Pendidikan yang Berkeadilan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu ada media online yang memuat bagaimana warga kota ini yang sudah usia sembilan tahun tidak sekolah karena kemiskinan. Di sisi lain ada program pengentasan masyarakat miskin dengan program Bina Lingkungan untuk menyekolahkan anak-anak kurang beruntung ke sekolah negeri. Sementara di pihak sana begitu banyak sekolah swasta yang tutup karena tidak mendapatkan murid. Sekolah negeri bagai rumah besar yang tidak berpagar.
Lebih memukau lagi perguruan tinggi negeri yang menggunakan program “Kapal keruk” menerima mahasiswanya dengan berbagai program, sehingga jumlah mahasiswa yang diterima tidak sebanding dengan dosen dan fasilitas yang dimiliki. Atas nama pemerataan dan kesempatan berpendidikan, jelas akan mengabaikan mutu, dan ini terbukti manakala ada pengukuran akan kualitas, ternyata perguruan tinggi swasta yang dikelola dengan baik, menduduki ranking pertama. Sehingga silogisme yang dipakai selama ini memerlukan koreksi yang tidak mungkin dipertahankan lagi.
Perguruan tinggi swasta dan sekolah swasta mendapatkan dampak yang luar biasa menderitanya karena, karena pemahaman yang kurang tepat akan makna kesempatan memperoleh pendidikan. Selama ini swasta hanya diberi “label mitra” oleh pemerintah; bahkan yang menyakitkan saat ada pertemuan, ada petinggi yang nyeletuk kalau tidak punya modal jangan buka sekolah. Mereka lupa akan marwah pendidikan; bagaimana satu sekolah berlabel kebangsaan yang digagas tokoh pendidikan negeri ini; menyebar ke seluruh negeri jauh sebelum Indonesia Merdeka; itu hanya bermodalkan tekad membangun bangsa.Ternyata setelah memerdekakan bangsanya, mereka harus menerima pahitnya kebijaksanaan.
Tidak bisa dipungkiri ada sebagian pendidikan swasta yang komersial, namun perlu juga dipahamkan jika swasta tidak dikelola dengan sistem komersial dalam arti hakekat, maka tidak mungkin lembaga pendidikannya akan berjalan. Bisa dibayangkan dengan jumlah peserta didik yang sedikit, harus mempekerjakan pendidik yang baik, dan menghasilkan lulusan terbaik. Sementara fasilitas dan segala sesuatu sebagai penunjang penyelenggaraan pendidikan harus disiapkan. Jika lembaga swasta ini semata-mata hanya mengandalkan pendapatan dari uang sekolah, tentu semua mengetahui bahwa itu adalah jalan menuju kematian.
Tampak sekali bahwa kebijakkan pemerintah berkaitan dengan pendidikan belum melaksanakan prinsip berkeadilan. Semua akan ditangani sendiri, padahal tangan yang dimiliki terbatas. Sementara jika ada pihak swasta yang berinisiatif untuk mengambil peran, sudah dicurigai duluan. Jika ada pihak ketiga yang membuka kekurangan dari sistem penyelenggaraan, maka dicurigai bahkan tidak jarang diintimidasi.
Pihak penyelenggara pendidikan pemerintah seolah-olah dikesankan selalu terbaik, padahal tidak semuanya benar. Lebih menyedihkan lagi kita masih sering mendapat informasi kemajuan atau prestasi yang diperoleh swasta, sering tidak mendapatkan pengakuan yang layak. Jika-pun ada, itu hanya sebagian kecil dengan tujuan kesan diskriminasi tidak mencolok.
Sudah waktunya untuk memikirkan pendidikan yang berkeadilan baik dalam hal kualitas, kuantitas maupun pemerataan. Program biling bisa diteruskan namun tidak monopoli negeri, biarkan swasta berperan asal kasihkan anggarannya kepada mereka dengan mematuhi mekanisme yang ada. Program “Kapal keruk” untuk perguruan tinggi negeri, sudah seharusnya dihentikan; berikan keleluasaan perguruan tinggi swasta juga berperan lebih aktif, dan jika memungkinkan pilihan studi dan ujian bersama bisa dilakukan karena akreditasinya sama. Atau menggunakan skema lain sehingga perguruan tinggi swasta dan negeri pada banyak hal bisa mengerjakan bersama, baik nasional, regional maupun local.
Negeri ini tidak cukup memiliki slogan pendidikan untuk semua, tetapi juga pendidikan yang berkeadilan, baik dalam pengertian pelayanan, partisipasi, maupun dalam tatakelola. Kebijakan yang adil bisa saja belum berkeadilan; oleh sebab itu perlu ada usaha bersama dengan tidak menafikan hakikat masing-masing. Kita tidak mungkin membesarkan gajah sama dengan membesarkan semut, atau menyemutkan gajah dan menggajahkan semut. Biarkan gajah besar dengan caranya, dan semutpun besar dengan caranya.
Tulisan ini pasti akan mengundang perdebatan, dan itu pertanda kita berfikir dan memiliki kepedulian terhadap negeri. Namun perdebatan yang memberi solusi adalah perdebatan cerdas bukan saling menindas; apalagi hanya sekedar mencari popularitas. (SJ)