Wajib Belajar dan Kereta Terakhir Pulau Hokkaido

Oleh Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

MEMBACA berita beberapa situs media online, sebagai pendidik, hati saya teriris adanya anak-anak kita tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu secara ekonomi. Setelah viral, para pemangku ramai-ramai membantu dari Dinas Pendidikan, kecamatan, lurah sampai RT sambil “cuci tangan”: tak tahu, tak lapor, hingga media dinilai plantar-plintir.

Kehadiran para pemangku dengan narasi “membantu” kedua pelajar rasanya agak aneh. Soal pendidikan, bukan membantu, tapi sudah menjadi kewajiban negara lewat pemerintah daerah dan para pemangku lainnya hingga terbawah tingkat RT agar tak ada anak-anak yang tak sekolah. Negara hadir membekali anak-anak bangsa agar pintar, bukan memposisikan mereka seolah “membantu”.

Di Jepang, ada kisah betapa pentingnya pendidikan, tak cukup hanya bantuan alat sekolah, dan lain-lain, tapi bagaimana keberpihakkan negara terhadap aset masa depannya dalam kisah pelajar terakhir Stasiun Kami-Shirataki di Pulau Hokkaido.

Japan Railways juga bersiap-siap untuk menutupnya sejak tiga tahun sebelumnya membatalkannya karena ada satu-satunya penumpang seorang pelajar SMA, Kana Harada yang selalu naik kereta dalam perjalanan menuju sekolahnya setiap harinya pulang pergi.

Jadwal perjalanan kereta ini juga disesuaikan dengan jadwal gadis itu, kereta datang pada pagi hari dan kembali berhenti stasiun tersebut sorenya. Sesuai dengan jadwal sekolah. Kana rencananya akan lulus Maret 2016 ini. Setelah dia lulus maka stasiun ini akan ditutup selamanya.

Negara kita sudah pula menyiapkan komitmen tersebut. Mudah-mudahan masih ingat, ayat 1-4, Pasal 34 UUD 1945:
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 berbunyi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dimana Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008, Pasal 12, Ayat 3, Pemkab/kota wajib mengupayakan agar setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar mengikuti Program Wajib Belajar 9 Tahun.

Soal ketidakmampuan secara ekonomi: Fakir miskin dan orang tidak mampu belum teregister terdiri dari : gelandangan, pengemis, perseorangan dari komunitas adat terpencil, perempuan rawan sosial ekonomi, korban tindak kekerasan, pekerja migran bermasalah sosial.

Jelas dan tidak perlu penjelasan keluarga yang ada dalam berita itu adalah sangat memenuhi kategori tadi, dan anehnya itu sudah berlangsung setahun tak diketahui para pemangku kebijakan dari tingkat provinsi, kota, kecamatan, lurah, hingga RT.

Pertanyaannya, kemana saja pejabat yang berwenang selama ini? Adanya struktur pemerintahan hingga tingkat RT agar pengawasan terhadap rakyat betul-betul dikuasai. Apakah rakyatnya cukup makan hari ini, apakah anak-anak sudah sekolah, bla bla bla.

Adanya dua pelajar SD yang sudah setahun tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu merupakan tamparan bagi kita semua yang secara politik kerap jadi dagangan: bebas SPP, wajib belajar, APBN dan APBD yang digelontorkan buat pendidikan hampir setara pembangunan infrastruktur, tiba-tiba ada dua anak tak sekolah.

Janji-janji itu, janganlah jadi komoditas politik murahan hanya untuk kepentingan sesaat, apalagi hanya karena sebuah kursi jabatan. Semua itu harus dilaksanakan karena memang perintah undang-undangnya begitu, dan negara harus hadir di sana, bentuk manisfestasinya adalah program yang dibuat oleh pejabat, siapapun pejabat itu.

Kebiasaan pejabat hanya memindah-mindahkan anak buah yang tidak bisa ikut kemauan dirinya, seharusnya diakhiri. Ganti dengan memindah-mindahkan program untuk membantu kaum miskin yang makin hari makin terhimpit karena kekurangannya.

Bila pendidikan dasar itu gratis dan itu adalah perintah undang-undang, maka tidak perlu embel-embel itu program pribadi. Apalagi jika keperuntukkan selama ini untuk program yang memperbesar hutang, sedangkan membayarnya dengan menjual asset; ini menunjukkan keterbelakangan berfikir yang perlu dikoreksi.

Kota yang tampak luarnya megah, apalagi melihatnya malam hari, dan sejatinya “kopong” (meminjam istilah Jurnalis Senior Halloindonesia Lampung); adalah bentuk sempurna dari kamuflase sosial. Sudah seharusnya pimpinannya sadar diri bahwa masih banyak kerja-kerja yang belum dikerjakan.

Kita tidak harus menunggu anak muda kreatif memviralkan kekurangan kita, tetapi merealisir program yang menyentuh akar rumput, itu adalah kuwajiban utama bagi pimpinan tertinggi.

Tidak ada seorangpun manusia yang sejak lahir bercita-cita untuk miskin, tetapi karena peluang untuk bangkit yang tidak mereka peroleh, maka disanalah peran pemimpin melalui program pemberdayaan masyarakat kurang beruntung secara sosial-ekonomi, mewujudkan ide-ide cemerlang agar mereka mampu mandiri bukan untuk dikebiri.

Janganlah kegagalan menjadikan kemarahan saat wartawan mengklarifikasi; karena wartawan adalah soko guru demokrasi yang tugasnya mewartakan. Dan, warta yang diwartakan tidak selamanya kesuksesan. Jika itu kekurangan seharusnya itu dianggap koreksi untuk introspeksi kemudian diperbaiki, dan jika keberhasilan yang diwartakan; itu bukan untuk berbangga diri, tetapi untuk memacu diri.

Gagal dan Berhasil adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk dihindari apalagi ditinggal pergi alasan masih dinas luar kota atau banyak urusan yang dinilainya lebih penting. (SJ)

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply