Republik Ketoprak
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu badan saya terasa sangat lelah sekali karena lebih dari dua jam olah raga dengan cara membersihkan rumah beserta pernak-perniknya. Setelah mandi diteruskan dengan leyeh-leyeh sambil menikmati sayup-sayupnya puji-pujian Jawa klangenan, sehingga membawa kenangan lama melintas, diantaranya saat nonton pertunjukan ketoprak kelas ndeso pada zamannya.
Syahdan di suatu jazirah Mbagedat (Jawa = aslinya Bagdad) ada negara bernama Republik Ketoprak. Negeri ini sedang akan memilih pemimpin dengan cara melakukan pemilihan langsung. Maksudnya setiap rakyat Negeri Ketoprak harus menggunakan hak pilihnya guna memilih pasangan pemimpin. Dan, bagi pasangan yang dapat mengumpulkan suara pemilih terbanyak, dialah yang akan menjadi pemimpin di Negeri Republik Ketoprak. Hal ini dilakukan karena masa kepemimpinan negeri ini akan berakhir, sementara pemimpin utama tidak bisa melanjutkan karena dibatasi oleh aturan hanya dua kali saja, sekalipun yang bersangkutan sebenarnya sangat ingin terus menjadi “raja” di Negeri Ketoprak.
Setelah dilakukan woro-woro oleh panitia yang ditunjuk oleh lembaga rakyat guna memfasilitasi terselenggaranya pemilihan. Lembaga ini menetapkan semua calon harus melakukan kampanye keseluruh negeri atas biaya sendiri; mereka para calon dilarang menggunakan fasiltas milik negeri. Ternyata setelah menunggu waktu cukup lama; ada tiga pasang pendaftar. Pasangan pertama adalah orang muda intelektual agamis; pasangan ini terkenal santun dan memiliki latarbelakang pendidikan tinggi dengan gelar tertinggi. Pemikirannya cerdas, dibuktikan dengan narasi-narasi yang dibangun menggunakan logika ilmiah. Walaupun bagi yang tidak sampai otaknya akan mengucap hanya bisa omong tidak bisa kerja. Mereka yang komen begitu tidak salah karena konsep bekerja dikepalanya adalah mancul di sawah atau di ladang, bisa juga jualan kulakan di pasar; kalau tidak begitu bukan kerja namanya. Beda sudut pandang beginilah yang sering pasangan ini terantuk tembok, atau bulan-bulanan yang empuk.
Pasangan kedua adalah pensiunan prajurit perang yang memiliki pengalaman tempur luar biasa, terutama saat melawan pemberontak. Jago naik kuda dan menembak, bahkan beliau memiliki olah raga menembak. Berpasangan dengan anak muda, yang semula berprofesi sebagai saudagar dan terakhir jadi kepala perdikan. Pasangan ini terkenal dengan ketajirannya, karena memiliki sumber dana yang tidak berseri. Ukuran banyaknya kepeng bukan lembar tetapi karung; sehingga mampu membiayai apa saja jika diperlukan. Ciri dari pasangan ini adalah bisa membuat heboh para pendukungnya karena senang bersukaria dan berjoged megal-megol. Pidatonya bisa membakar emosi masa, namun setelah suasana kembali normal saat ditanya apa isi pidato kampanyenya tadi, beliau dengan ringan menjawab “lali aku”. Soal janji jangan ditanya, soal realisasi, nanti saja setelah jadi.
Pasangan ketiga adalah mantan kepala kadipaten yang berpasangan dengan ahli hukum yang sangat mumpuni. Dari hukum rimba sampai hukum karma beliau kuasai dengan baik. Pasangan yang sudah tidak muda lagi ini memiliki keyakinan tinggi untuk menang karena sang calon sudah sejak lama mempersiapkan diri, dengan cara tidur dan makan bersama wong cilik. Terlepas apakah itu tulus dari hati atau hanya sekedar “lamis-lamis”, hanya Yang Maha Kuasa yang Maha Mengetahui. Pasangan ini didukung oleh para Banteng berkepala sapi, yang siap menggendong calon kapan saja.
Saat acara kampanye tiba, ketiga pasangan ini adu strategi untuk menarik pemilih dengan segala macam cara. Calon pertama menggelar diskusi-diskusi cerdas hadir ditengah anak-anak muda terdidik. Kehadiran mereka berdua dielu-elukan oleh mereka yang berpendidikan rerata baik, sementara wong ndeso hanya nonton dari jauh, bahkan sayub-sayub. Pasangan ini seolah lupa bahwa kebanyakan pendidikan di Republik Ketoprak belum merata, bahkan ada yang mengatakan rata-rata mereka baru kelas tujuh. Akibatnya orientasi mereka menggunakan istilah Maslow baru pada tahap level dua saja. Model beginian menjadi mayoritas pemilih dinegeri Ketoprak, yang memiliki kesukaan kumpul, makan dan njoged. Memang jadi mengasyikkan jika dihubungkan dengan kondisi keseharian mereka. Sementara jika disuruh mikir mereka akan berkilah itu bukan bidangnya.
Calon kedua setiap kampanye menghadirkan hiburan. Nanti dulu soal pidato program, yang penting happy atau senang dulu. Makanya pasangan ini selalu membuat heboh panggung karena digoyang oleh musik dan joget khas mereka. Tentu saja yang hadir tidak peduli lagi dengan sekitar, yang penting goyang dan mangan. Terkadang panggilan untuk menghadap Tuhan yang diterikan oleh para mukazin tidak didengar lagi. Calon kedua ini sangat jeli memanfaatkan peluang apapun, termasuk koneksi-koneksi informal dengan para petinggi negeri dan para saudagar. Sehingga jika ada bantuan dari negeri Ketoprak kepada warganya, pasangan ini memanfaatkan celah untuk mendapatkan momentum.
Calon ketiga setiap kampanye mendekatkan diri pada kelompok “sepuh” dengan harapan paling tidak mendapatkan tumpangan pengaruh untuk para wadyabala tingkat bawah. Mereka lupa para sepuh di negeri Ketoprak sudah terkontaminasi suguhan, sehingga tidak jarang mereka berubah menjadi “sepah”. Banteng yang disiapkan untuk memeriahkan situasi, ternyata banyak yang duduk-duduk dibawah pohon beringin sambil nggayemi.
Hari pemilihan tiba. Ternyata strategi calon nomor dua sangat jitu, terutama bisa memengaruhi kelompok kelas tujuh yang jumlahnya mayoritas untuk dapat memilihnya. Atau itu kehendak Tuhan, tidak seorang pun yang mengetahui. Kenyataan yang bicara calon nomor dua unggul dari calon yang ada. Tuhan menunjukkan kedigjayaannya bahwa yang mengatur dunia dan isinya ini bukan manusia, kita semua hanya mahluk dibawah kendali-Nya. Jangankan lagi kemenangan dalam apapun pemilihannya, selembar daun jatuhpun dialam ini adalah atas kuasa-Nya.
Pertarungan belum selesai, calon satu dan calon tiga menggugat ke pengadilan untuk mendapatkan paling tidak kejelasan mengapa mereka kalah. Sidang dilakukan berhari-hari karena masing-masing pihak ingin unjuk bukti, bahkan terkadang ditingkahi dengan kelakuan yang agak kurang terpuji; dengan cara dari unjuk gigi sampai unjuk cincin ditampilkan.
Semua seolah sudah lupa diri bahkan terkesan ingin mengatur Tuhan, padahal ada pesan bijak dari para ulama terdahulu; ..”Jangan mengatur Tuhan, wilayah kita hanya usaha”….. Banyak orang pandai teori ekonomi tidak punya warung, tetapi tidak sedikit orang yang tidak sekolah sukses menjadi pengusaha. Semua itu meneguhkan bahwa kuwasa Tuhan jauh lebih perkasa dibandingkan dengan kemauan mahlukNYA. Kita hanya diminta untuk ihlas dalam menerima takdir.
Sedang enak-enaknya menonton sidang sengketa pemilihan yang sedang berdebat; sayup-sayup terdengar bunyi jendela kamar diketuk, ternyata itu ketukan istri minta bukakan pintu. Baru sadar setelah bangun semua di atas hanya mimpi di siang bolong.
Salam waras. (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!