Sisa-Sisa Pesta
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu matahari mulai meninggi, memancarkan sinar yang cukup terik mulai terasa udara seperti dipanggang. Tenda berdekorasi indah kemaren dulu, kini lusuh kusut masai, seiring dengan mulainya sunyi menyergap, sebagai penanda pesta sudah usai. Meja-kursi bergelimpangan, bekas plastik minum berhamburan, kertas-kertas bekas berterbangan; belum ada yang hirau untuk membereskan karena mereka bekerja 30 jam tanpa henti kecuali shalat dan makan.
Papan rekapitulasi masih bertengger ditempatnya, dan tampak jelas siapa menjadi pemenang dari pesta yang tidak ada jamuan ini. Namun, itu baru permulaan dari suatu pengumpulan; bukan berarti itu adalah finalisasi dari suatu hasil akhir. Tetapi justru perjalanan itu mulai masuk ke daerah berbahaya, karena bisa jadi itu adalah wilayah perebutan para begal suara yang siap memangsa.
Kita tinggalkan semua pesta di atas, dan mari kita tilik apa yang terjadi di sana yang sedang berebut kursi melalui pengumpulan jumlah suara kita. Ternyata mereka tidak lagi peduli berapa jumlah yang mereka kumpulkan, karena yang semula seolah sedang bergontok-gontokan, ternyata sekarang berpeluk mesra; sementara kita sebagai pemilik suara masih banyak yang perasaannya belum bisa menerima apa yang terjadi.
Betul apa kata orang terdahulu bahwa dunia ini memang panggung sandiwara yang berganti setiap saat episode, pelaku dan peran dari masing-masing kita sebagai pemain. Tinggal bagaimana kita menyikapi masing-masing peran yang kita lakonkan. Bisa dibayangkan hari kemaren kita berhadap-hadapan bagai akan perang tak akan berhenti; ternyata begitu pesta usai kepala disana sudah bermesra, sementara kita sebagai ekor terus ingin saling libas.
Tampaknya pesta yang baru lalu menyisakan hasil pembelajaran kepada publik, termasuk kita didalamnya, yaitu: bahwa pesta apapun namanya pasti memiliki akhir. Perlu disadari bahwa akhir pesta itu jangan sampai meninggalkan “hutang” dalam bentuk apapun. Jika itu material, itu lebih mudah menyelesaikan. Tetapi hati yang tergores memerlukan waktu lama penyembuhannya. Oleh sebab itu jangan sampai pesta tadi mengakibatkan luka didalam hati, karena itu adalah bagian permainan dunia.
Walaudemikian sekalipun, itu permainan dalam melakonkannya kita tidak boleh main-main. Karena jika permainan itu kita mainkan dengan cara main-main; maka hasil akhirnyapun akan dipermaikan orang lain. Tinggal bagaimana menghitung yang tersisa dari suatu pesta sebagai media permainan tadi; ternyata ada satu hal yang sering dilupakan yaitu berapa dosa yang kita perbuat akibat kita bermain dengan cara main-main, atau mempermainkan orang. Banyak kita tidak menghitung residu dari permaianan yang kita mainkan, sehingga tidak aneh nantinya kita akan dipermiankan oleh hasil permainan kita, jika tidak di sini yang pasti di sana.
Ternyata setiap pesta meninggalkan sisa; hanya sisa seperti apa itu yang ada, tentu kita semua yang mampu memahaminya. Bisa jadi pesta itu menyenangkan bagi sebagian orang, namun sangat menyakitkan bagi yang lainnya. Oleh sebab itu kalkulasi sebelum dan perhitungan setelah, adalah pekerjaan yang harus dilakukan dalam berpesta; sebab bisa jadi sesuatu telah dikalkulasi berdasar teori akan menguntungkan, namun setelah selesai kegiatan dan dilakukan berhitungan justru merugikan.
Pesta sudah usai mari kita bersihkan material yang tidak berguna lagi, namun perlu diingat yang tidak bisa kita bersihkan adalah ingatan akan pesta itu. Masing-masing yang datang kemarin membawa ingatannya sendiri-sendiri sebagai kenangan; indah atau mengharukan itu ada pada wilayah rasa. Semoga lima tahun yang akan datang memori itu tidak hilang di telan waktu; apalagi dahsyatnya pengaruh bantuan beras dan cuan, karena bisa menggeser nilai hakiki yang ada selama ini “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” berubah menjadi “lebih baik tangan di bawah yang atas itu terserah”. (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!