Becik Ketitik Olo Ketoro
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat Pemilihan Umum tahun 1971 ada partai politik yang bernuansa keagamaan pernah menggunakan istilah “becik ketitik olo ketoro, nomor siji wadah saliro”; artinya yang baik akan kelihatan yang buruk akan tampak, nomor satu tempat kita berada; karena partai itu bernomor urut satu. Dan, pada pemilu periode berikutnya partai ini dipaksa gabung dengan yang lain dan diberi lambang berbeda dengan kemauannya.
Kita lihat dulu apa sebenarnya istilah judul di atas; Pepatah “Becik Ketitik, Olo Ketoro” berasal dari bahasa Jawa yang memiliki makna filosofis yang dalam. Secara harfiah, pepatah ini berarti “yang baik akan terlihat, yang buruk akan ketahuan.” Makna filosofis dari pepatah ini adalah bahwa perbuatan baik atau kebajikan seseorang pada akhirnya akan terlihat dan diakui, sedangkan perbuatan buruk atau kesalahan seseorang juga akan terungkap seiring waktu. Ini mencerminkan keyakinan bahwa kebenaran dan keadilan pada akhirnya akan terungkap, meskipun mungkin memerlukan waktu. Tentu saja untuk soal yang satu ini bersifat unlimited, atau tak terhingga karena menyangkut soal kapan itu berurusan dengan kodrat, dan itu wilayah transidental.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, pepatah ini mengajarkan kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, karena pada akhirnya semua perbuatan kita akan diketahui oleh orang lain. Ini juga mengandung pesan moral bahwa kita harus bertanggung jawab atas tindakan kita dan selalu berusaha untuk menjalani hidup dengan integritas dan kejujuran. Filosofi ini juga sering digunakan sebagai pengingat untuk tetap berbuat baik meskipun tidak selalu mendapatkan pengakuan atau penghargaan segera, karena pada akhirnya, kebajikan akan selalu mendapatkan tempat yang layak dalam pandangan masyarakat.
Pepatah “Becik Ketitik, Olo Ketoro” adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat Jawa dan telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, referensi tertulis yang secara khusus membahas pepatah ini mungkin tidak banyak tersedia. Namun, pemahaman dan penerapan pepatah ini bisa ditemukan dalam berbagai karya sastra, artikel budaya, dan studi etnografi yang membahas kebijaksanaan lokal dan filosofi hidup masyarakat Jawa.
Tampaknya masyarakat sudah memiliki mekanisme tersendiri untuk mengontrol perilaku anggotanya. Ternyata filosofi ini terus relevan dan berfungsi untuk menjaga integritas, kejujuran, dan tanggung jawab individu dalam komunitas sosial. Persoalannya sekarang seiring perkembangan masyarakat yang cenderung semakin individualistik; tampaknya sudah mulai abai akan hal ini. Sebagai contoh manakala ada penyimpangan sosial dalam suatu masyarakat, hal itu akan mendapat perhatian, jika dirasakan akan merugikan orang banyak atau sistem sosial yang ada. Manakala hal itu dirasakan secara individu tidak bisa diambil manfaat, maka soal baik atau buruk perilaku adalah urusan individu, terlepas dampak yang akan ditimbulkan.
Seiring perjalanan waktu dimana kontrol sosial yang sudah mulai longgar saat ini; tampaknya akan menggeser makna hakiki dari becik ketitik olo ketoro menjadi “becik yo becik mu dewe, olo yo olo mu dewe” terjemahan bebasnya baik ya baik mu sendiri, jelek ya jelek mu sendiri; dengan kata lain tanggung jawab sosial sudah memudar seiring dengan memudarnya nilai-nilai kebersamaan di dalam masyarakat. Akibatnya bukan menjadi barang aneh jika kita menemui proses pembiaran oleh masyarakat terhadap semua perilaku, sejauh itu tidak merugikan personal. Jika-pun terjadi tindakan yang merugikan personal, maka mengedepankan hukum formal lebih menjadi pilihan.
Oleh sebab itu tidak aneh jika sekarang persoalan sedikit saja bukan diselesaikan dengan tabayun sebagai mekanisme kearifan local, tetapi langsung saja lapor kepada pihak yang berwajib. Maka tidaklah heran sekarang lembaga-lembaga formal menjadi tempat penyelesaian segala urusan yang seharusnya bukan menjadi urusannya. Celah ini tentu sangat berisiko secara sosial, karena rawan terjadi penyimpangan; baik dalam segi jabatan maupun kekuasaan dan uang.
Jaman yang serba instan seperti sekarang banyak diantara kita yang tidak bersedia untuk menunggu waktu, sehingga jika berbuat baik saat ini harus saat ini pula mendapatkan ganjaran. Namun, sebaliknya jika ada yang berbuat tidak baik hukumannya minta ditunda, kalau bisa dibatalkan.
Kehidupan sudah banyak perubahan, termasuk tata nilai; justru sekarang bagaimana berusaha sekalipun sebenarnya tidak baik, justru berpatut diri supaya tetap baik, bahkan memaksa orang lain untuk mengatakan bahwa dirinya baik. Oleh sebab itu kita sudah diingatkan oleh orang bijak pada masanya dan sampai sekarang masih relevan yaitu …”eling lan waspodo”… ingat dan selalu waspada; maksudnya selalu sadar diri siapa kita, sedang apa kita, dimana kita; untuk tetap selalu waspada agar terhindar dari semua hal yang tidak baik untuk kita.
Salam Waras.
Editor: Gilang Agusman
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!