Mengidupi Hidup

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menghidupi hidup dalam filsafat adalah tentang mempertimbangkan dan mengikuti prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan keyakinan yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan seseorang. Ini melibatkan refleksi mendalam tentang tujuan hidup, makna eksistensi, dan cara terbaik untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan memuaskan.

Pendapat lain yang hampir sama mengatakan: Menghidupi hidup adalah sesuatu tindakan yang melibatkan pengaplikasian prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam mengatasi tantangan maupun mengambil keputusan. Ini mungkin melibatkan proses refleksi, meditasi, atau diskusi filosofis dengan orang lain untuk memperdalam pemahaman tentang apa yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Setiap orang mungkin memiliki definisi yang sedikit berbeda tentang apa yang membuat hidup mereka bermakna dan menghidupi. Yang penting adalah menemukan keseimbangan dan memprioritaskan hal-hal yang penting bagi kita dalam mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermakna.

Kita tinggalkan definisi konseptual langit di atas; mari kita memijakkan kaki ke bumi. Ternyata apa yang ada pada alam idea di atas, banyak hal yang tidak sejalan, bahkan tidak sedikit yang bertentangan. Tentu saja hal itu boleh-boleh saja, sebab meminjam istilah Plato bahwa hidup adalah bayang-bayang, bisa jadi bayang-bayang yang tercipta tidak sesuai dengan aslinya karena berbeda pencahayaan dan cara pandang.

Sebagai misal, aturan itu dibuat dan disepakati bersama untuk kepentingan bersama. Ternyata dalam perjalanannya banyak pengecualian yang muncul akibat berbenturan dengan kepentingan, baik pribadi maupun kelompok. Bisa dibayangkan jika orang kecil tidak memiliki jaringan dengan penguasa atau yang sedang berkuasa melakukan pelanggaran, maka hukuman ditegakkan atasnya tanpa ampun. Berbeda jika pelanggaran yang sama dilakukan oleh mereka yang berkuasa atau punya hubungan kedekatan dengan yang sedang berkuasa, maka cukup dengan kata maaf dan sedikit cium tangan, selesailah semua persoalan. Akan menjadi sempurna kekecualian itu manakala bersinggungan dengan mereka yang memiliki uang, sehingga dapat membeli apa saja, termasuk kekuasaan dan sekaligus penguasanya.

Hal di atas berlaku pada siapa saja, termasuk “penguasa agama”. Sekalipun dalam esensi ajarannya sangat mulia karena harus memuliakan ciptaanNYA; namun pada prakteknya ada diantaranya syahwat duniawi membelenggu diri dan kebutuhan hidup keluarga, akhirnya keyakinan sakralnya dijual dengan membenturkan kepada keyakinan orang lain yang jelas berbeda esensi, guna mendapatkan popularitas murahan dan cuan.

Menghidupi hidup tidak dengan cara menebar benih kebencian, sebab tidak perlu disebar kebencian itu sudah ada pada celah perbedaan. Sementara perbedaan sendiri sudah ada sejak diciptakan dunia dan isinya oleh Sang Maha Pencipta. Benih kebencian itu akan subur manakala kita melihat perbedaan sebagai ketidaksamaan, sementara dia akan layu manakala kita melihat perbedaan sebagai keberagaman.
Oleh sebab itu salah satu tugas manusia adalah menjadi derigen bagi dirinya dan keluarganya, sehingga terjadi harmoni dalam mensinkronkan perbedaan yang ada. Tugas kederigenan ini juga melekat kepada semua pemimpin formal, nonformal dan informal, termasuk pemimpin agama dengan komunitasnya. Pemimpin itu hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah dari yang dipimpin. Manakala dia sudah terlalu tinggi dan atau terlalu jauh, siap-siap saja akan ditinggalkan oleh pengikutnya.

Perlu disadari bersama bahwa dunia ini bukan kebun, akan tetapi taman, sebab jika kebun hanya diisi oleh satu atau dua jenis tanaman, sementara jika taman dia dihiasi oleh beragam tanaman bahkan bunga warna warni yang berbeda satu sama lain, dan justru tampak indah untuk dipandang serta nyaman untuk ditinggali.
Menghidupi yang menghidupkan tidak harus dengan cara membunuh kehidupan manusia lain; apalagi dengan sengaja melakukan penyebaran kebencian, hal itu sama dengan membunuh kehidupan yang seharusnya hidup, dan dalam ajaran semua agama langit menilai perilaku seperti itu adalah pengingkaran terhadap Tuhan semesta alam. (R-1)
Salam Waras (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply