Perampok Budiman

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Konon dahulu kala disuatu desa yang terletak dikaki gunung, hiduplah seorang dermawan yang pekerjaannya setiap hari-hari tertentu membagikan uang dan sembako kepada penduduk desa bahkan sampai ke desa-desa tetangga.

Pembagian itu dikhususkan kepada warga yang dipandangnya hidup tidak mampu, sementara yang berkecukupan tidak mendapatkan bagian. Pekerjaan seperti ini dilakukan bertahun-tahun; hingga pada suatu saat ada seorang pemuda desa yang penasaran, dan bertanya dalam hati apa pekerjaan dermawan itu, sementara hidupnya sendiri pas-pasan namun gemar sekali berbagi dengan sesama terutama bagi yang tidak mampu.

Bermodalkan keingintahuan ini pemuda tadi melakukan penyelidikan secara diam-diam; memakan waktu yang cukup lama pemuda tadi menemukan pekerjaan sang dermawan ternyata adalah perampok. Namun dermawan tadi merampok tidak di sekitar desanya, akan tetapi jauh ditempat lain dimana ditemukan banyak orang-orang kaya yang kurang mau berbagi.

Pemuda tadi terpana sekaligus gundah akan kehalalan dan kebersedekahannya sang dermawan. Karena ingin mendapatkan kejelasan, maka pemuda tadi mendatangi ahli agama yang tinggal jauh dari daerahnya.

Setelah berjumpa, pemuda tadi menceritakan apa yang menjadikan dirinya ingin berjumpa pada “sang mursid”. Ahli agama tadi dengan senyuman yang khas, tanpa tampak sinis atau mengejek; dengan kelembutan hati beliau berkata “wahai anak muda itu belum seberapa, nanti akan datang suatu masa ada banyak orang yang tampak mukanya soleh serta dermawan, setiap hari membagikan uang dan makanan; bahkan membangun rumah ibadah dan tempat ngangsu kawruh, membantu orang miskin. Tidak cukup itu, dia juga melakukan memfasilitasi semua kepentingan umum, tetapi uangnya diperoleh dari merampok negerinya sendiri dengan berbagai cara, termasuk menipu siapa saja yang bisa di tipu”.

Anak muda tadi terperangah, dan berguman dalam hati “dimanakah negeri semacam itu berada”. Namun karena santunnya anak muda ini kepada Sang Guru tadi, dia tidak berani bertanya. Tetapi Sang Guru membaca batin anak muda itu melalui mata batinnya; sejurus kemudian beliau berkata “wahai anak muda negeri yang kau tanyakan itu adalah ditempat sekarang kamu berdiri”.

Sontak anak muda itu terperangah karena bagaimana mungkin itu bisa terjadi, karena menurut penglihatan dia negeri ini makmur, bahkan boleh dibilang “gemah ripah, loh jinawi, karto tentrem lan raharjo”. Guru mursid tadi membaca keraguan anak muda tadi, beliau tampak tersenyum penuh wibawa, sejurus kemudian berkata” wai anak muda…..nanti pada zamannya ada Nalendra memaksa anak-anaknya berbuat cidra, dan para Nayaka bermanis muka karena takut kursinya diminta, yang benar disalahkan yang salah dibenarkan, hitungan ditambahkan kalau untuk dirinya dan dikurangkan kalau untuk orang lain; itulah zamannya nanti”.

Setelah dirasa puas, dan juga cemas takut terbaca isi batinnya oleh Guru Mursid, anak muda tadi undur diri. Sang Guru memberi restu agar anak muda tadi selalu berpegang pada kebenaran, dan bersandar kepada ketuhanan. Dengan berjalan gontai anak muda tadi berdoa semoga dia tidak menjumpai zaman yang diceritakan Sang Guru Mursid. Namun hatinya ragu andaikata zaman itu nanti dijumpai oleh anak turunnya, betapa serakahnya orang-orang yang lahir waktu itu; dia berdoa semoga anak turunnya terhindar dari keserakahan dunia yang bagai fatamorgana ini.

Mendadak kaki terasa digoyang-goyang, ternyata begitu dilihat istri mengingatkan waktunya sholat tahajud tiba karena alarm sudah berbunyi. Subhannallah itu tadi mimpi disepertiga malam. Semoga itu semua sekedar bunga tidur yang kebablasan bukan kenyataan yang ada atau akan ada. Apakah itu perwujudan dari kegelisahan akan nasib negeri ini…..entahlah.
Salam waras. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *