Kesehatan dan Pendidikan

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kesehatan dan pendidikan. Dua kata itu tampaknya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan memaknai satu sama lain.Tulisan ini memberi batasan pendidikan menggunakan konsep Ki Hadjar Dewantara yaitu: mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental, jasmani dan rohani.

Sedangkan kesehatan atau sehat menggunakan batasan Fertman, & Allensworth. Yakni, kondisi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang lengkap dan bukan sekadar tidak adanya penyakit atau kelemahan. Dengan kata lain, memanusiakan manusia itu tidak hanya berpendidikan tetapi juga harus sehat jasmani rohani. Manusia yang sehat jasmani rohani itu diperoleh dari mereka yang pendidikannya baik, sehingga menyadari perlunya sehat. Mereka yang sehat jasmani dan rohani; akan memerlukan pendidikan yang baik.

Kesehatan dan pendidikan adalah dwitunggal dalam kehidupan manusia yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain. Hal ini juga ditekankan dalam undang-undang; bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Semua itu adalah pendukung kesiapan seseorang untuk menerima proses pendidikan di dalam dirinya. Internalisasi nilai inilah yang melatarbelakangi dasar pandangan bahwa pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat, yang juga berarti manusia butuh sehat sepanjang hayat.

Karena kesehatan dan pendidikan adalah dasar kehidupan; maka tidak salah jika rakyat akan menuntut kepada negara akan terjamin keduanya dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain layanan kesehatan gratis, layanan pendidikan gratis itu bukan program unggulan akan tetapi program keharusan dari negara untuk rakyatnya. Hanya karena ini merupakan makanan empuk untuk para politisi, maka keduanya dijadikan amunisi untuk menjual diri menarik simpati; sehingga mendapat keuntungan menangguk suara bagi kepentingan diri dan kelompoknya.

Atas dasar kerangka pemikiran di atas, sebentar lagi kontestasi politik di negeri ini akan berlangsung. Pesta rakyat akan digelar dalam rangka memilih wakil mereka di parlemen dan pemimpin tertinggi negeri ini. Tidaklah salah jika tolok ukur Kesehatan dan Pendidikan dijadikan pendulum guna mengukur tingkat kesungguhan mereka untuk mensejahterakan rakyat.

Selama ini kesehatan dan pendidikan gratis secara jujur harus kita evaluasi bersama, apakah sudah sesuai dengan azaz yang sesungguhnya. Berdasarkan studi lapangan kesehatan gratis belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Beberapa layanan dasar kesehatan masih harus perlu dievaluasi menyeluruh. Kendala administrative, pengadaan obat-obatan, sampai dengan manajemen pelayanan; masih banyak yang centangperenang. Ini dibuktikan ada rumah sakit daerah justru tidak mampu melayani warganya dengan baik karena manajemennya tidak baik. Padahal rumah sakit plat merah adalah garda depan pada aspek pelayanan bagi seluruh warga wilayahnya.

Pendidikan yang didengungkan gratis, ternyata di lapangan sekalipun lembaga pendidikan diberi subsidi, ternyata uang sekolah/kuliah harganya selangit. Perekrutan siswa baru atas nama kemiskinan, ternyata mematikan sekolah-sekolah swasta. Seharusnya subsidi siswa miskin tidak dimaknai harus sekolah di sekolah negeri.

Kerakusan perguruan tinggi negeri dalam menerima mahasiswa baru, sampai-sampai membunuh perguruan tinggi swasta. Rasio dosen dan mahasiswa sudah bukan lagi menjadi pertimbangan rasional. Program dibuat begitu beragam, ternyata hanya untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya atas nama pemerataan pendidikan, tidak pernah menghitung beban kerja guru/dosen. Rasio dosen dan mahasiswa tidak pernah dijadikan dasar pengambil kebijakkan, karena ada jalan gratis sementara yang selalu dipakai yaitu program dosen kontrak. Sehingga, pendidikan di lembaga-lembaga negeri seolah-olah merupakan penjelmaan kapitalis baru yang dilindungi negara. Sementara perguruan swasta harus berjuang ekstra keras, sebab harus menempa bahan baku yang tersisa agar menjadi produk utama. Untung di sana banyak “malaikat-malaikat juru selamat” yang memberi bantuan, sehingga mereka sedikit agak tertolong.

Secara jujur harus diakui bahwa program kesehatan dan pendidikan pemerintahan sekarang belum menunjukkan performa yang diharapkan. Kondisi covid yang baru saja berlalu ternyata meneguhkan kekurangan yang kita miliki terutama pada bidang pengelolaan anggaran. Tidak ada yang terbebas dari penyimpangan penggunaan anggaran dari kedua program utama tadi. Sampai-sampai ada kepala dinas kesehatan yang harus bolak-balik dipanggil lembaga anti rasuah.

Kita masih perlu memperbaiki regulasi ke depan untuk bidang kesehatan dan pendidikan; kita memerlukan pemimpin yang punya komitmen untuk memperbaiki sumberdaya manusia melalui kedua bidang tad i. Kita memerlukan rakyat yang sehat dan berpendidikan baik; oleh sebab itu tidak salah kedua kriteria ini menjadi bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin masa depan.

Kesehatan dan pendidikan tidak lagi cukup dimaknai dengan label gratis karena itu memang perintah undang-undang, akan tetapi perlu dimaknai merata yang berkeadilan, dan berkualitas. Merata saja tidak berkeadilan, maka seperti saat ini banyak subsidi silang menjadi salah sasaran. Seharusnya berkualitas bukan dimaknai mahal, sebab berkualitas tidak selamanya mahal manakala negara bisa hadir ditengah sebagai regulator pendorong agar pendidikan dan kesehatan betul-betul seperti apa yang kita kehendaki di atas.

Tulisan ini tidak menafikan bahwa sudah banyak infrastruktur dibangun, ekonomi terjaga dari gempuran inflasi; namun perlu diingat bahwa semua itu ke depan untuk mengelola dan menjaganya memerlukan orang yang sehat dan berpendidikan. Jika kedua hal itu tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh, terutama aspek kualitas dan pemerataannya, maka apa yang kita capai hari ini dalam waktu singkat akan menjadi monument tanpa makna.

Tidak salah jika sebagian kita nanti akan berpikir dalam pemilihan apapun, akan melihat programnya apakah mereka peduli pendidikan dan kesehatan. Jika tidak, mereka tidak sudi memilih adalah risiko yang harus dibayar. Hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang mengetahui saat ada dalam bilik suara. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *