; tidak menimbulkan kekusutan baru dan cucuk cabut baru adalah target minimal paling tidak yang bisa dilakukan.
Kepada HBM terus kawal Pak Guru agar beliau merasa di sekolahnya sendiri. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Memiliki yang Bukan Milik Kita
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menjelang dzhuhur semua aktivitas dihentikan karena akan mempersiapkan diri pergi ke Musholah. Namun siang itu ada hal yang tidak seperti biasa; suasana sepi bahkan cenderung senyap. Aktivitas perkuliahan yang biasanya ramai, hari itu tampak tidak ada kegiatan yang berarti. Namun diskusi batiniah saat itu sedang berjalan ramai, karena baru bertemu dengan penjaga kamar kecil yang berkata “hanya beda tanggal saja Prof, karena kita memiliki yang bukan milik kita”. Penggalan kalimat terakhir ini terasa ada sembilu yang ditarik dalam hati, karena itu membawa pesan langit yang hanya bisa dirasakan mereka yang memiliki dawai rasa yang sangat peka.
Sentuhan kalimat “karena kita memiliki yang bukan milik kita” jika direnungkan akan kita dapatkan bahwa: Pada dasarnya, kalimat ini mengundang kita untuk berpikir lebih dalam tentang apa arti memiliki, apa yang benar-benar kita miliki, dan bagaimana kita seharusnya hidup dalam dunia yang penuh dengan keterikatan terhadap hal-hal yang mungkin sebenarnya bukan milik kita.
Dalam filsafat, kalimat “memiliki yang bukan milik kita” dapat diinterpretasikan sebagai sebuah refleksi tentang kepemilikan, tanggung jawab, dan makna kehidupan. Beberapa makna yang bisa diambil dari perspektif ini adalah: Pertama, Keterikatan terhadap hal-hal sementara: Filsafat sering mengajarkan bahwa banyak hal yang kita anggap sebagai “milik” kita sebenarnya bersifat sementara. Misalnya, materi atau bahkan orang lain. Pada akhirnya, segala sesuatu bisa hilang, dan kita tidak benar-benar “memiliki” apapun secara abadi.
Kedua, Kehidupan sebagai pinjaman: Dari sudut pandang spiritual atau eksistensial, hidup dan segala yang ada di dalamnya mungkin dianggap sebagai sesuatu yang dipinjam atau titipan. Apa yang kita miliki, baik harta, waktu, atau kesempatan, bisa dianggap sebagai sesuatu yang harus kita kelola dengan bijak, bukan sesuatu yang benar-benar kita miliki.
Ketiga, Kepemilikan ilusi: Beberapa filsuf, seperti Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme, mungkin berpendapat bahwa manusia sering terjebak dalam ilusi kepemilikan—bahwa kita mencoba memproyeksikan diri kita ke dunia melalui objek-objek eksternal. Namun, hal ini justru bisa membuat kita terjebak dalam makna yang salah tentang eksistensi kita sendiri.
Keempat, Tanggung jawab moral: “Memiliki yang bukan milik kita” juga bisa merujuk pada tanggung jawab terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita atau tidak secara langsung “milik” kita, seperti lingkungan, komunitas, atau bahkan nilai-nilai moral. Dalam konteks ini, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hal-hal yang mungkin tidak kita miliki secara pribadi tetapi memiliki dampak besar pada kehidupan kita dan orang lain.
Memiliki yang bukan milik kita dalam pandangan tasauf adalah sisi lain dari mencintai yang tidak mencintai. Karena dalam ajaran tasawuf, cinta bukan hanya tentang perasaan manusiawi, tetapi tentang sebuah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Juga merupakan upaya melatih diri dalam kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan yang membawa kepada kesadaran yang lebih tinggi tentang cinta yang hakiki.
Kepemilikan yang hakiki itu adalah manakala kita merasa tidak memiliki apa-apa, karena apa yang kita miliki itu sejatinya ada pemilik yang hakiki. Demikian halnya cinta yang sejati adalah cinta yang tidak memerlukan pengakuan, timbal balik, atau kepemilikan. Ini bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dalam tasawuf dipandang sebagai sumber cinta yang sesungguhnya. kedua situasi tersebut dapat dilihat sebagai ujian yang membantu kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan melepaskan keterikatan pada dunia.
Memiliki yang bukan milik kita adalah sebuah ilusi kepemilikan, karena semua yang ada di dunia ini hakikatnya adalah milik Allah. Kesadaran bahwa kita hanya pengelola sementara membawa kita pada sikap zuhud. Mencintai yang tidak mencintai mengajarkan keikhlasan dan ketulusan. Cinta dalam tasawuf diarahkan pada Allah sebagai cinta yang murni dan sejati, yang tidak tergantung pada balasan atau pengakuan dari manusia. Secara umum, kedua konsep ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat pada dunia, baik dalam hal kepemilikan materi maupun cinta yang bersifat manusiawi, dan lebih fokus pada aspek spiritual yang lebih tinggi.
Sayangnya pada tataran aplikasi banyak pihak yang seharusnya menyadari akan tanggungjawabnya terhadap “kepemilikan”; ternyata mengingkari, atau paling tidak menganggap sepi akan kepemilikan itu. Bisa jadi penjaga toilet di atas merasakan kesepian akan kepemilikan itu; sehingga dia hanya bisa pasrah pada kalimat “bukan penundaan akan tetapi beda tanggal”. Semoga mereka yang berada pada posisi “beda tanggal” dalam keadaan sehat dan terus bersyukur akan karuniaNYA. Dan, bagi mereka yang berada pada posisi menunda tanggal, selalu mendapat jalan keluar dari persoalan yang mungkin sedang dihadapi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kemenpora Gelar Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di Universitas Malahayati, Ajak Generasi Muda Bersikap Inklusif dan Kolaboratif
Bandar Lampung (Malahayati.ac.id): Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda menyelenggarakan acara Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di kalangan pemuda, di Aula MCC Universitas Malahayati, Bandar Lampung, Kamis, 17 Oktober 2024. Acara tersebut dibuka oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, yang sekaligus menjadi keynote speaker.
Rektor Universitas Malahayati sekaligus Anggota DPR RI Komisi X periode 2024-2029, Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan pandangan mendalam tentang pentingnya toleransi, kolaborasi, dan networking bagi generasi muda. Dr. H. Muhammad Kadafi menyoroti posisi Provinsi Lampung sebagai miniatur Indonesia, terutama karena sejarahnya sebagai daerah transmigrasi tertua di Indonesia.
“Lampung itu adalah miniatur Indonesia. Jika kita berkunjung ke wilayah Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Timur, kita akan menemukan pemukiman masyarakat Bali yang membuat suasananya hampir seperti di Bali. Sepanjang jalan, kita bisa melihat pura dan budaya yang mencerminkan kehidupan masyarakat Bali,” ujar Rektor Kadafi.
Selain itu, Rektor Kadafi menekankan keberagaman masyarakat di Lampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Menurutnya, generasi muda harus mampu hadir dengan memberikan toleransi yang luar biasa serta mampu berkolaborasi dalam memberikan kontribusi baik dari segi pemikiran maupun kerja keras untuk bangsa dan negara.
Di tengah arus globalisasi yang bergerak cepat, Rektor Kadafi menekankan pentingnya kolaborasi. “Dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi menjadi sangat intens dan mudah dilakukan. Kita harus berpikir cerdas, bagaimana kita bisa maju bersama melalui kolaborasi,” ungkapnya.
Menurut Rektor Kadafi, moderasi beragama juga menjadi isu yang sangat penting di era ini. Ia mencontohkan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini lebih terbuka untuk berkolaborasi dengan masyarakat global. “Generasi muda harus membangun networking yang kuat, karena dari situ kita bisa menemukan peluang dan mengatasi tantangan di masa depan,” tambahnya.
Kadafi juga menyoroti sektor pariwisata Lampung yang sedang berkembang pesat, menjadi arus ekonomi baru di provinsi tersebut. Berdasarkan target Kementerian Pariwisata, Lampung diproyeksikan akan menerima wisatawan hingga dua kali lipat jumlah penduduknya. “Jumlah penduduk Lampung sekitar 10 juta, sementara target wisatawan tahun ini mencapai 23 juta. Ini artinya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampung dua kali lipat dari jumlah penduduknya,” jelas Kadafi. Ia mengajak generasi muda untuk menyambut keberagaman para wisatawan dengan sikap terbuka dan menjadikan keberagaman sebagai kekuatan yang luar biasa.
Menutup sambutannya, Rektor Kadafi mengajak para pemuda untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada, baik itu di bidang kewirausahaan maupun pendidikan. “Hari ini kita duduk bersama dalam acara ini, kita berbagi pengalaman, peluang, dan kesempatan. Ini adalah momentum luar biasa untuk memperluas networking kita. Dengan jaringan yang kuat, kita tidak hanya akan tumbuh dalam hard skill, tetapi juga akan berkembang dalam soft skill yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan,” pungkas Kadafi.
Sedangkan, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA., selaku Keynote Spekaer menekankan pentingnya membangun cara pandang yang inklusif untuk menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan budaya di era globalisasi. Menurutnya, menjadi besar dan berpengaruh tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan harus melalui upaya membangun relasi kehidupan yang terbuka dan kolaboratif.
“Jika kita membangun relasi dari awal dengan cara yang kompetitif, protektif, bahkan reaktif, kita justru akan cenderung menutup diri. Setiap ada hal baru, kita merasa terancam, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan. Padahal, kita harus membongkar cara pandang eksklusif ini dan menggantinya dengan inklusivitas, sebagai prasyarat penting untuk kehidupan yang plural dan beragam,” ujar Asrorun.
Ia mengingatkan peserta bahwa dunia saat ini semakin “borderless” atau tanpa batas, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Hal ini terlihat dari bagaimana negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini membuka diri untuk berkolaborasi dengan dunia internasional. “Generasi muda harus menyadari bahwa kolaborasi, bukan kompetisi, adalah kunci sukses di masa depan. Negara-negara yang membuka diri justru akan lebih maju,” tambahnya.
Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, Asrorun menjelaskan bahwa tantangan utama bagi generasi muda saat ini adalah mengubah mindset atau cara berpikir mereka. Dengan waktu yang terbatas—hanya sekitar 21 tahun lagi menuju tahun 2045—generasi muda harus mulai mempersiapkan diri dari sekarang.
“Jika sekarang kalian berusia 20 tahun, maka pada saat Indonesia mencapai 100 tahun kemerdekaannya, usia kalian akan 41 tahun. Lihatlah contoh Dr. Muhammad Kadafi, Rektor Universitas Malahayati, yang sudah menjadi anggota DPR dan memimpin kampus sebesar ini pada usia yang masih muda. Apa yang kalian persiapkan untuk menyambut Indonesia Emas?” tanyanya kepada peserta.
Asrorun juga menjelaskan bahwa peta jalan untuk mencapai Indonesia Emas sudah ditetapkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) hingga tahun 2045. Namun, posisi generasi muda dalam peta itu sangat tergantung pada cara pandang mereka terhadap perubahan yang terjadi saat ini.
“Mindset kalian menentukan posisi kalian di masa depan. Apakah kalian akan menjadi pelopor dan trendsetter? Atau hanya akan menjadi pengikut dan bahkan penghalang kemajuan? Jika kita hanya menjadi penonton, kapan kita akan menjadi subjek perubahan?” kata Asrorun, mengajak generasi muda untuk berani mengambil peran aktif.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam era yang semakin kompetitif ini, pendekatan kolaboratif harus lebih diutamakan daripada bersaing secara sempit. Asrorun mencontohkan bagaimana dalam perdagangan global, produk yang dibuat di Vietnam hari ini, bisa berada di meja makan kita esok hari. Dalam dunia yang serba terbuka, kolaborasi menjadi faktor kunci untuk bertahan dan sukses.
Prof. Dr. Asrorun juga menjelaskan bahwa dalam relasi sosial yang terus berubah, inklusivitas menjadi syarat utama untuk tetap relevan. Ia menyoroti pentingnya generasi muda membangun jejaring yang luas dan membuka diri terhadap ide-ide baru.
“Kita hidup di dunia yang terhubung. Relasi sosial dan ekonomi sudah melewati batas negara. Kita tidak bisa lagi berlindung di balik tembok proteksi, melainkan harus siap bersaing secara terbuka dan berkolaborasi,” jelasnya.
Menurut Asrorun, generasi muda tidak boleh hanya fokus pada kompetisi semata, tetapi harus memahami bahwa kolaborasi adalah jalan untuk maju di era global ini. “Mindset kolaboratif ini harus menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan masa depan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya,” pungkasnya.
Para panelis memberikan perspektif beragam terkait moderasi beragama. KH. Hasan Errezha, Ketua Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Lampung, membahas peran pesantren dalam penguatan moderasi beragama. Hasintya Saraswati, Staf Khusus Menpora Bidang Percepatan Inovasi Pemuda dan Olahraga, menekankan pentingnya pemuda dalam menjaga keseimbangan dan harmoni dalam beragama.
Sedangkan, Riski Gunawan, MPd, Fasilitator Nasional PMB Lampung, menutup sesi diskusi dengan menyampaikan definisi dan kebijakan terkait moderasi beragama yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. (*)
Editor : Asyihin
51 Lulusan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Ikut Yudisium ke-37, Ini Pesan Wakil Rektor 1
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Sebanyak 51 lulusan Sarjana Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Bandar Lampung mengikuti Yudisium ke-37 di Malahayati Career Center, Kamis, 17 Oktober 2024.
Lulusan terdiri dari 9 Program Magister Akuntansi Paska Sarjana, 11 Program Sarjana Studi Akuntansi, dan 31 Sarjana Program Studi Manajemen. Mereka secara resmi berhak menyandang gelar SE dan M.Ak.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati, Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., NS., M.Kes., menyampaikan ucapan selamat kepada para lulusan yang telah berhasil menyelesaikan tahapan akademik mereka.
“Secara resmi, adik-adik semua sudah menyelesaikan seluruh tahapan di perkuliahan dari nol SKS sampai minimal 144 SKS, dan hari ini dinyatakan sudah lulus,” ujarnya.
Dr Dessy mengingatkan bahwa tambahan gelar yang diraih oleh para lulusan merupakan amanah besar yang memikul tanggung jawab baru.
“Kami berharap adik-adik bisa masuk ke ujian yang sesungguhnya, yaitu ujian di masyarakat, dunia kerja, dan kehidupan nyata,” tambahnya.
Ia juga mendoakan agar para lulusan mampu bersaing di dunia yang semakin kompetitif. Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya menjaga etika dan keagamaan, sesuai visi Universitas Malahayati.
“Orang pintar banyak, orang pintar banyak, tapi yang beretika dan menjaga sedikit nilai-nilai agama. Kami ingin adik-adik tetap menjaga etika dan keagamaan di manapun berada,” pesannya.
Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Dr. Rahyono, S.Sos., MM, juga memberikan wejangan kepada para lulusan.
Ia berpesan agar mereka terus berinovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. “Pendidikan tinggi bukan akhir, tapi awal untuk terus berinovasi agar tidak kalah saing di luar sana,” ungkapnya.
Dr. Rahyono juga mendorong para lulusan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. “Bapak harap kalian bisa menciptakan karya sehingga menjadi pengusaha sukses dari nol,” katanya.
Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Rektor 4 Suharman, Drs., M.Pd., M.Kes., Kepala LPPM dan Guru Besar Universitas Malahayati Prof. Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D., Dekan Fakultas Hukum Aditia Arief Firmanto, SH, MH, Kaprodi Manajemen Dr. Febrianty, SE, M.Si., Kaprodi Akuntansi Muhammad Luthfi, SE. M.Si., serta sejumlah dosen dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati. (*)
Redaktur : Asyihin
Menguliti Anatomi Joget Gemoy Pemimpin
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu, saya menghadiri undangan kerabat yang melangsungkan pernikahan putra sulungnya di suatu daerah. Saat itu, saya mendapat tugas harus mewakili keluarga besar untuk memberikan sambutan atas nama keluarga.
Sebagai orang timur, saya tampil harus memenuhi kriteria kesopanan terlebih dahulu ijin dengan para tetua keluarga, mamak, minan, dan lainnya. Semua masih normal dan terukur sesuai pakem yang diperintahkan pembawa acara.
Setelah selesai acara formal kemudian diikuti acara foto bersama keluarga, pembawa acara beralih ke hiburan. Di sini, panggung menjadi ajang adu goyang bersama anak-anak muda milenial dengan goyang ataun “tari gemoy”.
Istilah gemoy yang popular pada saat kampanye presiden lalu bersumber dari istilah yang mengacu pada tarian atau gerakan yang imut dan menggemaskan. Dalam konteks ini, joged berarti menari dan “gemoy” menggambarkan tarian yang terlihat lucu, manis, atau menghibur.
Biasanya, joged gemoy melibatkan gerakan tarian yang ceria, lincah, dan sering kali diiringi dengan ekspresi wajah yang menggemaskan. Fenomena ini sering terlihat di platform media sosial seperti TikTok atau Instagram.
Hasil penelusuran digital dalam kontek peristilahan, istilah “gemoy” tidak memiliki makna formal atau teknis karena merupakan bagian dari bahasa slang yang cenderung bersifat budaya populer.
Namun, jika menafsirkan “gemoy” dalam perspektif filsafat, kita bisa melihatnya dari beberapa sudut pandang yang berkaitan dengan estetika atau etika.
Dari sudut estetika dan keindahan. “gemoy” bisa dikaitkan dengan konsep estetika, yaitu perasaan terhadap sesuatu yang dianggap menggemaskan atau menarik.
Dalam filsafat, konsep keindahan sering kali dikaji dan “gemoy” mungkin bisa dianggap sebagai subkategori dari keindahan yang lebih khusus, yakni keindahan yang menimbulkan rasa gemas atau kasih sayang.
Hal ini bisa didekati melalui teori-teori estetika yang menekankan pengalaman subjektif individu terhadap sesuatu yang dianggap “cantik” atau “manis.”
Dari sudut pengalaman subjektif: Dalam pandangan fenomenologi (misalnya oleh Edmund Husserl), “gemoy” bisa dilihat sebagai salah satu pengalaman subjektif di mana seseorang merasakan sesuatu yang menggerakkan emosinya secara unik.
Pengalaman “gemoy” bisa mencakup rasa senang, hiburan, atau daya tarik emosional yang kuat terhadap sesuatu yang dianggap imut atau lucu.
Dari segi etika dan perasaan: Jika ditinjau dari sudut pandang etika, rasa gemas yang terkait dengan “gemoy” bisa melibatkan hubungan manusia dengan objek-objek yang dianggap tidak berbahaya, bahkan cenderung menyenangkan.
Bisa jadi, pengalaman ini memunculkan pertanyaan filosofis tentang apa yang membuat kita tertarik pada hal-hal yang tampak tidak sempurna, tetapi tetap menimbulkan rasa kasih atau simpati.
Jadi, meskipun “gemoy” bukan istilah yang berasal dari tradisi filsafat formal, dalam konteks filsafat, kita bisa memahami “gemoy” sebagai bagian dari pengalaman estetika dan emosional manusia yang mencerminkan cara kita merespons keindahan dalam bentuk yang lucu atau menggemaskan.
Tinggal dari sudut pandang mana kita memandang “kegemoyan” itu. Sebab bisa jadi kegemoyan itu menjadi tidak menarik lagi jika dilakukan oleh pemimpin formal tertinggi di suatu wilayah, baik dalam arti teritori ataupun dalam imaginatif.
Hal ini karena seorang pemimpin merupakan lambang atau simbol supremasi dari kekuasaan formal yang harus mampu menjadikan dirinya “mahkota” dari masyarakatnya.
Oleh karena itu dapat dipahami jika ada sebagian masyarakat yang tidak menyukai pemimpin tertingginya ikut “bergemoy-ria” di atas panggung, meskipun itu bersama keluarganya.
Apalagi jika gerakan-gerakan yang ditampilkan tidak mencerminkan perilaku pemimpin formal, dan cenderung tampak “merendahkan” dirinya.
Namun kita juga harus menganut pendapat yang berbeda, karena bisa jadi memposisikan kegemoyan ada pada ranah “sukacita”. Jika sudut pandang ini yang dipakai, maka kita harus menghormati hak individu untuk mengekspresikan kegembiraannya.
Ukuran perilaku pemimpin dalam ranah estetika dapat dilihat dari bagaimana seorang pemimpin mengatur, memerankan, dan mempengaruhi lingkungan atau budaya estetika dalam organisasi atau kelompok yang dipimpinnya.
Berikut adalah beberapa dimensi yang bisa menjadi ukuran:
1. Kepekaan Estetika
Pemimpin yang memiliki sensitifitas estetika akan mampu menghargai keindahan, harmoni, dan nilai-nilai artistik dalam bentuk visual, audio, atau bahkan dalam interaksi sosial.
Ukuran ini dilihat dari bagaimana pemimpin memperhatikan detail estetika dalam hal seperti: desain ruang kerja, cara berpakaian atau berpenampilan, penggunaan bahasa yang estetis dalam komunikasi. Bagaimana ia menata lingkungan kerja untuk menciptakan suasana yang mendukung kreativitas dan produktivitas.
2. Penciptaan Lingkungan Estetis
Pemimpin yang estetika akan berusaha menciptakan lingkungan yang nyaman, indah, dan sesuai dengan tujuan organisasi. Hal ini dapat melibatkan: Pengaturan tata ruang kantor agar lebih harmonis dan fungsional, mendorong penghargaan terhadap karya seni atau budaya menjaga kualitas visual dan representasi identitas organisasi melalui desain logo, warna, dan presentasi umum.
3. Penghargaan terhadap Keindahan dalam Pengambilan Keputusan
Dalam beberapa kasus, pemimpin estetika juga memperhitungkan aspek keindahan dalam pengambilan keputusan. Hal ini bisa mencakup: Bagaimana keputusan mereka mencerminkan etika, keindahan moral, atau keharmonisan sosial. Pembuatan kebijakan yang mencerminkan keseimbangan dan keselarasan dalam hubungan antar anggota organisasi.
4. Ekspresi Diri yang Berimbang
Pemimpin dengan perilaku estetis juga cenderung menjaga ekspresi dirinya agar sesuai dengan norma sosial dan estetika yang diharapkan. Misalnya, pemimpin yang selalu berbicara dengan nada yang sopan, memiliki sikap tubuh yang anggun, dan menampilkan emosi yang seimbang dalam setiap situasi.
5. Pengaruh Estetis pada Budaya Organisasi
Pemimpin estetika tidak hanya mempengaruhi lingkungan fisik, tetapi juga bagaimana budaya organisasi terbentuk. Hal ini bisa dilihat dari: Cara pemimpin memperkenalkan nilai-nilai keindahan dalam tim, seperti kerja sama yang harmonis atau cara mengapresiasi keberhasilan melalui perayaan yang kreatif. Mendorong karyawan untuk mengekspresikan kreativitas mereka dalam pekerjaan.
Secara keseluruhan, perilaku pemimpin dalam ranah estetika diukur dari seberapa baik mereka dapat menciptakan, menghargai, dan memelihara keindahan dan harmoni, baik dalam lingkungan fisik maupun sosial, yang pada pasangannya dapat meningkatkan semangat kerja, produktivitas, dan kesejahteraan dalam organisasi.
Oleh karena itu tingkat manapun seorang pemimpin, apalagi jika itu mencakup kewilayahan atau daerah; seorang pemimpin segembira apapun tidak bisa seenaknya jingkrak-jingkrak.
Sebaliknya sesedih apapun perasaau njir ini nnnya tidak lalu dengan leluasa menangis sedusedan di muka khalayak bagai anak kecil meminta permen pada ibunya.
Apalagi jika status dirinya baru Bakal Calon; maka apapun perilakunya akan mendapatkan penilaian bagi calon pemilihnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kehilangan yang Hilang
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu mendapat caption dari seorang Guru Besar Senior yang sekaligus teman lama berorganisasi jaman mahasiswa di tahun 70-an; dan sama-sama merasakan tekanan masifnya Orde Baru pada zamannya kepada kami mahasiswa. Beliau merasakan hal yang sama dengan penulis, walaupun diungkapkan dengan bahasa “sandi”; yaitu ada sesuatu yang hilang dari yang pernah kami perjuangkan dulu. Kehilangan itu bukan berupa benda, bukan pula ide, bukan pula harapan; jauh dari itu semua, yaitu sesuatu yang kita cita-citakan bersama, dan pernah terwujud, justru sekarang hilang berganti rupa.
Makna filosofis dari “kehilangan yang hilang” bisa diuraikan melalui berbagai perspektif. Salah satu pendekatan adalah dengan mengaitkannya dengan pengalaman eksistensial manusia, dimana “kehilangan” seringkali dihubungkan dengan kesadaran bahwa sesuatu yang pernah kita miliki, alami, atau harapkan kini tak lagi ada.
Oleh karena itu dalam konteks ini, kehilangan yang hilang bisa bermakna lebih dalam—tidak hanya mengacu pada hilangnya sesuatu yang nyata, tetapi juga pada kehilangan perasaan atau ingatan akan hal itu. Artinya, ada saat di mana kita tidak hanya kehilangan sesuatu, tetapi kita juga kehilangan rasa atas kehilangan itu sendiri. Ini bisa berhubungan dengan pemikiran bahwa hal-hal yang dulu sangat penting pada akhirnya memudar, baik dari kehidupan nyata maupun dari kesadaran kita.
Secara filosofis, ini bisa diartikan sebagai suatu bentuk transendensi atau pembebasan. Seiring waktu, manusia mungkin mengalami perubahan dalam cara mereka memandang kehilangan, sehingga mereka tidak lagi terbebani oleh hal yang telah hilang. Kehilangan yang hilang ini bisa menjadi simbol dari bagaimana waktu, pengalaman, dan refleksi mengubah makna dari apa yang dulunya dianggap penting atau menyakitkan.
“Kehilangan yang hilang” bisa menjadi konsep yang menarik jika dilihat dari berbagai perspektif. Dalam bahasa yang sederhana, kehilangan adalah sesuatu yang pernah dimiliki, tetapi tidak ada lagi, baik itu benda, orang, atau perasaan. Namun, bagaimana dengan kehilangan dari sudut pandang yang lebih abstrak, emosional, atau bahkan spiritual? Berikut adalah beberapa perspektif tentang kehilangan:
Pertama, Perspektif Emosional. Kehilangan sering kali membawa kesedihan, rasa hampa, atau ketidakpastian. Namun, ketika “kehilangan yang hilang” dibicarakan, itu bisa mengacu pada perasaan atau hal yang seharusnya hilang tetapi tidak dirasakan lagi karena sudah tertutup oleh pengalaman lain. Misalnya, ketika seseorang pernah merasa sangat sedih karena kehilangan, tetapi perasaan itu hilang seiring berjalannya waktu atau karena penyembuhan emosional.
Kedua, Perspektif Filsafat Eksistensial. Dalam konteks ini, “kehilangan yang hilang” dapat berbicara tentang ketidakhadiran makna atau tujuan dalam hidup. Kehilangan sesuatu yang mendasar (misalnya, jati diri atau makna hidup) bisa membuat seseorang merasa terjebak, tetapi terkadang, rasa kehilangan itu sendiri bisa hilang seiring berjalannya waktu. Kehilangan itu mungkin tersamarkan oleh kebiasaan hidup atau adaptasi.
Ketiga, Perspektif Waktu. Kehilangan sering kali dipahami dalam konteks waktu: sesuatu yang hilang di masa lalu. Namun, dari perspektif lain, kehilangan bisa menjadi sesuatu yang “hilang” di masa depan atau yang belum terjadi. Misalnya, seseorang bisa merasakan “kehilangan potensi” atau “kesempatan yang hilang” yang belum sempat terjadi karena pilihan atau keadaan hidup yang membatasi.
Keempat, Perspektif Relasi. Dalam hubungan interpersonal, kehilangan bisa terjadi baik secara fisik maupun emosional. “Kehilangan yang hilang” bisa berarti seseorang yang hilang dari hidup kita, tetapi kita juga “kehilangan” rasa kehilangan itu sendiri ketika kita beradaptasi, melanjutkan hidup, atau menemukan hubungan baru.
Kelima, Perspektif Spiritual. Dalam konteks spiritual, kehilangan bisa dilihat sebagai bagian dari perjalanan menuju kedewasaan atau pencerahan. Kehilangan mungkin dianggap bukan sebagai sesuatu yang harus ditangisi, tetapi sebagai peluang untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam. Ketika seseorang kehilangan sesuatu, mereka mungkin sebenarnya sedang menemukan sisi lain dari diri mereka yang sebelumnya tersembunyi.
Manakala kita jumpai mereka yang kehilangan perspektif tentang masa depannya, karena berbagai faktor penyebab tentunya; maka yang bersangkutan akan terjebak dalam rtinitas semu. Apa yang dikerjakan hanya melihat hari ini, paling jauh besok; tetapi tidak untuk masa depan, terutama lembaganya. Gedung tampak penuh terisi oleh kerja rutinitas; tetapi semua bagai robot , karena tidak memiliki maruwah. Mereka hanya melakukan “datang, kerja, pulang, akhir bulan gajian”. Jika kondisi seperti ini terjadi dilembaga yang seharusnya memikirkan negeri ini kedepan agar lebih baik; maka sudah dapat diduga hasilnya bagai pepesan kosong belaka. Inilah yang tampaknya merisaukan sahabat lama dalam melihat lembaganya dari jauh yang dulu digawanginya. Setiap waktu ada orangnya, setiap orang ada waktunya; adalah kata bijak untuk berdamai dengan diri sendiri ditengah kerisauan akan apa yang dulu pernah diperjuangkan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Sebelum Berkendara ke Kampus, Ini yang Harus Mahasiswa Siapkan
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Keselamatan berkendara menjadi hal utama yang harus diperhatikan mahasiswa terutama mahasiswa Universitas Malahayati dalam perjalanan menuju kampus.
Agar perjalanan lebih aman dan nyaman, beberapa persiapan penting sebaiknya dilakukan sebelum berangkat kuliah. Berikut beberapa hal yang perlu dipersiapkan mahasiswa:
Memeriksa Kondisi Kendaraan
Sebelum memulai perjalanan, pastikan kondisi kendaraan dalam keadaan prima. Periksa tekanan ban, kondisi rem, bahan bakar, serta lampu kendaraan. “Memastikan kendaraan dalam kondisi baik dapat mengurangi risiko kecelakaan di jalan,” ujar Budi, salah satu mahasiswa Universitas Malahayati yang setiap hari berkendara ke kampus.
Menggunakan Perlengkapan Keselamatan
Helm berstandar SNI bagi pengendara motor dan sabuk pengaman bagi pengemudi mobil adalah perlengkapan wajib. Hal ini tidak hanya untuk memenuhi aturan lalu lintas, tetapi juga untuk melindungi diri dari cedera fatal. “Jangan lupa selalu memakai helm meskipun jaraknya dekat, karena keselamatan tetap nomor satu,” kata Indah, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Mematuhi Aturan Lalu Lintas
Mahasiswa juga diingatkan untuk selalu patuh terhadap aturan lalu lintas, seperti lampu lalu lintas, marka jalan, dan batas kecepatan. Berkendara dengan tertib dan tidak ugal-ugalan akan membantu menjaga keselamatan diri dan pengguna jalan lain.
Mempersiapkan Rute dan Waktu Tempuh
Perencanaan rute yang baik dan memperhitungkan waktu tempuh menjadi kunci agar tidak terburu-buru. Berangkat lebih awal bisa mengurangi tekanan dan risiko mengemudi dalam keadaan tergesa-gesa. “Saya biasanya berangkat 30 menit lebih awal untuk menghindari macet dan memastikan sampai di kampus dengan aman,” ujar Andi, mahasiswa Fakultas Teknik.
Hindari Penggunaan Ponsel Saat Berkendara
Penggunaan ponsel saat berkendara sangat berbahaya. Mahasiswa diimbau untuk tidak mengoperasikan ponsel selama perjalanan. Jika harus menggunakan ponsel, pastikan untuk berhenti sejenak di tempat yang aman.
Jaga Konsentrasi dan Fokus di Jalan
Kondisi jalan yang beragam menuntut mahasiswa untuk selalu fokus saat berkendara. Menjaga konsentrasi penuh di jalan sangat penting untuk mengantisipasi situasi tak terduga, seperti kemacetan, pejalan kaki, dan kendaraan lain.
Dengan mempersiapkan segala hal tersebut, mahasiswa diharapkan dapat menjaga keselamatan mereka selama perjalanan ke kampus.
“Keselamatan bukan hanya tentang perlengkapan, tapi juga tentang perilaku. Selalu patuhi aturan lalu lintas dan hargai sesama pengguna jalan.”
Sebanyak 40 Dosen Universitas Malahayati Ikuti Pelatihan Auditor Internal
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Sebanyak 40 dosen Universitas Malahayati Bandar Lampung mengikuti pelatihan auditor internal di ruang rapat rektorat, Selasa, 15 Oktober 2025. Pelatihan ini diadakan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi dosen dalam melaksanakan audit mutu internal, yang merupakan bagian penting dalam menjaga standar mutu universitas.
Saat membuka acara, Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., NS., M.Kes., mengapresiasi kerja keras panitia yang telah menyiapkan kegiatan ini. “Terima kasih yang luar biasa kepada panitia, terutama kepada tim dari LPPM dan LPMI yang sudah bekerja keras untuk mewujudkan kegiatan ini. Saya sangat bangga karena cita-cita yang sudah lama direncanakan akhirnya bisa terwujud,” ujar Dessy.
Menurut Dr. Dessy, pelatihan ini sangat penting untuk memastikan mutu kampus terus terjaga. “Proses stabilisasi mutu selalu terkait dengan audit. Auditor akan terus menanyakan hasil audit dan tindak lanjutnya saat akreditasi. Oleh karena itu, saya sangat menyambut baik kegiatan ini dan berharap seluruh peserta dapat mengikuti dengan serius,” tambah Dessy.
Pelatihan ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu teori dan praktik. Setelah sesi teori pada hari ini, para peserta akan melakukan latihan praktik audit di program studi masing-masing. Acara ini dihadiri narasumber Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung Prof. Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D.
“Besok para peserta akan langsung melakukan praktik audit, dan dalam dua hari ke depan, laporan audit harus sudah diserahkan. Setelah itu, sertifikat auditor akan diberikan dan bisa diunggah ke dalam sister dosen,” jelasnya.
Wakil Ketua LPPM Universitas Malahayati yang juga Ketua pelaksana Dr. M. Arifki Zainaro, Ns., M.Kep, dalam laporannya menyampaikan bahwa pelatihan ini bertujuan untuk membekali para peserta dengan keterampilan yang diperlukan dalam mengawasi proses, sistem, dan hasil kerja di lingkungan universitas.
“Audit internal memiliki peran strategis, karena melalui audit inilah kita bisa memastikan bahwa semua yang kita kerjakan sesuai dengan pedoman dan standar yang berlaku. Harapannya, dari audit ini akan ada perbaikan, peningkatan, dan inovasi baru yang dapat memajukan Universitas Malahayati,” ujar Arifki.
Ia juga menambahkan bahwa para peserta pelatihan ini nantinya akan bertugas sebagai auditor di program studi dan fakultas masing-masing. “Pelatihan hari ini adalah langkah awal, di mana ke depannya para peserta akan langsung melakukan praktik audit mutu internal di unit kerja masing-masing,” jelasnya. (*)
Editor : Asyihin