Malas Menulis, Menulis Malas
Oleh: Prof. Dr. Sudjarwo. M.S.
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menyimak berita petugas pajak daerah akan mengejar wajib pajak sampai ke stasiun pengisian bahan bakar. Untung mereka sadar bahwa ini jaman sudah merdeka, tidak harus berperilaku seperti Penjajah Belanda mengejar pribumi untuk membayar blasting. Apapun alasannya, hal seperti itu adalah menunjukan arogansi kelembagaan yang sangat merugikan marwah lembaga.
Pada waktu bersamaan di atas sana sedang berlangsung Sidang Pelanggaran Kode Etik oleh lembaga penjaga hukum. Mereka mengadili perkara yang rakyat kebanyakan tidak mengerti apa maksud mengadili dari lembaga pengadil. Akhirnya keputusan yang tidak memutus terjadi, lengkaplah pusingnya rakyat melihat negeri ini.
Jauh di sana, ada sesama warga bumi sedang berjuang karena tanah tumpah darahnya sedang dipertaruhkan. Darah bersimbah diman-mana, anak kecil menjadi yatim bahkan piatu. Jumlah mereka separo dari penghuni negerinya. Bom berjatuhan meluluhlantakan yang ada, seolah kita sedang bermain kiamat-kiamatan, untuk bersimulasi sebelum kiamat aungguhan akan datang.
Dan, masih banyak lagi hal-hal yang menggugah untuk dikritisi agar kembali kejalan yang benar, walaupun pekerjaan seperti itu sama halnya dengan menggarami air laut. Namun ada peringatan kelilahian kepada kita untuk “Watawa saubil haq watawa saubil shabr”. Akhirnya membuat mules kepala, sakit di perut; ingin mengakhiri untuk tidak menulis saja; tidak jadi dilakukan, karena ada pertanyaan tersisa siapa yang harus mengingatkan dengan berposisi melihat dari sisi sistem nilai universal. Pertanyaan yang ditanyakan kepada angin ini, tentu tidak akan pernah mendapatkan jawaban karena setiap jawabannya dibawa terbang entah kemana.
Banyak pembaca yang sudah malas membaca, apalagi menyimak. Mereka telah sibuk menyelamatkan diri masing-masing, minimal meyelamatkan periuk nasi agar tidak terbalik. Banyak yang sudah masa bodo, bahkan rela untuk menjadi bodo, karena memang sudah dibodo-bodo-in. lebih parah lagi berguman “dia lagi…dia lagi”. Atau berargumen sebanyak apapun buih mulut tidak akan mampu mengubah keadaan karena tidak memiliki kekuasaan.
Tidak sadar bahwa keadaan seperti ini memang sesuatu yang diharapkan sebagai hasil akhir, sebab akan memuluskan semua rencana, manakala orang sudah masa bodo semua. Apakah negeri ini akan menjadi negeri “masa bodo”; tentu jawabannya ada pada kita semua. Manakala kita bersepakat untuk memasabodo-kan diri masing-masing, maka sempurnalah kita untuk menjadi sempurna sebagai mahluk yang bodo.
Beruntung ada media sosial yang dapat menampung luapan, termasuk emosi, sehingga tidak aneh jika isi atau konten yang ada menjadi aneh-aneh. Walaupun sejatinya keanehan itu adalah bentuk respon dari keanehan yang dipertontonkan sebelumnya. Sedangkan stail yang dipakai bisa bermacam-macam sesuai dengan karakter dari yang melakukan. Sebagai contoh pilihan parodi adalah bentuk respon parodi kehidupan yang dipertontonkan kepada khalayak.
Ada yang berpendapat dunia sudah semakin tua, padahal ketuaan itu parameternya bukan hanya usia kronologis, bisa jadi usia biologis. Namun jika dikaitkan dengan periodisasi, sebenarnya parameter tua tidak terlalu tepat digunakan. Periodisasi yang bersifat maju berkelanjutan, tentu hanya mengenal dimensi tiga, yaitu masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Oleh sebab itu menjadi naïf jadinya jika sesama kita berada pada wilayah areal yang sama, tetapi tidak saling bertegursapa; hanya karena kita memiliki selera yang berbeda.
Akhirnya menulis harus jalan, terlepas apakah dia akan dibaca atau tidak, karena jejak digital untuk masa depan tidak bisa ditunda. Sejarah harus diukir dari detik Ke menit untuk menuju hari dan tahun. (SJ)